"Cepat keluar! Aku sudah menunggumu begitu lama!" bentak seorang pria dari sambungan ponsel dan sambungan ponsel itu langsung terputus.
Rose dibuat bengong dengan panggilan telepon itu. Rose menatap layar ponselnya yang bertuliskan panggilan telepon dari Ayah selesai. Rose berpikir keras dengan kalimat yang baru beberapa detik yang lalu dia dengar. "Kenapa Ayah menungguku di luar sana? Tidak biasanya Ayah menjemputku ditempat kerja." Rose memasukkan ponselnya ke dalam totebag-nya, lalu dia bergegas keluar dari ruang ganti.Namun, mendadak Rose berhenti. Dia tidak begitu yakin untuk menemui sang ayah. Mengingat perlakuan ayahnya pada sang ibu yang tidak pernah mengganggapnya istri. Justru lebih tepatnya ayahnya itu menganggap ibunya sebagai pembantu. Kelakuan ayah itu sangat keterlaluan pada ibunya Rose. Sampai pada akhirnya karena tidak tahan sang ibu mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat tragis. Sang ibu pernah berkata pada Rose bahwa Rose adalah dirinya yang terlahir kembali. Rose hanya bisa tersenyum kecil pada saat itu.Saat ini kehidupan Rose benar-benar berada di garis kesedihan. Kelakuan sang ayah mulai di luar batas. Dia mulai merajalela dan menjadi gila setelah sang istri tiada. Setiap malam dia selalu membawa pelacur pulang ke rumah. Dia sama sekali tidak memikirkan perasaan anak-anaknya.Tuan Roland adalah seorang CEO di sebuah perusahaan terbaik yang ada di kota Lizzie dan sekaligus pemilik klub malam yang paling ramai dan laris. Dia tidak pernah menyayangi kedua anaknya. Yang Roland tahu hanya bagaimana cara menghidupi kedua anaknya. Dia sama sekali tidak pernah memberi kasih sayang pada Rose mau pun Ryan. Karena menurut Roland, anak adalah penghalang hidup baginya.Dan pada saat ini Rose bekerja di sebuah kafe kopi milik temannya. Ah, ralat. Lebih tepatnya milih ayah temannya. Rose mengetahui jika dirinya memang terlahir di keluarga yang kaya raya, tapi dia ingin mandiri mencari uang dari hasil jerih payahnya. Rose membagi dua upah hasil kerjanya untuk sang adik. Dia tahu bahwa Ryan lebih membutuhkan uang itu dibanding dirinya sendiri.Begitulah kesedihan hidup Rose.Rose tersentak kaget manakala Jesslyn rekan kerjanya menepuk bahu Rose. "Sedang apa? Kenapa melamun? Apa ada masalah?" tanya Jesslyn."Ah, tidak ada. Aku hanya sedang berpikir," sahut Rose sambil menggerakkan kedua tangannya."Baiklah. Kalau begitu aku pulang dulu. Bye!" Jesslyn melambaikan tangan kanannya. Rose pun membalas lambaian tangan Jesslyn.Rose menghela napas, "Apa aku harus menemuinya?" pikir Rose yang masih bimbang antara ingin menemui sang Ayah atau tidak. "Tapi sepertinya ada yang ingin Ayah sampaikan padaku. Itu terlihat sangat penting dari nada bicaranya tadi ditelepon," lanjut Rose.Keinginan untuk menemui dan tidak menemui sang ayah bergelut dalam diri Rose sehingga membuat Rose bimbang serta maju mundur. Rose memang sangat membenci ayahnya karena perlakuannya yang semena-mena."Aduh, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" Rose memegang kepalanya sendiri. Tiba-tiba Rose terdiam. Dia mengatur napasnya dengan pelan. Rose menenangkan diri sejenak agar bisa mengambil keputusan. Walau bagaimana pun juga, pria yang ada di luar sana adalah Ayah Rose. Seberapa pun jahatnya dia, Rose tetap menghormati Tuan Roland. Tanpa dia, Rose tidak akan pernah terlahir di dunia ini.Setelah keadaan dirinya sudah tenang, Rose kembali melangkahkan kakinya keluar dari kafe dan mencari mobil sang ayah. Kepala Rose menoleh ke kanan dan ke kiri. Akhirnya Rose mendapatkan mobil hitam milik ayahnya.Rose berdiri di samping mobil tersebut dan menelan saliva nya sendiri saat hendak membuka pintu mobil. Rose menarik tangannya dan mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil, karena pintu mobil sudah terlebih dulu terbuka. Rose melihat sang ayah duduk di dalam mobil."Kenapa lama sekali!" hardik Tuan Roland."Maaf ayah, telah membuatmu menunggu lama. Tadi aku bingung mencari mobil ayah," elak Rose."Ah, sudahlah. Kau memang tidak berguna!" bentak Tuan Roland. Rose langsung menundukkan kepalanya mendengar kata-kata itu. Rose merasa bersalah."Tuan Roland, kau jangan terlalu keras pada putrimu. Lihatlah dia menjadi sangat sedih. Apa kau tidak kasian padanya?" ujar seorang lelaki yang ada di sebelah Ayah Rose."Angkat wajahmu!" kata Tuan Roland dengan penuh amarah.Mendengar kalimat tersebut, Rose langsung mengangkat kepalanya dan tatapannya fokus tertuju pada seorang pria tampan yang duduk di samping ayahnya."Perkenalkan, dia adalah Jeno William. Seorang CEO muda dari salah satu perusahaan besar dan terbaik di kota Lizzie," ujar Tuan Roland."Halo ... nona, kau begitu sangat cantik. Siapa namamu?" tanya Jeno."Namaku Rose Annabella. Panggil saja Rose," jawab Rose terlihat gugup dan sekarang dia benar-benar gelisah."Hmm ... nama yang sangat bagus," ujar Jeno sambil melirik Rose. Matanya memperhatikan Rose dari ujung rambut sampai ujung kaki.Rose mulai risih diperhatikan oleh pria yang belum dia kenal, tapi Rose berusaha tenang. Dia tidak ingin sang ayah marah besar. Seketika Rose memberikan senyum manisnya agar pria itu tidak kecewa. Terlebih lagi sang ayah. Jika dia marah, habislah sudah."Aku dengar kau sangat mirip dengan ibumu?" Jeno melirik Tuan Roland yang ada di sampingnya, lalu tatapannya berganti fokus pada Rose. Jeno menaikkan alis kanannya."I-iya," jawab Rose dengan gagap. Rose menatap pria itu lalu berganti ke sampingnya menatap sang ayah. Kemudian Rose menundukkan kepalanya dan memainkan jari jemarinya.Jeno berdecak melihatnya. Hal itu membuat Roland menatap tajam pada Rose. Tatapan itu seolah mengintimidasi Rose. Roland bergerak dan menggeser duduknya."Tuan Jeno, begini-----" Kalimat itu terhenti seketika saat Jeno mengangkat tangan kanannya. Hati Roland sudah mulai gelisah pada saat itu. Pria tua itu takut jika lelaki tampan yang duduk di sampingnya itu tidak mau bekerja sama dengan dirinya.Jeno William menarik dasi yang melingkar di lehernya. Jeno melonggarkan ikatan dasi tersebut karena dia sudah merasa gerah. Melihat hal itu Roland semakin yakin jika Jeno tidak menginginkan kontrak kerjasama dengan perusahaannya. Jeno melepaskan kancing jas yang dia pakai, lalu menoleh menatap Roland. Jeno tersenyum tipis melihat Roland yang mulai resah gelisah."Tenang saja, Tuan Roland. Kenapa kau jadi tegang seperti itu? Santai saja," ucap Jeno santai. Jeno merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah benda pipih. Dia menggerakkan jempolnya di atas layar dan menempelkan benda pipih itu di telinganya. "Sekarang!" perintahnya. Pria tampan itu langsung menutup sambungan telepon itu.Tiba-tiba datanglah seseorang yang langsung membekap Rose dari belakang menggunakan sapu tangan yang sudah diberi obat bius. Seketika tubuh Rose lemas dan pingsan begitu saja."Ini ambillah. Aku menerima kerjasama dengan perusahaanmu dan aku sudah menanda tangani kontrak kerjasama itu." Jeno memberikan berkas kontrak kerjasama pada Tuan Roland."Senang bisa bekerja sama denganmu, Tuan Jeno," sahut Tuan Roland dengan penuh kemenangan. Keduanya pun berjabat tangan.Flashback on, 2 hari yang lalu.Seorang pria tua berjalan menuju ke sebuah ruangan membawa berkas yang isinya kontrak kerjasama. Pria tua itu berdiri tepat di depan sebuah pintu. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya, lalu pria itu membenarkan letak dasinya. Kemudian tangan kanannya terangkat ke atas dan mulailah dia mengetuk pintu itu sebanyak tiga kali."Masuk!" Sebuah suara dari dalam yang mengisyaratkan pria tua itu untuk masuk. Lantas dia langsung mas9uk ke dalam ruangan."Permisi Tuan, apakah anda sibuk?" tanyanya pada seorang laki-laki tampan yang sedang duduk di kursi. Laki-laki itu mengangkat kepalanya dan meletakkan bolpoin yang sedang dia pegang."Mau apa kau ke sini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya laki-laki tampan yang bernama Jeno William."Aku ingin menyampaikan padamu. Bisakan perusahaan kita bekerja sama?" ungkap pria tua yang bernama Roland Lance."Aku tidak yakin jika harus bekerja sama dengan perusahaanmu.""Ayolah, Tuan Jeno. Perusahaanku sangat membu
Tubuh Rose lemas seketika saat menghirup aroma yang ada di sapu tangan tersebut. Tubuh Rose langsung digendong dan dimasukkan ke dalam mobil. Tentunya mobil lain dan bukan mobil milik ayah Rose.Setelah berjabat tangan dengan Roland, Jeno keluar dari mobil Roland. Dia melangkah mendekati mobil berwarna silver."Bawa gadis itu ke villa. Aku masih ada urusan yang ingin aku selesaikan. Suruh beberapa pelayan untuk menjaganya dan kalian berdua tetap berjaga di depan pintu. Paham!" Kedua pengawal Roland menganggukkan kepalanya. Jeno pun segera masuk ke dalam mobilnya dan segera melaju pergi. Begitu pula dengan kedua pengawal yang membawa Rose. Mereka pun meninggalkan tempat tersebut.Orang-orang bertubuh kekar itu membawa Rose masuk ke dalam rumah Jeno. "Cepat bawa dia ke kamarku," perintah Jeno berjalan mengikuti dua pengawalnya.Dua pengawal itu membawa masuk Rose ke dalam kamar Jeno dan merebahkan tubuh Rose di atas ranjang. Tak lupa mereka mengikat kedua tangan serta kaki Rose. Sungg
Rose berusaha bangun dari ranjang. Dia menggerakkan kedua tangannya agar bisa terlepas dari ikatan itu, akan tetapi justru membuat pergelangan kedua tangannya merah dan sakit. Rose mencari langkah lain. Dia menggigit tali yang mengikat kedua tangannya. Hasilnya tetap nihil."Ini terlalu kuat," keluh Rose. Dia meringis menahan sakit karena perih yang dirasakan pada pergelangan tangan. "Sakit ...."Sayup-sayup Rose mendengarkan suara gemercik airair. Gadis itu mencari arah datangnya suara itu. Kedua mata Rose tertuju pada sebuah pintu yang tertutup rapat. Rose berteriak agar seseorang mendengarkannya. Jeno yang sudah selesai mandi dan sedang memegang hairdryer untuk mengeringkan rambutnya. Telinganya menangkap sesuatu dan Jeno segera mematikan hairdryer nya. Pria itu bergegas keluar dari kamar mandi."Rupanya kau sudah siuman, nona?" Jeno mendekati Rose.Rose terlihat ketakutan melihat Jeno dengan rambut yang masih acak-acakan. Rose terdiam dan memundurkan tubuhnya. "Si-siapa kau?" Sua
Rintihan dan erangan Rose membuat hasrat Jeno semakin memuncak. Pria itu sepertinya sudah tidak bisa menahan diri. Sedangkan Rose terus menerus menggeliat.Melihat hal itu Jeno semakin bergairah. Namun, Jeno belum ingin melancarkan aksinya. Dia masih memperhatikan Rose sebagai bentuk pemanasan. Jeno terkenal sangat hipersex dan suka bermain dengan wanita penghibur. Tidak hanya satu wanita. Jeno mampu bermain dengan 5 wanita sekaligus dalam tiap malam.Entah itu sebuah keberuntungan atau bukan Jeno bisa mendapatkan sosok seorang gadis bernama Rose. Namun, bagi Rose hal itu adalah awal dari bencana. Jeno masih menikmati Rose yang terus meliuk-liuk di atas ranjang seperti ular yang sedang menari karena kepanasan. Tanpa basa-basi Jeno mendekap wajah Rose dan mendekatkan wajahnya sedekat mungkin dengan wajah Rose. Jeno ingin sekali menikmati bibir Rose, tapi sayangnya bibir Rose tertutup rapat. Akhirnya Jeno mengambil tindakan menggigit kecil bibir bawah Rose hingga gadis itu berteriak.
Rose terbangun dalam keadaan yang membingungkan. Rambut acak-acakkan, tubuh tanpa sehelai benang pun dan hanya tertutup oleh selimut. Rose pun merasa asing dengan tempat itu. Ruang kamar yang begitu besar dan sangat mewah.Rose mulai berusaha untuk mengingat apa yang telah terjadi, akan tetapi nihil. Yang hanya bisa Rose ingat adalah semalam kepalanya sangat pusing akibat meminum minuman yang pria itu berikan dan setelah itu Rose tidak ingat apa-apa.Rose berusaha menggerakkan tubuhnya. Namun, usahanya gagal karena seluruh tubuhnya terasa remuk dan sakit. Anehnya area sensitifnya terasa sangat perih. Rose seakan mulai mengerti, kenapa dia terbangun dengan keadaan yang seperti itu. Rose langsung menangis karena menyadari apa yang telah pria itu lakukan pada dirinya.Rose menangis begitu kencang, karena dia merasa sangat jijik dengan dirinya sendiri dan dia pun terlihat sangat bodoh."Hiks ... ibu ...." Rose menangis sambil memanggil ibunya karena dia pasti kecewa dengan Rose yang tidak
Malam itu Jeno pulang lebih awal dari biasanya. Hal itu dikarenakan pekerjaan di kantornya tidak terlalu banyak. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Jeno terus menerus menatap keluar jendela dan tersenyum sendiri. Entah dia sedang memikirkan apa. Jeno tidak sadar jika sang sopir memperhatikannya sedari tadi."Tuan muda baik-baik saja? Kenapa tuan senyum-senyum sendiri? Sepertinya tuan muda sedang bahagia," ujar si supir yang tampak penasaran."Tidak ada apa-apa. Saya hanya sedang melamun." Jimin menyangkalnya sambil tersenyum."Jika begitu maafkan saya, jika saya mengganggu tuan muda."Jeno kembali melamun saat sang supir mulai fokus menyetir mobilnya. Jeno mulai memikirkan sesuatu. Jeno sebenarnya sudah tidak sabar ingin cepat-cepat sampai di rumah.Satu jam sebelumnya."Hari ini entah mengapa aku ingin sekali segera pulang ke rumah. Sebenarnya ada apa dengan otakku ini?" Jeno memutarkan kursi putarnya beberapa kali dengan pelan. "Jujur saja seharian ini aku hanya memikirkan gadis itu
Pagi itu hujan deras mengguyur. Membasahi semua yang ditemuinya hingga membuat cuaca pagi begitu sangat dingin. Hal itu membuat dua orang yang sedang tertidur enggan untuk bangun.Jeno merapatkan pelukannya pada tubuh Rose. Gadis itu sama sekali tidak bergerak karena rasa hangat yang dia rasakan membuatnya terasa sangat nyaman. Jeno pun kembali menutup matanya.Hujan semakin deras. Dingin bercampur dengan sejuk dan Petrichor mulai tercium. Rose membuka matanya dan bergerak pelan. Dia tidak ingin membangunkan Jeno. Rose dengan pelan memindahkan tangan Jeno yang melingkar dipinggangnya."Kau hendak ke mana?" Tangan Jeno mencegah Rose hingga membuat Rose menoleh."Aku ingin ke kamar mandi," sahut Rose. Jeno pun melepaskan genggaman tangannya.Rose melangkah masuk ke dalam kamar mandi dan memutar kran air. Setelah itu dia menunggu beberapa menit agar air itu menjadi hangat. Sambil menunggu air penuh, Rose melangkah ke arah jendela yang tidak jauh dari bath-up. Rose menggeser kaca itu sedi
"Ada apa?" Suara Jeno memotong kalimat Rose. Jeno langsung meraih kedua tangan Rose. "Jangan digaruk itu bisa menjadi luka dan kulit akan hitam. Sebentar aku carikan obat gatal."Jeno kembali dengan sebuah benda ditangannya. Jeno pun mengoleskan krim pada lengan Rose. Krim itu sangat dingin di kulit hingga gatal yang dirasakan oleh Rose berkurang."Te-terima kasih, tuan." "Jangan menggaruknya. Biarkan obat itu menyerap. Tidak lama lagi kulitmu itu akan kembali seperti semula," pinta Jeno. Rose pun menurutinya."Ta-tapi kenapa bisa seperti ini?" kata Rose heran."Mungkin salah satu menu makanan yang kau makan ada campuran seafood-nya," jelas Jeno. Rose menganggukkan kepalanya. "Beristitahatlah dulu. Nanti jika belum membaik aku akan membelikanmu obat," lanjut Jeno.Jeno meninggalkan Rose biar Rose bisa istirahat dengan nyaman. Jeno memberi perintah pada anak buahnya untuk menjaga Rose, karena dia akan keluar sebentar membeli sesuatu.***Sudah 3 bulan Rose tinggal di rumah Jeno. Jeno