Elvano tidak langsung merespons sentuhan itu. Ia menatap tangan Raina yang menggenggam tangannya dengan pelan, seakan bertanya: Kenapa kau tak pergi saja? Kenapa tetap bertahan di hadapanku yang tak bisa menjanjikan apa pun?
Namun, Elvano tahu, ia lelah berpura-pura. Lelah menahan sesuatu yang seharusnya bisa ia ungkapkan sejak lama. Hatinya telah lama beku sejak kehilangan yang dulu, dan ia membiarkan dinding tinggi menutupi segalanya. Tapi malam ini, dinding itu retak—dan Raina berdiri tepat di balik celahnya. “Aku tidak mengerti kenapa aku merasa seperti ini setiap bersamamu,” lirih Elvano akhirnya, suaranya berat. “Padahal aku tahu aku harus menjaga jarak. Tapi saat melihatmu berdiri di jendela malam itu, tampak tersesat dan sendirian… aku tahu aku tak bisa membiarkanmu terus seperti itu.” Raina menatap pria itu tanpa berkata. Di matanya, Elvano bukan hanya lelaki yang sulit ditebak, tetapi juga seseorang yang menyimpan begitu banyak luka dan ketakutan yang belum tersembuhkan. Ia bisa merasakannya, bahkan saat pria itu diam sekalipun. “Dan soal semalam…” lanjut Elvano, kali ini ia mengangkat wajah, menatap langsung ke mata Raina. “Itu bukan kebodohan. Itu… kejujuran yang menakutkan.” Raina merasa napasnya tercekat. Kata-kata itu, meski lirih, menghantam perasaannya seperti badai. “Kalau begitu, kenapa kau menjauhiku? Kenapa kau bersikap seolah tidak pernah terjadi apa pun?” tanyanya dengan nada pelan tapi jelas mengguncang. Elvano menunduk. Dan berkata dengan nada lirih. “Karena aku tidak tahu apakah aku pantas merasakan ini lagi. Setelah kehilangan yang dulu… karena aku telah berjanji tak akan melibatkan siapa pun dalam hidupku lagi.” “Lalu kenapa kau membiarkanku masuk?” balas Raina cepat. “Kenapa kau menampungku di rumahmu? Memberiku perlindungan? Menemaniku mencari jati diri ku yang hilang?” Pertanyaan-pertanyaan itu seperti ledakan kecil di dalam dada Elvano. Ia terdiam lama, sebelum akhirnya menjawab, “Karena sejak awal, kau bukan hanya seseorang yang butuh pertolongan. Kau adalah… seseorang yang menyentuh bagian hidupku yang selama ini mati rasa.” Hening kembali menyelimuti ruangan. Tapi kali ini, bukan keheningan yang mencekam. Melainkan keheningan yang memberi ruang untuk pemahaman tumbuh perlahan. Raina menghela napas, lalu duduk di samping Elvano. Ia tak lagi menggenggam tangan pria itu, tapi duduk cukup dekat agar ia tahu, kehadirannya nyata. “Aku ingin mencari tahu siapa aku. Dan Siapa Amara. Dan kenapa aku bisa merasa seolah pernah mengenal tempat ini… rumah ini… bahkan dirimu, entah dari mana,” bisiknya lirih. “Tapi aku juga ingin tahu… siapa dirimu sebenarnya, Elvano. Bukan hanya versi dingin yang kau tunjukkan ke dunia.” Elvano menatap Raina. Ada getar halus di matanya. “Mungkin… kita bisa mulai saling mengenal dari awal,” katanya perlahan. Raina mengangguk. “Tanpa kepura-puraan.” “Tanpa penyangkalan,” balas Elvano. Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, keduanya merasa seperti dua manusia yang berdiri di tepi jurang yang sama. Luka mereka berbeda, masa lalu mereka mungkin tak bisa dibandingkan, tapi ketakutan mereka serupa—takut untuk percaya, takut untuk berharap. Namun, saat mereka duduk berdampingan di sofa, dengan keheningan yang tidak lagi menyiksa, ada harapan kecil yang mulai tumbuh. Pagi berikutnya, suasana di rumah terasa berbeda. Lebih hangat, lebih manusiawi. Raina bangun lebih pagi dari biasanya dan turun ke dapur. Ia tak menemukan Elvano, tapi ada secarik kertas kecil di meja makan, tulisan tangan yang rapi. "Hari ini aku akan sedikit terlambat pulang. Tapi aku ingin kau tahu… semalam bukan kesalahan. -E." Raina menggenggam kertas itu erat, lalu menempelkannya di lemari es seperti harta karun kecil. Senyum tipis muncul di wajahnya. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Saat ia sedang membereskan meja makan, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor asing. "Kalau kau ingin tahu siapa Amara, datanglah ke alamat ini. Jangan ajak siapa pun. Waktu kita tidak banyak." Raina menatap pesan itu, jantungnya berdetak lebih cepat. Ini bukan pertama kalinya nama itu disebutkan, tapi ini adalah pertama kalinya seseorang secara langsung memancingnya untuk mencari tahu. Alamat yang tertera adalah sebuah tempat di pinggiran kota. Sebuah rumah tua di kawasan yang tak terlalu dikenal Raina. Ia menimbang—akal sehatnya mengatakan ini berbahaya. Tapi dorongan dari dalam dirinya… mengatakan ini penting. Setelah berpikir sejenak, ia mengemas ponselnya, mengambil jaket, dan memesan ojek online. Ia tak meninggalkan pesan untuk siapa pun. Perjalanan menuju alamat itu terasa panjang. Kabut menyelimuti jalan-jalan sempit, dan rasa gelisah semakin menekan dadanya. Namun rasa penasaran mengalahkan semuanya. Saat ia tiba, rumah tua itu terlihat sepi. Cat temboknya sudah memudar, dan halaman depannya ditumbuhi ilalang tinggi. Tapi anehnya, pintu rumah sedikit terbuka, seolah seseorang memang menunggu kedatangannya. Raina mendorong pintu itu perlahan. “Hallo?” panggilnya ragu. Tak ada jawaban. Ia melangkah masuk, dan bau lembap langsung menyergap hidungnya. Di dalam, dinding-dinding penuh foto tua dan potret keluarga yang usang. Ia menatap satu per satu, dan berhenti pada satu bingkai di dinding utama. Itu adalah foto seorang gadis kecil—berambut ikal, matanya bulat, tersenyum ke arah kamera dengan manis. Tapi yang membuat Raina terpaku adalah... wajah itu. Wajah itu sangat familiar. Itu dirinya. Atau… seseorang yang sangat mirip dengannya. “Amara,” gumamnya. “Aku senang akhirnya kau datang.” Suara itu membuatnya terlonjak. Seorang wanita tua berdiri di ujung lorong, rambutnya disanggul rapi, matanya tajam namun tidak jahat. “Siapa Anda?” tanya Raina cepat. Wanita itu melangkah perlahan. “Namaku Laras. Aku pernah mengasuhmu, saat kau masih kecil. Saat kau masih dipanggil… Amara.” Raina terpaku. Semua dinding di kepalanya runtuh dalam sekejap. “Tidak mungkin…” bisiknya. “Kenapa tidak mungkin? Karena kau telah dilupakan? Atau karena mereka sengaja membuatmu lupa?” Raina menatap wanita itu, tubuhnya bergetar. “Siapa mereka…? Apa maksud semua ini?” Bu Laras tersenyum tipis. Tapi bukan senyum hangat—melainkan senyum getir. “Kau tidak seharusnya hidup seperti sekarang, Raina. Kau seharusnya menjadi pewaris keluarga besar yang… menghilangkanmu karena kau dianggap membawa aib.” Raina menelan ludah. “Keluarga… besar? Siapa?” “Yang kau tinggali sekarang,” jawab Bu Laras perlahan. “Keluarga Elvano.” Dan kini dunia Raina terasa runtuh. ia begitu syok.Elvano tidak langsung merespons sentuhan itu. Ia menatap tangan Raina yang menggenggam tangannya dengan pelan, seakan bertanya: Kenapa kau tak pergi saja? Kenapa tetap bertahan di hadapanku yang tak bisa menjanjikan apa pun?Namun, Elvano tahu, ia lelah berpura-pura. Lelah menahan sesuatu yang seharusnya bisa ia ungkapkan sejak lama. Hatinya telah lama beku sejak kehilangan yang dulu, dan ia membiarkan dinding tinggi menutupi segalanya. Tapi malam ini, dinding itu retak—dan Raina berdiri tepat di balik celahnya.“Aku tidak mengerti kenapa aku merasa seperti ini setiap bersamamu,” lirih Elvano akhirnya, suaranya berat. “Padahal aku tahu aku harus menjaga jarak. Tapi saat melihatmu berdiri di jendela malam itu, tampak tersesat dan sendirian… aku tahu aku tak bisa membiarkanmu terus seperti itu.”Raina menatap pria itu tanpa berkata. Di matanya, Elvano bukan hanya lelaki yang sulit ditebak, tetapi juga seseorang yang menyimpan begitu banyak luka dan ketakutan yang belum tersembuhkan. Ia
Hujan turun deras malam itu, menyapu jendela rumah besar Elvano dengan irama yang ritmis dan menyayat. Di balik tirai tipis, Raina berdiri diam memandangi langit yang kelabu. memantulkan kegelisahan yang sejak sore tadi terus menghantui pikirannya.Sejak menerima telepon misterius yang menyebut nama "Amara", pikirannya kacau. Nama itu terdengar begitu akrab, namun saat ia coba menggalinya, hanya kehampaan yang menjawab. Ia merasa seperti seseorang yang berjalan di lorong gelap tanpa tahu ke mana arah pulang.Langkah kaki berat terdengar mendekat ke arahnya. Raina menoleh.. terlihat Elvano sedang berjalan mendekat.“Apa Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanyanya datar, tapi ada nada lembut yang berusaha ia sembunyikan.Raina menatap pria itu yang berdiri tak jauh dari nya. “Apakah menurutmu aku… orang jahat?” tanyanya tiba-tiba.Elvano mengerutkan kening. “Kenapa kau berpikir begitu?”“Aku tidak tahu siapa diriku. Tapi… kenapa ada seseorang yang menyebutku dengan nama lain? Kenapa aku m
Sudah lewat tengah malam ketika Raina terbangun karena mimpi yang sama untuk ketiga kalinya di minggu ini.Tangisan. Kilat. Bunyi klakson. Dan jeritan seseorang yang memanggil nama… Amara.Ia terduduk dengan napas memburu. Keringat membasahi pelipis dan lehernya. Ia begitu gelisah, ia buru buru ke dapur untuk mencari air minum. Berharap bisa mengurangi kegelisahan yang sedang ia rasa. Ia langsung menegak habis air putih di tangan nya. Setelah sedikit tenang ia kembali ke kamarnya. Ia duduk bersandar di sofa kamar. Berusaha mengingat suara dan nama yang di panggil lewat mimpinya.Amara.. ia mulai kembali gelisah mengingat nama itu. Namun bukan hanya mimpi itu yang membuatnya gelisah malam ini.Sebuah ponsel asing bergetar di bawah laci meja samping tempat tidurnya. Ia bahkan tidak tahu kapan benda itu ada di sana. Elvano tak pernah memberinya ponsel. Dan ia sendiri yakin bahwa ia tidak pernah menyimpannya.Dengan tangan gemetar, ia menarik laci. Sebuah ponsel hitam, model lama, menyala
Hujan semalam meninggalkan aroma tanah basah yang pekat di udara. Raina terbangun lebih pagi dari biasanya. Udara masih dingin saat ia melangkah pelan keluar kamar menuju dapur kecil di sisi barat rumah. Tangannya gemetar ringan, bukan karena suhu, tapi karena mimpi semalam yang begitu mengguncang pikirannya. Wajah-wajah seseorang. tanpa nama kembali menghantui mimpi mimpinya.Ia bahkan tidak tahu mengapa wajah-wajah itu sering hadir di mimpi-mimpinya.apakah itu bayangan masa lalu atau hanya imajinasi dari otak kosongnya.Tenggorokannya kering. Ia membuka lemari kaca untuk mengambil gelas.Ketika ia membuka lemari, tangannya tanpa sengaja menyentuh gelas yang licin karena embun. Benda itu meluncur dan pecah menghantam lantai.Praang.....“Ah!” serunya pelan, refleks Raina menarik tangannya. Tapi serpihan kecil sempat menggores pergelangan kirinya.Darah menetes. Luka itu dangkal, tapi cukup membuatnya panik.“Dasar ceroboh…” gumamnya sendiri, buru-buru membungkus tangan dengan tisu.T
B 4 Pertemuan dengan Sang AdikAngin sore menyusup melalui celah jendela, membawa aroma bunga kamboja yang tertiup dari halaman belakang rumah megah kediaman Elvano. Raina duduk di kursi rotan dekat balkon lantai dua, memandangi langit jingga yang perlahan berubah biru tua. Di tangan nya ia memegang secangkir teh melati sudah mendingin.Hari-harinya terasa lambat sejak ia tinggal di rumah Elvano. Lelaki itu lebih sering pergi pagi buta, pulang malam hari, dan hanya mengeluarkan sepatah-dua patah kata padanya. Dinginnya bukan seperti angin malam, tapi lebih seperti kaca es yang membeku dan tajam.Tapi hari ini berbeda.Suara mesin mobil terdengar di bawah memasuki pekarangan rumah megah Elvano. Tak lama, terdengar tawa ringan dan langkah kaki yang cepat mendekat ke dalam rumah. Raina menoleh, merasa penasaran untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir. Ia mendengar suara tawa di rumah megah ini.Seseorang terdengar menaiki tangga menuju ke lantai dua. Langkah itu ringan tapi m
Hujan masih berjatuhan pelan ketika pagi menjelang. Cahaya matahari enggan menembus pekatnya awan, menyisakan warna abu-abu yang dingin menyelimuti kota. Raina berdiri di depan cermin, menatap dirinya sendiri dengan rasa tidak percaya. Gadis yang menatapnya kini masih asing, dan pikirannya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.Namun di dalam dada, ada benih harapan yang tumbuh namun begitu samar, benih yang mulai tumbuh sejak malam tadi. ketika Elvano, pria dingin itu, memberinya pilihan.Di pagi hari setelah sarapan yang begitu hening dan canggung, Raina mulai bersiap untuk pergi ke kantor Elvano. Ia mengenakan pakaian sederhana yang disediakan mbok Ira, pakaian yang terlihat terlalu besar untuk tubuhnya yang kurus dan lelah. Dengan langkah ragu, ia meninggalkan kamarnya lalu menuruni tangga menuju ruang utama rumah megah itu.Sementara Elvano sudah menunggu di pintu masuk, berdiri tegap dengan tangan disilangkan di depan dada. Saat Raina berjalan semakin mendekat, Tatapannya