Roy bisa mendengar suara Sahara bergetar saat menanyakan hal itu padanya. Putri bungsu keluarga Spencer itu memang cantik sekali. Memang cukup disayangkan Roy tak bisa menatap wajah gadis itu berlama-lama. Seandainya bisa, sejak awal dia pasti meniduri Sahara berkali-kali.
Sahara diselamatkan oleh trauma yang dideritanya belasan tahun. Tangan Sahara menggenggam lemah kejantanannya.
“Kamu harus memegangnya sedikit lebih erat. Itu tidak akan melukaimu, Rara ...,” bisik Roy, menarik napas dan menyandarkan kepalanya ke sofa.
“Om, gimana kalau aku bersedia dinikahi, tapi aku belum siap untuk ... melakukannya?” tanya Sahara, menatap Roy yang memejamkan mata. Dia menunduk memandang bagian tubuh Roy yang sudah mengetat di dalam genggamannya.
“Anggap aku membeli keperawananmu dengan cara yang paling terhormat,” ujar Roy. “Bermalam denganku saat kau siap. Aku akan membereskan soal pengobatan Bu Misrawa
Roy menyesap dan melumat puting Sahara dengan rakusnya. Lingkaran dengan titik kecil menggemaskan itu memang menggodanya sejak pertama kali dia melihat Sahara menari erotis di atas panggung. Tangan kiri Roy meraih satu tangan Sahara dan menggenggam jemarinya sejenak. Menautkan jemari mereka, kemudian perlahan mengangkat tangan gadis itu. Lumatan keras Roy memaksa tubuh Sahara menjadi condong ke belakang. Memaksa gadis itu untuk merebahkan tubuhnya ke sofa panjang tempat mereka duduk. “Om, jangan sekarang,” rintih Sahara dengan nada lemah. Roy mengangkat wajahnya dari atas dada gadis itu. “Kamu nikmati saja. Aku tidak akan meniduri kamu sebelum kamu menjadi istriku. Ini … hanya perkenalan,” bisik Roy. “Satukan kedua tanganmu di atas kepala. Aku mau memegangnya.” Suara Roy berupa perintah. Dengan tangan kirinya, Roy menggenggam dan menyatukan dua tangan gadis itu di atas kepalanya. “Cium aku,”
Roy membasuh wajahnya berkali-kali. Sudah sejak tadi ia menahan rasa mual di perutnya. Harusnya tadi dia menelan sebutir saja obat penenang. Setidaknya acara semi bercinta yang sedang dia lakukan tak akan rusak oleh mimpi buruknya. Walau begitu, Roy sedikit berbangga diri. Yang baru saja terjadi merupakan kemajuan besar. Mengingat dia muntah hebat hanya karena berbicara sebentar dengan Sahara di rumah sakit. Usai merapikan pakaiannya Roy keluar toilet dan melihat Sahara sudah kembali mengenakan seragamnya, dan duduk memangku tangan. Wajahnya terlihat lesu. Klimaks sesaat yang lalu jelas membuat gadis itu menjadi sedikit lemas. Jika menuruti cara yang benar, harusnya Sahara berbaring di ranjang dan tidur sampai pagi. Gadis itu menoleh takut-takut ke arahnya. “Sudah dibersihkan?” tanya Roy, memandang ke arah tong sampah yang letaknya sedikit bergeser. Sahara pasti sudah membersihkan cairan yang dikeluarkannya tadi.
“Siapkan pernikahan untuk besok pagi,” ucap Roy sesaat mobil yang dikemudikan Novan melaju. “Anda terlihat lelah,” kata Novan, melirik spion tengah. “Jangan tanya soal apa yang kulakukan di dalam. Harusnya kamu menjawab soal perintahku tadi, Mr. Novan.” Roy merebahkan kepalanya di jok dan memejamkan mata. Perutnya kosong dan tubuhnya sedikit lemas. Dibenaknya sekarang terbayang tatapan Sahara saat dia menindih gadis itu. Matanya persis sama dengan mata kakak laki-lakinya, Thomas Sebastian Spencer. Roy berdecih. Dia mulai berpikir akan menggunakan alkohol alih-alih obat penenang untuk memberi pelajaran pada Sahara di malam pertama mereka. “Siap, Pak. Malam ini saya bakal menyiapkan semuanya. Besok pagi Anda akan menikah dan siang hari Anda akan berstatus seorang suami.” Novan sengaja mengatakan hal itu untuk melihat reaksi atasannya. “Gadis itu mau melanjutkan pendidikan
Malam itu Sahara tak bisa tidur. Usai Roy pulang dari club, Sahara juga meminta izin pada Nancy untuk kembali ke rumah sakit. Tadi dia sempat melihat kondisi Bu Mis. Perawat yang bertugas di ruang ICU mengatakan kondisi wanita itu mulai stabil. Penyakit Bu Mis memang sudah komplikasi. Muncul penyakit baru yang didapatnya setelah berkali-kali cuci darah. Sebelum tidur, Sahara mencuci pakaian kotornya, baru kemudian menghempaskan tubuh di ranjang kamar kos-kosan. Tempat tinggalnya di sebuah jalan persis di sisi kanan gedung rumah sakit. Cukup mahal dan bagus. Tapi, tak berisi banyak barang-barang. Barang miliknya hanya empat koper yang tergeletak di lantai. Televisi pun tak ada, cuma penanak nasi. Penghuni kos-kosan itu rata-rata adalah keluarga pihak pasien yang merasa jauh jika pulang ke rumah. Tubuhnya berbaring dan pikirannya berkelana. Ia tak bisa menghilangkan bayangan sosok Roy yang sedang menindihnya. Rambut Roy yang menutupi sebagian dahinya,
Sahara belum sempat bertanya pada Rini, tapi wanita itu sudah berbalik dan meninggalkannya. Kamar itu memanjang ke sisi kanan. Pintu yang baru saja dimasukinya, berhadapan dengan jendela bervitrase putih, dengan gantungan kayu di dekatnya, tempat empat buah gaun berjajar. Di sebelahnya ada cekungan dengan tirai putih. Sahara menebak kalau itu adalah tempat berganti pakaian. Berjalan sedikit ke kanan, sebuah ranjang besar bertirai putih terikat di kedua sisinya. Kalau tirai itu dibuka pasti bentuknya seperti kelambu. Di sisi kiri pintu ada lemari kayu besar sewarna dengan pintu. Dengan enam buah partisi, pasti cukup untuk memuat pakaian satu keluarga, pikir Sahara. “Kamar ini luas sekali,” gumamnya, melongok ke luar jendela yang di bawahnya ternyata taman dan pepohonan. “Enggak ada tetangga,” sambungnya lagi. Sahara mendekati gantungan kayu. Ada empat gaun berwarna putih. Maksudnya, semua berwarna putih bagi Sahara. Walau ada dua gaun yang warnanya seperti gad
Di luar pintu, Novan menepuk-nepuk dadanya. Biarlah Rini yang berada di dalam menghadapi Roy yang pasti akan membentak-bentak kekasihnya itu. Rini sudah cukup terlatih dan Novan tak perlu mengkhawatirkan hal itu. Lagipula ada Sahara di dalam. Roy mungkin akan sedikit menghaluskan cercaannya. “Gimana? Ada suara marah-marah dari dalam?” Rini muncul dengan wajah sedikit memerah. Novan membelalak. “Kamu bukannya di dalam? Aku—Wah, sinting! Kita berdua bisa mati,” bisik Novan. “Asal bareng kamu, mati bukan masalah.” Rini meringis. “Jadi Pak Roy—” “Udah di dalam dari tadi. Kamu dari mana, sih?” kesal Novan. “Toilet! Tinggalkan aja si Roy. Ayo kita ke taman belakang. Aku mau bunga yang sama untuk pernikahan kita. Walau pernikahan si tua Roy cuma dihadiri lima orang, tapi aku nggak mau asal-asalan. Dia menikahi gadis muda yang masih perawan. Walau aku nggak tau nanti berakhir gimana.” Rini menyeret tangan Novan menuruni tangga. Meninggalkan kamar yang
Saat meminta Sahara menjadi istrinya tadi, Roy merasakan perutnya bergolak. Dia dan Shelly pernah bercanda soal itu. Dia menjalin tanaman menjadi sebentuk cincin. Roy melamar Shelly, lalu gadis itu tersenyum, seketika mengangguk. Melihat Sahara begitu cantik hanya dengan dandanan tipis di kulit wajahnya serta gaun pengantin yang dikenakannya, hati Roy terasa berdenyut. Kakak laki-laki wanita yang dinikahinya telah menyiksa dan memperkosa Shelly berhari-hari, hingga wanita itu memohon untuk mati. Roy tiba di kamarnya dan berlari mendorong pintu kamar mandi, memuntahkan seluruh isi perutnya. Padahal dokter sudah mengatakan padanya untuk memikirkan hal yang indah-indah. Hal indah mana yang harus dipikirkannya kalau ternyata memang tak ada? “Akan memaksakan dirimu? Kamu mau tau rasanya dipaksa?” gumam Roy menatap cermin wastafel, seraya membasuh wajahnya. Dia lalu keluar kamar mandi melepaskan jasnya. Berjalan menuju c
"Kamu jangan terlalu kaku. Aku cuma mau bercakap-cakap. Bisa bantu aku melepaskan ini?” Roy menurunkan tali bra dari bahu kiri sampai ke bawah lengan gadis itu. Wajah Sahara menegang, tapi dia mengangkat lengannya membantu Roy meloloskan satu tali bra di bahu kirinya. “Dari luar tadi aku dengar kalau kamu lebih baik menari telanjang daripada meladeniku. Perkataan kamu itu cukup menyakitkan buat aku.” Roy menyelipkan tangan kirinya masuk ke dalam Bra yang sudah mulai melorot. “Om mabuk,” bisik Sahara, menggeser bokongnya dengan gelisah karena merasakan sesuatu menekannya dari bawah. Aroma alkohol yang sangat dikenalnya tercium dari tubuh Roy. “Aku tersinggung kamu akan memaksakan diri. Sebegitu jelekkah aku buatmu? Kamu tahu Sahara ... seniormu yang paling cantik di club itu sangat iri padamu.” Roy mencubit pelan puting Sahara dengan tangan kirinya. “Om,” rintih Sahara.