Peraturan dasar club penari telanjang di mana-mana nyaris sama. Peraturan untuk para tamu, dilarang menyentuh para penari. Seberapa pun besar keinginan mereka. Sedangkan untuk para penari, mereka boleh mendekati tamu, menyentuh dengan belaian tipis, bergelayut, atau duduk di pangkuan tamu dengan manja.
"Baru kali ini?" tanya Roy, menoleh pada Novan yang terlihat sangat tekun.
Novan membetulkan letak duduknya. "Ehem. Baru kali ini, Pak," sahut Novan.
"Sepertinya, saya harus sering-sering ajak kamu ke tempat begini." Roy kembali menatap panggung.
Novan menoleh atasannya dan mengangguk samar. "Terima kasih, Pak." Apa lagi jawabannya selain terima kasih? Pertanyaan Roy membuat Novan menoleh dan pria itu kehilangan seorang penari yang jadi favoritnya.
Para wanita muda bertubuh sintal dan berwajah jelita itu bukan pelacur. Mereka hanya para penari biasa. Bedanya, mereka semua akan telanjang di puncak musik. Dan tugas mereka hanyalah agar tamu club menghabiskan banyak uang membeli minuman.
Lebih kurang dua puluh wanita telah keluar membentuk dua baris yang menyebar ke seluruh pentas.
Roy mengeraskan rahang. Rasa penasaran yang besar sudah sejak tadi menyergapnya. Menantikan gadis kecil yang berakhir dengan menari telanjang sebagai mata pencaharian. Wanita muda yang dicarinya belum terlihat. Mungkinkah Sahara berdiri di barisan paling belakang? Roy tak sabar. Tapi, menjulurkan kepala bercelingak-celinguk sepertinya tidak akan elegan jika dilihat.
"Saya akan bantu mencarinya," ucap Novan, meninggikan suara untuk mengimbangi musik yang memekakkan telinga.
Roy hanya mengangguk. Dia pesimis Novan bisa lebih mengenali Sahara dari kejauhan.
Musik semakin menghentak dan suara para pria mabuk yang mulai horny terdengar berseru bersahutan. Para penari menyebar ke kanan kiri panggung. Sebagian maju ke depan memenuhi pervert row. Semua gadis penari mulai menarik penutup dada mereka dan melepaskannya.
Walau mencari gadis muda bernama Sahara, Roy tak bisa menampik pemandangan di depannya. Seorang gadis penari dengan rambut hitam tergerai menutupi punggung. Berusia sekitar 25 tahun. Tak terlalu tinggi, namun Roy menyukai pinggangnya yang kecil dan pinggulnya yang berisi.
"Bagaimana dengan yang ini? Sesuai tipemu?" Roy melirik reaksi asistennya.
"Semuanya cantik," sahut Novan mencari selamat. Novan bisa memastikan Roy pasti akan membayar wanita itu, jika dia menyukainya.
Lalu, hentakan musik berganti dan formasi penari berubah. Gadis penari berambut hitam di depannya tidak berpindah. Gadis penari lain muncul dari belakang sambil melepaskan rok sejengkal yang mereka kenakan. Liukan tubuh yang memancing hasrat dengan tubuh hanya tertutup celana dalam, membuat para pria berteriak-teriak. Mereka menginginkan bagian terakhir itu di lepas.
"Semua laki-laki pada akhirnya sama saja," gumam Roy. Dia pun demikian. Tak sabar melihat semua gadis penari itu melepaskan penutup terakhir tubuh mereka.
Para penari kembali berputar mengubah formasi. Dan akhirnya, Roy menemukan yang dicarinya. Sahara Talita. Wanita yang belum menyadari siapa jati dirinya. Hidupnya miskin. Tapi dari kabar yang diperoleh Roy, Sahara adalah gadis ambisius yang angkuh. Hal itu yang menyebabkan Sahara menjadi salah satu gadis penari yang tidak melayani tamu di luar jam kerja. Gadis itu hanya menari di ruang VIP, jika ada yang memesan layanannya. Di luar itu, Sahara akan menolak.
Sahara memiliki tinggi sekitar 165 senti. Gadis itu meliuk menggairahkan. Roy tak bisa mengalihkan pandangannya. Dengan kehadiran Sahara, gadis berambut hitam yang sejak tadi dipandanginya jadi terabaikan. Tak sadar, Roy memiringkan kepalanya sedikit ke kanan. Sahara sedang menarik turun celana dalamnya.
"Tuan Spencer ... gadis kecilmu sudah tumbuh menjadi wanita dewasa," bisik Roy, menggaruk pelan dagu yang sedang ditopangnya.
Sorot mata Roy mencermati bagian tubuh Sahara satu persatu. Sepasang dada menantang berbalut kulit pucat di bawah cahaya lampu minim, membuat Roy mengangkat sebelah alisnya. Puncak dada menantang itu, lalu membuat Roy harus memalingkan pandangannya sejenak.
Dia sudah menduga kalau Sahara akan tumbuh menjadi gadis cantik. Tapi, ia tak menduga akan secantik dan ... semenggairahkan itu.
“Tidak melayani tamu di luar jam kerja? Wanita ini benar-benar tau cara menghargai tubuhnya,” batin Roy.
Roy merasa napasnya tertahan sesaat. Tanpa disadarinya, wanita berambut hitam yang sesaat terabaikan karena kehadiran Sahara, maju mendekatinya.
Wanita berambut hitam duduk di pangkuan Roy. Kedua tangannya melingkari leher Roy dan pangkal pahanya menggesek satu paha Roy yang dijadikannya tempat duduk.
Roy masih menatap Sahara. Wanita itu sedang mengedarkan pandangannya ke arah tamu. Dan tatapannya berhenti pada tatapan Roy. Sahara sedang menyatukan tangannya di atas tubuh. Matanya masih menatap Roy, namun tangannya turun perlahan meremas dadanya sendiri. Roy terkesiap.
Bersamaan dengan itu, Roy merasakan penari yang berada di pangkuannya sedang menjilat cuping telinganya.
“Inke. Namaku Inke. Kita bisa bertemu di luar usai pertunjukan ini. Kalau kau menginginkannya,” bisik perempuan itu.
Roy menunduk, memandang sepasang payudara yang sedang menggesek dadanya. Lalu, pandangan Roy kembali menelusuri tubuh Sahara. Wanita itu masih memandangnya. Roy tak mempedulikan hal itu. Tatapannya turun ke bagian celah di pangkal paha wanita itu. Roy menikmati bagian itu dan melirik wajah Sahara yang melontarkan tatapan kesal.
Sengaja, Roy menyunggingkan senyum mengejek.
“Pak Roy,” sapa seorang wanita.
Roy menoleh pada Novan meminta penjelasan. Pertunjukan baru berakhir, namun Novan belum tersadar dari lamunan.
“Ehem!” Roy berdeham. Seketika Novan tergagap dan ikut berdeham kecil.
“Oh, Miss Nancy. Ini Miss Nancy. Sebagai—ibu di sini.” Novan membuat tanda petik dengan kedua tangannya saat mengatakan ‘ibu’.
Roy mengangguk samar pada wanita di depannya. Dandanan Nancy sangat tebal, namun tak mampu menyembunyikan usianya yang hampir setengah abad. Kecuali, tubuhnya. Tubuh Nancy masih sangat bagus. Hidung mancung dan dagu lancip buatan, serta payudara yang menyembul nyaris keluar dari gaun seksinya, jelas memperlihatkan kalau Nancy tetap ingin dipandang di sana.
“Selain wanita yang saya minta, saya mau wanita yang bernama Inke juga ikut ke ruangan.”
To Be Continued
“Bagaimana?” tanya Nancy, menatap Roy. “Kita langsung ke ruangan VIP?”Roy menoleh ke arah Novan. Asistennya itu pasti mengerti apa yang harus dilakukan.“Saya tunggu di mobil, Pak.” Novan mengangguk kecil dan berlalu dari tempat itu.Nancy mengibaskan tangan, mempersilahkan tamunya agar mengikuti.“Saya kira awalnya Pak Roy cuma ingin melihat Rara—Sahara maksud saya. Rupanya Pak Roy juga jeli kalau Inke juga luar biasa,” ucap Nancy diiringi tawa kecil.Roy tak menanggapi. Dia memasukkan satu tangan ke saku dan satu lainnya kembali menutup hidung dengan sapu tangan. Dia butuh satu gadis seperti Inke sebagai media peraganya. Kepribadian Sahara dari hasil penyelidikannya selama ini, sedikit membuatnya tertantang.Nancy melirik hal yang dilakukan Roy dan seketika menghentikan tawanya. Tamu yang amat men
Sahara masuk ruangan dengan pakaian utuh di tubuhnya. Walau tetap sangat minim, setidaknya wanita muda itu tak lagi telanjang bulat seperti di panggung tadi. Rok pendek berkilap dengan butiran manik yang ukurannya hanya sejengkal menutupi bagian bawah tubuhnya. Sedangkan bagian atas, dadanya juga tertutup semacam bra bercorak senada. Gemerlap dan memiliki asesoris mengkilap di bawah minimnya cahaya ruangan. Dan sepertinya, itu adalah seragam yang diberikan club. Karena Inke masuk dengan pakaian yang nyaris serupa. Hanya berbeda model sedikit. Inke masuk ke ruangan dengan tatapan antusias dan tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Tapi, ketika melihat Roy memandang Sahara terus menerus, Inke mengurangi senyum di wajahnya. “Seperti biasa, Miss?” tanya Sahara pada Nancy. “Tunggu instruksi, Ra.” Nancy merapatkan giginya. Kesal kenapa dari sekian banyak gadis penari, tamu d
Lagu itu baru mengalun semenit. Harusnya mereka masih bisa menari sebentar lagi dengan pakaian lengkap. Tapi Inke membuat pertunjukan itu amburadul. Sahara baru bekerja di sana lebih dari enam bulan. Dan dia tak pernah diundang ke sebuah ruangan VIP bersama rekan seniornya yang satu itu. Bisa dibilang, Inke adalah penari senior yang mahal. Para pria kaya harus merogoh kocek mereka sedikit lebih banyak untuk menikmati tubuh bugil perempuan itu. “Kalau nggak mau nge-dance, tinggalkan aku berdua dengan laki-laki ini.” Bisikan Inke terdengar sangat samar di dekat Sahara. “Aku akan profesional,” sahut Sahara dengan mulut nyaris tak terbuka. Inke beringsut dari tiang dan memandang sengit pada Sahara. Tiga puluh detik kemudian, Sahara telah melepaskan atasan dan membelitkan kakinya di tiang. “Ya, begitu. Kamu harus cerdas,” gumam Roy, lalu menatap tajam pada tubuh Sah
Sahara terlihat gelisah saat Roy memintanya duduk di sebelah laki-laki itu. Dia melihat Roy seperti menginginkan sesuatu darinya. Mengingat apa yang selalu dikatakan oleh pengunjung pria club itu padanya, Sahara menebak bahwa keinginan Roy pasti sama saja. Sahara duduk melengkungkan punggungnya elegan mungkin. Dengan dagu yang sedikit terangkat, ia membalas tatapan Roy. Dia tak ingin kalah oleh laki-laki itu. Roy Anindra Smith? Nama yang aneh, pikirnya. Nama pria asing dengan sentuhan lokal. Sahara tak pernah mendengar desas-desus tentang pria ini sebelumnya. Orang kaya baru? Atau bukan penduduk negara ini? Warna cokelat rambut Roy lebih muda dari rambutnya. Dengan minyak rambut yang berkilap, rambut pria itu ditata rapi ke belakang. Lembaran rambut keperakan terlihat berkilau . Cukup tua. Dengan beberapa guratan di sudut matanya, pria di sebelahnya mirip seorang bintang pesebakbola Inggris yang tenar dan sudah pensiun. “Sudah selesai mengagumi saya?”
Roy ingin menggoda gadis perawan di sebelahnya yang mungkin sering menelanjangi diri, namun tak pernah melihat pria telanjang di depannya. Tangan kiri Roy merentang ke sandaran sofa. Tangan kanannya merenggut rambut Inke dan membawa mulut wanita itu agar masuk dan menelan kejantanannya lebih dalam. Dia mendengar suara Inke yang tercekik dan terbatuk kecil. Tangan Inke bergantian memberi pijatan mengelilingi kejantanannya. Roy menggeram. Layanan ini pasti akan membuatnya lama mencapai puncak. “Kamu, nggak mau bergabung?” tanya Roy, melirik Sahara dengan mata sendunya. Tak mungkin dia salah menafsirkan tatapan Sahara. Gadis penari itu baru saja menelan ludah dan menggigit bibir bawahnya. “S-saya? Apa boleh menunggu di luar?” tanya Sahara. Nada suaranya sudah tak terlalu percaya diri seperti saat menolak lembaran cek. “No ...,” bisik Roy. “Kamu harus melihat saya mencapai kepuasan. Karena itu kepuasan untuk saya.” Perkataan Roy seperti gumaman tak jelas.
Roy melirik cengkeraman tangan Sahara di lengannya. Memandang wajah cantik gadis penari itu berlama-lama, membuat perutnya mual. “Kenapa? Mulai penasaran?” tanya Roy. “Waktu bermain-main saya hari ini, sudah habis. Lain waktu, saya datang lagi.”—Roy mengusap pipi Sahara—“Kamu juga pasti sibuk mengurusi wanita di rumah sakit itu,” sambung Roy. “Om—” “Jangan panggil aku, Om!” teriak Roy, menarik napas dalam-dalam dan menggigit bibir bawahnya. Lalu, matanya beralih pada pintu toilet. Inke keluar dengan raut wajah sangat lelah. Wanita itu baru saja memuaskan dirinya sendiri di dalam sana, pikir Roy. Roy membuka pintu ruang karaoke dan bergegas keluar. Sahara menjajari langkahnya di lorong. “Maaf, saya panggil apa? Tuan Roy? Dari mana Anda tau soal Bu Mis? Kenapa bisa tau? Ada apa?” Sahara mencengkeram lengan Roy. “Kamu keliatannya sudah terbiasa berpe
Roy berdiri di padang rumput yang sangat luas. Dia bisa merasakan tiupan angin sejuk menerpa pipinya. Dari kejauhan, seorang wanita berlari sambil tertawa-tawa. Melambaikan sebuah selendang panjang berwarna putih ke arahnya. “Roy! Ayo, ikut aku. Kamu sudah janji akan selalu ada di dekatku. Ayo, Roy, aku sendirian di sini. Aku kangen kamu,” teriak wanita itu sambil berlari mengitari Roy. “Shel! Shelly! Ayo, pulang denganku. Aku sudah membelikan cincin yang cantik untuk kamu. Kamu bahkan belum melihatnya. Shelly ...! Tunggu!” Roy melihat Shelly terus berlari menjauhinya. Dia ingin mengejar wanita itu. Tapi kakinya terasa kaku, berat, tidak bisa melangkah. Setiap kali memimpikan wanita itu, Shelly, Roy tetap tidak bisa mengejarnya. Mimpi yang sama selalu diakhiri oleh hal yang sama. Roy membuka matanya dengan dahi berkeringat. Dia meraba-raba nakas mencari lampu untuk menerangkan kamarnya. Suhu
“Sejak kapan perempuan sekarang harus diberi bunga seperti ini?” Roy mengangkat sebuket besar bunga baby breath ke arah Novan. “Dan … aku minta cincin! Bukan cokelat berbentuk hati.” Roy melihat jijik ke arah paper bag yang baru diletakkan Novan di atas meja kecil bagian tengah mobil. “Pak, Anda minta saran terbaik. Sahara gadis 19 tahun yang keras kepala. Anda nggak bisa melemparkan cincin dan meminta gadis itu memakainya sendiri. Walau dia setengah Brasil, dia lahir dan tumbuh besar di Indonesia, Pak. Anda terlalu lama tinggal di luar negeri—" “Sudah! Diam. Kalau dia mencampakkan bunga dan cokelat ini. Semuanya akan kupungut dan kujejalkan ke mulutmu,” ancam Roy. Novan diam tak menjawab. Perkataan Roy bukan sekedar ancaman. Tapi, dia sudah cukup sebal dengan kekeraskepalaan atasannya yang kadang sangat sulit ditolerir. Hari pertama bertemu dengan Sahara, dia telah mengingatkan untuk berlaku lebi