GTMTMA BAB 2

Birru menatap keluar jendela ruang kantornya. Pikirannya kacau, dia bingung menghadapi situasi hidupnya saat ini. Tekanan dan janji sang kakek membuat Birru terpaksa menerima pernikahan dengan Zee yang sungguh di luar bayangannya.

Dia menikah dengan gadis berbobot 70 kilogram. Itulah kenapa Birru memanggilnya gemoy. "Ini sungguh tidak masuk akal," kata Birru tidak percaya. Apa kata publik nanti? Dan bagaimana jika kekasihnya sampai tahu kalau dia sekarang sudah menikah.

Seperti yang khalayak ramai tahu, Birru punya kekasih seorang model yang tengah naik daun. Di tengah lamunan Birru, pintu ruang kerjanya dibuka dari luar tanpa ketukan. "Lupa ketuk pintu, sorry. Too exited. Lihat ini."

Sang asisten menyodorkan beberapa berkas terkait Zee. Birru membacanya sebentar. Dia hanya penasaran pada satu lelaki yang tampak familiar baginya, tengah berbincang akrab dengan Zee saat pernikahan mereka.

"Mengejutkan bukan. Nyonya memang yatim piatu sejak dua tahun lalu. Tapi circle pertemanannya tidak kaleng-kaleng," Dika, sang asisten mulai menjabarkan. Selanjutnya yang jadi pertanyaan di benak Biru adalah siapa Zee sebenarnya.

"Apa hubungan mereka?" Birru menarik keluar satu foto dengan profile lengkap mengiringi. Dika memicingkan mata.

"Dia, teman sejak Nyonya masih SMA," jelas Dika singkat. Wajah Biru berubah dingin, tak suka bahkan benci. Sejak Zee SMA, itu berarti jauh lebih lama dari kejadian Birru berseteru dengan lelaki dalam foto itu.

"Brengsek!" Dalam pikiran Birru, lelaki itu pasti sudah merencanakan hal ini, membalas dendam pada Birru, atas kesalahannya di masa lalu melalui Zee.

"Awas kau Alfa Hendrajaya!" batin Birru geram. Bersamaan dengan itu, satu panggilan internal masuk ke telepon Birru dengan Dika yang menjawab.

"Dia di bawah," info Dika. Satu kode dari Birru, meluncur dengan respon iya dari bagian front desk di lobi. Tak berselang lama pintu ruangan Birru terbuka.

"Apa aku mengganggu?"

***

Suasana rumah sakit bagian IGD heboh. "Nafas Zee, jangan lupa!" teriak Wafa panik. Lelaki itu bergerak cepat, sedikit mengumpat. Melihat saturasi Zee menurun ke angka 80%. "Zee, nafas!" seru Wafa lagi.

Yang sejak tadi diteriaki, hanya menggeleng pelan. Menghirup udara rakus dari masker oksigen yang sudah terpasang di hidungnya. Sedikit meringis ketika Wafa menyuntikkan obat lewat lengannya. "Lagi Zee. Kamu tidak pingsan kan?"

Zee mencubit lengan Wafa sebagai tanda. Sang dokter meringis sebal. Sudah tahu hampir mati karena sesak, masih juga sempat mengerjainya. Sepuluh menit berlalu, Wafa menarik nafasnya lega, sembari berkonsultasi dengan dokter lain.

Angka saturasi oksigen Zee merayap naik. Sesak itu terasa melonggar. Nafas istri Birru perlahan teratur, obat yang diberikan padanya mulai bekerja dengan efek Zee mengantuk.

"Bagaimana keadaannya?" Satu suara membuat Zee membuka matanya yang baru saja akan terpejam. "Berisik!" desis Zee kesal. Rona yang baru datang langsung menarik nafasnya lega.

"Belum mati Fa. Masih bisa maki orang," ledek Rona. Luntur sudah ketegangan yang sempat mewarnai ruang sempit itu, setelah Wafa dan Rona terbahak melihat wajah emosi Zee.

"Programmu harus segera di mulai jika kamu ingin tetap hidup. Serangan itu bisa datang kapan saja." Wafa memperingatkan.

Zee berjalan gontai, menyusuri jalanan yang mulai merambat sore. Hari ini dua hari setelah dia mendapat perawatan di rumah sakit. Kakek Abdi sempat menegurnya kenapa tidak memberitahu Birru atau orang rumah untuk menemaninya saat di rumah sakit.

Perhatian dari Abdi-lah yang membuat Zee bertahan di rumah itu. Lelaki tersebut memperlakukan Zee seperti cucunya sendiri. Menyayanginya, mungkin karena hal ini juga yang membuat Zee menerima lamaran Abdi untuk Birru kala itu.

"Anggap saja kami sebagai pengganti orang tuamu yang akan menjagamu selamanya." Zee menghela nafas, andai hidup semudah yang dikatakan Kakek Abdi, tentu Zee akan bahagia. Nyatanya tiap malam dia sering gelut dengan sang suami yang dia panggil manusia batu.

Zee lelah, Zee bingung. Dia terlanjur masuk dalam permainan Birru. Astaga, ini pernikahan bukan permainan, janji yang mereka ucapkan disaksikan oleh beberapa orang, dinyatakan sah oleh para saksi.

"Aku harus bagaimana?" gumam Zee. Gadis itu berdiri di trotoar, di depan sebuah mall. Saat itulah dia melihat satu pemandangan yang membuat hati Zee semakin sadar, kalau dia tidak boleh berharap lebih pada pernikahannya, seperti yang Birru katakan di pesta pernikahan mereka.

"Tentu saja. Seharusnya aku tahu siapa aku dan siapa dia," batin Zee.

Di tempat lain, sebuah rumah minimalis dengan halaman luas berhias tanaman mawar. Seorang wanita tampak duduk di teras rumah sembari menikmati teh sorenya. Di depannya sesosok pria turut menemani.

"Dia menikah, Kamelia." Sang pria mulai bicara. Wanita yang dipanggil Kamelia menarik sudut bibirnya. Hingga sisa wajah ayunya kian kentara.

"Tidak masalah, selagi istrinya Zee. Kamu tahu kan dia itu sangat susah dikendalikan. Jadi biarkan Zee melakukan perannya. Kita hanya tinggal menonton. Bukan begitu, Malik," balas Kamelia santai.

"Ayahmu belum memintamu pulang?" Gerakan cangkir Kamelia berhenti di udara. Ayah? Beberapa kali lelaki yang dia panggil ayah datang berkunjung. Tapi hati Kamelia masih beku. Kematian sang suami menyisakan perih dan lara dalam hatinya. Sampai sekarang dia belum bisa melupakan kejadian itu, meski sudah dua tahun berlalu.

"Aku yang belum mau pulang. Aku belum bisa menghadapi Zee. Aku tidak mampu membayangkan bagaimana hancurnya dia andai dia tahu apa yang sudah terjadi pada dua orang tuanya," ungkap Kamelia.

Malik menghela nafas. Dia tahu betul bagaimana Kamelia berjuang sejauh ini. "Baik jika itu keputusanmu. Aku tidak bisa memaksa." Kamelia dan Malik kembali menikmati cangkir teh mereka dalam diam, hingga suara sapaan membuat keduanya menoleh.

"Selamat sore Tante, wah ada Om Malik juga."