Share

Aku Yakin Petugas Kebersihan Itu Tidak Bersalah

"Karena petugas kebersihan itu tidak mungkin dengan sengaja menumpahkan minyak di sana, pa. Untuk apa dia melakukan itu?" jawab Langit dengan nada yang terkontrol. Dia selalu menghormati kedua orangtuanya.

"Kata Mentari petugas kebersihan itu sengaja ingin menjebakmu. Papa rasa itu perkiraan yang masuk akal."

"Itu tidak masuk akal, pa," sahut Langit. Mentari terbakar oleh rasa cemburunya yang tidak bisa dikendalikan."

Pandangan Dewa menyipit. "Bagaimana kamu bisa berkara seperti itu?"

"Kalau petugas kebersihan itu ingin menjebakku, bagaimana caranya dia bisa tahu kalau aku yang akan lewat? Apakah dia punya kemampuan super yang pandangannya dapat menembus berlapis-lapis dinding?"

Dewa membisu merenungi penjelasan Langit.

"Tidak mungkin kan, pa? Itulah yang ada dalam pikiranku. Agar masalah ini tidak jadi berlarut-larut dan menjadi salah sangka, aku meminta bagian operator untuk mengecek rekaman cctv di sana agar kita tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Nanti operator itu akan mengirimkannya padaku. Aku yakin, petugas kebersihan itu tidak bersalah."

Dewa tetap membisu mendengar jawaban putranya. Penjelasan Langit memang cukup masuk akal. Yaitu tidak mungkin rasanya kalau petugas kebersihan itu tahu yang akan lewat adalah Langit. Hanya saja yang membuat hati Dewa merasa janggal adalah ekspresi Langit saat membela petugas kebersihan itu. Begitu yakin kalau petugas kebersihan itu tidak bersalah seperti sedang membela orang tercinta dari sebuah tuduhan.

Sementara Senja, hanya diam tanpa kata mendengar obrolan suami dan putranya. Dia tidak berani untuk ikut campur karena pasti suaminya akan marah. Dewa sangat tidak suka dirinya ikut berbicara apalagi berpendapat untuk urusan yang bukan menjadi tugasnya. Bagi Dewa, urusannya hanya tentang rumah.

"Apakah masih ada yang ingin papa bicarakan?" tanya Langit setelah mendapati Dewa terus diam. "Kalau memang semuanya sudah jelas, aku mau ke kamar dan beristirahat."

Dewa menghela nafas berat. "Tidak ada lagi yang ingin papa tanyakan. Tapi bukan berarti masalah ini sudah jelas. Papa menunggu rekaman cctv yang kamu katakan tadi."

Langit mengangguk. "Baik, pa. Kalau rekaman cctv-nya sudah ada, akan aku berikan pada papa. Kalau begitu aku ke kamar sekarang."

Langit beranjak dari dudukmya dan segera meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya. Begitu sampai di sana, dia langsung menutup pintu dan menguncinya seolah tidak mau diganggu. Di detik berikutnya, dia duduk di lantai dengan punggung bersandar di daun pintu. Kemudian, dia mencoba mengingat semua adegan demi adegan saat dirinya bertemu kembali dengan gadis yang dicarinya selama 15 tahun ini. Walaupun dirinya belum mendapatkan pengakuan kalau petugas kebersihan itu adalah gadis yang dicarinya, tapi dia yakin kalau petugas kebersihan itu memang gadis itu. Apa yang dikatakan oleh hati biasanya tidak salah.

"Apa yang harus aku lakukan? Aku telah dipertemukan oleh Tuhan dengannya? Apakah aku harus memberinya hadiah atau...." Langit menyentuh dadanya. Ada degupan jantung yang tidak biasa yang dia rasakan. Selain itu, dia juga merasakan perasaan yang sangat indah tapi menyedihkan.

"Aku tidak bisa membohongi diriku. Aku mencintainya," gumam Langit lirih. Dia mengatakan itu dengan hati yang berbunga-bunga. Tapi sedetik kemudian, wajahnya muram begitu ingat kalau akan ada jurang besar yang menghadang mereka.

Langit mengangkat tangannya hingga sejajar dengan kedua indra penglihatan. Pandangannya kemudian menatap lekat gelang dari biji Palem yang melingkari pergelangan tangannya itu.

"Apakah kamu ingat dengan gelang ini Kahyangan?" tanya Langit pada dirinya sendiri. Dia sudah tahu nama gadis yang dicarinya itu adalah Kahyangan dari orang-orang yang ada di IGD saat dirinya menggendong gadis itu masuk ke ruangan itu untuk diobati.

Sementara itu di tempat lain, Kahyangan terbaring di atas sebuah kasur busa tanpa tempat tidur yang terbentang begitu saja di sudur kiri sebuah kamar mungil. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat lebam berwarna biru keunguan. Harusnya, dia masih terbaring di rumah sakit. Tapi dia menolak karena dia merasa tidak sedang sakit meskipun dia merasa nyeri. Purnama yang terlambat mengetahui apa yang terjadi dengannya karena kuliah, duduk di sampingnya dengan wajah sedih.

"Aku tidak habis pikir mengapa Dokter Mentari bisa melakukan ini pada kakak? Mengapa dia begitu tega? Padahal kakak kan tidak salah apa-apa?" Entah sudah berapa lama Mentari mengucapkan kalimat yang serupa. Dia ingin marah dan kesal pada dokter yang satu itu.

"Kakak tidak bersalah, itu kan menurut kita. Tapi tidak menurut dia. Dokter Mentari cemburu saat kakak secara tidak sengaja memeluk calon suaminya," jawab Kahyangan yang tidak mau menyalahkan Mentari atas apa yang telah terjadi.

"Kan tidak sengaja, kak? Refleks ingin menyelamatkan. Masak mau menyelamatkan harus pilih-pilih orang? Apalagi kakak tadi belum tahu siapa Pak Langit."

"Dokter Mentari sangat mencintai calon suaminya. Orang kalau sudah cinta memang begitu. Cenderung menggunakan perasaan daripada logika, Pur."

"Bukan. Menurutku dia bukan tidak menggunakan logika tapi karena dia memang benci pada kakak. Tanpa ada Pak Langit, dia sudah sering memarahi kakak bukan? Untuk kebaikan kakak, menurutku lebih bagus kakak berhenti bekerja di sana dan cari pekerjaan di tempat lain yang jauh dari dia."

Kahyangan tersenyum dan mengelus tangan Purnama. "Yang sudah terjadi, lupakan. Kakak tidak harus sampai berhenti bekerja di sana. Berbeda cerita jika kakak dipecat. Maka kakak tidak bisa menolak lagi. Selama kakak masih diperbolehkan bekerja di sana, kakak akan menjalani."

Purnama tersenyum miring. "Ini yang aku tidak suka dari kakak. Kenapa sih kakak selalu bersikap bodoh seperti ini? Sekali-kali kak, pikirkan kebahagiaan kakak. Kakak itu berhak bahagia seperti juga manusia lainnya."

Kening Kahyangan menyipit. "Lho, Pur. Kok jadi bicara kemana-mana sih?"

"Bukan mau bicara kemana-mana, tapi aku sudah kesal sekali sama kakak. Mengapa kakak selalu berusaha membuat aku bahagia tapi tidak pernah ingin membahagiakan diri sendiri? Kalau aku tahu akhirnya akan menjadi seperti ini, aku tidak akan pernah mau menuruti keinginan kakak untuk menjadi pintar dan menjadi seorang dokter!"

Purnama tampak sangat emosi kali ini. Bukan tanpa sebab, setelah ibunya meninggal dengan meninggalkan pesan pada Kahyangan, sejak itu Kahyangan mencuci otaknya untuk selalu mendapatkan peringkat lima besar di sekolah agar bisa menjadi dokter. Padahal dulunya dia adalah anak yang tidak suka belajar dan tidak punya cita-cita menjadi seorang dokter. Justru Kahyangan lah yang pintar dan mempunyai cita-cita itu.

Sebenarnya Purnama merasa tidak apa-apa meneruskan cita-cita Kahyangan menjadi seorang dokter, tapi yang membuatnya tidak terima, Kahyangan berubah. Yang tadinya adalah seseorang yang penuh ambisi mengejar cita-cita mendadak menjadi seseorang yang tidak punya mimpi untuk diri sendiri. Kahyangan menjadi seseorang yang tidak punya keinginan menjadi sukses dan sibuk menjadikan dirinya sukses.

"Jangan bicara seperti itu, Pur," ucap Kahyangan dengan perasaan sedih. "Apa yang kakak lakukan adalah demi melaksanakan pesan terakhir dari ibu."

"Ibu berpesan agar kakak menjadikan aku orang yang sukses, bukan menjadikan aku seorang dokter! Sukses itu tidak harus menjadi dokter kak! Dan lagi, dokter mengeluarkan biaya yang sangat besar hingga kita harus menjual rumah peninggalan orangtua di desa! Terus lagi, dokter itu sekolahnya sangat lama! Seandainya aku tidak sekolah kedokteran, mungkin uang hasil menjual rumah tidak habis untuk aku saja, tapi juga untuk diri kakak!"

"Pur, tolong jangan dibahas lagi tentang ini," sahut Kahyangan. "Semua sudah terjadi dan kakak tidak pernah menyesalinya. Kakak justru bangga bisa menjadikan kamu orang sukses seperti keinginan ibu."

"Ibu! Ibu! Jangan jadikan ibu sebagai alasan kakak untuk menjadikan aku seorang dokter, kak! Sekali lagi, ibu hanya ingin aku sukses bukan menjadikan aku seorang dokter! Kakak itu menjadikan aku bahan obsesi kakak yang dulu sangat ingin menjadi dokter!"

Kahyangan terdiam seketika. Tidak ingin beragumen lagi. Bukan tidak mau berdebat, tapi langsung introspeksi diri. Benarkah dirinya seperti yang dikatakan oleh Purnam? Benarkah dirinya menjadikan adiknya sebagai bahan obsesi diri yang ingin menjadi dokter namun harus kandas karena keadaan yang tidak memungkinkan?

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status