Semua makanan yang terlihat menggugah selera, luput dari perhatian Sahara. Clara menyodorkan dua jenis menu yang menurutnya pasti disukai Sahara.
“Aku udah kenyang,” ucap Sahara.
“Anda terlihat lelah, Nyonya. Harusnya makan Anda lebih banyak dari itu,” cetus Clara, melirik piring Sahara yang sebagian besarnya masih bersih. Cuma tersisa sepotong bistik daging di atas sendoknya.
“Mmmm—Bibi ....” Sahara memandang Clara ragu-ragu. Dia tak tahu harus memanggil Clara apa. Wanita itu sudah tua dan dari wajahnya jelas bahwa dia bukan penduduk negara Indonesia.
“Panggil aku Clara. Jangan panggil aku bibi kecuali aku menikah dengan pamanmu,” ujar Clara tertawa.
“Oke. Clara. Jam berapa biasanya Pak Roy pulang?” tanya Sahara meletakkan dua sikunya di atas meja.
“Harusnya Anda bertanya pada Novan. Apa perlu aku memanggilnya?” Clara yang tadinya duduk di kursi
Roy nyaris tertawa melihat perubahan di wajah Sahara. Dia menyadari kalau gadis itu pasti masih terperangah menatapnya. Roy tak mau menoleh. Dia masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Usianya sudah empat puluh tahun. Dan dia tak sempat bermain-main dengan tema jatuh cinta pada pandangan pertama yang diusulkan Novan. Dia membuka dua kancing kemejanya dan pergi menuju bar di sudut kamar. Kembali menuangkan setengah gelas whisky untuk mengantarkannya tidur malam itu. Roy duduk di sebuah sofa yang mengarah ke halaman dengan gelas whisky di tangannya. Pikirannya kembali ke cerita saat semuanya dimulai. Usianya baru 26 tahun saat dia menemukan foto ayahnya bersama seorang pria. “Itu teman dekat papamu. Mereka sama-sama imigran dari Brasil. Temannya memiliki modal besar membangun apartemen mewah. Papamu menjadi kontraktornya. Mereka sangat dekat.” Saat itu ibunya ikut memandang foto itu. “Sekarang, ke mana teman dekat Papa ini?” tanya Roy. Pertany
“Om,” panggil Sahara lagi. Dia melihat Roy sama sekali tak menolehnya. Pria itu malah terlihat berlama-lama membasuh kepalanya di bawah pancuran. Pancuran berada di sisi kanan dan dia hanya melihat sisi tubuh Roy dari samping. Dalam hati dia bersikukuh untuk tak melihat ke bagian lagian. “Om, aku nanya. Om tadi ngapain sama Inke?!” teriak Sahara. Roy mendengar teriakan gadis itu dan menolehkan kepala. Tangannya mengusap uap dari air hangat yang mengembun di kaca. Tangannya terus mengusap sampai sisi kaca itu kembali transparan. Lalu dia menumpukan kedua tangannya di dinding kaca dan menatap Sahara. Gadis itu tengah melontarkan tatapan sengit padanya. “Apa sangat penting mengetahui apa yang kulakukan bersama seniormu di club itu?” tanya Roy, menaikkan alisnya memandang Sahara yang mulai salah tingkah. Sahara mulai salah tingkah tak tahu harus menatap ke bagian mana. Menatap wajah Roy sama saja
“Seorang wanita? Baru bisa menyetir?” gumam Roy, membuka pintu mobil dan keluar. “Ya, ampun.” Wanita itu menunduk memandang bagian depan mobilnya. “Maaf—maaf, aku nggak sengaja.” Wanita itu menutup mulutnya, menatap Roy yang baru tiba di dekatnya. “Anda mau ke mana?” tanya Roy dengan tatapan menyelidik. Jalanan itu buntu. Berkelok-kelok dan akan berakhir di depan gerbang rumahnya. Kanan-kiri jalanan adalah kebun pohon jati yang merupakan miliknya. Enam tahun yang lalu dia membeli perkebunan pohon jati yang bagian paling ujungnya dia ubah menjadi tempat tinggal. “Ma—af,” ucap wanita itu saat membuka mulutnya. Roy masih belum mengerti saat wanita itu berlari kembali masuk ke dalam mobilnya. Sejurus kemudian, dia baru memahami keadaan saat tiga orang pria keluar dari mobil yang menabraknya. “Pak Roy, makasih karena udah bayar tagihan saya di club penari telanjang. Bagaimana? Menyukai salah satu pelacur di sana? Yang mana favorit Anda?” Seorang pria yang beberapa waktu lalu menunggak t
Sudah lima hari Sahara seperti bermain kucing-kucingan dengan Roy. Memang tak mengherankan kalau dia tak bisa dengan mudah menemukan Roy di bangunan sebesar itu. Sahara sudah cukup kesal. Setiap pagi rasa-rasanya dia sudah bangun lebih pagi. Tapi tetap saja pria itu sepertinya pintar sekali menghindar. “Di mana Pak Roy?” tanya Sahara pagi itu pada Clara. Dia menuju dapur tempat di mana Clara sedang menginstruksikan sesuatu kepada dua orang asistennya di dapur. Sepasang pria wanita berusia di awal tiga puluhan. Clara pernah mengatakan bahwa asistennya adalah sepasang suami istri. “Baru saja pergi,” jawab Clara, memandang nyonya rumah yang pukul enam pagi sudah mengenakan dress semata kaki, dengan model karet yang berkedut di bagian perutnya. Model itu membuat payudara Sahara tampak semakin besar. Roy benar-benar pintar memilih istri. Muda dan cantik. Clara tersenyum karena pikirannya. “Dia nggak ada ngomong sesuatu
Sama seperti dugaan Roy sebelumnya. Saat tiba di depan pagar, dia tak melihat siluet seorang gadis berada di balik tirai dan memandang keluar. Dia meletakkan mobilnya di depan teras, dan mencampakkan kunci mobilnya pada Pak Wandi. Langkahnya lebar-lebar, bergegas menuju kamarnya di sayap kiri lantai dua. Di jalan tadi, dia sudah menelepon Novan untuk menyiapkan kotak P3K untuk mengobati lengannya. Lukanya tak terlalu dalam tapi panjang dan mulai berdenyut. Darahnya mulai mengering karena benang-benang fibrin sudah mulai menutup lukanya. Roy sudah duduk di sofanya saat Novan tiba. “Siapa pelakunya?” tanya Novan saat membuka kotak P3K yang diletakkannya di atas meja kecil. “Donald. Yang namanya pernah kusebutkan kemarin,” sahut Roy. “Sisa sampah dari masa lalu,” sambung Roy lagi. “Saya akan membersihkan dan mengoleskan salep luka. Ini tidak perlu dijahit. Untungnya ini hanya goresan yang tidak dalam.” Novan dengan cekatan membasahi kasa dan mulai menyeka luka Roy. “Fortunately …,” g
Sesaat yang terasa lama, Roy tidak tahu harus berbuat apa. Berapa tahun? Lima tahun? Sepuluh tahun? Ternyata sudah tiga belas tahun dia tidak pernah menghibur seorang wanita yang menangis. Dia berpacaran dengan Shelly selama tiga tahun dan dia tak pernah membuat wanita itu mengeluarkan air mata untuknya. Bahkan sampai ketika wanita itu meregang nyawa di pelukannya. Lantas apa yang diharapkan Sahara darinya? Sebuah penghiburan? Roy menyeret langkahnya mendekati Sahara. “Aku—nggak maksud seperti itu. Aku cuma sedang sibuk.” Roy menepuk punggung Sahara. Tangis gadis itu bukannya mereda, tapi malah semakin keras. Bahunya semakin berguncang. Roy membawa gadis itu ke tepi ranjang dan mendudukkannya. “Maaf,” ucap Roy dengan suara nyaris berbisik. Dia duduk di tepi ranjang sambil memandangi Sahara yang menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ternyata, ucapan Roy barusan membuat Sahara seketika menubr
Lebih dari setengah gelas whisky yang dihabiskan Roy sebelum mandi tadi, ternyata mulai bereaksi. Kepalanya terasa ringan dan lampu kamar tampak makin redup dalam pandangannya. Wajah Sahara terasa sangat dekat. Ternyata alis yang berbentuk sempurna itu benar-benar asli, pikirnya. Awalnya dia mengira kalau Sahara membubuhkan sesuatu agar bentuk alisnya terlihat sempurna. Roy tertawa kecil. “Ternyata Om mabuk,” kata Sahara. “Om selalu mabuk kalau di dekatku,” sambung gadis itu. Roy menghela napas pelan. Haruskah dia mengatakan kalau whisky malah membuatnya semakin waras untuk bisa berada di dekat gadis itu? “Tidurlah. Aku nggak mau kamu menangis lagi kalau kupaksa melakukan sesuatu yang kamu nggak suka,” ucap Roy, matanya masih menelusuri bintik-bintik halus di hidung Sahara. Andai wajah itu tidak terlalu mirip dengan ketampanan yang dimiliki Thomas. Roy tak menjamin bahw
“Aku akan melakukannya. Jangan menangis,” kata Roy dengan sorot mata menuntut. Sahara tak menjawab, tapi tangannya masih mencengkeram bagian depan piyama Roy. Roy kembali mencium Sahara. Gadis itu langsung memejamkan mata. Pelajaran berciuman yang baru saja dia rasakan, sepertinya berguna. Kali ini Roy tidak berciuman sendirian. Sahara meladeninya. Gadis itu menikmati lidah Roy yang menembus masuk ke mulutnya. Ciuman itu terlepas dan Sahara mendongak, memberikan ruang pada Roy yang menurunkan ciuman ke lehernya. Menjilat dan menggigit pelan tiap sudut leher dan belakang telinganya. Sahara mulai terlena. Sampai bagian itu dia menikmatinya. Sahara melentingkan tubuh, membusungkan dadanya. Lenguhan halus keluar dari mulutnya. Tanpa dia sadari, Roy sudah membuka bagian luar piyamanya. Menurunkan tali tipis yang tersangkut di bahunya. Sahara memekik saat Roy mengigit pelan putingnya dari luar bra