"Bangun, Vid! Apaan sih lu begini? Nggak suka gue!" omel Agni setelah berusaha menahan dirinya agar tidak terbuai dengan apapun yang dijanjikan oleh seorang lelaki. Agni berusaha membangunkan David dari duduk bersimpuhnya.
"Nggak usah ngejanjiin gue hal apapun, Vid. Dua orang terdekat yang ngebuat gue ada di dunia ini pun nggak bisa ngasih gue kebahagiaan. Apalagi lu yang istilahnya orang luar?" lanjutnya lagi dengan tertawa miris. Ia bukan menertawakan David, melainkan menertawakan dirinya sendiri yang tak bisa merasakan apa itu makna bahagia."Tapi lu bisa percaya gue, Ni." David masih terus berusaha meyakinkan Agni."Nggak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang bisa gue percaya.""Ada. Gue!" ucap David masih kekeh dengan rasa percaya dirinya yang tinggi.Agni makin tertawa mendengarnya."Lu mau janjiin gue kebahagiaan yang kayak gimana, Vid? Bahkan diri gue sendiri pun nggak bisa bikin gue bahagia. Gimana dengan orang lain? Gue aja nggak bisa percaya sama diri gue sendiri. Gimana gue bisa percaya sama orang lain? Lelucon lu nggak lucu!""Udah ah, gausah kayak gini lagi. Kita berdua ini sahabat, nggak ada cinta-cintaan, nggak ada nikah-nikahan. Apa itu menikah? Bullshit! Omong kosong! Menikah cuma satu tempat untuk menciptakan luka baru. Gue nggak suka menikah dan nggak mau menikah!" ujar Agni kemudian berlalu pergi meninggalkan David yang masih diam mematung.Ini bukan kali pertamanya ia ditolak oleh seorang Agni Gantari, satu-satunya wanita yang berani menolaknya. Namun, rasa sakitnya masih saja sama. Meskipun itu tak bisa mengurangi kadar rasa cintanya pada wanita dengan penampilan tomboy tersebut.***Brum, Brum ....Seorang pria bertubuh tinggi besar keluar dari dalam rumah kala mendengar suara deru motor yang memasuki pelataran rumahnya."Bagus! Ke mana saja kau tidak pulang dari kemarin?" oceh pria yang tak lain adalah Bagas pada Agni yang baru saja mematikan kendaraan bermotor dengan tipe ZX-25R berwarna merah pemberian Yudistira, sang kakek.Agni yang tak berniat menjawab pun hanya diam. Ia turun dari atas motor lalu melenggang begitu aja dengan santai melewati Bagas yang menatapnya dengan geram."Heh, anak tuli!" marah Bagas mencengkeram lengan Agni dengan kuat."Lepas!" desis Agni menatap Bagas dengan tatapan tajamnya."Jawab dulu! Dari mana aja kamu?!" Bukannya melepaskan, Bagas malah memperkuat cengkeramannya yang membuat Agni sedikit meringis kesakitan. Tulang tangannya serasa akan remuk jika ia tak berusaha melepaskan tangan Bagas dari lengannya."Lepas, Brengsek!""Jawab dulu, sialan!""Apa pedulimu, hah? Mau aku ke mana itu bukan urusanmu! Urusi saja duniamu. Jangan pernah ikut campur dengan duniaku!" sahut Agni dengan nada yang ditekankan di setiap ucapannya. Ia melepas tangan Bagas dengan paksa meskipun itu juga melukai tangannya sendiri."Sialan! Dasar anak tidak tahu diuntung! Sudah berani melawan kamu sekarang, hah?!" Bagas kembali menghalangi langkah Agni yang hendak melangkah menjauh."Sejak kapan aku takut pada manusia sepertimu?" sahut Agni tak kalah sengit. "Takkan kubiarkan kamu kembali menginjak-injak aku lagi seperti belasan tahun silam! Ingat itu!" ucap Agni mengangkat jari telunjuknya sebagai suatu tanda peringatan.Agni kemudian membawa langkah kakinya untuk masuk ke dalam rumah, menjauh dari sosok Bagas. Namun, tepat di depan pintu, langkahnya terhenti sebab melihat sang ibu yang berdiri di sana."Ibu ...." Agni menatap iba pada sosok perempuan yang telah melahirkannya.Sosok itu sungguh terlihat sangat memprihatinkan. Wajah dan tubuhnya penuh dengan lebam dan bengkak. Terdapat robekan pula di pelipis serta sudut bibirnya.Sungguh, muak sudah tak bisa lagi ia bendung. Kali ini rasa sabarnya sudah habis. Takkan ada lagi toleransi. Maka, Agni membawa tatapan matanya ke arah Bagas. Ia menatap sengit pria yang orang lain sebut sebagai ayahnya. Namun, peran dan kasih sayangnya sebagai seorang ayah tak pernah sekalipun dapat ia rasakan."Apa ini hasil karyamu, Tua Bangka?!" tanya Agni dengan murka yang padahal, jelas ia sudah tahu apa jawabnya."Ya! Tentu saja," sahut Bagas enteng. Bahasa tubuhnya sungguh congkak. Merasa dirinyalah yang paling kuat dan paling berkuasa."Sialan!" desis Agni pelan dengan tangan yang mulai terkepal kuat di sisi kanan dan kiri tubuh. Napasnya memburu, tiga kali lebih cepat dari biasanya.Ia tatap wajah sang ibunda sekali lagi dengan mata yang berkaca-kaca. Dirinya memang membenci sosok sang ibu sebab sikapnya yang terlalu lemah. Namun, hati anak mana yang tega melihat wanita yang melahirkannya babak belur menahan sakit seperti ini.Langkah kakinya ia ayunkan ke depan, ke arah pria tinggi besar yang selalu ia tandai sebagai musuh besarnya. Sorot mata tajam tak pernah ia palingkan, terus saja menatap penuh kebencian pada mata pria di hadapannya, dan seketika ....Bugh!Satu tinjuan mendarat dengan sempurna di pipi Bagas hingga ia tertoleh ke samping sebab kencangnya pukulan itu.Tari yang melihat adegan tersebut sontak saja membekap mulutnya. Ia terkejut kala anak semata wayangnya dengan berani membalaskan perlakuan Bagas yang mendarat di dirinya. Sebab sebelumnya, Agni hanya membalas segala perlakuan Bagas hanya dengan ucapan. Ini merupakan yang pertama bagi Agni berani melawan fisik dengan ayahnya.Tak hanya Tari yang terkejut. Satu sosok laki-laki pengintai di balik dinding tinggi di samping gerbang pun tak kalah terkejutnya melihat adegan tersebut. Dia adalah Tirtha.Pria memutuskan untuk tetap stand by di sekitar rumah Agni. Berharap, Agni segera pulang. Rasa penasaran yang menggebu menahannya untuk tetap bertahan.Benar saja, tak berselang lama, terlihat sebuah motor gede dengan tipe terbaru memasuki rumah yang tadi sempat ia kunjungi.Menyeruput kopi untuk yang terakhir kali, Tirtha kemudian bera
Tari berteriak kala melihat Bagas mengepalkan tangannya dan bersiap memukul Agni. Wanita itu sontak bersiap untuk berlari mendekat ke arah Agni dengan maksud melindungi putrinya agar bogeman tersebut tak sampai mengenai pipi mulus anaknya.Dibanding Tari yang terlihat panik, Agni justru tetap bersikap tenang dengan tawa kecut yang menghiasi bibirnya. Gerakan Bagas sudah terbaca dengan jelas dan diwaspadai oleh Agni sehingga ia tahu harus bertindak apa selanjutnya.Dengan gerakan yang tak kalah cepat, gadis itu meraih tangan yang hampir mengenai wajahnya itu. Dipelintirnya tangan tersebut ke arah kiri dengan amat cepat, membuat sang pemilik tangan mengaduh kesakitan.Tari menghentikan langkahnya. Ia tercengang sembari menutup mulut dengan kedua telapak tangan sebagai suatu reflek tanda keterkejutan kala melihat suatu hal yang terjadi di hadapannya."Aarrggh! Lepas, Brengsek!""Katakan lebih keras!" ucap Agni dengan senyum culasnya.
Sekian detik berlalu, tak ada respon apapun dari Bagas. Hanya dadanya saja yang terlihat kembang kempis dengan raut wajah yang berubah warna menjadi merah menyala pertanda emosi yang semakin memuncak naik."Kenapa diem aja? Ayo, buruan bunuh anak sialan ini! Bunuh aku, Bagas! Pakai apapun yang bisa mempercepat nyawa dalam tubuh ini hilang. Supaya nggak akan ada lagi sosok gadis kecil pembawa petaka dalam kehidupan yang super sempurnamu itu, Bagas Yudistira!" ucap Agni lantang dengan tangan yang memukul-mukul dadanya sendiri.Suasana panas di halaman rumah terasa sampai ke depan gerbang di mana Tirtha berada. Rasa iba mulai menjalar dalam hati pria itu melihat bagaimana pilunya nasib seorang wanita yang baru beberapa hari ditemuinya itu."Lagian, kenapa nggak dari dulu aja sih lu bunuh gue, hah?! Kenapa kalian harus pertahanin manusia pembawa petaka kayak gue ini untuk terus hidup tapi cuma buat disiksa? Kenapa pula gue dilahirin kalau endingnya kayak
"Agni, awas!" Tirtha reflek berteriak kala melihat Bagas yang tengah memegang sebilah pisau tajam dan hendak mengarahkannya ke arah Agni.Kakinya mengayun cepat, berlari sekencang yang ia bisa melewati gerbang yang belum tertutup sempurna setelah dilewati Agni tadi.Namun, nahas! Pisau itu sudah terlanjur menancap sempurna di tubuh seorang perempuan diiringi teriakan kesakitan sebelum Tirtha sampai di halaman rumah itu."Ibu!" Agni memekik kencang dengan mata yang membulat sempurna ketika melihat Tari ditusuk pisau oleh Bagas sebab ingin melindunginya.Tari mematung, tangannya memegangi perut yang kini mulai mengalirkan darah segar berwarna merah sebelum akhirnya jatuh tergeletak ke samping.Agni langsung maju ke depan, menghampiri Tari. Ia angkat kepala wanita yang telah melahirkan dan melindunginya itu ke atas pangkuannya. Air mata terus saja berderai melihat Tari yang meringis kesakitan.Tari mulai menyadari bahaya yang segera
"Minum dulu," ujar Tirtha menyodorkan sebotol air mineral ke arah Agni yang duduk terdiam di depan sebuah ruangan di mana Tari tengah mendapatkan penanganan.Agni menoleh, netranya memandang air mineral yang berada di hadapannya dan Tirtha secara bergantian. "Minumlah! Kondisimu juga butuh dipulihkan. Tenang, ini hanya air mineral yang masih tersegel rapi, belum aku campuri apapun di dalamnya," ucap Tirtha kembali berusaha mendekatkan minuman itu ke hadapan Agni. Agni menerima uluran air mineral tersebut. "Makasih, ya!" ucapnya kemudian menengguk beberapa tegukan air.Tirtha mengangguk dan duduk di sebelah gadis yang terus saja memandangi daun pintu tertutup di hadapannya itu."Beliau pasti baik-baik aja. Dokter sedang berjuang menanganinya, dan kamu ... kamu juga harusnya berjuang dalam mendoakan ibumu dari sini."Agni kembali menoleh ke arah Tirtha, hanya sekejap, sebelum akhirnya kembali memalingkan wajah saat dirasa setitik bening di matanya mulai berkumpul dengan titik-titik
Seorang pria datang setengah berlari ke arah Agni yang duduk membungkuk menelungkupkan kepalanya hingga menyentuh lutut. "Ni ...," panggil pria itu yang kemudian berlutut di hadapan Agni. "Are you oke?" tanyanya membelai lembut rambut di kepala gadis yang mempunyai tanda bintang di lengannya itu.Gadis itu mengangkat kepala saat mendengar suara yang tak asing itu memanggil akhiran dari namanya. Wajah jelita itu terlihat memerah dengan banyak bekas air mata yang menghiasi wajahnya."Vid, ibu, vid ...." Sesenggukan, Agni terlihat susah payah menceritakan segala sesak di relung hatinya."Tua Bangka itu menyakiti Ibu karena kebodohan gue, Vid. Harusnya ... harusnya malam itu gue gak pergi. Harusnya gue melindungi ibu.""Gue marah ... Gue marah saat gue pulang dan ngeliat luka di wajah ibu sangat parah, lebih parah dari sebelumnya. Gue ... Gue pukul lelaki itu, Vid. Gue ngehajar dia. Sampe gatau gimana ceritanya, saat gue lengah ibu
Setelah melalui beberapa penanganan, Tari akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan. Nafas lega berhembus dari diri Agni kala mendengar bahwa luka yang ibunya alami tidak begitu parah. Ia hanya perlu menjalani beberapa pengobatan di bawah pantauan media selama beberapa hari ke depan.Dan di sinilah gadis itu berada, terduduk di samping ranjang sang bunda yang terbaring dengan mata terpejam.Hingga suara ketukan pintu membuat Agni menolehkan kepala. Ia kemudian berjalan menuju pintu dan membukanya. Seketika, netranya terbelalak kala melihat siapa yang datang. Matanya menatap bengis pada salah dari seorang tersebut.—"Dia keterlaluan, Opa! Maaf yang selalu diucapkan hanya berlaku di depan Opa. Selebihnya, dia seolah lupa dengan kata maafnya sendiri," papar Agni berdiri dengan telunjuk yang mengarah tepat ke wajah Bagas yang terlihat memiliki luka lebih parah dari saat terakhir ia melihatnya. Dapat ditebak, jika Yudi
Setelah pertemuannya dengan Yudistira dan Bagas malam itu, Agni langsung memutuskan untuk memindahkan Tari ke rumah sakit lain. Ruang rawat yang sudah diketahui oleh Bagas beresiko besar mengancam keselamatan ibunya. Bagas bisa saja melakukan apapun yang ia mau dan itulah yang Agni khawatirkan."Ibu tunggu di sini dulu, ya. Agni mau ke depan dulu," pamitnya pada sang Bunda yang dijawab anggukan singkat.Gadis itu berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit, menuju bagian resepsionis. Ia berniat meminta bantuan rumah sakit untuk tidak memberikan informasi apapun jika ada seseorang yang bertanya tentang keberadaan ibunya selain dirinya.Agni sebenarnya bisa meminta bantuan Yudistira untuk memberikannya pengawalan. Namun, niatnya itu kembali ia urungkan sebab satu dari alasan lainnya. Bahkan, Yudistira pun tak tahu bahwa ia memindahkan sang bunda ke rumah sakit lain. Sekali lagi, semuanya ia lakukan untuk melindungi dirinya dan bundanya.La