Share

3. Terpuruk

Pertanyaan Tirtha berhasil membuat Bryan dan Haikal mengerutkan keningnya bingung. Karena ini merupakan kali pertama dalam sejarah pertemanan mereka, seorang Tirtha Abista bertanya perihal seorang perempuan.

"Ini yang nanya beneran Tirtha temen kita 'kan, Yan?" tanya Haikal pada Bryan masih dengan tatapan ketidak percayaannya.

Bryan serta Haikal kemudian kembali membawa tatapan matanya ke arah luar, ke arah sekeliling yang tadi sempat ditunjuk oleh Tirtha.

"Sekelilingnya cewek semua, coy! Wah, momen langka ini. Akhirnya, seorang Tirtha penasaran juga sama cewek. Gue kira lu belok, Bro, hahahaha!" Bryan terbahak dan langsung disambut toyoran oleh Tirtha.

Haikal yang tak mau kalah pun ikut terbahak menertawakan kekonyolan sahabatnya itu.

Bagaimana tidak? Usia Tirtha yang sudah menginjak angka kepala tiga terlihat masih adem ayem saja menyendiri. Padahal, para wanita di sekelilingnya banyak yang terpesona dengan ketampanan seorang Tirtha Abista.

Di antara mereka bertiga, Tirtha lah yang memiliki tampang paling rupawan layaknya seorang pangeran dari negeri dongeng. Kekayaan yang dimiliki keluarga Tirtha pun sungguh tidak terhitung jumlahnya. Bahkan, keluarga Abista masuk dalam kategori 10 orang terkaya di Indonesia. Itulah yang membuat para wanita mengantri ingin menjadi pasangan hidup seorang Tirtha Abista.

Namun, Tirtha tidak pernah merespon para wanita yang mencari perhatian terhadapnya. Ia terkesan cuek meski terkadang rasa percaya dirinya melesat begitu pesat.

"Sembarangan aja lu ngatain gue belok. Gue 100 persen normal!" Tirtha melotot ke arah kedua temannya.

Bukannya berhenti, Haikal dan Bryan makin dibuat terbahak. "Ya gimana kita nggak berprasangka seperti itu. Bayangin aja, Bro, lu tampan, kaya, tapi sampe di umur segini masih betah aja betah menjomblo," ujar Bryan.

"Nah!" timpal Haikal menyetujui ucapan Bryan. "Gue udah sold out. Si gondrong juga bentar lagi naik pelaminan. Lah elu masih stay aja sendiri. Padahal di antara kita bertiga elu yang paling banyak dilirik sama cewek-cewek. Ya wajar nggak sih kalo gue bilang lu ... nggak normal?"

"Sialan lu!" Tirtha melempar bantalan sofa ke arah Haikal.

"Hahahaha!" Semakin pecah suasana di dalam ruangan diisi oleh tawa Haikal dan Bryan yang semakin keras. Beruntung, ruangan itu adalah ruangan kedap suara sehingga orang luar tidak akan mendengar apapun yang terjadi di dalam ruangan.

"Gue begini karena selektif. Banyak dari mereka yang ngantri karena ngincer apa yang yang gue punya. Bukan murni karena benar-benar tulus dan sayang sama gue," ucap Tirtha membela diri yang sebenarnya memang itulah alasan dia tidak terlalu merespon para betina yang berusaha merebut perhatiannya.

"Jadi sebenarnya kalian kenal nggak sama dia?" tanya Tirtha lagi berusaha menghentikan aksi tawa dari kedua sahabatnya.

"Ya jelas kenal lah, Tirtha. Dia Agni. Anak didik gue. Kenapa emangnya?" ucap Bryan kemudian meneguk minuman Tirtha yang berada di atas meja.

"Anak didik? Jurusan bisnis dong dia?"

"Hu'um. Dia juga salah satu mahasiswa berprestasi di kampus ini," ucap Haikal ikut bergabung dalam obrolan.

"Dia ... jalur beasiswa?" tanya Tirtha penasaran.

"Enggak lah, Ta. Dia memang berprestasi. Tapi dia masuk sini dengan dana pribadi," sahut Haikal.

Tirtha hanya manggut-manggut.

"Kenapa sih? Jangan bilang lu naksir sama dia," tebak Bryan.

"Idih .... Ogah banget gue," ucap Tirtha bergidik.

"Helleh .... Jangan begitu. Jatuh cintrong baru tau rasa lu!" ujar Haikal.

"Eh, tapi kayaknya nggak bakalan mungkin. Di antara banyaknya cewek-cewek cantik di kampus ini, cuma dia yang paling sulit buat ditaklukin. Gue aja hampir nyerah waktu deketin dia dulu," ujar Bryan.

"Jadi lu pernah deketin mahasiswa lu sendiri? Gila lu!" ucap Tirtha menatap Bryan tidak percaya.

"Pernah! Pas awal-awal tu cewek masuk universitas ini udah langsung jadi sasaran empuk si buaya Bryan. Beuh ... lu nggak tau aja, Tha, perjuangan dia deketin si Agni udah kayak apaan tau," ucap Haikal yang paling tahu perjuangan Bryan kala mendekati Agni beberapa tahun yang lalu.

"Dapet?" tanya Tirtha penasaran.

"Kagak! Hahahaha." Haikal malah terbahak.

"Itu cewek susah banget dideketinnya. Di antara banyaknya cewek, cuma dia yang berani nolak gue." Bryan menggeleng tidak habis pikir.

"Denger-denger nih, ya, dia itu anti dengan yang namanya hubungan. Katanya sih dia nggak percaya dengan sebuah hubungan," ucap Haikal mengedikkan bahu. Sebab, kabar itu masih simpang siur meski Haikal jarang sekali melihat Agni berinteraksi dengan laki-laki. Namun, berita tersebut masih belum jelas, bukan?

"Kenapa? Apa dia pernah dikecewain?" tanya Tirtha.

"Entahlah .... Dia itu susah ditebak. Orangnyai tertutup." Bryan ikut mengedikkan bahunya. "Kenapa sih? Lu beneran naksir dia? Nggak bakalan mampu lu, Tha. Gue aja nyerah."

"Tapi kalo Tirtha kayaknya gue yakin dia bisa deh," ucap Haikal. "Secara tampang dia lebih ganteng dari lu!" lanjutnya lagi.

"Gimana kalo kita taruhan?" ajak Bryan pada Haikal. "Kalo Tirtha bisa naklukin tu perempuan, gue kasih lu 10 juta. Tapi kalo dia nggak berhasil, lu yang kasih gue 10 juta. Gimana? Deal?"

"Deal!" Haikal menjabat uluran tangan Bryan.

"Kampret lu ye pada. Apa-apaan lu jadiin gue bahan taruhan." Tirtha menatap kedua temannya sewot.

"Lu nggak mau? Nggak penasaran sama tu cewek?" tanya Haikal.

"Cobain deh lu deketin dia. Tunjukkan pesona lu, Bro! Kali aja lu berhasil naklukin dia," timpal Bryan.

"Dapet apa nih kalo gue berhasil?" tanya Tirtha yang sepertinya mulai tertarik untuk mengikuti tantangan dari kedua sahabatnya.

"Dapet Agni. Hahahaha," kelakar Haikal

"Nggak dapet apa-apa juga lu mah udah punya segalanya kali, Tha," imbuh Bryan.

"Huh, nggak seru!"

"Tapi serius deh, Tha. Kalo lu bisa naklukin itu cewek, berarti lu hebat. Pesona lu udah nggak bisa diragukan lagi. Come on, Bro! Pecahkan rekor, hahaha!" bujuk Bryan.

"Oke, oke. Kita coba. Gue juga mo ngasih pelajaran sama tu cewek tengil. Biar orang yang dia sebut gedebog pisang ini ternyata bisa membuat dia takluk dan bertekuk lutut," ucap Tirtha dengan senyuman penuh makna yang berhasil membuat Haikal dan Bryan mengerutkan keningnya bingung.

***

Melepas helm full face-nya, Agni kembali menghela napas panjang.

"Lagi, lagi dan lagi .... Huft .... Kapan ini berakhir, Tuhan?" keluh Agni menengadahkan kepalanya ke atas kala telinganya kembali mendengar pertengkaran yang terjadi di dalam rumah.

Tubuhnya lelah, memberontak minta diistirahatkan sebab banyaknya aktivitas hari ini. Kuliah serta kerja seharian di perusahaan sang kakek cukup menguras tenaganya.

Namun sial, saat sampai di rumah, tempat yang menurut sebagian orang adalah tempat istirahat paling nyaman, nyatanya malah menjadi tempat yang paling tidak ingin ia kunjungi. Sebab, kenyataan seperti inilah yang ia dapatkan.

Hangatnya rumah tidak pernah ia rasakan. Nyamannya beristirahat hampir tidak pernah ia dapatkan. Entahlah ... sampai detik ini, Agni belum mendapatkan definisi rumah tempat pulang ternyaman menurut versinya.

Kembali mengenakan helm full face miliknya, ia memutar motornya untuk keluar dari halaman rumah menuju ke suatu tempat yang selama ini selalu menjadi tempat pelariannya.

****

David, satu-satunya teman lelaki yang Agni punya terlihat datang dari arah belakang menepuk pundak Agni yang kini tengah menelungkupkan kepalanya di atas meja dengan kedua tangan sebagai tumpuan.

Agni yang ditepuk pundaknya pun mengangkat kepala menoleh ke arah pria yang kini duduk di sampingnya.

Agni kini berada di dalam salah satu bar di kota Bandung. Ia selalu pergi ke tempat itu, menghabiskan malamnya dengan minum, merenung, menertawakan hal-hal menyedihkan di dalam hidup dalam keadaan setengah sadar.

Ada kepuasan tersendiri kala ia terbangun di pagi hari dengan keadaan kepala yang pusing tujuh keliling lalu kemudian ia mual dan muntahkan segala isi perutnya akibat dari banyaknya alkohol yang ia teguk. Baginya, setiap muntahan yang ia keluarkan, mampu membuat beban hidupnya berkurang.

Sedikit konyol, tapi itulah kenyataannya.

"Kenapa lagi sih, Ni?" tanya David menatap iba pada Agni yang terlihat sayu. Pandangan matanya kosong pertanda wanita itu sudah mulai mabuk. Terbukti dengan adanya dua botol alkohol di hadapannya yang isinya sudah habis.

"Capek ...," keluh Agni meremat rambutnya kasar.

"Sama," ucap sang pria. "Gue juga capek lihat lu begini mulu, Ni. Capek lihat lu sedih, capek lihat lu hancur dan terpuruk kayak gini."

"Lu aja yang ngeliat capek 'kan? Apalagi gue yang ngejalanin, hahaha!" ucap Agni tertawa. Namun, lama-kelamaan tawa itu berubah menjadi sebuah tangisan.

"Mau sampai kapan lu begini, Ni?"

"Sampai gue mati, mungkin. Tapi, gue nggak tau kapan matinya. Bantu gue mati dong, Vid!" ucap Agni masih dengan tawanya meski air mata terus saja meluncur bebas membasahi pipi.

Sang pria hanya menghela napas pelan. Ia menundukan wajahnya ke bawah, tak mampu menatap wanita yang amat dicintainya itu terlihat hancur tak berbentuk.

Hasrat ingin memeluk untuk menguatkan. Namun, ia kembali menahannya. Sadar karena Agni sangat tidak suka tubuhnya disentuh sembarangan.

"Hidup terlalu keras untuk gue yang lemah ini. Pengen banget rasanya membunuh diri, Vid! Gue capek, huhuhu," raung Agni kembali menelungkupkan kepalanya.

"Jangan pernah punya pikiran sekonyol itu! Pikirin gimana nasib ibu lu."

"Ibu aja nggak mikirin gimana nasib gue, Vid. Dia egois. Bertahan entah karena apa tanpa pernah lihat gimana tersiksanya mental gue harus tinggal satu atap sama orang tua yang hubungannya sama sekali nggak sehat. Ibu egois ngebiarin gue terjebak dalam lingkaran neraka. Ibu jahat sama gue, Vid! Dia biarin mental gue hancur berantakan sebab terus-terusan mendapat hinaan serta perlakuan buruk bahkan dari ayah gue sendiri. Mereka sama-sama jahat sama gue!" ucap Agni memukul-mukul dadanya sendiri. Berusaha mengeluarkan rasa sesak di dalam dadanya.

Namun, usahanya mengeluarkan rasa sesak ternyata gagal. Maka, ia ambil botol alkohol ketiga. Akan tetapi, saat tangannya hendak menuang isinya dalam gelas, tangan David mencegahnya.

"Stop!" ucapnya merebut botol alkohol dari tangan Agni.

"Balikin minuman gue, David!" ucap Agni berang. "Biarin gue nyalurin segala rasa sesak ini!"

"Cukup, Agni! Jangan terus menerus lu siksa tubuh lu begini!"

"Gue nggak peduli! Gue cuma pengen sesak itu segera hilang saat ini juga! Persetan dengan segala kerusakan. Mati pun gue siap!" ucap Agni kembali merebut minumannya dari tangan David dengan kasar. Kali ini, ia meminumnya langsung dari botol tersebut.

David hanya mampu menghela napasnya berat. Sudah tidak mengerti lagi bagaimana caranya menghentikan Agni.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Empat botol alkohol sudah tandas diminum oleh wanita dengan luka batin yang koyak itu. Sedangkan David, ia masih stay di samping Agni. Menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya kala Agni sedang terpuruk. Mendengarkan segala ocehannya serta mengawasi agar jangan sampai ada pria hidung belang yang bertindak kurang ajar pada wanita di sampingnya yang mulai hilang kesadarannya.

"Sudah ya, sekarang kita pulang!" ajak David menyentuh bahu Agni dengan hati-hati.

Agni yang kesadarannya mulai hilang hanya bergumam lirih.

Setelah membayar minuman yang diminum Agni, David menggendong Agni keluar dari bar menuju sebuah apartemen yang letaknya tak jauh dari bar tersebut. Apartemen yang sengaja ia beli untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal seperti ini yang selalu saja terjadi kala Agni sedang terpuruk.

David merebahkan tubuh Agni di atas sebuah kasur empuk. Ia tatap lamat-lamat wajah jelita di hadapannya yang terlihat rapuh itu.

Senyuman kecil terukir di wajah tampan milik David, hasrat ingin memeluk dan memiliki wanita itu sungguh besar. 

"Agni, Agni ... Kapan sih lu sadar kalau gue sayang banget sama lu, Ni?" ucap David membelai rambut Agni lembut.

"Haruskah gue bersikap egois kali ini, Ni? Haruskah gue melakukan cara kotor agar lu terikat sama gue selamanya?"

——

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status