David memejamkan mata dengan napas yang terlihat memburu. Terus berusaha untuk menahan segala emosi yang mulai menguasai diri.
"Ya, oke. Aku minta maaf. Aku cuma terlalu capek sekaligus cemburu di waktu yang bersamaan. Maafin aku," ujar David menundukkan kepalanya dengan mata yang masih terpejam.Susah payah pria itu menahan segala rasa yang membakar hati hingga dadanya terlihat kembang kempis. Mencoba menekan segala ego demi bisa tetap berada di sisi wanita pujaannya.David maju beberapa langkah mendekat ke arah Agni, mencoba meraih tangan wanitanya. Namun, belum sampai tangan itu menyentuh, Agni sudah lebih dulu menjauhkan dirinya dari David. Membuat pria itu kembali menghela napas panjang, mencoba mengerti meski sebetulnya sulit untuk ia mengerti."Agni." Suara lemah seorang wanita terdengar dari dalam ruangan. Membuat Agni mengalihkan tatapan amarahnya dari sosok David dan berjalan ke dalam, ke tempat di mana ibunya tengah terbaring."Sore, Tante Tari," sapa seorang pria pada wanita yang tengah terduduk di atas ranjang rumah sakit dengan tatapan mata tergamang menatap cahaya senja dari balik kaca jendela ruang rawatnya.Wanita itu lantas menolehkan kepala saat mendengar namanya disapa. "Sore, Tirtha." Lekukan senyum tipis kemudian menghiasi wajah bengkak nan pucatnya."Apa kabar, Tante?" Pria yang tak lain adalah Tirtha itu mendekat dan mengecup punggung tangan Tari dengan penuh rasa hormat."Baik. Terima kasih sudah kembali datang menjenguk, ya."Dengan senyuman yang tak kalah manis, Tirtha mengangguk menanggapi sembari meletakkan buah serta makanan di atas nakas samping ranjang Tari. "Sedikit makanan untuk Tante dan ...." Pria itu mengedarkan pandangan ke arah sekitar, mencari satu sosok yang ingin sekali ia lihat saat ini. "Ke mana Agni, Tante?""Dia masih ada di kantornya.""Kantor? Bukannya Agni masih kuliah, Tante?" tanya Tirtha dengan alis berkerut.
"Adik iparku—Sherina Yudistira, sangat tidak menyukai putriku." Tari tiba-tiba bersuara, membuat Tirtha yang telah berdiri berniat pamit pun akhirnya kembali mendudukkan dirinya. Ia menatap serius pada Tari, menanti kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh wanita itu."Kadar bencinya terjadi bahkan sejak putriku lahir, dan semakin bertambah parah ketika kecelakaan terjadi belasan tahun silam yang menewaskan suami serta anak semata wayangnya yang bernama Aarav. Di dalam kecelakaan itu, putriku juga ada di sana. Namun, Puji Tuhan ia selamat dari kecelakaan itu," tutur Tari mulai bercerita."Akan tetapi, sepertinya Tuhan menakdirkan hidupnya hanya untuk merasakan kemalangan. Putriku kembali diberikan kesempatan hidup hanya untuk merasakan rasanya dibenci. Mendapatkan caci dan maki dari banyak pihak yang mengatakan bahwa ia adalah seorang pembunuh dan penyebab kecelakaan itu terjadi. Mereka menuduh aku adalah dalang dibalik kecelakaan itu dengan memperalat anakku,
Gadis yang baru saja berniat untuk menyantap sarapan yang dihidangkan sang bunda di atas meja pun akhirnya kembali bangkit dari duduknya dan melangkah ke ruang depan, mengecek siapa gerangan yang datang bertandang di pagi buta seperti saat ini.Gadis itu tak langsung membukakan pintu, ia memilih untuk mengintipnya terlebih dahulu di kaca jendela. "Pak Jun," batin Agni seraya mengernyitkan keningnya. Bertanya-tanya tentang bagaimana bisa bodyguard yang biasa berjaga di rumah Yudistira kini bertandang ke rumahnya? Dari mana pula pria berbaju serba hitam dengan postur tubuh yang kekar itu mengetahui rumah barunya ini sedangkan Yudistira sendiri pun belum ia beri tahu mengenai tempat tinggalnya.Namun, karena rasa penasaran yang membuncah, gadis itu kemudian memutuskan untuk membuka pintu. "Siang, Nona Agni," sapa sang bodyguard kala Agni telah berada tepat di depannya."Ada apa?" tanya Agni ketus. Matanya menatap awas pada sekeli
Agni berangkat ke kampus setelah perdebatan panjang yang dilakukannya dengan Yudistira beberapa waktu lalu.Setelah menimbangkan segala hal, akhirnya mau tak mau Agni menyetujui adanya Jun untuk bertugas menjaga mereka dari jarak jauh. Lebih tepatnya menjaga Tari kala Agni tengah berada di luar rumah. Ia berpikir jika ibunya itu memang butuh perlindungan, takut suatu hal yang tidak diinginkan terjadi di kala dirinya lengah. Dengan itu, ia pun akhirnya bisa menyelesaikan segala urusannya di luar rumah dengan tenang.***"Hai!" Suara bariton milik seorang pria tiba-tiba terdengar dari balik pintu, mengejutkan Agni yang kala itu berjalan keluar ruangan kelas dengan tangan yang merogoh tas ranselnya, mencari kunci motor kesayangannya.Gadis itu tersentak hingga tubuhnya sedikit condong ke belakang kala seorang pria tiba-tiba saja sudah berdiri di depan ruang kelasnya sembari melambaikan tangan menyapa."Eh, sorry," ujar pria tersebu
Tirtha terus saja mengekor di belakang Agni hingga sampai di parkiran. Membuat gadis itu melirik tajam ke arah pria yang bagai itik mengikuti induknya ke mana pun sang induk pergi."Lu nggak punya kesibukan, ya? Kelas lu belum dimulai gitu, sampe lu kerajinan banget ngikutin gue sampe ke sini?""Nggak ada kelas.""Pantes," ujar Agni.Mata gadis itu memperhatikan Tirtha dari atas sampai ke bawah dengan ekspresi anehnya kala ia baru menyadari sesuatu. "Lu nggak salah kostum?" tanyanya dengan kening berkerut pada pria yang duduk di atas motor, berada tepat di samping motor Agni terparkir.Ikut memperhatikan dirinya, Tirtha kemudian tertawa kala tersadar akan ia yang masih menggunakan setelan kantor lengkap dengan jasnya. Lupa mengganti setelah meeting bersama klien di luar tadi. Namun, bukan Tirtha namanya jika tidak memiliki percaya diri yang tinggi. "Enggak lah, kenapa emang? Keren ya, aku?" ucapnya mengangkat kedua alis ke atas.
"Menyerahlah, Agni! Tanda tangani surat pengalihan warisan itu dan pergi jauh dari kota Bandung. Tinggalkan keluarga Yudistira, jangan pernah muncul dan mengganggu hidup kami lagi maka akan kami pastikan hidupmu aman dan damai.""Siapa kamu berani menyuruhku, hah?" tolak Agni dengan nada ketus serta tangan yang bertengger di pinggang."Aku ini tantemu," sahut Sherina cepat yang berhasil membuat Agni berdecih."Ya, meskipun ada rasa tak sudi dalam diri ketika garis takdir menakdirkan aku untuk menjadi siapa-siapa untukmu." Sherina memutar bola matanya sekilas. "Namun, jika saja aku boleh jujur, aku lelah sekali harus berulang kali berperang dan menyakiti anak kecil dengan status keponakan sepertimu. Tentu kau tahu kalau aku bisa saja mengakhiri peperangan ini dengan membunuh kalian berdua, bukan? Akan tetapi, aku masih ingin membiarkanmu dan Tari hidup. Maka, hiduplah kalian di suatu tempat yang jauh dari sini. Menyerahlah sebelum akhirnya aku benar-be
"Hai," sapa Tirtha yang sudah terduduk manis di atas motor milik Agni sembari melambaikan tangannya. Ini adalah hari yang kesekian ia datang ke kampus menemui Agni, kembali melancarkan aksi pedekatenya.Sama seperti hari-hari sebelumnya, pria itu masih memakai setelan kantornya meski sudah tidak lagi dilengkapi dengan jas dan dasi. "Hai, Gedebog Pisang. Rajin amat tengah hari bolong begini berjemur di parkiran," ucap Agni tersenyum miring kala melihat butiran keringat yang bermunculan di dahi Tirtha. Tirtha meringis seraya mengusap dahi dengan telapak tangannya sendiri. Dirinya memang sengaja mencuri waktu di tengah jam istirahat makan siangnya demi bisa datang ke kampus menemui Agni yang kebetulan menyelesaikan akhir mata kuliahnya di jam makan siang."Y-ya ... Gapapa, dong. Cahaya matahari kan bagus. Vitamin D untuk kulit," sahut Tirtha tersenyum kikuk. Tangannya kemudian menggaruk area belakang telinga yang tiba-tiba saja terasa gatal.
"Mana aku tahu. Itu bukan ulah aku." Tirtha mengangkat kedua bahu ke atas kala Agni terus menerus menuduhnya. "Bocor kali itu," lanjutnya lalu berjongkok di depan ban motor Agni."Gue bukan anak motor kemaren sore yang nggak bisa bedain antara bocor sama kempes!" tandas Agni masih dengan nada yang meninggi."Ya aku mana tahu. Serius, itu bukan ulah aku. Kalau nggak percaya, ayo, kita lihat cctv!" Tirtha bangkit dan menarik tangan Agni, menggandengnya menuju ke ruang cctv berada."Nggak perlu! Lupakan!" Gadis itu kemudian menyentak tangannya yang digenggam oleh Tirtha."Ayo lihat dulu, biar kamu nggak sembarangan nuduh! Biar kamu juga liat kalau bukan aku yang ngelakuin itu." Tirtha kembali membawa tangan Agni ke dalam genggamannya. Kali ini ia selipkan tangan milik gadis itu ke dalam dekapannya agar tidak kembali disentak."Jangan sembarangan pegang gue! Gue nggak suka sembaranga