Share

Bab 3. Kehilangan Harga Diri

Tanpa mendapatkan jawaban, Djuwira diminta menunggu hingga wanita paruh baya tersebut kembali masuk ke kamar dan meninggalkannya sendiri. Dia harus menanti dengan perasaan kesal. Secarik kertas pembayaran masih berada di tangannya.

Tidak lama kemudian Riena pun keluar lagi dengan gerakan terburu-buru. "Maaf membuatmu menunggu," kata Riena, lalu menutup pintu kamar.

Mereka berdiri berhadapan di depan pintu.

"Terima kasih sudah mengantar pesanannya. Kau temui pemilik acara di dalam dan bersikap baik lah karena dia sedang banyak masalah," lanjut wanita itu lagi dengan jempol kanan yang mengarah ke kamar di belakangnya.

Riena bergegas meninggalkan Djuwira yang kebingungan. Intinya malam ini dia benar-benar dihantui oleh kebingungan yang membuatnya seperti orang bodoh. Ia tidak mungkin masuk begitu saja ke dalam kamar itu tanpa mendapatkan nama.

"Bu!" panggilnya sebelum wanita itu jauh.

Riena berhenti melangkah, lalu menghela napas. "Ada apa lagi?" sahutnya berbalik tanya.

Djuwira mengejar dan berdiri di sampingnya. "Kalau boleh saya tahu, siapa yang akan saya temui?"

Pertanyaan Djuwira mengundang kemarahan Riena.

"Apa kau tidak dengar yang kukatakan tadi? Temui pemilik acara. Saya hanya pelayan dan tidak bisa bertemu denganmu lama-lama. Saya banyak urusan," jawab Riena mengerutkan alis.

Djuwira meminta maaf pada wanita itu kemudian melihatnya berjalan kembali sampai langkahnya menghilang. "Baik lah ... Aku akan menemuinya," desahnya pelan, lalu menatap ke arah kamar tadi.

Terpaksa dia menemui si pemilik acara yang sama sekali dia tidak tahu identitasnya. Setidaknya Riena memberitahu nama orang yang akan dia temui supaya Djuwira tidak bingung. Orang tua kah? Wanita? Atau mungkin lelaki.

Saat menyusun roti-roti di ballroom tadi, Djuwira mendengar kalau acara yang akan berlangsung adalah acara pertunangan seorang pengusaha besar. Tanpa papan nama ucapan selamat yang biasa terpampang seperti pada umumnya, Ia tidak tahu sama sekali nama sosok yang akan bertunangan itu.

Cukup aneh, tapi itu kenyataannya. Pengusaha besar buat acara, tapi tidak ada yang memberinya papan bunga sebagai bentuk ucapan selamat.

Dengan tarikan napas gugup, Djuwira mengetuk pintu kamar 699 untuk kedua kalinya dan tidak mendengar respon apa pun.

"Aduh, bagaimana caranya? Apa aku masuk aja?" Djuwira bingung dan segan sekali untuk menerobos masuk. Sudah setengah jam dia rela mengulur waktu usai menata pesanan di ballroom, tapi masalah sisa pembayaran itu belum juga selesai.

Begitu tangannya hendak membuka pintu, pintu pun terbuka lebih dulu dan membuat Djuwira terkejut. Buru-buru dia menarik kedua tangannya lagi sebelum mengetuk di pemilik kamar dan menurunkan tangannya ke depan tubuh. Menunggu orang yang akan dia temui.

"Permisi!" ucap Djuwira saat melihat tangan si pemilik kamar yang menunjukkan bahwa dia adalah lelaki.

Perlahan-lahan sosok yang ada di balik kamar tersebut muncul hingga membuatnya terperangah. "Astaga!" bisiknya sendiri dengan syok.

Pria bertubuh kekar, tinggi dan menggunakan kemeja putih yang kancingnya terbuka dua dari atas itu semakin jelas terlihat. Lengan pendek dari kemejanya tampak sesak karena desakan dari otot-otot yang bergerak. Pria itu menekuk satu lengannya ke dinding kemudian menatap Djuwira.

Raut wajah maskulin yang memiliki rambut halus di sisi rahang bawah menambah ketampanan pria yang sudah pernah dia temui beberapa saat yang lalu. Ya, dia adalah lelaki yang ponselnya dijatuhkan oleh Djuwira di lobby.

Sumpah demi apa pun, Djuwira belum sempat mengamati secara detail setiap lekukan wajahnya karena masalah ponsel. Ternyata dia begitu tampan dan mempesona. Sangat tampan. Belum pernah dia temui lelaki dengan wajah seperti malaikat.

Apalagi iris matanya berwarna abu-abu, memberi tanda jelas bahwa dia bukanlah darah Indonesia asli.

Di tengah-tengah keterkejutan Djuwira, pria itu pun menatap dengan intens di balik bulu mata lentiknya mengayun seiring kelopak matanya berkedip menatap gadis yang masih terpana ke arahnya. Pria itu menyadari kelancangan kedua netra Djuwira yang menggerayangi wajahnya kemudian sengaja mengeluarkan suara agar wanita di depannya sadar.

"Ehem!"

Tentu saja cara itu ampuh. Djuwira langsung berkedip-kedip dan menyapanya, "Ah, Tuan! S-saya disuruh Bu Rina menemui Tuan." Djuwira mendadak gugup dan bicara tidak lancar. Otaknya seperti lumpuh sesaat.

Meski begitu, hatinya menggerutu karena mengingat masalah ponsel miliknya. Dia spontan membelakangi pria itu hanya untuk berkata, "Mati aku! Kenapa harus bertemu dengannya lagi? Bagaimana kalau ponsel dia rusak? Bisa ganti rugi aku. Astaghfirullah!"

Deg.

Suasana sepi di sana lorong lantai 6 membuat Djuwira bisa mendengar embusan ketukan jemari pria itu ke daun pintu, lalu secepat kilat Djuwira berbalik arah dan tersenyum. Kedua mata yang menyipit menandakan dirinya menarik sudut bibir.

"Kau dari toko roti Diamond?" tanya lelaki bersuara barrington yang tatapannya lebih condong ke lantai usai melihat Djuwira sebentar sambil memasukkan kedua tangannya ke kantong celana.

Dia juga baru ingat kalau penyebab tabrakan di lobby tadi adalah wanita di depannya ini. Membenarkan bahwa dia adalah tukang roti yang membawa troli berisi pesanannya. Sedikit demi sedikit tatapannya menyatu dengan Djuwira.

"I-iya, Tuan ... Saya ingin meminta sisa pelunasan dari orderan anda," jawabnya terputus-putus di awal. "Kata Bu Riena saya harus menemui pemilik acara dan tidak disangka kalau Tuan adalah orangnya," lanjut gadis itu, lalu tertawa ringan.

Pria tersebut membuang napas kasar, lalu memberi isyarat dengan menggerakkan kepalanya ke arah kamar. Pintu yang tadinya terbuka setengah kini sudah melebar. Djuwira seolah disuruh masuk tanpa kalimat perintah.

Djuwira melangkah dengan hati-hati dan melewati pria yang menatapnya dingin. Bisa dilihat dari sudut bingkai mata Djuwira ekspresi dingin dan menyebalkan tersebut.

Seketika itu pula, Djuwira seolah tertarik pada ingatan di ruang penyimpanan. Sosok pria yang berada di dekatnya ini sangat mirip dengan pria yang ada di majalah!

"Eh, benar kah itu dia?" batinnya.

Tanpa pikir panjang, Djuwira langsung bertanya padanya, "Tuan, apa benar Anda adalah Keane Matsumoto yang ada di majalah Fobres?"

Pria yang masih berada di pintu itu segera menutup pintunya dengan keras diiringi ekspresi wajah tidak senang. Dia tidak menduga kalau dirinya dikenal oleh seorang karyawan toko roti. Tanpa menjawab pertanyaan Djuwira, dia pun langsung berjalan melewati gadis itu kemudian menuju meja bulat berdiameter 1 meter yang ada di kamarnya.

Djuwira merapatkan bibirnya lagi dan merasa sudah lancang bicara pada orang asing. Dia melihat pria tersebut mengambil amplop di atas meja, lalu mengangkatnya dengan cara menjepit di antara telunjuk dan jari tengah.

"Ini sisa pembayarannya, ambil lah!" perintahnya dengan sikap tidak bersahabat. Sedikit pun tidak ada senyuman atau mimik ramah darinya.

Djuwira menelan saliva kemudian menanyakan sesuatu terkait kejadian di lobby tadi sambil berjalan ke arahnya, "Apa ponsel milik Tuan masih aman?"

Pria itu menghela napas kuat dari hidungnya seolah melepaskan beban. "Rusak," jawabnya.

Mata Djuwira langsung terbelalak. "Ya, Allah!" serunya melotot. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Djuwira menutup kedua mata dengan tangannya. Otaknya dipenuhi masalah biaya perbaikan ponsel mahal itu dan melupakan tujuan utamanya untuk menagih uang sisa pembayaran roti.

Pria tersebut menaruh kembali amplop putih di tangannya karena terlalu lama menanti, lalu meminta Djuwira segera mengambil uang itu sendiri di meja dan pergi.

Namun, Djuwira masih punya hati serta berusaha mengambil tanggung jawab untuk memperbaiki ponsel yang sudah dirusaknya. "Tuan, saya yang salah. Saya akan memperbaikinya," kata Djuwira.

"Kau yakin?" tanyanya penuh ragu. Sama seperti Djuwira yang juga ragu bisa membayar biaya perbaikan ponsel mahal tersebut.

Dengan anggukan lemah, Djuwira menjawab, "InsyaAllah, Tuan!" jawabnya.

Pria itu tersenyum miring, menoleh ke kiri karena mampu membaca kekhawatiran akan jawabannya. Ia menggeleng pelan dan menarik senyumnya kembali.

Tiba-tiba pria itu memberikan ponsel dari kantongnya pada Djuwira kemudian langsung dicek oleh gadis itu. "Kalau tidak percaya, kau bisa melihatnya sendiri," ujarnya.

Djuwira berusaha menyalakannya, tapi tidak bisa. "Apa harus pakai sidik jari, Tuan?"

Pria itu menggelengkan kepala. "Tidak," jawabnya singkat.

Djuwira membolak-balik ponsel itu dan tetap tidak bisa menemukan cara menyalakannya. Spontan benda berwarna hitam itu disambar oleh pemiliknya, lalu di buang begitu saja ke meja bulat.

Bruk!

Suara benturan yang terdengar keras menandakan bahwa ponsel itu kehilangan harga dirinya.

"Sudah mati total, percuma kau berusaha nyalakan," tandasnya mengejutkan Djuwira sampai ke ubun-ubun.

"M-mati total?!" Djuwira gemetaran dan terus menelan ludah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status