Share

6. Amarah Murka

"Bangun, Vid! Apaan sih lu begini? Nggak suka gue!" omel Agni setelah berusaha menahan dirinya agar tidak terbuai dengan apapun yang dijanjikan oleh seorang lelaki. Agni berusaha membangunkan David dari duduk bersimpuhnya.

"Nggak usah ngejanjiin gue hal apapun, Vid. Dua orang terdekat yang ngebuat gue ada di dunia ini pun nggak bisa ngasih gue kebahagiaan. Apalagi lu yang istilahnya orang luar?" lanjutnya lagi dengan tertawa miris. Ia bukan menertawakan David, melainkan menertawakan dirinya sendiri yang tak bisa merasakan apa itu makna bahagia.

"Tapi lu bisa percaya gue, Ni." David masih terus berusaha meyakinkan Agni.

"Nggak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang bisa gue percaya."

"Ada. Gue!" ucap David masih kekeh dengan rasa percaya dirinya yang tinggi.

Agni makin tertawa mendengarnya.

"Lu mau janjiin gue kebahagiaan yang kayak gimana, Vid? Bahkan diri gue sendiri pun nggak bisa bikin gue bahagia. Gimana dengan orang lain? Gue aja nggak bisa percaya sama diri gue sendiri. Gimana gue bisa percaya sama orang lain? Lelucon lu nggak lucu!"

"Udah ah, gausah kayak gini lagi. Kita berdua ini sahabat, nggak ada cinta-cintaan, nggak ada nikah-nikahan. Apa itu menikah? Bullshit! Omong kosong! Menikah cuma satu tempat untuk menciptakan luka baru. Gue nggak suka menikah dan nggak mau menikah!" ujar Agni kemudian berlalu pergi meninggalkan David yang masih diam mematung.

Ini bukan kali pertamanya ia ditolak oleh seorang Agni Gantari, satu-satunya wanita yang berani menolaknya. Namun, rasa sakitnya masih saja sama. Meskipun itu tak bisa mengurangi kadar rasa cintanya pada wanita dengan penampilan tomboy tersebut.

***

Brum, Brum ....

Seorang pria bertubuh tinggi besar keluar dari dalam rumah kala mendengar suara deru motor yang memasuki pelataran rumahnya.

"Bagus! Ke mana saja kau tidak pulang dari kemarin?" oceh pria yang tak lain adalah Bagas pada Agni yang baru saja mematikan kendaraan bermotor dengan tipe ZX-25R berwarna merah pemberian Yudistira, sang kakek.

Agni yang tak berniat menjawab pun hanya diam. Ia turun dari atas motor lalu melenggang begitu aja dengan santai melewati Bagas yang menatapnya dengan geram.

"Heh, anak tuli!" marah Bagas mencengkeram lengan Agni dengan kuat.

"Lepas!" desis Agni menatap Bagas dengan tatapan tajamnya.

"Jawab dulu! Dari mana aja kamu?!" Bukannya melepaskan, Bagas malah memperkuat cengkeramannya yang membuat Agni sedikit meringis kesakitan. Tulang tangannya serasa akan remuk jika ia tak berusaha melepaskan tangan Bagas dari lengannya.

"Lepas, Brengsek!"

"Jawab dulu, sialan!"

"Apa pedulimu, hah? Mau aku ke mana itu bukan urusanmu! Urusi saja duniamu. Jangan pernah ikut campur dengan duniaku!" sahut Agni dengan nada yang ditekankan di setiap ucapannya. Ia melepas tangan Bagas dengan paksa meskipun itu juga melukai tangannya sendiri.

"Sialan! Dasar anak tidak tahu diuntung! Sudah berani melawan kamu sekarang, hah?!" Bagas kembali menghalangi langkah Agni yang hendak melangkah menjauh.

"Sejak kapan aku takut pada manusia sepertimu?" sahut Agni tak kalah sengit. "Takkan kubiarkan kamu kembali menginjak-injak aku lagi seperti belasan tahun silam! Ingat itu!" ucap Agni mengangkat jari telunjuknya sebagai suatu tanda peringatan.

Agni kemudian membawa langkah kakinya untuk masuk ke dalam rumah, menjauh dari sosok Bagas. Namun, tepat di depan pintu, langkahnya terhenti sebab melihat sang ibu yang berdiri di sana.

"Ibu ...." Agni menatap iba pada sosok perempuan yang telah melahirkannya.

Sosok itu sungguh terlihat sangat memprihatinkan. Wajah dan tubuhnya penuh dengan lebam dan bengkak. Terdapat robekan pula di pelipis serta sudut bibirnya.

Sungguh, muak sudah tak bisa lagi ia bendung. Kali ini rasa sabarnya sudah habis. Takkan ada lagi toleransi. Maka, Agni membawa tatapan matanya ke arah Bagas. Ia menatap sengit pria yang orang lain sebut sebagai ayahnya. Namun, peran dan kasih sayangnya sebagai seorang ayah tak pernah sekalipun dapat ia rasakan.

"Apa ini hasil karyamu, Tua Bangka?!" tanya Agni dengan murka yang padahal, jelas ia sudah tahu apa jawabnya.

"Ya! Tentu saja," sahut Bagas enteng. Bahasa tubuhnya sungguh congkak. Merasa dirinyalah yang paling kuat dan paling berkuasa.

"Sialan!" desis Agni pelan dengan tangan yang mulai terkepal kuat di sisi kanan dan kiri tubuh. Napasnya memburu, tiga kali lebih cepat dari biasanya.

Ia tatap wajah sang ibunda sekali lagi dengan mata yang berkaca-kaca. Dirinya memang membenci sosok sang ibu sebab sikapnya yang terlalu lemah. Namun, hati anak mana yang tega melihat wanita yang melahirkannya babak belur menahan sakit seperti ini.

Langkah kakinya ia ayunkan ke depan, ke arah pria tinggi besar yang selalu ia tandai sebagai musuh besarnya. Sorot mata tajam tak pernah ia palingkan, terus saja menatap penuh kebencian pada mata pria di hadapannya, dan seketika ....

Bugh!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status