Flashback on, 2 hari yang lalu.
Seorang pria tua berjalan menuju ke sebuah ruangan membawa berkas yang isinya kontrak kerjasama. Pria tua itu berdiri tepat di depan sebuah pintu. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya, lalu pria itu membenarkan letak dasinya. Kemudian tangan kanannya terangkat ke atas dan mulailah dia mengetuk pintu itu sebanyak tiga kali."Masuk!" Sebuah suara dari dalam yang mengisyaratkan pria tua itu untuk masuk. Lantas dia langsung mas9uk ke dalam ruangan."Permisi Tuan, apakah anda sibuk?" tanyanya pada seorang laki-laki tampan yang sedang duduk di kursi. Laki-laki itu mengangkat kepalanya dan meletakkan bolpoin yang sedang dia pegang."Mau apa kau ke sini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya laki-laki tampan yang bernama Jeno William."Aku ingin menyampaikan padamu. Bisakan perusahaan kita bekerja sama?" ungkap pria tua yang bernama Roland Lance."Aku tidak yakin jika harus bekerja sama dengan perusahaanmu.""Ayolah, Tuan Jeno. Perusahaanku sangat membutuhkan bantuanmu," rayu Roland pada Jeno."Maaf, Tuan Roland. Akhir-akhir ini banyak perusahaan di luar sana yang ingin bekerja sama dengan perusahaanku. Jadi aku pikir sudah cukup hanya beberapa perusahaan saja yang akan bekerja sama denganku," jelas Jeno."Tolonglah aku, Tuan Jeno. Biarkan perusahaanku bekerja sama dengan perusahaanmu," kata Roland dengan nada memohon."Maaf, aku tidak bisa," tolak Jeno William."Tuan Jeno, kau ingin apa? Aku akan memberikan apapun yang kau inginkan. Mobil, apartemen, atau wanita penghibur yang ada di klub ku?" tawar Roland.Saat mendengar ucapan Roland, Jeno berpikir keras. Tawaran yang tidak terlalu buruk untuk dipilih salah satunya."Aku ingin wanita," pinta Jeno tegas."Baiklah. Aku akan mengabulkannya. Aku akan memberimu wanita berapapun yang kau inginkan," tanggap Roland antusias."Aku dengar kau memiliki seorang putri yang cantik. Apakah itu benar?" tanya Jeno."Ya, itu benar. Apakah kau menginginkan putriku? Aku bisa membawanya padamu dan kau bisa jadikan putriku itu sebagai jalang simpananmu. Satu lagi yang perlu kau ketahui, putriku masih gadis jadi kau tidak akan kecewa. Kau bisa merasakan kegadisannya karena aku tahu kau tidak ernah bercumbu dengan wanita yang masih gadis," ujar Tuan Roland sambil tersenyum miring."Baiklah, aku setuju dengan kerjasama ini. Besok jika kau sudah membawa putrimu padaku, akan ku tanda tangani kontrak kerja ini." Jeno sangat tertarik dengan tawaran itu, karena selama ini Jeno belum pernah melakukan hal itu dengan wanita yang masih perawan. Biasanya Jeno menyewa pelacur VVIP untuk melayaninya. 'Akan sangat mengasikan jika aku bisa melakukannya dengan wanita yang masih perawan,' batin Jeno."Baiklah. Aku pergi dulu dan besok aku akan membawa putriku langsung ke hadapanmu." Tuan Roland merasa dirinya telah menang karena Jeno akhirnya mau menerima kerjasamanya."Oke. Aku akan menunggumu dan juga putrimu," sahut Jeno antusias karena hal itu akan menjadi keberuntungannya.Roland keluar dari ruangan Jeno dengan penuh senyuman kemenangan. Pasalnya Jeno takluk dengan rayuannya. Walaupun Roland harus mengorbankan putrinya, tapi Roland sendiri juga masa bodoh dengan hal itu. Justru dia lah yang menawarkan putrinya sendiri pada Jeno.Sungguh seorang ayah yang sangat laknat. Demi sebuah kontrak kerja dengan sebuah perusahaan besar, dia rela mengorbankan sang putri yang masih belia.***"Sudahlah Kak, jangan menangis. Aku masih ada di sini. Aku akan selalu menjaga kakak seperti halnya kakak menjagaku," kata Ryan sambil menenangkan Rose dan benar juga hati Rose menjadi sangat tenang."Terima kasih sudah menjadi seorang adik yang baik untukku." Rose memeluk Ryan.Suasana malam yang begitu mengharukan setelah Rose memberikan setengah upah kerjanya untuk Ryan, sang adik. Rose dan Ryan memang tinggal hanya berdua saja di rumah mereka yang besar. Sang ayah tidak setiap hari pulang ke rumah. Terkadang dia pulang membawa wanita dari klub malamnya."Kak, ini apa tidak terlalu berlebihan?" kata Ryan.Rose tersenyum, "Simpanlah. Itu untuk peganganmu."Sebenarnya Ryan merasa tidak enak hati karena semua kebutuhannya baik biaya sekolah dan lainnya Rose-lah yang membiayai. Sedangkan sang ayah memang memberikan uang untuk Rose dan Ryan, tapi keduanya sama sekali tidak pernah memakai uang tersebut."Sekali lagi terima kasih, Kak." Ryan kembali memeluk Rose. Rose pun menepuk-nepuk punggung pemuda itu."Sudahlah. Sekarang tidurlah. Besok kau harus berangkat sekolah." Rose merenggangkan pelukkannya."Apa kakak akan menunggu ayah pulang?" tanya. Rose menggelengkan kepalanya. Gadis itu sama sekali tidak ingin menunggu ayahnya pulang. Dia juga ingin segera beristirahat karena badannya sudah terasa capek.Rose dan Ryan tidur dalam satu ruangan, tapi beda tempat karena dipisahkan oleh sebuah dinding. Rose menarik selimut sebatas dada Ryan. Dia bangkit dan mematikan lampu kamar Ryan. Ryan pun segera menyalakan lampu tidur yang tidak jauh dari tempat tidurnya."Selamat tidur, Ryan.""Selamat tidur juga, kak."Rose keluar dari kamar Ryan dan menutup pintu dengan rapat. Rose berjalan sekitar lima langkah dan membuat pintu kamarnya. Rose menarik napas lega saat melihat kamar tidurnya."Akhirnya aku bisa mengistirahatkan tubuh ini." Rose membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Tiba-tiba air matanya lolos dari pucuk matanya. Dada Rose terasa sangat sakit. Rose bangkit dari atas ranjang dan mengambil sebuah bingkai foto yang berdiri di atas sebuah meja. Rose memeluk bingkai foto tersebut dan berusaha menahan tangisnya. Rose tidak ingin Ryan mendengarkan jika dirinya kembali menangis. Tentu saja Ryan akan kembali merasa sangat bersalah. "Ibu, aku kangen hiks ...." Hanya itu yang bisa diucapkan oleh bibir indah milik Rose.Tentunya tidak mudah hidup yang harus dilalui Rose. Namun, gadis itu begitu kuat dan tegar menghadapinya. Walaupun sesekali dia mengeluh karena capek, tapi dia selalu ingat tujuan utamanya. Anak perempuan pertama memang harus kuat menghadapi kerasnya hidup. Itulah yang sekarang tengah Rose perjuangkan. Rose memang lahir di keluarga yang kaya raya, tapi kehidupannya tidak seindah yang orang bayangkan.Sayup-sayup Rose mendengarkan suara langkah menaiki anak tangga. Rose berpikir pasti ayahnya sudah pulang. Gadis itu meletakkan bingkainya ke tempat semula dan beranjak dari ranjangnya. Rose melangkahkan kaki kakinya keluar dari kamar. Dia menuju ke pintu utama, akan tetapi Rose tidak langsung membuka pintu tersebut. Gadis itu berdiri lama di depan pintu saat mendengarkan ada suara seorang perempuan di luar kamarnya. Sudah pasti Rose menduga sang ayah pulang membawa wanita dari klub malamnya dan untuk malam itu ayahnya membawa dua wanita sekaligus. Rose hanya mengela napas, dadanya kembali terasa sakit tak kala telinganya harus mendengarkan suara desahan dan rintihan di luar sana. Rose memegang dadanya, kakinya terasa sangat lemah, dia hampir saja jatuh ke lantai. Namun, Rose dengan cepat berpegangan pada sebuah tiang jemuran."Kenapa hidupku begitu sangat menyedihkan," rintihnya pelan.Tubuh Rose lemas seketika saat menghirup aroma yang ada di sapu tangan tersebut. Tubuh Rose langsung digendong dan dimasukkan ke dalam mobil. Tentunya mobil lain dan bukan mobil milik ayah Rose.Setelah berjabat tangan dengan Roland, Jeno keluar dari mobil Roland. Dia melangkah mendekati mobil berwarna silver."Bawa gadis itu ke villa. Aku masih ada urusan yang ingin aku selesaikan. Suruh beberapa pelayan untuk menjaganya dan kalian berdua tetap berjaga di depan pintu. Paham!" Kedua pengawal Roland menganggukkan kepalanya. Jeno pun segera masuk ke dalam mobilnya dan segera melaju pergi. Begitu pula dengan kedua pengawal yang membawa Rose. Mereka pun meninggalkan tempat tersebut.Orang-orang bertubuh kekar itu membawa Rose masuk ke dalam rumah Jeno. "Cepat bawa dia ke kamarku," perintah Jeno berjalan mengikuti dua pengawalnya.Dua pengawal itu membawa masuk Rose ke dalam kamar Jeno dan merebahkan tubuh Rose di atas ranjang. Tak lupa mereka mengikat kedua tangan serta kaki Rose. Sungg
Rose berusaha bangun dari ranjang. Dia menggerakkan kedua tangannya agar bisa terlepas dari ikatan itu, akan tetapi justru membuat pergelangan kedua tangannya merah dan sakit. Rose mencari langkah lain. Dia menggigit tali yang mengikat kedua tangannya. Hasilnya tetap nihil."Ini terlalu kuat," keluh Rose. Dia meringis menahan sakit karena perih yang dirasakan pada pergelangan tangan. "Sakit ...."Sayup-sayup Rose mendengarkan suara gemercik airair. Gadis itu mencari arah datangnya suara itu. Kedua mata Rose tertuju pada sebuah pintu yang tertutup rapat. Rose berteriak agar seseorang mendengarkannya. Jeno yang sudah selesai mandi dan sedang memegang hairdryer untuk mengeringkan rambutnya. Telinganya menangkap sesuatu dan Jeno segera mematikan hairdryer nya. Pria itu bergegas keluar dari kamar mandi."Rupanya kau sudah siuman, nona?" Jeno mendekati Rose.Rose terlihat ketakutan melihat Jeno dengan rambut yang masih acak-acakan. Rose terdiam dan memundurkan tubuhnya. "Si-siapa kau?" Sua
Rintihan dan erangan Rose membuat hasrat Jeno semakin memuncak. Pria itu sepertinya sudah tidak bisa menahan diri. Sedangkan Rose terus menerus menggeliat.Melihat hal itu Jeno semakin bergairah. Namun, Jeno belum ingin melancarkan aksinya. Dia masih memperhatikan Rose sebagai bentuk pemanasan. Jeno terkenal sangat hipersex dan suka bermain dengan wanita penghibur. Tidak hanya satu wanita. Jeno mampu bermain dengan 5 wanita sekaligus dalam tiap malam.Entah itu sebuah keberuntungan atau bukan Jeno bisa mendapatkan sosok seorang gadis bernama Rose. Namun, bagi Rose hal itu adalah awal dari bencana. Jeno masih menikmati Rose yang terus meliuk-liuk di atas ranjang seperti ular yang sedang menari karena kepanasan. Tanpa basa-basi Jeno mendekap wajah Rose dan mendekatkan wajahnya sedekat mungkin dengan wajah Rose. Jeno ingin sekali menikmati bibir Rose, tapi sayangnya bibir Rose tertutup rapat. Akhirnya Jeno mengambil tindakan menggigit kecil bibir bawah Rose hingga gadis itu berteriak.
Rose terbangun dalam keadaan yang membingungkan. Rambut acak-acakkan, tubuh tanpa sehelai benang pun dan hanya tertutup oleh selimut. Rose pun merasa asing dengan tempat itu. Ruang kamar yang begitu besar dan sangat mewah.Rose mulai berusaha untuk mengingat apa yang telah terjadi, akan tetapi nihil. Yang hanya bisa Rose ingat adalah semalam kepalanya sangat pusing akibat meminum minuman yang pria itu berikan dan setelah itu Rose tidak ingat apa-apa.Rose berusaha menggerakkan tubuhnya. Namun, usahanya gagal karena seluruh tubuhnya terasa remuk dan sakit. Anehnya area sensitifnya terasa sangat perih. Rose seakan mulai mengerti, kenapa dia terbangun dengan keadaan yang seperti itu. Rose langsung menangis karena menyadari apa yang telah pria itu lakukan pada dirinya.Rose menangis begitu kencang, karena dia merasa sangat jijik dengan dirinya sendiri dan dia pun terlihat sangat bodoh."Hiks ... ibu ...." Rose menangis sambil memanggil ibunya karena dia pasti kecewa dengan Rose yang tidak
Malam itu Jeno pulang lebih awal dari biasanya. Hal itu dikarenakan pekerjaan di kantornya tidak terlalu banyak. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Jeno terus menerus menatap keluar jendela dan tersenyum sendiri. Entah dia sedang memikirkan apa. Jeno tidak sadar jika sang sopir memperhatikannya sedari tadi."Tuan muda baik-baik saja? Kenapa tuan senyum-senyum sendiri? Sepertinya tuan muda sedang bahagia," ujar si supir yang tampak penasaran."Tidak ada apa-apa. Saya hanya sedang melamun." Jimin menyangkalnya sambil tersenyum."Jika begitu maafkan saya, jika saya mengganggu tuan muda."Jeno kembali melamun saat sang supir mulai fokus menyetir mobilnya. Jeno mulai memikirkan sesuatu. Jeno sebenarnya sudah tidak sabar ingin cepat-cepat sampai di rumah.Satu jam sebelumnya."Hari ini entah mengapa aku ingin sekali segera pulang ke rumah. Sebenarnya ada apa dengan otakku ini?" Jeno memutarkan kursi putarnya beberapa kali dengan pelan. "Jujur saja seharian ini aku hanya memikirkan gadis itu
Pagi itu hujan deras mengguyur. Membasahi semua yang ditemuinya hingga membuat cuaca pagi begitu sangat dingin. Hal itu membuat dua orang yang sedang tertidur enggan untuk bangun.Jeno merapatkan pelukannya pada tubuh Rose. Gadis itu sama sekali tidak bergerak karena rasa hangat yang dia rasakan membuatnya terasa sangat nyaman. Jeno pun kembali menutup matanya.Hujan semakin deras. Dingin bercampur dengan sejuk dan Petrichor mulai tercium. Rose membuka matanya dan bergerak pelan. Dia tidak ingin membangunkan Jeno. Rose dengan pelan memindahkan tangan Jeno yang melingkar dipinggangnya."Kau hendak ke mana?" Tangan Jeno mencegah Rose hingga membuat Rose menoleh."Aku ingin ke kamar mandi," sahut Rose. Jeno pun melepaskan genggaman tangannya.Rose melangkah masuk ke dalam kamar mandi dan memutar kran air. Setelah itu dia menunggu beberapa menit agar air itu menjadi hangat. Sambil menunggu air penuh, Rose melangkah ke arah jendela yang tidak jauh dari bath-up. Rose menggeser kaca itu sedi
"Ada apa?" Suara Jeno memotong kalimat Rose. Jeno langsung meraih kedua tangan Rose. "Jangan digaruk itu bisa menjadi luka dan kulit akan hitam. Sebentar aku carikan obat gatal."Jeno kembali dengan sebuah benda ditangannya. Jeno pun mengoleskan krim pada lengan Rose. Krim itu sangat dingin di kulit hingga gatal yang dirasakan oleh Rose berkurang."Te-terima kasih, tuan." "Jangan menggaruknya. Biarkan obat itu menyerap. Tidak lama lagi kulitmu itu akan kembali seperti semula," pinta Jeno. Rose pun menurutinya."Ta-tapi kenapa bisa seperti ini?" kata Rose heran."Mungkin salah satu menu makanan yang kau makan ada campuran seafood-nya," jelas Jeno. Rose menganggukkan kepalanya. "Beristitahatlah dulu. Nanti jika belum membaik aku akan membelikanmu obat," lanjut Jeno.Jeno meninggalkan Rose biar Rose bisa istirahat dengan nyaman. Jeno memberi perintah pada anak buahnya untuk menjaga Rose, karena dia akan keluar sebentar membeli sesuatu.***Sudah 3 bulan Rose tinggal di rumah Jeno. Jeno
Kehadiran Rose membawa pengaruh baik untuk Jeno. Namun tidak untuk Maryam. Rasa iri dalam diri Maryam semakin tinggi. Terlebih lagi Maryam seperti tidak ikhlas jika Jeno harus hidup serumah dengan Rose. Entah apa yang membuat Maryam begitu membenci Rose. Padahal dari segi umur pun Maryam dan Rose sudah terlihat berbeda jauh.Maryam menatap dua orang yang sedang bercanda di ruang tengah. Suara keduanya sampai terdengar di luar rumah. Beberapa pengawal Jeno tampak saling merespons."Sejak kedatangan perempuan itu. Tuan Jeno tidak lagi emosian.""Betul sekali. Tuan Jeno jadi terlihat sangat hangat walaupun beliau akan berubah tegas saat tiba di kantor," kata pengawal dengan badan tinggi besar dan penuh tato."Semoga saja akan seperti itu terus agar kita tidak setiap hari kena marah," lanjut salah seorang diantara pengawal yang sedang duduk santai sambil minum kopi.Maryam melintas di ruang tengah. Dia hendak pulang ke gubuknya. Wajah datar Maryam memperlihatkan rasa benci pada sosok gadi