Home / Romansa / Gadis Tanpa Ingatan / 8. Pertemuan di rumah tua

Share

8. Pertemuan di rumah tua

Author: Alvarezmom
last update Last Updated: 2025-06-18 20:17:56

Elvano tidak langsung merespons sentuhan itu. Ia menatap tangan Raina yang menggenggam tangannya dengan pelan, seakan bertanya: Kenapa kau tak pergi saja? Kenapa tetap bertahan di hadapanku yang tak bisa menjanjikan apa pun?

Namun, Elvano tahu, ia lelah berpura-pura. Lelah menahan sesuatu yang seharusnya bisa ia ungkapkan sejak lama. Hatinya telah lama beku sejak kehilangan yang dulu, dan ia membiarkan dinding tinggi menutupi segalanya. Tapi malam ini, dinding itu retak—dan Raina berdiri tepat di balik celahnya.

“Aku tidak mengerti kenapa aku merasa seperti ini setiap bersamamu,” lirih Elvano akhirnya, suaranya berat. “Padahal aku tahu aku harus menjaga jarak. Tapi saat melihatmu berdiri di jendela malam itu, tampak tersesat dan sendirian… aku tahu aku tak bisa membiarkanmu terus seperti itu.”

Raina menatap pria itu tanpa berkata. Di matanya, Elvano bukan hanya lelaki yang sulit ditebak, tetapi juga seseorang yang menyimpan begitu banyak luka dan ketakutan yang belum tersembuhkan. Ia bisa merasakannya, bahkan saat pria itu diam sekalipun.

“Dan soal semalam…” lanjut Elvano, kali ini ia mengangkat wajah, menatap langsung ke mata Raina. “Itu bukan kebodohan. Itu… kejujuran yang menakutkan.”

Raina merasa napasnya tercekat. Kata-kata itu, meski lirih, menghantam perasaannya seperti badai.

“Kalau begitu, kenapa kau menjauhiku? Kenapa kau bersikap seolah tidak pernah terjadi apa pun?” tanyanya dengan nada pelan tapi jelas mengguncang.

Elvano menunduk. Dan berkata dengan nada lirih. “Karena aku tidak tahu apakah aku pantas merasakan ini lagi. Setelah kehilangan yang dulu… karena aku telah berjanji tak akan melibatkan siapa pun dalam hidupku lagi.”

“Lalu kenapa kau membiarkanku masuk?” balas Raina cepat. “Kenapa kau menampungku di rumahmu? Memberiku perlindungan? Menemaniku mencari jati diri ku yang hilang?”

Pertanyaan-pertanyaan itu seperti ledakan kecil di dalam dada Elvano. Ia terdiam lama, sebelum akhirnya menjawab, “Karena sejak awal, kau bukan hanya seseorang yang butuh pertolongan. Kau adalah… seseorang yang menyentuh bagian hidupku yang selama ini mati rasa.”

Hening kembali menyelimuti ruangan. Tapi kali ini, bukan keheningan yang mencekam. Melainkan keheningan yang memberi ruang untuk pemahaman tumbuh perlahan.

Raina menghela napas, lalu duduk di samping Elvano. Ia tak lagi menggenggam tangan pria itu, tapi duduk cukup dekat agar ia tahu, kehadirannya nyata.

“Aku ingin mencari tahu siapa aku. Dan Siapa Amara. Dan kenapa aku bisa merasa seolah pernah mengenal tempat ini… rumah ini… bahkan dirimu, entah dari mana,” bisiknya lirih. “Tapi aku juga ingin tahu… siapa dirimu sebenarnya, Elvano. Bukan hanya versi dingin yang kau tunjukkan ke dunia.”

Elvano menatap Raina. Ada getar halus di matanya. “Mungkin… kita bisa mulai saling mengenal dari awal,” katanya perlahan.

Raina mengangguk. “Tanpa kepura-puraan.”

“Tanpa penyangkalan,” balas Elvano.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, keduanya merasa seperti dua manusia yang berdiri di tepi jurang yang sama. Luka mereka berbeda, masa lalu mereka mungkin tak bisa dibandingkan, tapi ketakutan mereka serupa—takut untuk percaya, takut untuk berharap.

Namun, saat mereka duduk berdampingan di sofa, dengan keheningan yang tidak lagi menyiksa, ada harapan kecil yang mulai tumbuh.

Pagi berikutnya, suasana di rumah terasa berbeda. Lebih hangat, lebih manusiawi. Raina bangun lebih pagi dari biasanya dan turun ke dapur. Ia tak menemukan Elvano, tapi ada secarik kertas kecil di meja makan, tulisan tangan yang rapi.

"Hari ini aku akan sedikit terlambat pulang. Tapi aku ingin kau tahu… semalam bukan kesalahan. -E."

Raina menggenggam kertas itu erat, lalu menempelkannya di lemari es seperti harta karun kecil. Senyum tipis muncul di wajahnya.

Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama.

Saat ia sedang membereskan meja makan, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor asing.

"Kalau kau ingin tahu siapa Amara, datanglah ke alamat ini. Jangan ajak siapa pun. Waktu kita tidak banyak."

Raina menatap pesan itu, jantungnya berdetak lebih cepat. Ini bukan pertama kalinya nama itu disebutkan, tapi ini adalah pertama kalinya seseorang secara langsung memancingnya untuk mencari tahu.

Alamat yang tertera adalah sebuah tempat di pinggiran kota. Sebuah rumah tua di kawasan yang tak terlalu dikenal Raina.

Ia menimbang—akal sehatnya mengatakan ini berbahaya. Tapi dorongan dari dalam dirinya… mengatakan ini penting.

Setelah berpikir sejenak, ia mengemas ponselnya, mengambil jaket, dan memesan ojek online. Ia tak meninggalkan pesan untuk siapa pun.

Perjalanan menuju alamat itu terasa panjang. Kabut menyelimuti jalan-jalan sempit, dan rasa gelisah semakin menekan dadanya. Namun rasa penasaran mengalahkan semuanya.

Saat ia tiba, rumah tua itu terlihat sepi. Cat temboknya sudah memudar, dan halaman depannya ditumbuhi ilalang tinggi. Tapi anehnya, pintu rumah sedikit terbuka, seolah seseorang memang menunggu kedatangannya.

Raina mendorong pintu itu perlahan.

“Hallo?” panggilnya ragu.

Tak ada jawaban.

Ia melangkah masuk, dan bau lembap langsung menyergap hidungnya. Di dalam, dinding-dinding penuh foto tua dan potret keluarga yang usang. Ia menatap satu per satu, dan berhenti pada satu bingkai di dinding utama.

Itu adalah foto seorang gadis kecil—berambut ikal, matanya bulat, tersenyum ke arah kamera dengan manis. Tapi yang membuat Raina terpaku adalah... wajah itu. Wajah itu sangat familiar.

Itu dirinya. Atau… seseorang yang sangat mirip dengannya.

“Amara,” gumamnya.

“Aku senang akhirnya kau datang.”

Suara itu membuatnya terlonjak. Seorang wanita tua berdiri di ujung lorong, rambutnya disanggul rapi, matanya tajam namun tidak jahat.

“Siapa Anda?” tanya Raina cepat.

Wanita itu melangkah perlahan. “Namaku Laras. Aku pernah mengasuhmu, saat kau masih kecil. Saat kau masih dipanggil… Amara.”

Raina terpaku. Semua dinding di kepalanya runtuh dalam sekejap.

“Tidak mungkin…” bisiknya.

“Kenapa tidak mungkin? Karena kau telah dilupakan? Atau karena mereka sengaja membuatmu lupa?”

Raina menatap wanita itu, tubuhnya bergetar. “Siapa mereka…? Apa maksud semua ini?”

Bu Laras tersenyum tipis. Tapi bukan senyum hangat—melainkan senyum getir.

“Kau tidak seharusnya hidup seperti sekarang, Raina. Kau seharusnya menjadi pewaris keluarga besar yang… menghilangkanmu karena kau dianggap membawa aib.”

Raina menelan ludah. “Keluarga… besar? Siapa?”

“Yang kau tinggali sekarang,” jawab Bu Laras perlahan. “Keluarga Elvano.”

Dan kini dunia Raina terasa runtuh. ia begitu syok.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gadis Tanpa Ingatan   71.

    Pagi datang tanpa benar-benar membawa ketenangan.Cahaya matahari menyelinap malu-malu melalui celah gorden rumah kecil itu, jatuh di lantai kayu yang dingin. Raina sudah terjaga sejak subuh. Ia duduk di tepi sofa, buku harian Raditya terbuka di pangkuannya, tapi matanya tak benar-benar membaca. Pikirannya berlari jauh—ke ibunya, ke ruang rapat dewan, ke ancaman yang kini menggantung seperti pedang di atas kepalanya.Di dapur kecil, aroma kopi hitam tercium. Armand berdiri dengan punggung tegap, seolah kelelahan semalam tak pernah menyentuhnya. Danu sedang menelpon seseorang dengan suara rendah, sementara Elvano berdiri dekat jendela, mengamati jalanan sepi dengan kewaspadaan seorang penjaga.“Tidak ada pergerakan mencurigakan sejauh ini,” ujar Elvano tanpa menoleh. “Tapi itu justru yang membuatku tidak tenang.”Raina menutup buku harian itu perlahan. “Karena mereka menunggu.”Elvano menatapnya. “Karena mereka merencanakan.”Armand meletakkan cangkir kopi di meja dan mendekat. “Kita t

  • Gadis Tanpa Ingatan   70.

    Malam itu seolah menelan seluruh kejadian yang baru saja mereka lalui. Rumah aman itu sunyi, hanya suara detakan jam tua di dinding yang memecah keheningan. Raina berdiri di tengah ruangan, memandangi surat kecil di tangannya, seakan kata-kata ayahnya meresap perlahan dan menenangkan gejolak yang berkecamuk di dadanya. Namun ketenangan itu hanya berlangsung sebentar. Karena mulai malam itu, tidak ada satu detik pun yang bisa dianggap aman. Armand mengaktifkan sistem keamanan rumah. Bunyi mekanisme terkunci terdengar dari setiap sudut: jendela, pintu belakang, ventilasi rahasia. Rumah itu berubah menjadi benteng kecil. Danu menutup tirai jendela, memastikan tidak ada celah. Sedangkan Elvano tidak menjauh dari Raina. Gerak tubuhnya tegas, seperti pelindung yang selalu siaga. “Aku tahu kau ingin pura-pura kuat,” katanya pelan, “tapi jika kau ingin bicara… aku di sini.” Raina menatapnya. “El, jika mereka benar-benar menyentuh Ibu… aku tidak akan pernah memaafkan diriku.” Elvano me

  • Gadis Tanpa Ingatan   69.

    Malam semakin larut ketika mereka akhirnya mematikan layar dan mulai membereskan semua dokumen penting. Namun, tidak satu pun dari mereka benar-benar merasa mengantuk. Kebenaran yang baru terungkap itu seperti racun yang sekaligus menjadi penawar—menyakitkan, tapi membuat mereka terjaga dengan arah yang lebih jelas.Armand menutup flash drive dengan kotak khusus anti-pelacakan. “Perangkat ini tidak boleh lepas dari tanganmu,” katanya, menyerahkannya kepada Raina.Raina menatap benda kecil itu. “Jika Ayah berjuang menyembunyikannya selama bertahun-tahun… aku tidak akan menjatuhkannya dalam satu malam.”Armand mengangguk. “Besok akan berat, Ran. Kau harus siap menghadapi pertanyaan, tekanan, bahkan tatapan sinis dari orang-orang yang telah mencuri hakmu.”Raina menarik napas panjang. “Aku tidak takut. Aku lebih takut hidup dalam ketidaktahuan.”Danu menatapnya, kagum. “Aku mulai mengerti mengapa Raditya menyebutmu ‘cahaya Kirana’.”Raina tersenyum samar—baru pertama kali malam itu ia te

  • Gadis Tanpa Ingatan   68.

    Malam itu udara dingin, namun ada api yang menyala dalam dada Raina. Mereka meninggalkan gedung tua itu dalam senyap, memasuki mobil Armand—SUV hitam yang kokoh dan tanpa plat nomor depan. Jalanan kota terbentang sunyi, lampu-lampu berpendar seperti titik-titik cahaya yang memudar.Raina duduk di samping Armand di kursi penumpang depan, sementara Danu dan Elvano di belakang.“Ke mana kita?” tanya Raina pelan.Armand meliriknya sekilas, kemudian menatap jalan lagi. “Ke kantor lamaku. Tempat yang kurancang sendiri—kedap suara, enkripsi jaringan kuat, tidak bisa disadap. Di sana kita bisa membuka isi flash drive itu.”Elvano mengamati sekitar dari kaca jendela. “Kau yakin tidak ada yang menguntit?”Armand tersenyum singkat, bukan sombong—lebih kepada keyakinan. “Aku sudah bermain dalam permainan ini cukup lama untuk tahu kapan aku dibuntuti.”Mobil bergerak melewati gerbang parkir gedung perkantoran yang tampak tidak beroperasi. Lampu-lampu di lantai atas mati,

  • Gadis Tanpa Ingatan   67.

    Raina menggenggam flash drive itu erat seolah benda kecil itu adalah kunci masa depan—dan memang begitu. Tapi sebelum ada kesempatan untuk membukanya, suara dari luar gedung tua itu terdengar. Bukan suara hembusan angin atau dedaunan—ini seperti derap langkah kaki yang berusaha hati-hati.Danu langsung mengangkat tangan memberi sinyal hening. Elvano memadamkan senter.Ruangan tenggelam dalam gelap.Suara langkah itu berhenti tepat di depan pintu kayu gedung.Raina menahan napas. Satu detik terasa seperti selamanya.Lalu…Suara ketokan pelan.Tiga kali.Berirama.Seolah seseorang memberikan kode.Elvano merunduk di dekat jendela, mengintip celah.Danu bersiap dengan pisau lipat di tangan.Raina hanya menggenggam flash drive dan foto ayahnya—tak bisa memikirkan senjata lain selain tekad.Suara pria terdengar jelas:“Aku tahu kalian di dalam. Jangan bodoh. Aku hanya ingin bicara.”Raina meremas tangannya. Suara itu… tidak asing.Elvano menatapnya pelan. “Ran… kau kenal suara itu?”Raina

  • Gadis Tanpa Ingatan   66.

    Raina berdiri mematung dalam diam yang berat. Matanya menatap flash drive hitam itu seakan benda itu adalah masa lalunya sendiri yang dipadatkan menjadi satu titik dalam kehidupan. Semua yang ia pikir ia pahami… berantakan. Semua yang ia kira sudah mati… mungkin hidup. Semua yang ia anggap musuh… mungkin hanya wayang.Dan entah mengapa, ia merasa udara mulai berubah menjadi lebih dingin.“Elvano,” katanya pelan. “Aku takut… tapi aku juga tidak bisa berhenti.”Elvano menatapnya penuh ketegasan tenang yang selalu menjadi jangkar dalam badai pikirannya.“Kamu tidak sendiri dalam ini, Ran.”Danu menatap jam tangannya. “Kita harus kembali ke rumah dulu dan membuka flash drive ini di komputer yang aman. Tidak di sini. Tempat ini mungkin sudah dipasang sensor… atau pantauan.”“Pantauan?” Raina otomatis mendongak.Danu menatapnya serius. “Aku pernah dengar bisik-bisik soal Paman Gunawan… paman yang satu lagi. Dia punya jaringan keamanan swasta. Kalau dia benar dalangnya… mungkin ada CCTV ters

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status