Sebuah pesta pernikahan tengah dihelat. Sepasang pengantin baru saja selesai menyalami tamu undangan yang tak seberapa. Pesta memang tidak digelar meriah. Wajah pengantin lelaki yang tadinya tampak ramah dan penuh senyum. Seketika berubah seratus delapan puluh derajat, ketika tinggal dirinya dan sang istri.
"Ingat pernikahan ini hanya sementara! Jangan berharap lebih, apalagi sampai aku mencintaimu!" Wajah lelaki itu terlihat dingin dengan aura dominasi begitu kuat. Menekan mental sang istri yang buru-buru menunduk, enggan meladeni tatapan setajam elang pria yang beberapa waktu lalu sah menjadi suaminya.Jemari tangan Zee, begitu nama pengantin perempuan bertaut resah, dia tahu pernikahan ini adalah pernikahan paksa, baik untuknya maupun Birru, suaminya. "Aku tahu," balas Zee segera."Bagus kalau kamu tahu!" Birru melangkah turun sendiri tanpa mengajak istrinya. Helaan nafas dalam Zee hembuskan. Saat ini dia gamang, ragu juga bingung akan masa depannya. Birru bilang hanya sementara, tapi sementara itu sampai kapan dia tidak tahu.Bimbang akan masa depannya, Zee memilih turun dari pelaminan menuju satu meja yang berisi tiga orang. "Kamu baik-baik saja?" Nada cemas bisa terasa dalam pertanyaan pria dengan kacamata kotak tanpa bingkai, di mana Zee akan berdebar tiap kali berhadapan dengan pria ini.Memasang wajah ceria seperti biasanya, Zee menjawab, "Oke." Dengan jari membentuk kode lingkaran. Setidaknya di depan lelaki ini, Zee akan berpura baik-baik saja. Satu pelukan Zee terima dari Rona, sahabat perempuan satu-satunya. Diiringi ucapan selamat tak ikhlas dari Wafa, sahabat sekaligus dokter pribadinya.Di sisi lain satu olokan langsung Birru dapat. "Selamat Birru, tidak menyangka kamu akhirnya takhluk dengan yang namanya pernikahan." Ingin rasanya Birru memukul sang teman jika tidak ingat ada banyak orang di sana. Ekor mata Birru melirik Zee yang berbincang dengan teman-temannya."Cih, murahan sekali! Sudah tahu statusnya istri orang, tapi masih saja kegatelan sama pria lain!" batin Birru tanpa sadar merasa kesal dengan tawa Zee yang terdengar renyah di telinganya.Pernikahan hari ini terjadi karena hutang budi. Birru sendiri sangat terpaksa melakoni hal ini. Berulang kali menolak tapi sang kakek kekeh menikahkan dirinya dan Zee."Ada banyak jalan untuk membalas budi, kenapa aku harus menikahinya?" protes Birru pada sang kakek.Dan jawaban yang diberikan Abdi membuat Birru tak punya pilihan lain selain menerima pernikahan ini. "Jika kau mau menikah dengan Zee akan kuberikan apa yang jadi hakmu." Sudah seperti ancaman saja balasan yang diberikan Abdi, kakek Birru.Malam menjelang. "Aku heran, berapa banyak uang yang kakekku tawarkan padamu, hingga kau sudi menikah denganku." Tatapan remeh terkesan mencemooh Birru berikan pada Zee yang masih mengenakan gaun pengantinnya, tampak kesulitan saat ingin melepasnya."Bukan urusanmu!" sahut Zee ketus. Birru terperangah dengan perubahan sikap Zee, tadi di pesta pernikahan tampak kalem dan penurut, tapi sekarang lihatlah, betapa judes tatapan yang Zee berikan padanya."He gemoy!" Zee mendelik mendengar panggilan Birru untuknya."Kenapa? Mau protes? Bukannya itu sesuai dengan bentuk tubuhmu yang lebar," sambung Birru."Body shaming itu. Bisa dipidana kamu!" seru Zee, mendekat ke arah Birru yang sama besar, hanya lebih tinggi sedikit darinya. Mengikuti saran Rona dan Wafa, serta mendukung sifat asli Zee yang memang berani, gadis itu tak akan sudi jika Birru merundungnya."Body shaming apaan? Itu nyata kok, benar, fakta ...."Bugh! Satu pukulan mendarat di wajah Birru. Lelaki itu tertegun untuk sesaat, hingga satu umpatan mengalir lancar dari bibir tipisnya. "Brengsek!" Bersamaan dengan itu, Zee ngibrit kabur ke kamar mandi, menguncinya dari dalam."Zeeniya! Zeeniya Agatha! Buka pintunya! Ayo tanggung jawab!" Teriakan Birru melengking seantero rumah tiga lantai itu. Di dalam kamar mandi, jantung Zee berdebar kencang. Dia segera menarik nafas, menghembuskannya perlahan. Dia harus menurunkan debar jantungnya. Atau Wafa akan menertawakannya, malam pertama naas yang berakhir di rumah sakit.Hampir tengah malam, Zee melangkah keluar dari kamar mandi. "Untung si manusia batu sudah tidur," gumam Zee. Gadis itu berhasil membuka gaun pengantinnya susah payah. Kini sudah berganti piyama. Mengambil bantal dan selimut tambahan, Zee memilih tidur di sofa."Bagus, tahu diri juga kamu, gemoy!" Zee melompat kaget, mengira Birru sudah tidur. Alih-alih membalas, Zee lebih memilih mengabaikan sindiran Birru. Menempatkan diri dengan nyaman, lalu mulai terlelap."Ingat, sampai kapanpun aku tidak sudi tidur seranjang denganmu." Itu kalimat terakhir yang Zee dengar sebelum alam mimpi benar-benar menjemputnya. Kejam, sikap Birru sungguh keterlaluan untuk orang yang sudah menolongnya.***Sementara itu, sepasang suami istri terlihat masih berbincang di ruang tengah rumah mereka. "Menurutmu berapa lama dia akan bertahan?" tanya sang suami, meminum anggurnya."Tidak akan lama. Dengan watak temperamental dan sifat sesuka hati Birru, siapa perempuan yang betah berada di sisinya." Sang suami tersenyum mendengar analisa si istri."Gadis itu tidak penting, sebab kita tahu siapa pemenangnya." Dua orang itu tersenyum puas, mengira kalau kemenangan akan berada di pihak mereka.Pagi menjelang. Baik Zee maupun Birru sarapan dalam diam. Abdi mengerutkan dahi melihat lebam di wajah Birru. "Brutal amat unboxing-nya," celetum lelaki tua. Pasutri baru kompak tersedak. Dengan Birru dan Zee melotot bersamaan, saling tatap tidak percaya."Gak nafsu Birru sama dia, Kek." Ada sakit yang mendera hati Zee. Dia tahu tubuhnya tidaklah langsing, tapi mendengar perkataan itu diucapkan terang-terangan di hadapannya, jelas jika hatinya terluka."Bagus deh kalau begitu, aku juga tidak mau digituin sama manusia batu kayak kamu." Dari pada dia menunjukkan sifat lemahnya, akan lebih baik jika dia memperlihatkan betapa kuatnya dia. Zee tidak akan kalah dengan mudah pada Birru. Semalaman dia sudah berpikir. Masa depannya dengan Birru tidak pasti, karena itu dia akan melindungi diri dengan baik, termasuk menjaga agar Birru tidak sampai menyentuhnya.Mendengar jawaban Zee, Birru terdiam. Sejak awal dia ingin menekan sekaligus menghabisi mental Zee, agar gadis itu mundur dengan sendiri dari pernikahan ini. Namun sepertinya semua tak akan berjalan mudah, Zee tampak tangguh untuk dia remehkan."Mas, itu kan Nyonya Zee. Mau dibawa sekalian?" tanya si supir. Birru menoleh melihat Zee yang berjalan riang, menenteng paperbag cukup besar dengan ransel di punggungnya. "Wah, dia berani sekali menolak fasilitas dariku," batin Birru tercengang."Perlu tumpangan?" Zee mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk. Melihat Birru yang memandangnya dari dalam mobil."Tidak perlu, terima kasih," ujar Zee, meneruskan langkahnya. Tak perlu bertanya dua kali, mobil Birru melesat melewati Zee begitu saja. Sungguh keterlaluan. Sepeninggal Birru, helaan nafas terdengar.Detik berikutnya, nafas Zee mulai tersengal dengan keringat sebesar biji jagung mulai keluar dari pori-pori kulit dahinya. Gadis itu membungkuk, memegangi dada kirinya yang terasa nyeri, seiring dengan wajah Zee yang mulai memucat. "Jantungku."Birru menatap keluar jendela ruang kantornya. Pikirannya kacau, dia bingung menghadapi situasi hidupnya saat ini. Tekanan dan janji sang kakek membuat Birru terpaksa menerima pernikahan dengan Zee yang sungguh di luar bayangannya.Dia menikah dengan gadis berbobot 70 kilogram. Itulah kenapa Birru memanggilnya gemoy. "Ini sungguh tidak masuk akal," kata Birru tidak percaya. Apa kata publik nanti? Dan bagaimana jika kekasihnya sampai tahu kalau dia sekarang sudah menikah.Seperti yang khalayak ramai tahu, Birru punya kekasih seorang model yang tengah naik daun. Di tengah lamunan Birru, pintu ruang kerjanya dibuka dari luar tanpa ketukan. "Lupa ketuk pintu, sorry. Too exited. Lihat ini."Sang asisten menyodorkan beberapa berkas terkait Zee. Birru membacanya sebentar. Dia hanya penasaran pada satu lelaki yang tampak familiar baginya, tengah berbincang akrab dengan Zee saat pernikahan mereka."Mengejutkan bukan. Nyonya memang yatim piatu sejak dua tahun lalu. Tapi circle pertemanannya tida
"Minggir!" Zee membulatkan mata, menatap nyalang pada Birru yang malah menghadangnya di tengah pintu. Wajah jahil Birru tergambar jelas di paras rupawan pria berdarah blasteran."Ini balasan karena kamu nonjok muka aku lagi," desis Birru emosi. Semalam, pasutri baru itu ribut kembali, dengan hasil akhir Zee meninju wajah sang suami untuk kedua kali. "Salahmu sendiri!" Zee mendelik tak terima, dia teringat hasil kerjanya diacak-acak sang suami. Padahal Zee sudah bela-belain begadang untuk mengerjakan tugas dari dosennya."Itu masuk ranah KDRT. Aku bisa tuntut kamu," ujar Birru tak mau kalah. "Silahkan, aku tidak takut. Kita lihat siapa yang bakal menang. Kasus body shaming aku atau KDRT kamu," tantang Zee tanpa takut. Dua orang itu saling tatap sengit dengan Abdi dan beberapa ART turut menonton keributan tuan dan nyonya muda mereka. Hiburan tersendiri di kala rutinitas monoton melanda."Aihh, rumahku jadi penuh warna lihat Tom and Jerry gelut terus tiap hari," gumam Abdi menyeruput t
"Mereka pasti sekongkol!" desis Birru melihat Wafa yang lari pontang panting masuk ke rumahnya setelah membanting pintu kendaraan di depan mobil Vero. Birru berhasil mengejar Vero, menahan wanita itu hingga sang kekasih mau mendengarkan penjelasannya.Vero sendiri tak terlalu menggubris ucapan Birru barusan. Dia masih terkejut dengan kenyataan kalau Birru memang sudah menikah. Namun alasan kenapa Birru harus menikahi istrinya sekarang membuat hati Vero mencelos."Jadi kalian menikah karena dia sudah menyelamatkan kamu dan mendonorkan darahnya?" Vero memastikan lagi. Dengan Birru mengangguk, mengiyakan.Vero menghela nafas, tidak menyangka keegoisannya waktu itu membuatnya harus kehilangan Birru yang kini sudah menikah dengan wanita lain. Saat Birru kecelakaan, Vero memilih mengikuti fashion show ke luar kota ketimbang merawat sang kekasih.Menyesal? Entahlah. Meski detik berikutnya Vero tersenyum ketika Birru berujar kalau pernikahan mereka hanya sementara. Sampai kakek Birru lengah,
Pintu ruang VVIP terbuka, bersamaan dengan penghuninya menyambut sang tamu dengan wajah sinis. Berapa lama mereka tidak bertemu. Cukup lama untuk saling menahan diri. Sebab tiap kali mereka bertemu hanya akan ada baku hantam.Seperti kali ini, Alfa sudah mati-matian menahan diri untuk tidak meninju wajah percaya diri Birru. Wajah yang sudah membuat hatinya kehilangan, dan merasakan lara untuk waktu yang lama."Jauhi dia!" Ultimatum pertama datang dari pihak Birru. Dengan seringai meremehkan menjadi tanggapan untuk perintah Birru."Kenapa aku harus menjauhinya. Ingat, kau hanya pendatang baru yang kebetulan segera mendapat status suami. Tapi percayalah, hubungan kami lebih dari sekedar yang kau lihat." Birru mengepalkan tangan. Dia tahu rasa sakit yang Alfa miliki mengubahnya jadi benci, sama seperti Birru yang membenci dirinya sendiri karena kejadian di masa lalu karena kesalahannya."Aku tidak mau basa basi denganmu. Jangan dekati dia selagi statusnya masih istriku. Atau kau sengaja
"Dia akan pergi." Suara seorang pria membuat si wanita menoleh. Ada senyum tipis terbir di bibirnya. Apa mereka perlu mencoba lagi. Menghabisi orang yang menjadi batu sandungan bagi keinginan mereka."Apa kita perlu mencoba lagi?" tanya wanita bernama Sita. Istri dari pria dengan nama Dion. Sang suami mengeryit pelan. Pertanyaan dari Sita mendapat atensi penuh darinya. Percobaan pertama gagal. Malah pihak lawan diuntungkan dengan menguatnya status Birru melalui pernikahannya dengan Zee."Untuk sementara kita tahan dulu. Aku tidak mau menimbulkan masalah baru. Apalagi Ayah sekarang sedang memberi perhatian penuh pada dia. Ruang gerak kita semakin sempit. Kita cari aman dulu." Dion memberikan pandangan. Sita manggut-manggut paham dengan perintah sang suami."Biarkan Vero melakukannya tugasnya, membuat Birru terjerat sampai tak bisa lepas," tambah Dion.Di tempat lain, Malik masuk ke ruang kerja sang tuan. Memberikan sebuah dokumen yang segera dibuka oleh si atasan. "Valid?" Malik mengan
"Bangun kau gemoy, dasar biang kerok! Karena kau aku bertengkar dengan Vero! Gara-gara kau aku berseteru dengan Kakek!" Birru tanpa ampun menarik paksa selimut yang masih membungkus tubuh Zee, begitu lelaki itu masuk ke kamar."Berisik tahu!" Zee merebut kembali selimut dari tangan Birru. Tubuhnya terasa dingin meski AC sudah dimatikan. Keadaannya memang terlihat baik hanya menyisakan rasa dingin yang sejak tadi menyelubungi raganya."Berani kamu melawan?" Rahang Birru mengeras. Sungguh tidak menyangka jika Zee berani itu padanya."Kenapa aku tidak berani? Bukan aku yang salah dalam hal ini. Kau bertengkar dengan Roro atau siapa itu namanya, atau kau gelud dengan mbahmu, bukan urusanku. Jangan hanya bisa menyalahkan orang lain. Tapi introspeksi juga dirimu sendiri!" balas Zee sengit.Bungkam, untuk pertama kalinya Birru tak bisa membalikkan perkataan lawan bicaranya. Arogansi dan dominasi Birru menguar begitu saja. Tatapan Zee tajam terarah ada Birru. Meski wajah gadis itu pucat, tam
"Semua sudah dipersiapkan. Lusa kita berangkat." Dika menginfokan. Kunjungan lima tahunan kali ini sedikit melenceng dari jadwal semula.Birru sesaat ragu, apa dia perlu pamit pada Zee, mengingat gadis itu benci setengah mati padanya. Namun status Zee adalah istrinya. Dia mungkin setengah hati menjalaninya tapi Birru tidak lupa dengan kewajibannya. Eh kewajiban, dia belum memberikan nafkah lahir pada sang istri.Jika Birru tengah galau dengan rasa hatinya, Zee sedang diberi edukasi mengenai program diet yang harus dia jalani. Efektif mulai lusa. Intermitten Fasting jadi pilihan Wafa dan tim dokter untuk jadi alternatif diet bagi Zee."Intinya seperti puasa deh. Gampangnya gitu. 16 jam puasa, 8 jam makan. Nanti ponselmu akan jadi alarm, kapan waktunya kamu puasa, kapan waktunya buka," terang Wafa.Zee manggut-manggut mendengar penjelasan sang teman. Cukup ribet karena apa yang Zee makan harus sesuai takaran nutrisi dari ahli gizi. Hadeuuhh, lebih ribet dari buat sketsa untuk design te
Menjelang hari keberangkatan Birru, lelaki itu tak jua membuka mulut untuk memberitahu Zee. Kesibukan keduanya, membuat mereka hanya bertemu di malam hari atau saat pagi. Dan sayangnya dua waktu itu tak bisa membuat Birru berpamitan. Seperti saat ini, lelaki itu sudah berusaha memejamkan mata, tapi netranya tak jua terpejam. Dia menoleh ke arah Zee yang tampak nyaman bergelung selimut. Sofa bed itu lumayan besar untuk menampung tubuh Zee yang agak lebar. Sungguh gadis yang tak banyak protes sebenarnya. Zee akan bereaksi kalau Birru mulai mengoloknya. "Apa aku harus pamitan padanya? Kan kami cuma nikah sementara tidak berharap selamanya," gumam Birru. Hembusan nafas terdengar mengiringi kebimbangan yang hadir dalam diri Birru.Pada akhirnya, malam itu Birru lagi-lagi tak mampu bicara. Hingga pagi menjelang, dengan hal yang seolah sudah jadi kebiasaan baru di rumah itu. "Minggir, Batu!" makian pertama selalu datang dari Zee meski Birru yang mulai."Kagak bakalan gemoy! Minta maaf gak?