“Mas … tadi mommy bilang kalau urusan restu serahin sama mommy itu maksudnya apa ya? Kok perasaan aku enggak.” Sifabella mengungkapkan kegundahannya.“Ya udah, percaya aja sama mommy.” Aarav membalas santai.“Aku takutnya papap kasih syarat yang enggak-enggak.” Aarav yang tengah mengemudi menoleh sekilas pada Sifabella, di bibirnya tersungging sebuah senyum simpul.“Enggak akan berani,” kata Aarav yakin.“Bisa enggak kita nikahnya di KUA aja atau di restoran besok malam … jadi kita bawa Penghulu, umpetin dulu di mana gitu ... setelah papap kasih restu langsung Penghulunya dikeluarin terus kita nikah.” Sifabella memberi ide yang menurut Aarav sangat konyol.“Enggak bisa Bella, mommy sama oma pasti ingin pesta besar karena pesta terakhir pernikahan di keluarga gue.” “Tapi Mas … nanti mama Lisa pasti minta yang aneh-aneh dan papap akan selalu dukung.”“Ya udah biarin, lo ngeremehin kekayaan keluarga gue?” Sifabella menatap Aarav malas. “Aku engga rela mereka menjual nama aku, memanfaa
“Bel … sini deh,” panggil Mommy Bee saat Sifabella baru saja sampai di rumah produksi milik oma Aneu.“Iya Bu … eh, Mom … ada yang bisa Bella bantu?” Sifabella mendekat.“Taraaaaa.” Mommy Bee merentangkan kedua tangannya pada manekin yang dibalut gaun pengantin.“Bagus enggak?” Mommy Bee bertanya.“Bagus, rancangan terbaru Mom?” Dengan polosnya Sifabella bertanya.“Iya … Mommy sengaja buat udah lama khusus untuk calon istrinya Aarav … barusan Mommy rombak dikit dan sesuaikan dengan ukuran kamu … kamu coba ya!” Mata Sifabella membulat begitu juga mulutnya.“Ta-tapi Mom … ini terlalu ….” Sifabella menatap gaun indah hasil rancangan Mommy dengan mata berkaca-kaca.“Luar biasa,” sambung Sifabella serak.Mommy terkekeh. “Untuk calon mantu Mommy tersayang, harus yang luar biasa donk … fitting dulu ya, Mommy tunggu di luar.” Mommy Bee keluar dari ruangan itu usai berkata demikian tanpa lupa menutup pintu.“Terimakasih, Tuhan ….” Sifabella menyentuh gaun cantik itu dan satu buliran kristal m
“Cepetan Bella! Lo tinggal milih doank lama banget.” Aarav menggeram menahan suaranya.Bagaimana Aarav tidak kesal, sudah dua jam lamanya dia menunggu Sifabella memilih cincin namun gadis itu tak kunjung bisa menentukan pilihan.Waktu tidur siangnya terbuang percuma, padahal baru sekarang—semenjak dia dibebaskan di perusahaan opa Beni di Jakarta, untuk kemudian nanti memimpin perusahaan beliau di Sydney—Aarav akhirnya bisa menikmati tidur siang selain weekend.“Sebentar ih, milih cincin nikah itu harus santai biar pas di hati karena akan dipake seumur hidup,” kata Sifabella sembari menatap koleksi cincin nikah di butik perhiasan ternama.Sifabella lantas tertegun begitu juga Aarav, kalimat itu menunjukkan seolah mereka akan menikah selamanya.Karena sesungguhnya Aarav sanksi kalau pernikahan yang akan dijalaninya bersama Sifabella akan langgeng bila mengingat pernikahan tersebut berawal dari perjodohan bukan cinta.“Saya mau yang ini aja, Mas!” kata Sifabella kepada seorang pria pelay
“Cieeee … yang baru pulang ketemu calon ayah mertua.” Daddy Akbi sedang menggoda Aarav yang baru saja sampai ke rumah.“Gimana? Sukses?Restu di tangan donk!” Mommy bertanya antusias sedangkan Aarav menunjukkan ekspresi lelah dan bergerak malas-malasan.Mommy langsung tahu kalau pertemuan tadi tidak berjalan lancar.“Coba sini cerita,” kata Mommy menepuk space kosong sofa di sampingnya.Aarav duduk di sana kemudian mengembuskan napas berat.Punggungnya bersandar nyaman pada sandaran sofa.“Bella itu punya kecewa yang besar sama papapnya, dia ditelantarkan papapnya semenjak mamanya meninggal … papapnya Bella lebih sayang sama istri muda dan dua anak tirinya … jadi tadi itu situasinya enggak kondusif … Bella emosional, papapnya juga enggak bijaksana main tuduh aja … masa dia nuduh Bella hamil karena tiba-tiba minta restu mau nikah … terus ibu tirinya Bella juga terlalu ngatur sih.” Aarav menceritakan.“Terus gimana? Masa gagal lagi, Rav?” Daddy tampak kecewa.“Tadi Aarav udah bicara sama
Aarav jadi bingung sendiri, puluhan kali dia menolak gadis yang dijodohkan kepadanya dan baru kali ini dia menerima seorang gadis tapi ujungnya malah dia juga yang salah.“Gue enggak bisa nolak oma lagi, Bel … makanya gue nerima lo.” Aarav kemudian terdiam, dia jadi merasa bersalah.“Gini deh, Bel … gue balik lagi ke rumah bokap lo … gue minta restu sekali lagi, gue yang minta maaf atas nama lo … tapi nanti gue janjiin lo akan telepon bokap lo buat minta maaf … gue akan bilang kalau sekarang lo lagi emosional … kalau setelah semua itu bokap lo masih enggak kasih restu juga, ya udah … kita enggak perlu menikah, gue juga punya alasan membatalkan perjodohan ini.” Tumben-tumbenan Aarav bisa serius, berpikir dewasa dan bijaksana.Sifabella mengangkat pandangan menatap Aarav.“Wah … ide bagus itu, gue jadi enggak perlu menolak perjodohan ini dan juga gue enggak perlu menikah … tapi sayang enggak sih, gue ngelewatin cowok
Mata Aarav memindai sekeliling ruang tamu, banyak foto keluarga tapi tidak ada Sifabella.Hanya ada foto ayahnya Sifabella bersama ibu tirinya dan dua orang gadis yang Aarav duga adalah kakak tiri Sifabella, sungguh ironi.Dia lantas melirik ke samping pada Sifabella yang terlihat gugup dengan menggenggam kedua tangan di atas paha.Sementara itu pria paruh baya yang merupakan ayahnya bela duduk di depan mereka bersebelahan dengan seorang wanita paruh baya yang memindai Sifabella dan Aarav dari atas hingga ke bawah.Yang membuat Aarav heran adalah kenapa ayahnya Sifabella tidak membawa mereka masuk ke ruang keluarga?Sifabella bagian dari keluarga mereka, bukan?Pasalnya di rumah Aarav, ruang tamu tidak pernah berguna karena mereka yang datang ke rumah akan selalu dibawa ke ruang keluarga yang luas.“Jadi, nak Aarav ini siapanya Bella?” Papap Heru akhirnya bertanya kepada Aarav.“Saya?” Aarav menunjuk ujung hidungnya sendiri.Dia lantas menoleh lagi kepada Sifabella lalu menggenggam ta