Memasuki kamar, Tirtha merebahkan dirinya di atas sebuah kasur empuk. Matanya menatap ke arah langit-langit kamar dengan pikiran yang melayang jauh memikirkan kejadian tadi siang serta tanda bintang yang berada di lengan Agni.
"Tanda bintang ...," gumam Tirtha pelan. "Kok kayaknya aku nggak asing sama tanda itu, ya?" lanjutnya lagi dengan kening yang berkerut.Beberapa waktu berlalu, Tirtha akhirnya memutuskan untuk tidur kala dirasa kepalanya hampir pening sebab memikirkan perihal tanda bintang dan bekas jahitan di lengan kanan wanita yang baru saja ditemuinya siang tadi.Namun, ketika matanya baru saja terpejam, sekelebat bayangan kemudian bertandang dalam ingatannya.Ingatan tentang kecelakaan yang terjadi belasan tahun silam yang menyebabkan tiga orang meninggal. Satu di antaranya adalah Ryan, kakak kelas yang sudah dianggap seperti kakaknya sendiri.Kala itu, di tengah rasa berkabungnya akibat Ryan yang dinyatakan meninggal di tempat, ia dikagetkan oleh suara seseorang yang berteriak, "ada satu yang masih hidup! Tolong!"Pandangannya kemudian beralih pada sosok gadis kecil yang dikeluarkan dari dalam mobil. Kondisinya sungguh sangat memprihatinkan dengan luka yang berada di mana-mana. Namun, ada satu yang menjadi perhatian Tirtha, ialah luka panjang di atas siku yang tidak berhenti mengucurkan darah segar. Di atas luka itu, terdapat sebuah tanda berwarna hitam yang berbentuk bintang.Tirtha langsung saja membuka matanya lebar kala apa yang dipikirkannya mendapat sebuah jawaban."Astaga! Dia ... apa dia salah satu korban kecelakaan belasan tahun yang lalu? Ya, Tuhan ...," keluhnya dengan napas terengah. Kedua telapak tangannya kemudian mengusap wajahnya kasar."Aku harus mencari tahu lebih dalam siapa gadis itu," ucap Tirtha.***Tirtha mengemudikan mobilnya ke sebuah alamat yang diberikan oleh Haikal. Sebelumnya, ia sudah datang ke kampus untuk menemui Agni. Namun ternyata, Agni tidak datang ke kampus hari ini maka ia memutuskan untuk pergi ke rumahnya langsung berbekal alamat dari Haikal."Lu yakin ini rumahnya?" tanya Tirtha pada seseorang di seberang telepon yang tak lain adalah Haikal."Yakin, lah. Sesuai data yang ada ya memang itu rumahnya. Kenapa emang?""Sepi banget," ucap Tirtha yang kemudian turun dari dalam mobil. Ia membuka kacamata hitam yang dikenakannya, memperhatikan sebuah rumah berlantai dua gaya eropa klasik dengan cat berwarna krem di depannya.Tiba-tiba, dari dalam rumah, muncullah satu sosok wanita dengan rambut yang terurai bebas. Dialah Tari—ibu Agni."Eh, ada orang yang keluar. Ntar gue telepon lagi," ucap Tirtha yang kemudian mematikan sambungan telepon.Tirtha kemudian melangkah mendekat ke arah wanita yang ia yakini sebagai pemilik rumah tersebut. Kemungkinan pula dia adalah ibu dari Agni Gantari, wanita yang sedang ia cari saat ini. Terlihat dari raut wajahnya yang hampir mirip."Bu, Maaf, apa benar ini rumahnya Agni Gantari?" tanya Tirtha kala ia sudah tiba di hadapan wanita yang menurut perkiraannya berusia sekitar 45 tahun."Iya, benar. Dengan siapa, ya?" ucap Tari dengan kening berkerut. Tangannya mencoba menata rambut agar menutupi bagian wajahnya yang lebam. Namun sayang, Tirtha sudah melihat luka itu dengan nyata sebelum Tari menutupinya."Em ... saya Tirtha Abista, teman Agni dari Diamond University. Ingin menanyakan kenapa Agni tidak masuk kuliah hari ini ya, Bu? Apa dia sakit?"Tari terlihat menghela napasnya berat. Ia pun sebenarnya khawatir dengan keadaan anak gadisnya yang sejak kemarin belum pulang ke rumah. Meski hal ini sudah seringkali terjadi. Namun, sebagai seorang ibu, hati kecilnya tetap khawatir mengingat Agni adalah anak perempuan.Agni menatap Tirtha dengan ragu sebelum akhirnya berucap, "sebenarnya ... Agni—"Belum saja Tari menyelesaikan kalimatnya, datanglah seorang laki-laki dari arah dalam dengan teriakan kencangnya."Hei! Siapa kamu?!"Tirtha dan Tari seketika terlonjak kaget."Berani-beraninya kamu bertemu dengan pria lain di depan rumah saya! Dasar jalang!" teriak laki-laki itu lagi yang tak lain adalah Bagas.Ia menarik lengan Tari untuk mendekat ke arahnya dengan kasar."Pak! Tolong jangan kasar. Kasihan ibunya," ujar Tirtha mencoba memperingati Bagas dengan pelan."Diam kamu! Jangan coba-coba menasehati saya. Ada perlu apa kamu ke sini, ha?! Ingin menggoda istri saya? atau dia yang menggoda kamu terlebih dahulu?" tebak Bagas dengan asal. "Dasar jalang tak tahu diri. Sudahlah buruk rupa, tak punya malu pula!" imbuhnya lagi memaki Tari dengan teriakannya yang keras hingga memicu perhatian warga sekitar."Pak, Anda hanya salah paham. Saya datang ke sini untuk mencari Agni. Dia tidak masuk kuliah hari ini. Saya khawatir dia sakit," ucap Tirtha mencoba meluruskan kesalahpahaman yang sepertinya sudah mematik emosi sang pria di hadapannya itu."Tidak ada. Gadis itu tidak ada. Dia sudah mati!" sahut Bagas asal."Agni belum mati! Jangan asal bicara, kamu!" teriak Tari kesal. Ia menghentakkan tangannya agar terlepas dari cengkeraman Bagas. Namun, semakin dihentakkan, semakin kencang pula Bagas mencengkram lengan Tari hingga wanita itu pun mengaduh kesakitan."Aww! Lepas, Brengsek!""Jangan harap saya melepaskanmu. Masuk! Dasar jalang kecentilan!" maki Bagas menghempaskan Tari dengan kasar ke dalam gerbang."Pak, jangan kasar. Dia wanita, tak sepatutnya dikasari seperti itu," ucap Tirtha cukup merasa iba."Alah, persetan, diam kau! Pergi kau dari sini. Perempuan yang kau cari tidak ada di sini. Dia sudah di neraka!" ucap Bagas mengusir Tirtha secara kasar.Setelahnya, Bagas masuk ke dalam gerbang. Ia menyeret Tari dengan amat kasar bak tengah seekor hewan tak bernyawa.Giginya bergemerutuk, emosi mulai merasuk ke ubun-ubun melihat seorang pria memperlakukan wanita dengan cara yang sungguh tidak manusiawi. Hasrat ingin menolong, tetapi ia tidak punya hak apapun untuk ikut campur di sini. Lagipula, pintu gerbang sudah dikunci dari dalam yang membuat ia tidak bisa berbuat apa-apa."Tolong jangan perlakukan dia dengan kasar, Pak! Dia wanita yang seharusnya Anda lindungi. Jangan bertingkah layaknya seorang banci yang hanya berani menyakiti wanita, Pak!" teriak Tirtha dari luar. Hanya itu yang bisa ia lakukan, berharap ucapannya didengar oleh Bagas."Percuma, Mas. Tidak akan didengar oleh Pak Bagas. Hal seperti ini sudah menjadi makanan para tetangga sekitar setiap hari. Teriakan kesakitan serta semacamnya dari dalam rumah itu sudah sering kami dengar," ucap warga sekitar."Lalu, kalian tidak bertindak apa-apa? Apa tidak ada yang melaporkan ke pihak berwajib? Ini sudah masuk ke tindakan kriminal, lho!" sahut Tirtha tidak habis pikir. Seolah-olah hal seperti ini adalah hal yang wajar."Sudah pernah, Mas. Namun, apalah arti hukum di negara kita ini. Semuanya leleh oleh uang serta jabatan."Makin miris Tirtha mendengarnya. Ya, Hukum di negara ini sungguh sangat memprihatinkan. Semuanya seolah bisa diatasi hanya dengan uang, uang, dan uang."Kasihan sekali, ibu itu. Kenapa dia tidak pergi saja dari rumah itu?""Entahlah, Mas. Saya tidak berani ikut campur urusan rumah tangga mereka. Salah-salah malah saya yang jadi korban selanjutnya," ucap warga tersebut.Tirtha menganggukkan kepalanya pelan, mencoba mengerti. Setelahnya, ia kembali bertanya, mencoba mengorek informasi tentang Agni dan keluarganya yang jujur, kini berhasil membuat seorang Tirtha semakin penasaran. "Bu, mohon maaf, apa tadi itu ayah dan ibunya Agni? Apa benar juga rumah ini adalah rumahnya Agni?""Betul, Mas. Dua orang tadi itu orangtuanya Agni.""Lalu, di mana Agninya? Kenapa dia tidak muncul? Apa dia tinggal terpisah? Soalnya dia nggak masuk kampus hari ini. Saya sulit sekali mendapat informasi tentang Agni sebab dia sangat tertutup," ucap Tirtha."Agni tinggal di sini kok, Mas. Cuma ya, sepertinya jarang pulang. Ya begitu, mungkin muak, lelah juga karena setiap kali dia pulang selalu diperlakukan tidak baik oleh ayahnya sendiri. Entahlah, apa yang membuat mereka bertahan. Kalau saya sih sudah nggak kuat dan milih pergi sejak dulu," sahut warga tersebut.Sementara Tirtha sibuk mengorek informasi tentang Agni dan keluarganya dari warga sekitar, sang gadis yang sedang dikorek informasinya malah baru saja terbangun dari tidur lelapnya.Mengerjapkan matanya perlahan, tangan mulus sang wanita kini bertandang ke arah kepala, meremas rambutnya pelan."Eeuuhhh ...," erang Agni pelan kala merasakan kepalanya yang berdenyut nyeri. Semua terasa seperti berputar-putar mengelilingi kepala.Tak lama kemudian, mual mulai dirasakan. Seperti ada sesuatu yang naik hingga ke tenggorokan. Dengan cepat, Agni turun dari atas ranjang berlari ke arah kamar mandi.Huek, huek!David yang mendengar suara dari dalam kamar segera datang menghampiri Agni. Ia pijat tengkuk wanita yang dicintainya itu dengan pelan."Huufftt ...." Agni bersandar pada dinding kamar mandi sesaat setelah semua isi perutnya keluar.Seperti yang telah diucapkan, semuanya terasa lebih ringan saat ia telah memuntahkan semuanya. Beban hidupnya serasa berkurang. Meski ia tahu ini semua hanyalah sementara. Namun, ini cukup membuatnya lega."Gue bikinin kopi pahit buat lu, ya?!" tawar David.Mengangguk pelan menanggapi ucapan David, Agni berucap, "thanks ya, Vid!"Tersenyum singkat, David kemudian keluar dari kamar mandi menuju ke arah dapur untuk membuatkan secangkir kopi pahit untuk Agni."Agni, Agni. Seandainya aja lu terima ajakan gue untuk menikah. Lu nggak akan sesakit ini, Ni. Telinga lu nggak akan lagi mendengar sesuatu yang ngebuat mental lu makin hancur," ucap David sembari menuangkan kopi bubuk ke dalam cangkir."Harus dengan cara apalagi gue milikin lu, Ni? Sumpah! Gue nggak kuat liat lu begini terus. Hasrat pengen meluk lu tuh gede banget. Tapi sekali lagi gue sadar, lu bukan sembarang orang yang suka gue peluk sembarangan layaknya cewek-cewek lain yang bahkan dengan sukarela menyerahkan tubuhnya untuk ditiduri di atas ranjang," celotehnya lagi berbicara sendiri.Tangannya kemudian membuka kabinet dapur untuk mengambil gula. Namun, pandangan matanya malah tertuju pada sebuah toples yang terletak di bagian atas kabinet. Di dalam toples tersebut terdapat obat tidur dan obat perangsang yang biasa ia gunakan kala mengajak para wanita bayaran untuk tidur bersamanya."Sepertinya memang gue harus gunain cara licik biar lu mau nerima dan hidup sama gue, Ni!" ujar David yang kemudian mengambil toples tersebut.—-"Sial*n! Gila, ya, itu orang!" rutuk Agni setelah keluar dari sebuah ruangan yang berada tak jauh dari halte tempat ia tertidur semalam."Kamu yang gila," celetuk Tirtha menimpali.Setelah drama debat pagi tadi, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk mendatangi tempat di mana Agni tertidur semalam. Menyelidiki di mana motor wanita itu berada. Tentunya semua terjadi atas paksaan dari seorang Agni Gantari.Beruntung, di area tersebut ada satu cctv. Meski tak sepenuhnya mengarah ke halte. Namun, itu cukup membantu mereka sebab ia bisa melihat siapa seseorang yang membawa motornya pergi meski area wajah sang pelaku tidak terlihat sempurna.Agni menghentikan langkahnya, memutar tubuh, menatap Tirtha dengan tatapan sengit."Kenapa? Mau protes?" tanya Tirtha balik menatap Agni. Pria itu kini mulai berani menentang setelah merasa bahwa dirinya berada satu langkah di depan sang wanita; sedikit merasa mampu mengendalikan, dan berharap ia mampu melunakkan kerasnya hati seorang Agni Gantari. "
Hari mulai larut. Jarum jam di pergelangan tangan milik Tirtha sudah mulai menunjukkan waktu dini hari. Namun, pria tampan itu masih berada di jalanan sebab baru saja menyelesaikan pertemuan dalam menjamu para klien dari luar negeri.Pertemuan di bar dengan minuman dan para wanita cantik di malam hari sudah menjadi satu hal lumrah di kalangan para pebisnis. Pria di balik kursi kemudi itu memijat tengkuknya perlahan, mencoba menetralkan rasa kaku dan letih yang mulai terasa di seluruh tubuhnya. "Berendam enak kali, ya," gumam Tirtha pelan.Netranya terus fokus mengemudi, menancap gas lebih cepat sebab sudah tak sabar rasanya ingin sampai di rumah untuk berendam air hangat lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk.Namun, di tengah perjalanan menuju pulang, netranya menyipit, fokusnya sedikit terbagi pada satu sosok manusia yang terbaring di jejeran kursi halte bus.Menurunkan kecepatan laju mobilnya, sedikit menepi, dan ...."Astaga, Agni!" pekiknya terkejut dengan mata terbe
Setelah menghembuskan napas berkali-kali, Agni kembali mencoba meyakinkan diri bahwa ini adalah keputusan terbaik yang memang harus ia pilih.Wanita itu lantas melangkah ke dalam, kembali ke mejanya dengan menggenggam satu keputusan final."Maaf membuat kalian lama menunggu," ucap Agni kembali duduk seraya tersenyum ramah ke arah semua orang. Ekspresinya berbanding terbalik dengan beberapa waktu sebelumnya di mana ia selalu menekuk wajah cantiknya itu dengan ketus."It's oke. Kami mengerti mungkin kamu terkejut dengan ini semua. Dan, ya ... Jika kamu membutuhkan waktu lebih untuk menjawabnya, kami bersedia memberikannya," ucap Lina—Mama Tirtha, mencoba untuk memahami."Tapi bukankah lebih cepat lebih baik, bukan begitu, Agni? Aku tak masalah jika kamu menolak perjodohan ini. Jangan membuang waktuku lebih lama dengan harus menunggu jawabanmu yang belum pasti itu," ucap Tirtha menimpali. Melipat kedua tangan di depan dada, bersandar santai di sandaran kursi yang didudukinya."Tirtha ..
Belum habis rasa dukanya, dunia seolah berniat kembali menguji seorang Agni Gantari.Hati yang selalu dipenuhi amarah semakin meluap-luap kala ia ditarik paksa oleh anak buah Yudistira. Didandani sedemikian rupa dan dipaksa menghadiri sebuah pertemuan di sebuah hotel dengan Yudistira beserta rekan bisnisnya untuk membahas sebuah perjodohan."Apa-apaan ini, Opa?!" protes Agni setelah berhasil membawa Yudistira menyingkir dari para keluarga di dalam. "Hanya kamu yang bisa membantu Opa, Nak.""Dengan cara seperti ini? Ya Tuhan, Opa!" keluh Agni tidak habis pikir dengan keluarganya sendiri yang seolah tiada henti memperalatnya. "Tidak! Agni tidak akan pernah mau dijodohkan. Agni tidak akan menikah sampai kapan pun, Opa!" tolak Agni pada Yudistira dengan kata-kata yang penuh penekanan.Keduanya tengah berada di balkon saat ini. Meninggalkan dua keluarga yang sedang asik berbincang di meja makan di restoran dalam hotel tersebut.Yudistira hanya mampu memijat keningnya, pening. Berbagai car
Sejak hari itu, Agni kembali pada kepribadiannya yang dulu, bahkan terkesan lebih parah dari sebelumnya.Ia yang beberapa waktu terakhir berhenti minum dan balapan liar sebab harus segera pulang ke rumah setelah rutinitasnya kuliah dan bekerja—demi menjaga sang bunda di rumah, kini hampir tak pernah lagi pulang ke rumahnya.Harinya kini hanya dihabiskan di jalanan luar. Mabuk, balap liar kembali menjadi rutinitas kesehariannya lagi.Pulang ke rumah hanya untuk tidur—meski tak jarang, ia lebih memilih tidur di jalanan. Hidupnya kembali berantakan, kuliahnya tak lagi dilanjutkan pun dengan pekerjaannya di kantor serta beberapa misi yang ia tinggalkan.Hanya satu misi yang gadis itu tanam dan lakukan dengan gencar, yaitu membalaskan dendamnya pada Bagas. Segala bukti sudah ia lampirkan untuk laporan ke pihak kepolisian. Namun, sayang ... Otak kasus pembunuhan sang bunda itu tengah melarikan diri saat ini. Berbagai prasangka buruk berlarian di otak Agni, mengira bahwa Yudistira yang mel
Selepas menjalani serangkaian proses serta berbagai prosedur untuk bukti pelaporan ke pihak kepolisian atas kasus pembunuhan sesuai permintaan langsung dari Agni, kini Tari akhirnya bisa dibawa pulang ke rumah duka untuk segera dimakamkan.Yudistira berada di samping Agni, terus berusaha mendampingi meski tak dihiraukan keberadaannya.Pun dengan Tirtha. Pria yang belum pulih betul dari luka tembak itu pun datang mengucap bela sungkawanya.Saat semua proses pemakaman telah berjalan lancar, David yang beberapa hari belakangan tidak terlihat batang hidungnya pun kembali muncul. Dengan setelan kemeja hitam serasi dengan celana bahannya yang juga berwarna hitam, ia memasuki pekarangan rumah Agni. Netranya langsung tertuju pada gadis cantik yang tengah terduduk dengan tatap mata yang memandang kosong. Garis sendu terlihat jelas di raut wajahnya yang pucat."Hai," sapa seorang pria yang langsung duduk berjongkok di hadapan Agni.Gadis itu terbelalak, cukup terkejut ketika melihat David yang