"Fix, pasti belum!" Tebakan Kevin berhasil menyentakku dari lamunan. "Nggak perlu jawaban, ekspresi wajah kamu itu udah menggambarkan semuanya, Lea," tambahnya. Aku hanya bisa terdiam. "Ck, sia-sia, dong kemarin kasih Om Lian jamu pegel linu kalau dia nggak ada niatan mempraktekan.""Kevin ...." Aku menatapnya datar dengan nada peringatan, karena merasa pembahasaan ini mulai keluar dari batas wajar. "Sorry."Kevin tampak menyesal, dia mengempaskan punggungnya ke sandaran sofa sembari mendongakkan kepala menatap langit-langit kamar. Terkadang aku tak mengerti dengan sikap lelaki ini. Dia bisa begitu santai membahas berbagai hal seolah tak ada beban. Untuk ukuran mantan kekasih yang baru ditinggal menikah, bagaimana bisa dia bersikap biasa saja dan tetap ada di saat aku membutuhkannya."Lea ...." Tatapan Kevin masih belum beralih dari langit-langit kamar saat dia memanggil namaku. "Ya?""Ternyata sakit juga, ya pura-pura bodoh padahal tahu segalanya. Bilang nggak apa-apa, padahal a
Hari senin memang identik dengan kepadatan jalanan karena awal dimulainya kegiatan. Setelah hampir dua pekan cuti, hari ini aku juga memulai aktivitas sebagai mahasiswi semester tiga jurusan Sastra Indonesia. Berhubung aku suka sekali membaca karya-karya sastra hingga penasaran ingin mempelajarinya.Di depan parkiran aku menunggu Kevin menjemput untuk melanjutkan perjalanan menuju studio FaTV. Kebetulan hari ini kami memiliki jadwal kuliah yang sama, yaitu di pagi hari dan selesai tengah hari. Sebelumnya aku sudah mengirim pesan pada Om Lian agar kami ketemuan di sana. Beberapa saat kemudian Kevin datang dengan mogenya. Hari dia menggunakan motor BMW HP4 Race berwarna putih-hitam yang harganya setara mobil mewah keluaran terkenal. "Pegangan yang kenceng!" pintanya setelah aku naik dan memasang helm. "Iya. Tapi jangan ngebut kalau masih sayang nyawa.""Siap, Bos. Berangkat!"***Kami tiba di depan lobi Gedung FaTV yang dibawahnya tertulis Fahlevi's Entertainment. Perusahaan ini ad
Industri hiburan memang kerap kali mengiurkan dengan tawaran popularitas instan serta penghasilan yang menjanjikan. Di dunia serba digital ini banyak orang berbondong-bondong untuk viral agar bisa terkenal, lalu mendapatkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhan hidup.Tak jarang anak-anak milenial melakukan berbagai cara di luar nalar untuk mendapatkan kepopuleran. Terkadang bukan cuma uang tujuannya tapi gaya hidup zaman sekarang yang sungguh memprihatinkan.Hal itulah yang dimanfaatkan beberapa oknum yang memiliki kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Dengan fasilitas dan materi yang diberikan sebagai iming-iming. Mereka mampu mengelabui remaja tanggung yang terbuai dengan gaya hidup zaman sekarang.Bahkan banyak kasus terjadi, mereka rela menukar kehormatan hanya demi sebuah barang. Seperti yang sedang terjadi sekarang. Gadis berusia enam belas tahun datang sendirian menemui lelaki dewasa setelah diiming-imingi sebuah IPh*ne!Sebenarnya sudah berapa banyak korban
Setiap orang bisa saja mengalami penyakit mental, tak terkecuali dia yang terlihat amat normal. Karena hampir menghabiskan waktu yang cukup lama di rumah sakit rehabilitasi, aku pernah mendengar bahwa neurosis adalah gejala gangguan jiwa yang ringan hingga penderita masih bisa beraktifitas seperti biasa. Namun, tetap saja. Yang namanya penyakit bila tidak ditangani akan berdampak fatal. Om Lian contohnya. Sekilas dia tampak baik-baik saja. Namun, pada kenyataannya jelas tak demikian. Mungkin bagi wanita menjalin hubungan tanpa keintiminan itu masih bisa dibilang wajar. Namun, bagi seorang lelaki hal tersebut pasti meninggalkan tanda tanya besar. Aku tak bisa membayangkan bagaimana Om Lian menjalani hidup dengan bayang-bayang traumanya. Dan harus membatasi diri dengan wanita demi menghindari gangguan kecemasan yang diakibatkan neurosis-nya. Mungkin ini alasan kenapa dia sering kali mengusap tengkuk bila kami sedang berdekatan atau berkeringat hebat hanya dengan sentuhan ringan. Ora
Ternyata memang benar. Dendam itu seperti kobaran api. Kita hanya perlu memilih memadamkan, atau terbakar bersamanya. Tak selalu dendam membuahkan kepuasan, kebanyakan dari mereka justru berakhir dengan penyesalan. Apalagi penyesalan adalah neraka terdalam kehidupan. Sekarang apa lagi yang bisa kulakukan? Nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Harapan sudah tenggelam ditelan angan. Kemenangan semakin jauh dari pandangan. Pada akhirnya aku hanya bisa meratap sendirian. Sebenarnya aku tak ingin menyalahkan takdir akan semua kisah hidup yang pedih ini. Namun, siapa lagi yang bisa disalahkan dari semuanya? Aku hanya ingin keadilan, aku hanya ingin Om Adrian sadar bahwa begitu banyak dosa yang sudah dia lakukan, aku hanya ingin Tante Lidia mengerti bagaimana posisi Mama saat ini, dan aku ingin Pak Wira mengakui semua kesalahannya selama ini. Kehormatan sudah kulepaskan, janin yang menjadi harapan dilenyapkan, Om Lian satu-satu yang kugantunkan pun tak bisa diandalkan. Ternyata begini akh
Sembilan belas tahun lalu ...."Keluar kau Adrian! Aku mengandung anakmu, Bajingan! Batalkan perceraian itu sekarang juga, Sialan!"Di balik jendela balkon kamar aku melihat Nita meraung-raung di pelataran, dua orang sekuriti berusaha menenangkan, tapi kemurkaan membuat tenaga perempuan itu berlipat-lipat lebih besar.Sudah sepekan berlalu sejak perceraian mereka disahkan pengadilan agama. Sayangnya Nita baru tahu kalau dia tengah mengandung benih Adrian. Hari ini adalah ketiga kalinya Nita datang sendirian, tanpa diantar kakaknya. Sebenarnya mereka semua ada di dalam. Papa, Mbak Lidia, dan Adrian. Namun, sampai satu setengah jam berlalu mereka seolah tak berniat menemui Nita bahkan untuk sekadar basa-basi. Sejak resmi bercerai dengan Nita Adrian memang tinggal di rumah ini. Kumpul kebo dengan Mbak Lidia, dan biadabnya Papa mengizinkan. Saat itu bahkan Papa yang ngotot meminta Adrian untuk menceraikan Nita agar lelaki itu bisa menikahi Mbak Lidia. Prinsip Papa memang sederhana, tap
"Mau sampai kapan kamu begini, Lian? Berapa kali lagi Papa harus menanggung malu karena kamu berkali-kali menolak perjodohan yang ditawarkan para klien? Bulan ini usiamu bahkan genap dua puluh lima, tapi sekali pun kau belum pernah berpacaran. Berapa kali lagi Papa harus menarik rumor-rumor yang tersebar kalau kamu itu tak normal!""Kenapa harus ditarik? Memang benar, kan kalau aku tak normal? Aku tak pernah berhasrat pada wani--"Bugh!Sebuah bogem mentah Papa layangkan. Tubuhku terhuyung kehilangan keseimbangan sampai hampir terjatuh dari sofa."Dasar anak tak berguna! Sampai saat ini kau belum bisa melakukan apa-apa selain menjadi beban keluarga. Lihat Adrian!"Aku hanya bisa memejamkan mata saat Papa kembali membandingkanku dengan menantunya."Meskipun dia datang tak membawa apa-apa, selain harta tak seberapa. Tapi, sekarang dia berguna dan bisa diandalkan.""Diandalkan apanya? Benalu pecinta selangkangan itu Papa bilang berguna?!" cibirku sarkastis.Aku sudah benar-benar muak sek
Kehadiran Diana membuat hidupku lebih berwarna. Bersamanya aku jadi mempunyai alasan untuk menatap masa depan yang gemilang.Ternyata Diana juga berasal dari keluarga berada. Ayahnya adalah seorang sutradara sementara ibunya artis ibukota yang sudah lama pensiun. Lima tahun lalu Diana kehilangan tuangannya yang meninggal bunuh diri dari lantai dua puluh gedung apartemen. Dia menyaksikan di depan matanya sendiri. Sakit karena kehilangan itulah yang memicu awal mula depresinya hingga berlanjut ke tahap yang lebih berat seperti Skizofrenia dan halusinasi, karena terlambat ditangani. Beruntung penyakitnya masih bisa dikendalikan dengan psikiatri dan konseling rutin. Jadi, Diana tak pernah kehilangan sosok dirinya yang menyenangkan, meskipun terkadang terlalu blak-blakan. Dengan bantuannya juga neurosis-ku mulai bisa dikendalikan. Sama seperti dengan Nita dulu. Tubuhku tak lagi merespons berlebihan pada sebuah sentuhan. Walaupun semuanya berangsur pelan-pelan. Akhirnya setelah satu set