Share

5. Ayah yang Laknat

Flashback on, 2 hari yang lalu.

Seorang pria tua berjalan menuju ke sebuah ruangan membawa berkas yang isinya kontrak kerjasama. Pria tua itu berdiri tepat di depan sebuah pintu. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya, lalu pria itu membenarkan letak dasinya. Kemudian tangan kanannya terangkat ke atas dan mulailah dia mengetuk pintu itu sebanyak tiga kali.

"Masuk!" Sebuah suara dari dalam yang mengisyaratkan pria tua itu untuk masuk. Lantas dia langsung mas9uk ke dalam ruangan.

"Permisi Tuan, apakah anda sibuk?" tanyanya pada seorang laki-laki tampan yang sedang duduk di kursi. Laki-laki itu mengangkat kepalanya dan meletakkan bolpoin yang sedang dia pegang.

"Mau apa kau ke sini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya laki-laki tampan yang bernama Jeno William.

"Aku ingin menyampaikan padamu. Bisakan perusahaan kita bekerja sama?" ungkap pria tua yang bernama Roland Lance.

"Aku tidak yakin jika harus bekerja sama dengan perusahaanmu."

"Ayolah, Tuan Jeno. Perusahaanku sangat membutuhkan bantuanmu," rayu Roland pada Jeno.

"Maaf, Tuan Roland. Akhir-akhir ini banyak perusahaan di luar sana yang ingin bekerja sama dengan perusahaanku. Jadi aku pikir sudah cukup hanya beberapa perusahaan saja yang akan bekerja sama denganku," jelas Jeno.

"Tolonglah aku, Tuan Jeno. Biarkan perusahaanku bekerja sama dengan perusahaanmu," kata Roland dengan nada memohon.

"Maaf, aku tidak bisa," tolak Jeno William.

"Tuan Jeno, kau ingin apa? Aku akan memberikan apapun yang kau inginkan. Mobil, apartemen, atau wanita penghibur yang ada di klub ku?" tawar Roland.

Saat mendengar ucapan Roland, Jeno berpikir keras. Tawaran yang tidak terlalu buruk untuk dipilih salah satunya.

"Aku ingin wanita," pinta Jeno tegas.

"Baiklah. Aku akan mengabulkannya. Aku akan memberimu wanita berapapun yang kau inginkan," tanggap Roland antusias.

"Aku dengar kau memiliki seorang putri yang cantik. Apakah itu benar?" tanya Jeno.

"Ya, itu benar. Apakah kau menginginkan putriku? Aku bisa membawanya padamu dan kau bisa jadikan putriku itu sebagai jalang simpananmu. Satu lagi yang perlu kau ketahui, putriku masih gadis jadi kau tidak akan kecewa. Kau bisa merasakan kegadisannya karena aku tahu kau tidak ernah bercumbu dengan wanita yang masih gadis," ujar Tuan Roland sambil tersenyum miring.

"Baiklah, aku setuju dengan kerjasama ini. Besok jika kau sudah membawa putrimu padaku, akan ku tanda tangani kontrak kerja ini." Jeno sangat tertarik dengan tawaran itu, karena selama ini Jeno belum pernah melakukan hal itu dengan wanita yang masih perawan. Biasanya Jeno menyewa pelacur VVIP untuk melayaninya. 'Akan sangat mengasikan jika aku bisa melakukannya dengan wanita yang masih perawan,' batin Jeno.

"Baiklah. Aku pergi dulu dan besok aku akan membawa putriku langsung ke hadapanmu." Tuan Roland merasa dirinya telah menang karena Jeno akhirnya mau menerima kerjasamanya.

"Oke. Aku akan menunggumu dan juga putrimu," sahut Jeno antusias karena hal itu akan menjadi keberuntungannya.

Roland keluar dari ruangan Jeno dengan penuh senyuman kemenangan. Pasalnya Jeno takluk dengan rayuannya. Walaupun Roland harus mengorbankan putrinya, tapi Roland sendiri juga masa bodoh dengan hal itu. Justru dia lah yang menawarkan putrinya sendiri pada Jeno.

Sungguh seorang ayah yang sangat laknat. Demi sebuah kontrak kerja dengan sebuah perusahaan besar, dia rela mengorbankan sang putri yang masih belia.

***

"Sudahlah Kak, jangan menangis. Aku masih ada di sini. Aku akan selalu menjaga kakak seperti halnya kakak menjagaku," kata Ryan sambil menenangkan Rose dan benar juga hati Rose menjadi sangat tenang.

"Terima kasih sudah menjadi seorang adik yang baik untukku." Rose memeluk Ryan.

Suasana malam yang begitu mengharukan setelah Rose memberikan setengah upah kerjanya untuk Ryan, sang adik. Rose dan Ryan memang tinggal hanya berdua saja di rumah mereka yang besar. Sang ayah tidak setiap hari pulang ke rumah. Terkadang dia pulang membawa wanita dari klub malamnya.

"Kak, ini apa tidak terlalu berlebihan?" kata Ryan.

Rose tersenyum, "Simpanlah. Itu untuk peganganmu."

Sebenarnya Ryan merasa tidak enak hati karena semua kebutuhannya baik biaya sekolah dan lainnya Rose-lah yang membiayai. Sedangkan sang ayah memang memberikan uang untuk Rose dan Ryan, tapi keduanya sama sekali tidak pernah memakai uang tersebut.

"Sekali lagi terima kasih, Kak." Ryan kembali memeluk Rose. Rose pun menepuk-nepuk punggung pemuda itu.

"Sudahlah. Sekarang tidurlah. Besok kau harus berangkat sekolah." Rose merenggangkan pelukkannya.

"Apa kakak akan menunggu ayah pulang?" tanya. Rose menggelengkan kepalanya. Gadis itu sama sekali tidak ingin menunggu ayahnya pulang. Dia juga ingin segera beristirahat karena badannya sudah terasa capek.

Rose dan Ryan tidur dalam satu ruangan, tapi beda tempat karena dipisahkan oleh sebuah dinding. Rose menarik selimut sebatas dada Ryan. Dia bangkit dan mematikan lampu kamar Ryan. Ryan pun segera menyalakan lampu tidur yang tidak jauh dari tempat tidurnya.

"Selamat tidur, Ryan."

"Selamat tidur juga, kak."

Rose keluar dari kamar Ryan dan menutup pintu dengan rapat. Rose berjalan sekitar lima langkah dan membuat pintu kamarnya. Rose menarik napas lega saat melihat kamar tidurnya.

"Akhirnya aku bisa mengistirahatkan tubuh ini." Rose membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Tiba-tiba air matanya lolos dari pucuk matanya. Dada Rose terasa sangat sakit. Rose bangkit dari atas ranjang dan mengambil sebuah bingkai foto yang berdiri di atas sebuah meja. Rose memeluk bingkai foto tersebut dan berusaha menahan tangisnya. Rose tidak ingin Ryan mendengarkan jika dirinya kembali menangis. Tentu saja Ryan akan kembali merasa sangat bersalah. "Ibu, aku kangen hiks ...." Hanya itu yang bisa diucapkan oleh bibir indah milik Rose.

Tentunya tidak mudah hidup yang harus dilalui Rose. Namun, gadis itu begitu kuat dan tegar menghadapinya. Walaupun sesekali dia mengeluh karena capek, tapi dia selalu ingat tujuan utamanya. Anak perempuan pertama memang harus kuat menghadapi kerasnya hidup. Itulah yang sekarang tengah Rose perjuangkan. Rose memang lahir di keluarga yang kaya raya, tapi kehidupannya tidak seindah yang orang bayangkan.

Sayup-sayup Rose mendengarkan suara langkah menaiki anak tangga. Rose berpikir pasti ayahnya sudah pulang. Gadis itu meletakkan bingkainya ke tempat semula dan beranjak dari ranjangnya. Rose melangkahkan kaki kakinya keluar dari kamar. Dia menuju ke pintu utama, akan tetapi Rose tidak langsung membuka pintu tersebut. Gadis itu berdiri lama di depan pintu saat mendengarkan ada suara seorang perempuan di luar kamarnya. Sudah pasti Rose menduga sang ayah pulang membawa wanita dari klub malamnya dan untuk malam itu ayahnya membawa dua wanita sekaligus. Rose hanya mengela napas, dadanya kembali terasa sakit tak kala telinganya harus mendengarkan suara desahan dan rintihan di luar sana. Rose memegang dadanya, kakinya terasa sangat lemah, dia hampir saja jatuh ke lantai. Namun, Rose dengan cepat berpegangan pada sebuah tiang jemuran.

"Kenapa hidupku begitu sangat menyedihkan," rintihnya pelan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status