Share

4. Kontrak Kerja

"Cepat keluar! Aku sudah menunggumu begitu lama!" bentak seorang pria dari sambungan ponsel dan sambungan ponsel itu langsung terputus.

Rose dibuat bengong dengan panggilan telepon itu. Rose menatap layar ponselnya yang bertuliskan panggilan telepon dari Ayah selesai. Rose berpikir keras dengan kalimat yang baru beberapa detik yang lalu dia dengar. "Kenapa Ayah menungguku di luar sana? Tidak biasanya Ayah menjemputku ditempat kerja." Rose memasukkan ponselnya ke dalam totebag-nya, lalu dia bergegas keluar dari ruang ganti.

Namun, mendadak Rose berhenti. Dia tidak begitu yakin untuk menemui sang ayah. Mengingat perlakuan ayahnya pada sang ibu yang tidak pernah mengganggapnya istri. Justru lebih tepatnya ayahnya itu menganggap ibunya sebagai pembantu. Kelakuan ayah itu sangat keterlaluan pada ibunya Rose. Sampai pada akhirnya karena tidak tahan sang ibu mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat tragis. Sang ibu pernah berkata pada Rose bahwa Rose adalah dirinya yang terlahir kembali. Rose hanya bisa tersenyum kecil pada saat itu.

Saat ini kehidupan Rose benar-benar berada di garis kesedihan. Kelakuan sang ayah mulai di luar batas. Dia mulai merajalela dan menjadi gila setelah sang istri tiada. Setiap malam dia selalu membawa pelacur pulang ke rumah. Dia sama sekali tidak memikirkan perasaan anak-anaknya.

Tuan Roland adalah seorang CEO di sebuah perusahaan terbaik yang ada di kota Lizzie dan sekaligus pemilik klub malam yang paling ramai dan laris. Dia tidak pernah menyayangi kedua anaknya. Yang Roland tahu hanya bagaimana cara menghidupi kedua anaknya. Dia sama sekali tidak pernah memberi kasih sayang pada Rose mau pun Ryan. Karena menurut Roland, anak adalah penghalang hidup baginya.

Dan pada saat ini Rose bekerja di sebuah kafe kopi milik temannya. Ah, ralat. Lebih tepatnya milih ayah temannya. Rose mengetahui jika dirinya memang terlahir di keluarga yang kaya raya, tapi dia ingin mandiri mencari uang dari hasil jerih payahnya. Rose membagi dua upah hasil kerjanya untuk sang adik. Dia tahu bahwa Ryan lebih membutuhkan uang itu dibanding dirinya sendiri.

Begitulah kesedihan hidup Rose.

Rose tersentak kaget manakala Jesslyn rekan kerjanya menepuk bahu Rose. "Sedang apa? Kenapa melamun? Apa ada masalah?" tanya Jesslyn.

"Ah, tidak ada. Aku hanya sedang berpikir," sahut Rose sambil menggerakkan kedua tangannya.

"Baiklah. Kalau begitu aku pulang dulu. Bye!" Jesslyn melambaikan tangan kanannya. Rose pun membalas lambaian tangan Jesslyn.

Rose menghela napas, "Apa aku harus menemuinya?" pikir Rose yang masih bimbang antara ingin menemui sang Ayah atau tidak. "Tapi sepertinya ada yang ingin Ayah sampaikan padaku. Itu terlihat sangat penting dari nada bicaranya tadi ditelepon," lanjut Rose.

Keinginan untuk menemui dan tidak menemui sang ayah bergelut dalam diri Rose sehingga membuat Rose bimbang serta maju mundur. Rose memang sangat membenci ayahnya karena perlakuannya yang semena-mena.

"Aduh, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" Rose memegang kepalanya sendiri. Tiba-tiba Rose terdiam. Dia mengatur napasnya dengan pelan. Rose menenangkan diri sejenak agar bisa mengambil keputusan. Walau bagaimana pun juga, pria yang ada di luar sana adalah Ayah Rose. Seberapa pun jahatnya dia, Rose tetap menghormati Tuan Roland. Tanpa dia, Rose tidak akan pernah terlahir di dunia ini.

Setelah keadaan dirinya sudah tenang, Rose kembali melangkahkan kakinya keluar dari kafe dan mencari mobil sang ayah. Kepala Rose menoleh ke kanan dan ke kiri. Akhirnya Rose mendapatkan mobil hitam milik ayahnya.

Rose berdiri di samping mobil tersebut dan menelan saliva nya sendiri saat hendak membuka pintu mobil. Rose menarik tangannya dan mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil, karena pintu mobil sudah terlebih dulu terbuka. Rose melihat sang ayah duduk di dalam mobil.

"Kenapa lama sekali!" hardik Tuan Roland.

"Maaf ayah, telah membuatmu menunggu lama. Tadi aku bingung mencari mobil ayah," elak Rose.

"Ah, sudahlah. Kau memang tidak berguna!" bentak Tuan Roland. Rose langsung menundukkan kepalanya mendengar kata-kata itu. Rose merasa bersalah.

"Tuan Roland, kau jangan terlalu keras pada putrimu. Lihatlah dia menjadi sangat sedih. Apa kau tidak kasian padanya?" ujar seorang lelaki yang ada di sebelah Ayah Rose.

"Angkat wajahmu!" kata Tuan Roland dengan penuh amarah.

Mendengar kalimat tersebut, Rose langsung mengangkat kepalanya dan tatapannya fokus tertuju pada seorang pria tampan yang duduk di samping ayahnya.

"Perkenalkan, dia adalah Jeno William. Seorang CEO muda dari salah satu perusahaan besar dan terbaik di kota Lizzie," ujar Tuan Roland.

"Halo ... nona, kau begitu sangat cantik. Siapa namamu?" tanya Jeno.

"Namaku Rose Annabella. Panggil saja Rose," jawab Rose terlihat gugup dan sekarang dia benar-benar gelisah.

"Hmm ... nama yang sangat bagus," ujar Jeno sambil melirik Rose. Matanya memperhatikan Rose dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Rose mulai risih diperhatikan oleh pria yang belum dia kenal, tapi Rose berusaha tenang. Dia tidak ingin sang ayah marah besar. Seketika Rose memberikan senyum manisnya agar pria itu tidak kecewa. Terlebih lagi sang ayah. Jika dia marah, habislah sudah.

"Aku dengar kau sangat mirip dengan ibumu?" Jeno melirik Tuan Roland yang ada di sampingnya, lalu tatapannya berganti fokus pada Rose. Jeno menaikkan alis kanannya.

"I-iya," jawab Rose dengan gagap. Rose menatap pria itu lalu berganti ke sampingnya menatap sang ayah. Kemudian Rose menundukkan kepalanya dan memainkan jari jemarinya.

Jeno berdecak melihatnya. Hal itu membuat Roland menatap tajam pada Rose. Tatapan itu seolah mengintimidasi Rose. Roland bergerak dan menggeser duduknya.

"Tuan Jeno, begini-----" Kalimat itu terhenti seketika saat Jeno mengangkat tangan kanannya. Hati Roland sudah mulai gelisah pada saat itu. Pria tua itu takut jika lelaki tampan yang duduk di sampingnya itu tidak mau bekerja sama dengan dirinya.

Jeno William menarik dasi yang melingkar di lehernya. Jeno melonggarkan ikatan dasi tersebut karena dia sudah merasa gerah. Melihat hal itu Roland semakin yakin jika Jeno tidak menginginkan kontrak kerjasama dengan perusahaannya. Jeno melepaskan kancing jas yang dia pakai, lalu menoleh menatap Roland. Jeno tersenyum tipis melihat Roland yang mulai resah gelisah.

"Tenang saja, Tuan Roland. Kenapa kau jadi tegang seperti itu? Santai saja," ucap Jeno santai. Jeno merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah benda pipih. Dia menggerakkan jempolnya di atas layar dan menempelkan benda pipih itu di telinganya. "Sekarang!" perintahnya. Pria tampan itu langsung menutup sambungan telepon itu.

Tiba-tiba datanglah seseorang yang langsung membekap Rose dari belakang menggunakan sapu tangan yang sudah diberi obat bius. Seketika tubuh Rose lemas dan pingsan begitu saja.

"Ini ambillah. Aku menerima kerjasama dengan perusahaanmu dan aku sudah menanda tangani kontrak kerjasama itu." Jeno memberikan berkas kontrak kerjasama pada Tuan Roland.

"Senang bisa bekerja sama denganmu, Tuan Jeno," sahut Tuan Roland dengan penuh kemenangan. Keduanya pun berjabat tangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status