Share

7. Amarah Murka 2

Satu tinjuan mendarat dengan sempurna di pipi Bagas hingga ia tertoleh ke samping sebab kencangnya pukulan itu.

Tari yang melihat adegan tersebut sontak saja membekap mulutnya. Ia terkejut kala anak semata wayangnya dengan berani membalaskan perlakuan Bagas yang mendarat di dirinya. Sebab sebelumnya, Agni hanya membalas segala perlakuan Bagas hanya dengan ucapan. Ini merupakan yang pertama bagi Agni berani melawan fisik dengan ayahnya.

Tak hanya Tari yang terkejut. Satu sosok laki-laki pengintai di balik dinding tinggi di samping gerbang pun tak kalah terkejutnya melihat adegan tersebut. Dia adalah Tirtha.

Pria memutuskan untuk tetap stand by di sekitar rumah Agni. Berharap, Agni segera pulang. Rasa penasaran yang menggebu menahannya untuk tetap bertahan.

Benar saja, tak berselang lama, terlihat sebuah motor gede dengan tipe terbaru memasuki rumah yang tadi sempat ia kunjungi.

Menyeruput kopi untuk yang terakhir kali, Tirtha kemudian beranjak dari kedai kopi seberang jalan tak jauh dari rumah Agni.

"Mang, kembaliannya!" teriak sang pemilik kedai sembari mengacungkan uang seratus ribu yang baru saja diberikan oleh Tirtha.

"Ambil saja, Mang!" sahut Tirtha sembaru berlalu pergi.

"Wuih .... Alhamdulillah, rejeki nomplok. Ris-laris manis!" ucapnya mencium uang tersebut kemudian menyabet-nyabetkannya pada meja dagangannya.

Sedikit berlari. Namun, masih dengan penuh kehati-hatian agar jangan sampai pengintaiannya kali ini ketahuan. Akhirnya, Tirtha sampai juga di depan gerbang rumah bercat krem tersebut. Ia bersembunyi di balik dinding samping gerbang. Dari situ, dapat terdengar jelas semua percakapan yang ada. Tirtha dapat merasakan sendiri panasnya percekcokan yang terjadi.

Mata sipitnya kemudian terbelalak kala melihat Agni yang dengan beraninya meninju sosok yang tadi mengusir dirinya.

"Ajigilleeee ...." Tirtha berucap dengan tangan yang mengelus pipinya sendiri. Dapat dibayangkan betapa sakitnya pukulan tersebut, sebab, suaranya pun bisa terdengar sampai di tempatnya berdiri saat ini.

"Berani bener tuh cewek. Harus gue acungi jempol, sih. Sosok kayak gitu emang harus banget di lawan," lanjut Tirtha lagi dengan sorot mata yang sedikit mengintip di sela-sela gerbang, penasaran akan ada adegan apalagi selanjutnya.

"Gimana rasanya? Enak?" tanya Agni pada pria yang masih memegangi pipinya. "Itu juga yang gue sama ibu gue rasain, Bangsat! Rasanya sama! Bahkan mungkin lebih sakit dari apa yang lu rasain sekarang!" amuk Agni dengan tangan yang terus menunjuk tepat di depan muka Bagas.

Tari maju, ia menarik-narik tubuh putrinya agar mundur. Dirinya sungguh takut Bagas kalap dan menghajar Agni habis-habisan seperti saat tadi Bagas menghajarnya.

"Diam, Bu! Kali ini amarahku sudah sampai pada titik puncak. Takkan lagi aku biarkan dia menginjak-injak kita," ucap Agni melepas tangan sang ibu yang terus menariknya agar menjauh.

"Sudah, Ni, sudah!"

"Kita harus melawan, Bu! Sampai kapan kita mau diam terus seperti ini? Kalau Ibu nggak berani memberinya pelajaran, biar Agni yang turun tangan sendiri."

"Ni, Pliss ...." Mohon Tari menangkupkan kedua tangannya.

"Mundur, Bu. Jangan buat Agni juga marah pada Ibu!" Agni berucap dengan penuh penekanan. Berharap, sang ibu mengerti maksud dirinya.

Beruntung, Tari akhirnya mengerti. Ia mundur beberapa langkah ke belakang. Tangannya kemudian merogoh ponsel yang berada di dalam saku celananya, mengabari seseorang, berjaga-jaga jika saja sesuatu yang buruk nantinya terjadi.

"Ribuan kali sudah kuperingatkan padamu, Tuan Bagas Yudistira, jangan pernah sekalipun kau sentuh dan sakiti ibuku. Namun, sepertinya ucapanku tak pernah tercerna dengan bagus di telingamu, ya?! Apa pendengaranmu sudah tak lagi berfungsi sebab tubuhmu yang sudah tua bangka dan bau tanah itu?!" ucap Agni menatap sengit pada pria di hadapannya. Pria yang memiliki sorot mata sama seperti dirinya.

"Haruskah aku mengantarkanmu lebih cepat menuju neraka, agar kau berhenti menyakiti kami?"

Terdengar bunyi gemeretak gigi yang diyakini adalah gigi milik Bagas. Emosi pria itu sudah terpancing rupanya, membuat Agni tersenyum penuh kemenangan. Akan lebih mudah menghancurkan seseorang yang emosinya mudah sekali terpancing.

Dirinya pun sebenarnya sudah emosi sejak melihat sang ibu yang babak belur. Namun, sebisa mungkin ia kendalikan emosi itu agar berkumpul saja pada tenaga yang akan ia hantamkan pada pria di hadapannya.

"Kurang ajar!" teriak Bagas mengarahkan bogemannya ke arah Agni.

"Agni, awas!"

___***___

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status