LOGINRaina terdiam. Suara detik jam dinding tua di rumah itu terdengar nyaring di telinganya yang kini dipenuhi gemuruh pertanyaan. Ia merasa seakan kepalanya akan meledak oleh fakta yang baru saja diucapkan Bu Laras.
“Keluarga Elvano…? Maksud Ibu, aku... bagian dari mereka?” Bu Laras mengangguk pelan. “Lebih dari itu, Nak. Kau bukan hanya bagian dari mereka. Kau adalah darah mereka. Kau cucu kandung dari mendiang Nyonya Giselda.” Nama itu terdengar asing, namun terasa mengguncang. Raina menggeleng, mencoba menolak kenyataan. “Tidak mungkin… aku tidak ingat apa-apa. Bahkan tidak pernah mendengar nama itu!” Bu Laras berjalan ke sebuah lemari tua di sudut ruangan. Ia menarik satu laci yang berdebu dan mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil. Dengan hati-hati, ia membukanya dan mengeluarkan sebuah liontin emas yang tampak sudah tua, lalu menyerahkannya pada Raina. “Ini milik ibumu. Dulu, dia selalu memakaPagi datang tanpa benar-benar membawa ketenangan.Cahaya matahari menyelinap malu-malu melalui celah gorden rumah kecil itu, jatuh di lantai kayu yang dingin. Raina sudah terjaga sejak subuh. Ia duduk di tepi sofa, buku harian Raditya terbuka di pangkuannya, tapi matanya tak benar-benar membaca. Pikirannya berlari jauh—ke ibunya, ke ruang rapat dewan, ke ancaman yang kini menggantung seperti pedang di atas kepalanya.Di dapur kecil, aroma kopi hitam tercium. Armand berdiri dengan punggung tegap, seolah kelelahan semalam tak pernah menyentuhnya. Danu sedang menelpon seseorang dengan suara rendah, sementara Elvano berdiri dekat jendela, mengamati jalanan sepi dengan kewaspadaan seorang penjaga.“Tidak ada pergerakan mencurigakan sejauh ini,” ujar Elvano tanpa menoleh. “Tapi itu justru yang membuatku tidak tenang.”Raina menutup buku harian itu perlahan. “Karena mereka menunggu.”Elvano menatapnya. “Karena mereka merencanakan.”Armand meletakkan cangkir kopi di meja dan mendekat. “Kita t
Malam itu seolah menelan seluruh kejadian yang baru saja mereka lalui. Rumah aman itu sunyi, hanya suara detakan jam tua di dinding yang memecah keheningan. Raina berdiri di tengah ruangan, memandangi surat kecil di tangannya, seakan kata-kata ayahnya meresap perlahan dan menenangkan gejolak yang berkecamuk di dadanya. Namun ketenangan itu hanya berlangsung sebentar. Karena mulai malam itu, tidak ada satu detik pun yang bisa dianggap aman. Armand mengaktifkan sistem keamanan rumah. Bunyi mekanisme terkunci terdengar dari setiap sudut: jendela, pintu belakang, ventilasi rahasia. Rumah itu berubah menjadi benteng kecil. Danu menutup tirai jendela, memastikan tidak ada celah. Sedangkan Elvano tidak menjauh dari Raina. Gerak tubuhnya tegas, seperti pelindung yang selalu siaga. “Aku tahu kau ingin pura-pura kuat,” katanya pelan, “tapi jika kau ingin bicara… aku di sini.” Raina menatapnya. “El, jika mereka benar-benar menyentuh Ibu… aku tidak akan pernah memaafkan diriku.” Elvano me
Malam semakin larut ketika mereka akhirnya mematikan layar dan mulai membereskan semua dokumen penting. Namun, tidak satu pun dari mereka benar-benar merasa mengantuk. Kebenaran yang baru terungkap itu seperti racun yang sekaligus menjadi penawar—menyakitkan, tapi membuat mereka terjaga dengan arah yang lebih jelas.Armand menutup flash drive dengan kotak khusus anti-pelacakan. “Perangkat ini tidak boleh lepas dari tanganmu,” katanya, menyerahkannya kepada Raina.Raina menatap benda kecil itu. “Jika Ayah berjuang menyembunyikannya selama bertahun-tahun… aku tidak akan menjatuhkannya dalam satu malam.”Armand mengangguk. “Besok akan berat, Ran. Kau harus siap menghadapi pertanyaan, tekanan, bahkan tatapan sinis dari orang-orang yang telah mencuri hakmu.”Raina menarik napas panjang. “Aku tidak takut. Aku lebih takut hidup dalam ketidaktahuan.”Danu menatapnya, kagum. “Aku mulai mengerti mengapa Raditya menyebutmu ‘cahaya Kirana’.”Raina tersenyum samar—baru pertama kali malam itu ia te
Malam itu udara dingin, namun ada api yang menyala dalam dada Raina. Mereka meninggalkan gedung tua itu dalam senyap, memasuki mobil Armand—SUV hitam yang kokoh dan tanpa plat nomor depan. Jalanan kota terbentang sunyi, lampu-lampu berpendar seperti titik-titik cahaya yang memudar.Raina duduk di samping Armand di kursi penumpang depan, sementara Danu dan Elvano di belakang.“Ke mana kita?” tanya Raina pelan.Armand meliriknya sekilas, kemudian menatap jalan lagi. “Ke kantor lamaku. Tempat yang kurancang sendiri—kedap suara, enkripsi jaringan kuat, tidak bisa disadap. Di sana kita bisa membuka isi flash drive itu.”Elvano mengamati sekitar dari kaca jendela. “Kau yakin tidak ada yang menguntit?”Armand tersenyum singkat, bukan sombong—lebih kepada keyakinan. “Aku sudah bermain dalam permainan ini cukup lama untuk tahu kapan aku dibuntuti.”Mobil bergerak melewati gerbang parkir gedung perkantoran yang tampak tidak beroperasi. Lampu-lampu di lantai atas mati,
Raina menggenggam flash drive itu erat seolah benda kecil itu adalah kunci masa depan—dan memang begitu. Tapi sebelum ada kesempatan untuk membukanya, suara dari luar gedung tua itu terdengar. Bukan suara hembusan angin atau dedaunan—ini seperti derap langkah kaki yang berusaha hati-hati.Danu langsung mengangkat tangan memberi sinyal hening. Elvano memadamkan senter.Ruangan tenggelam dalam gelap.Suara langkah itu berhenti tepat di depan pintu kayu gedung.Raina menahan napas. Satu detik terasa seperti selamanya.Lalu…Suara ketokan pelan.Tiga kali.Berirama.Seolah seseorang memberikan kode.Elvano merunduk di dekat jendela, mengintip celah.Danu bersiap dengan pisau lipat di tangan.Raina hanya menggenggam flash drive dan foto ayahnya—tak bisa memikirkan senjata lain selain tekad.Suara pria terdengar jelas:“Aku tahu kalian di dalam. Jangan bodoh. Aku hanya ingin bicara.”Raina meremas tangannya. Suara itu… tidak asing.Elvano menatapnya pelan. “Ran… kau kenal suara itu?”Raina
Raina berdiri mematung dalam diam yang berat. Matanya menatap flash drive hitam itu seakan benda itu adalah masa lalunya sendiri yang dipadatkan menjadi satu titik dalam kehidupan. Semua yang ia pikir ia pahami… berantakan. Semua yang ia kira sudah mati… mungkin hidup. Semua yang ia anggap musuh… mungkin hanya wayang.Dan entah mengapa, ia merasa udara mulai berubah menjadi lebih dingin.“Elvano,” katanya pelan. “Aku takut… tapi aku juga tidak bisa berhenti.”Elvano menatapnya penuh ketegasan tenang yang selalu menjadi jangkar dalam badai pikirannya.“Kamu tidak sendiri dalam ini, Ran.”Danu menatap jam tangannya. “Kita harus kembali ke rumah dulu dan membuka flash drive ini di komputer yang aman. Tidak di sini. Tempat ini mungkin sudah dipasang sensor… atau pantauan.”“Pantauan?” Raina otomatis mendongak.Danu menatapnya serius. “Aku pernah dengar bisik-bisik soal Paman Gunawan… paman yang satu lagi. Dia punya jaringan keamanan swasta. Kalau dia benar dalangnya… mungkin ada CCTV ters







