Share

Gadis Penyakitan Perebut Suamiku
Gadis Penyakitan Perebut Suamiku
Penulis: Noona_im

bab 1

Penulis: Noona_im
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-18 09:50:54

Sienna duduk di kursi kecil berwarna merah di sudut kafe, menggoyang-goyangkan kakinya yang mungil sambil memandangi pintu masuk. Balon warna-warni tergantung di dinding, dan kue ulang tahun besar berbentuk unicorn berada di atas meja. Anak-anak lain sudah mulai menikmati permainan dan kudapan, tetapi mata Sienna tetap terpaku pada pintu.

Gadis kecil itu turun dari kursi, melangkah menghampiri bundanya yang tengah berdiri di luar area kafe. "Ayah mana Bunda, kok belum datang?"

Liana menunduk, berjongkok agar sejajar dengan putrinya. Ia memasang senyum kecil meski hatinya diliputi resah karena sang suami belum juga tiba. "Sebentar ya, Bunda coba telepon Ayah lagi," ucapnya sambil mengelus lembut rambut Sienna.

Sienna mengangguk, memandang ibunya dengan harapan besar. Sementara itu, Liana mengangkat ponselnya lagi, mencoba menghubungi sang suami--Juna, untuk kesekian kalinya. Namun, seperti sebelumnya, panggilan itu tidak juga dijawab.

"Kenapa sih, Yah? Kok gak diangkat-angkat?" gumamnya lirih dengan nada kesal bercampur cemas.

Perasaan gelisah kini mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Sudah lebih dari setengah jam sejak terakhir ia menghubungi Juna, tetapi kenapa suaminya itu tidak kunjung datang juga? Malah sekarang panggilannya tidak diangkat.

Sienna, yang berdiri di sampingnya, menarik-narik ujung baju Liana. "Bunda, gimana? Ayah sudah sampai mana?" tanyanya dengan suara kecil namun penuh harap.

Liana menelan ludah dan mencoba tetap tenang. "Sebentar ya, Sayang. Telepon Bunda belum diangkat Ayah." Ia mencoba menelepon lagi, tetapi hasilnya tetap sama. Tidak ada jawaban.

Tidak lama kemudian, Raina, adik kandung Liana, melangkah mendekati mereka. "Kak, apa gak sebaiknya kita mulai saja acaranya? Anak-anak di dalam sudah mulai rewel," katanya dengan nada hati-hati.

Liana mengalihkan pandangannya ke dalam kafe. Benar saja, keadaan di sana mulai tidak terkendali. Sebagian besar anak-anak yang datang sudah bosan menunggu, beberapa bahkan mulai menangis.

"Iya, Dek, lebih baik kita mulai sekarang saja. Kasihan anak-anak sudah menunggu dari tadi," ujar Soraya, kakak tertua mereka, yang menyusul menghampiri.

Liana menghela napas panjang, berusaha meredam kecewanya. Dengan berat hati, ia mengangguk. Tidak mungkin terus mengulur waktu sementara tamu-tamu kecil itu sudah mulai tidak sabar.

Liana kembali berjongkok di depan Sienna. "Sayang, acaranya kita mulai dulu ya?" pintanya lembut.

"Tapi Ayah 'kan belum datang, Bun," jawab Sienna dengan suara pelan.

Liana menghela napas dan mencoba tersenyum. "Ayah sebentar lagi pasti datang, Sayang. Jadi, kita mulai dulu ya? Nanti kalau Ayah sampai, kita tiup lilin lagi, gimana?"

"Tapi, Bunda... Sienna mau ada Ayah," balasnya, kali ini matanya mulai berkaca-kaca.

Liana terdiam sesaat, memikirkan cara lain. Ia menunjuk ke arah teman-teman Sienna yang sudah berkumpul di tengah ruangan. "Sayang, coba lihat teman-teman Sienna. Mereka sudah menunggu lama, sampai ada yang nangis. Kasihan, 'kan?"

Sienna menoleh, melihat teman-temannya yang mulai tampak bosan. Ia tidak ingin memulai ulang tahunnya tanpa Ayah, tapi ia juga merasa kasihan melihat mereka yang sudah lelah menunggu. Dengan hati berat, ia mengangguk kecil.

Liana mengusap puncak kepala putrinya, mencoba memberikan semangat. "Anak Bunda baik sekali. Yuk, kita mulai acaranya," ucapnya lembut.

Sienna melangkah menuju kerumunan anak-anak dengan kepala menunduk. Liana menatap putrinya dengan perasaan campur aduk. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya, 'Kamu di mana sih, Yah? Lihat anak kita, dia begitu kecewa karena kamu gak datang.'

***

Pesta ulang tahun Sienna akhirnya selesai. Anak-anak yang hadir telah pulang dengan membawa hadiah kecil dan senyum ceria. Namun, di sudut kafe yang kini sepi, Liana duduk dengan Sienna tertidur di pangkuannya. Gadis kecil itu kelelahan setelah sepanjang hari menunggu ayahnya yang tak kunjung datang.

Ponsel Liana berdering. Nama Juna muncul di layar. Akhirnya lelaki itu menghubunginya juga. Ada rasa lega, namun Liana tidak bisa mengenyahkan begitu saja rasa kecewanya. Lalu dengan perasaan campur aduk, ia menjawab panggilan itu.

"Halo." Suaranya datar, tanpa emosi.

"Bunda, Ayah minta maaf," suara Juna terdengar lelah di ujung telepon. "Ayah gak bisa datang. Ada pasien emergency. Kondisinya kritis, dan harus segera Ayah tangani."

Liana memejamkan mata, berusaha menahan luapan emosi yang bercampur antara amarah dan kekecewaan. Sebagai seorang dokter, pekerjaan Juna sering kali membuatnya absen dalam acara keluarga atau terpaksa pergi di tengah acara karena panggilan darurat. Selama ini, Liana selalu berusaha memahami, tetapi kali ini, rasanya jauh lebih sulit.

"Yah, kamu tahu hari ini penting. Hari ulang tahun Sienna. Kamu sendiri yang bilang akan datang, bahkan berjanji akan pulang lebih awal."

"Ayah tahu, Bunda. Tapi situasinya darurat. Ayah benar-benar gak bisa tinggalin pasiennya," balas Juna, terdengar bersalah.

Liana menggigit bibirnya, menahan rasa kecewa yang semakin mendalam. "Aku selalu mengerti, Yah. Selama ini, aku selalu memaklumi saat kamu sibuk atau harus tinggal lebih lama di rumah sakit. Tapi ini berbeda. Ini ulang tahun putri kita, dan dia sangat menantikan kamu."

"Ayah benar-benar minta maaf, Bun. Ayah akan bicara dengan Sienna nanti. Ayah janji akan menjelaskan semuanya."

Liana tertawa kecil, tapi ada kepahitan dalam suara itu. "Nanti? Kamu pikir itu cukup? Yah, dia hanya seorang anak kecil. Dia gak butuh penjelasan panjang. Yang dia butuhkan cuman kamu ada di sini, bersamanya."

"Ayah akan menebusnya, Bun. Tapi Ayah gak bisa pulang sekarang. Bahkan kayanya untuk beberapa hari ke depan Ayah masih sibuk banget di rumah sakit. Ada banyak pasien yang membutuhkan."

Kata-kata itu seperti petir di telinga Liana. Ia mencoba menahan emosinya, tapi amarah mulai mengambil alih. "Apa kamu bilang? Kamu bahkan gak bisa pulang? Sama sekali gak ada waktu buat jelasin langsung ke anak kita? Yah, apa kamu sadar seberapa kecewanya Senna hari ini?!"

"Ayah tahu, Bun. Ayah tahu Ayah salah. Tapi Ayah gak bisa ninggalin tugas gitu aja. Ayah mohon pengertian Bunda kali ini."

Liana menggeleng meski Juna tidak bisa melihatnya. "Pengertian? Selama ini aku selalu mengertiin kamu, Yah. Selalu. Tapi kali ini aku benar-benar kecewa. Bukan hanya karena kamu gak datang, tapi karena kamu bahkan gak mau meluangkan waktu untuk meminta maaf secara langsung sama Senna. Dia anak kita, Yah! Apa kamu gak lihat betapa pentingnya hari ini untuk Sienna?"

Juna terdiam di ujung telepon. Ia tahu Liana marah, dan kali ini ia tidak bisa membantah. "Ayah akan bicara sama Senna, Bunda. Tapi gak bisa sekarang. Ayah benar-benar gak bisa pulang."

Liana merasa dadanya sesak. Ia menatap wajah Sienna yang tertidur dengan gaun ulang tahunnya, wajah kecil itu terlihat damai, tetapi Liana tahu betapa kecewa putrinya tadi.

"Yah," ucapnya pelan, tapi dengan nada tajam, "aku gak tahu harus bilang apa lagi. Tapi kalau kamu terus seperti ini, jangan salahkan aku kalau Sienna perlahan mulai merasa kamu gak ada buat dia."

Sebelum Juna sempat menjawab, Liana memutus panggilan itu. Ia tidak ingin mendengar alasan lain lagi.

Dengan tangan gemetar, ia mengusap lembut rambut Sienna. "Maaf ya, Sayang. Bunda tahu kamu mau Ayah ada di sini. Tapi sepertinya Ayah masih sibuk dengan pekerjaannya."

Malam itu, di dalam kesunyian, Liana merasa kelelahan secara emosional. Ia tahu Juna pria yang baik dan bertanggung jawab, tetapi kali ini ia telah mengecewakan keluarganya. Untuk pertama kalinya,

Liana merasa kemarahan dan kekecewaannya sulit untuk diredam.

Bersambung ...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gadis Penyakitan Perebut Suamiku    Bab 19

    Pukul sebelas malam, Juna akhirnya tiba di rumah setelah menjalani hari yang begitu melelahkan. Biasanya, kehadiran Liana dan Sienna di rumah menjadi penyemangatnya. Suara tawa Sienna, perhatian lembut Liana, dan makanan hangat di meja makan—semua itu cukup untuk membuat lelahnya terobati. Namun sekarang berbeda. Beberapa hari ini rumahnya terasa sunyi, seolah kehilangan jiwa. Juna meletakkan tas kerjanya di sofa ruang tamu sambil menghela napas berat. Saat ia hendak melangkah menuju kamarnya, sebuah suara lembut menyapanya. “Den, baru pulang?” Juna sedikit terkejut. Ia hampir lupa bahwa ada orang lain di rumah ini. Lastri, pembantu yang ditugaskan oleh orang tua Aluna, muncul dari kamar istri mudanya sambil membawa cangkir kosong. “Oh, Bik,” ucap Juna singkat, sedikit kaku. Dalam kepenatan dan kekacauan pikirannya, ia hampir lupa bahwa Aluna dan pembantunya masih ada di sini. Ia memaksakan senyum ke

  • Gadis Penyakitan Perebut Suamiku    Bab 18

    Setelah menimbang berulang kali, Juna akhirnya memutuskan untuk menemui Aluna di kamarnya. Rasa bersalah terus menghantui pikirannya, terutama setelah menyaksikan bagaimana ibunya dengan dingin melemparkan kata-kata tajam kepada gadis itu. Meski pernikahan mereka terjadi karena ancaman, Aluna kini adalah istrinya. Dan Juna tahu, suka atau tidak, gadis itu adalah tanggung jawabnya. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kamar Aluna. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan rasa canggung yang menyeruak di dadanya. Pernikahan itu baginya lebih seperti beban daripada kebahagiaan. Tapi ia juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Aluna tidak sepenuhnya bersalah. Ketukan pelan terdengar di pintu. Tak ada jawaban. Juna mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Aluna, ini saya." Sunyi. Menyadari tidak ada respons, Juna membuka pintu perlahan. Kamar itu gelap, hanya diterangi c

  • Gadis Penyakitan Perebut Suamiku    Bab 17

    "Kamu ini mikir dulu tidak sih sebelum bertindak?" Ratih kembali melanjutkan omelannya ketika ia mendudukkan diri di sofa ruang tamu. Sungguh ia merasa kesal dan gemas sekali pada Juna. Kalau saja tidak ingat jika Juna merupakan anak semata wayangnya, sudah dipastikan wajah tampan Juna akan habis dicakar atau bahkan dikuliti olehnya. Lagipula Ratih heran, tidak ada angin tidak ada hujan, bisa-bisanya putranya itu menikah lagi. Apa kurangnya Liana coba? Dasar membuat malu saja! "Heh Juna! Apa kamu tidak ingat siapa yang sudah berjasa sampai bisa membuatmu seperti sekarang ini?" Emosinya masih menggebu-gebu, ia menatap nyalang pada sang putra yang masih diam membisu. "Dan kamu apa tidak ingat betapa susahnya kamu dulu berjuang untuk mendapatkan Liana?" Juna menunduk, ingatannya melayang pada saat dulu ia mendekati Liana. Liana merupakan wanita yang sangat can

  • Gadis Penyakitan Perebut Suamiku    16

    Juna kembali berjalan mondar-mandir memikirkan caranya. Tapi konsentrasinya terganggu oleh suara gedoran pintu yang sangat keras. "Siapa sih gak sopan banget!" Ia bersungut kesal, kemudian melangkah menuju pintu utama. "Bisa gak sih kalau bertamu ke rumah orang itu yang so--ah aw aw aw." Juna mengaduh kesakitan ketika sebuah tangan menarik daun telinganya tanpa perasaan--tepat saat ia membuka pintu. "Dasar anak kurang ajar! Gak sopan! bikin malu keluarga!" ujar si pelaku dengan geram, yang ternyata adalah Ratih, Ibu kandung Juna. Dengan gemas wanita itu masih menjewer telinga putra semata wayangnya. "Aw sakit Bu, lepasin." Pinta Juna memelas. Telinganya sungguh terasa panas. "Sudah Bu, lepasin. Juna sudah dewasa, jangan kaya gini. Malu sama orang yang lihat." Aryo--ayah Juna--turut meminta agar istrinya itu melepaskan tangannya dari sang anak. Aryo merasa kasihan pada putranya.

  • Gadis Penyakitan Perebut Suamiku    Bab 15

    Nyaris satu minggu Juna tidak bertemu dengan Liana dan Sienna. Laki-laki itu benar-benar menuruti saran dari Seno untuk memberikan waktu agar Liana bisa merenung dan menenangkan diri. Meski begitu berat menahan rindu karena tidak bertemu dengan istri dan anak tercintanya, tapi Juna mencoba untuk bersabar. Semua itu ia lakukan agar rumah tangganya kembali utuh dan harmonis. Biarlah ia sedikit mengalah--menekan egonya, yang terpenting keluarga kecilnya bisa kembali seperti sedia kala. Namun begitu, setiap hari Juna tetap mengirimi Liana pesan-pesan singkat seperti; [Bunda, gimana kabar kamu sama Senna di sana? Kalau kabar Ayah di sini kurang baik Bun ☹️ Ayah kangen banget sama Bunda dan Senna. Kalian cepat pulang ya] Atau seperti; [Bunda maafin Ayah ya.. Ayah cinta Bunda sama Senna 😘] Semua pesan-pesan yang Juna

  • Gadis Penyakitan Perebut Suamiku    Bab 14

    "Saya punya penawaran yang menarik untukmu," ujar Tama dengan suara berat dan penuh tekanan. Juna, yang sedari tadi hanya terdiam dengan tatapan kosong, sontak teralihkan perhatiannya. Matanya menatap laki-laki paruh baya di depannya dengan kebingungan. "P-penawaran apa maksud Anda, Tuan?" Tama menyeringai tipis, senyumnya terkesan meremehkan. "Saya tidak akan memperpanjang kasus kecelakaan ini, dengan satu syarat. Kau harus bertanggung jawab sepenuhnya." Juna mengangguk cepat, mengira ia hanya perlu menanggung biaya medis. "Tentu. Saya akan menanggung semua biaya rumah sakit. Saya benar-benar menyesal atas kejadian ini." Namun respon Tama membuat detak jantung Juna berdebar kencang. Senyum meremehkan itu semakin lebar. "Apa kau pikir saya tidak mampu membayar biaya rumah sakit ini? Kau tahu siapa saya, bukan?" Juna terdiam. Tentu ia tahu. Tama Atmaja, pengusaha kaya raya dengan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status