Rahang Mentari mengencang saat mendapati Langit justru terdiam usai mendapatkan pertanyaan barusan, seolah mengucapkan kata 'tidak' adalah sesuatu yang berat dan mengingkari hatinya.
"Kenapa kamu diam Langit? Kenapa kamu seperti kesulitan untuk menjawab bahwa kamu tidak menyukainya? Apakah pertemuan tadi sudah memercikan rasa suka?"Langit menoleh pada Mentari. "Aku tidak ingin membahas ini lagi. Kamu terlalu membesar-besarkan masalah yang sebenarnya kecil. Sampai-sampai menginterogasi aku seakan kamu baru saja melihat aku selingkuh. Tolong hentikan pembicaraan ini dan kembalilah bekerja."Mata Mentari melebar dan mulut membuka begitu mendengar jawaban Langit yang tidak menjawab pertanyaannya tapi justru malah mengusirnya. "Ka-kamu mengusirku? Kita belum selesai bicara.""Sudah aku bilang aku tidak mau membicarakan ini lagi Tari," sahut Langit. "Sudah aku bilang ini masalah sepele yang tidak perlu jadi panjang. Kalau begini, aku jadi pusing. Aku pusing melihatmu marah-marah begitu. Jadi tolong, hargai aku sebagai direktur rumah sakit ini. Aku minta sekarang kamu... keluar dulu dari ruanganku.""Ka-kamu...." Mentari tidak terima dengan pengusiran ini. Rasanya harga dirinya baru saja diinjak oleh pria yang dicintainya. Tapi dia tidak berani untuk protes karena khawatir Langit akan marah. Sebab melihat dari wajah Langit saat ini, pria itu terlihat tidak sedang bersahabat."Oke. Aku akan pergi." Mentari berbalik, lalu keluar dari ruangan direktur dengan wajah yang menampakkan kemarahan. Langkahnya pun kemudian terlihat cepat seperti sedang mengejar sesuatu.Bagaimana tidak, obrolannya dengan Langit membuatnya naik darah tadi. Dan... dia menyakini bahwa pertemuan Langit dengan Kahyangan meninggalkan kesan yang mendalam bagi calon suaminya tersebut."Ini tidak bisa dibiarkan!" ucap Mentari lirih sembari terus melangkah. Wajah marahnya seperti hendak makan seseorang.Sementara itu, tangan Kahyangan gemetaran memegang alat pel setelah peristiwa yang barusan terjadi padanya. Seperti sebuah mimpi meskipun nyatanya bukan. Dia nyaris tak percaya kalau akan bertemu lagi dengan remaja laki-laki yang ditolongnya 15 tahun lalu.Apakah dirinya harus bahagia dengan pertemuan tak terduga ini? Apakah justru harus sedih karena pertemuan terjadi di saat dirinya dalam kondisi yang kurang baik? Dia yang hanya seorang petugas kebersihan, sedangkan pria itu seorang...."Direktur baru kita tampan sekali ya?""Iya. Sungguh wajah yang nyaris sempurna."Obrolan dua staf rumah sakit yang baru saja lewat membuat Kahyangan menarik nafas panjang dan berat. Bukan tanpa sebab, dia yakin pria yang telah ditolongnya 15 tahun itu adalah direktur baru rumah sakit ini yang juga merupakan tunangan Mentari.Inilah yang membuatnya sedih. 15 tahun yang lalu derajatnya dengan pria itu setara. Yaitu sama-sama peserta olimpiade matematika. Tapi kini dia dan pria itu sangat tidak sederajat. Begai langit dan bumi. Pria itu adalah seorang direktur yang juga seorang dokter dan anak dari orangtua kaya raya. Sementara dirinya hanya seorang petugas kebersihan tanpa gelar sarjana yang tidak lagi memiliki orangtua lagi miskin.Satu hal lagi, pria itu sudah memiliki calon istri yang sederajat. Cantik, seorang dokter, dan anak dari orangtua yang kaya raya.Kalau tahu keadaannya bakal seperti ini, mungkin lebih baik dia tidak berdoa pada Tuhan minta dipertemukan dengan pria yang telah ditolongnya itu sehingga tidak ada perasaan jatuh dan sakit. Mungkin lebih baik cerita di antara mereka hilang perlahan dimamah usia tanpa pernah ada pertemuan yang menyakitkan.Brak!Tiba-tiba ada seseorang yang mendorong tubuhnya hingga membentur dinding. Kahyangan meringis kesakitan karena benturan antara tulang lengan dan punggungnya dengan kerasnya dinding yang terbuat dari batu bata dan semen. Dia bahkan belum sempat melihat siapa yang mendorongnya ketika rambut panjang ikat ekor kudanya, ditarik ke bawah dengan kasar sehingga wajahnya otomatis menengadah ke atas. Saat itulah dia tahu siapa yang sedang melakukan kekerasan ini kepadanya."Ada apa ini, dok? Kenapa anda melakukan ini padaku? Sakit! Tolong lepaskan!" rintih Kahyangan.Tapi bukannya melepaskan, Mentari justru mencengkram dagu Kahyangan menggunakan tangan satunya dengan begitu kuat. "Apa kamu tadi bilang? Sakit? Sakit mana dengan hatiku yang kamu curangi? Hah?"Kahyangan menggeleng. "Aku tidak mengurangi dokter? Kenapa dokter bisa mengatakan itu?""Masih saja tidak mengaku padahal aku melihat sendiri kamu memeluk calon suamiku!" Dia menekan dagu Kahyangan membuat gadis itu kian meringis kesakitan."Aku melakukannya karena refleks menolong. Tidak ada maksud apapun. Bukankah aku sudah mengatakannya pada dokter?"Bruk!Dengan sekuat tenaga, Mentari mendorong Kahyangan ke lantai. Lalu belum sempat Kahyangan bangun, Mentari menendang perut gadis itu tanpa rasa iba sedikit pun. Tak puas sekali, Mentari yang sudah dirasuki emosi, melakukannya lagi.Tak ada seorang pun yang menolong karena saat ini mereka berada di koridor yang cukup sepi. Koridor yang hanya dilewati oleh staf dan tidak dilewati oleh pasien apalagi oleh keluarga pasien.Tapi Tuhan tidak tidur. Seseorang datang dan menarik Mentari yang tengah menyiksa Kahyangan menjauhi tubuh yang sudah tak berdaya itu."Apa yang kamu lakukan?!" Seseorang itu adalah Langit. Pria itu kini menatap wajah Mentari dengan kemarahan. "Kamu menyiksa dia?!""Kalau iya memangnya masalah?!" Mentari balik memarahi Langit. "Orang seperti dia pantas mati aku siksa!""Psikopat kamu! Gila!" Langit langsung berbalik, mendekati Kahyangan, dan kemudian menurunkan tubuh. Tangan Langit baru hendak menyentuh tubuh Kahyangan ketika Mentari panik."Apa yang akan kamu lakukan padanya?! Jangan bilang kamu hendak membopongnya dan kemudian menolongnya!"Langit hanya menoleh pada Mentari sebagai respon dari pertanyaan bernada ancaman Mentari barusan. Tapi sedikit pun dia tidak peduli. Tangannya kembali bergerak ke bawah tubuh Kahyangan. Dalam sekian detik, Kahyangan sudah dalam gendongannya. Langit.Hal itu membuat Mentari kian panik dan marah. "Turunkan gadis itu dari gendonganmu! Aku tidak terima kulitmu bersentuhan dengannya!"Tapi Langit benar-benar sudah tidak peduli dengan Mentari. Baginya adalah menyelamatkan Kahyangan. Maka, Langit pun melangkah meninggalkan Mentari yang menjerit-jerit seperti orang yang sedang terbakar."Tolong turunkan saya...." Meskipun tubuhnya merasakan sakit yang parah, Kahyangan masih dalam keadaan sadar dan tahu kalau dirinya dalam gendongan Langit."Aku akan menurunkan kamu jika sudah sampai IGD. Jadi diamlah!" balas Langit sembari berjalan dengan langkah yang cepat. Dia tidak peduli lagi orang-orang melihat dirinya membawa Kahyangan. Dan, dia juga tidak peduli apa yang akan terjadi dengan hari esok setelah hari ini berlalu.***Setelah hari yang melelahkan, akhirnya Langit bisa kembali ke rumah. Dia pikir dirinya bisa segera beristirahat, tapi kenyataannya tidak begitu. Dewa ternyata sudah menunggunya di ruang keluarga."Duduklah!" Dewa menunjuk single sofa yang ada di sebelah double sofa tempatnya sekarang duduk dengan dagunya.Langit mengangguk tanpa kata. Dia mengikuti perintahnya Dewa untuk duduk di single sofa tersebut dengan pikiran menduga-duga. Dia yakin Dewa mengajaknya bicara karena ada hubungannya dengan kejadian di rumah sakit tadi. Mentari pasti sudah mengadu kepada kedua orangtuanya dan orangtua Mentari sudah melaporkan apa yang diceritakan putri mereka kepada kedua orangtuanya."Jelaskan pada papa apa yang sebenarnya terjadi di rumah sakit tadi?" tanya Dewa bahkan saat Langit belum duduk nyaman di sofanya."Oh, itu sebuah kesalahpahaman," jawab Langit singkat."Siapa yang salah paham? Mentari? Kamu? Atau petugas kebersihan itu?""Menurutku Mentari, pa. Dari awal dia salah paham pada petugas kebersihan itu. Padahal petugas kebersihan itu tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan oleh Mentari.""Bagaiman kamu bisa tahu kalau petugas kebersihan itu hanya dituduh sedangkan kamu tidak tahu apa yang sebelumnya terjadi?"Bersambung."Karena petugas kebersihan itu tidak mungkin dengan sengaja menumpahkan minyak di sana, pa. Untuk apa dia melakukan itu?" jawab Langit dengan nada yang terkontrol. Dia selalu menghormati kedua orangtuanya."Kata Mentari petugas kebersihan itu sengaja ingin menjebakmu. Papa rasa itu perkiraan yang masuk akal.""Itu tidak masuk akal, pa," sahut Langit. Mentari terbakar oleh rasa cemburunya yang tidak bisa dikendalikan."Pandangan Dewa menyipit. "Bagaimana kamu bisa berkara seperti itu?""Kalau petugas kebersihan itu ingin menjebakku, bagaimana caranya dia bisa tahu kalau aku yang akan lewat? Apakah dia punya kemampuan super yang pandangannya dapat menembus berlapis-lapis dinding?"Dewa membisu merenungi penjelasan Langit."Tidak mungkin kan, pa? Itulah yang ada dalam pikiranku. Agar masalah ini tidak jadi berlarut-larut dan menjadi salah sangka, aku meminta bagian operator untuk mengecek rekaman cctv di sana agar kita tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Nanti operator itu akan men
Langit memperhatikan rekaman cctv yang dikirimkan oleh operator ke ponselnya. Di sana tampak jelas ada orang dapur yang membawa keranjang yang berisi minyak-minyak dalam kemasan plastik. Karena keranjang itu diisi terlalu penuh, satu minyak kemasan jatuh tepat di lantai di dekat anak tangga terakhir. Tapi petugas dapur hanya mengambil plastik bungkus minyak yang jatuh itu dan memasukkannya ke kotak sampah. Namun, cairan minyaknya sendiri dibiarkan tetap tergenang di sana tanpa dibersihkan.Beberapa detik kemudian, muncul Kahyangan yang membawa alat kebersihan di tempat itu. Gadis itu sendiri nyaris kepeleset karena menginjak genangan minyak tersebut. Untungnya tangan gadis itu sigap memegang pegangan tangga sehingga tidak jatuh. Selanjutnya, baru saja Kahyangan mengeluarkan kaki dari genangan minyak itu dan belum sempat membersihkannya, muncul dirinya dari atas. Akhirnya peristiwa itu pun terjadi. Dimana dirinya yang nyaris kepeleset dipeluk oleh Kahyangan sehingga tidak jadi jatuh.L
"Bapak memanggil saya?" tanya Purnama langsung.Pandangan Langit menyipit. Dia mencoba mengingat--ingat siapa saja hari ini yang dia minta untuk menghadap. Selain Mentari adalah adiknya Kahyangan. "Adiknya... Kahyangan ya?" tanyanya kemudian.Purnama mengangguk. "Iya, pak."Wajah Langit langsung sumringah meskipun itu hanya adiknya Kahyangan dan bukan Kahyangan itu sendiri. Dia kemudian berdiri dari duduknya sembari menunjuk sofa. "Kalau begitu silahkan duduk."Purnama kembali mengangguk. "Terima kasih, pak." Dengan langkah perlahan, Purnama meninggalkan pintu dan melangkah ke arah sofa. Saat dia melewati Mentari, dia sedikit membungkukkan badan tanda hormat pada wanita itu sembari sedikit memberikan senyuman. Tapi Mentari tidak membalas senyumnya itu. Wanita itu justru melihatnya seperti seorang musuh. Karena sudah mengenal watak Mentari, itu tidak membuatnya aneh. Kalau Mentari bukan atasannya dan calon istri pimpinan rumah sakit, tentu sudah dia pelototi.Inilah beda dirinya denga
"Ge-gelang anda bagus," ucap Purnama kemudian. Dia sangat penasaran dengan jawaban Langit. Langit melirik gelangnya sekilas sebelum tersenyum dan memokuskan pandangan ke jalanan. "Gelang ini pemberian seseorang di masa lalu. Tepatnya lima belas tahun lalu." Purnama menelan saliva mendengar jawaban Langit. Jawaban yang seolah memberitahu bahwa pria itu memang remaja laki-laki yang pernah ditolong Kahyangan.'Oh, Tuhan.... Apakah Pak Langit memang remaja laki-laki itu? Kalau memang demikian berarti Kak Kahyangan telah bertemu dengan orang yang sedang dicarinya. Artinya, ini adalah saatnya Kak Kahyangan mengembalikan jaket coklat itu?' batin Purnama. 'Tapi tunggu! Kak Kahyangan masih menyimpan jaket coklat itu dan Pak Langit masih memakai gelang itu. Apakah salah jika aku menduga kalau mereka berdua sebenarnya saling berharap untuk bertemu kembali? Atau bisa jadi saling merindukan?'"Kok termenung?" tanya Langit karena Purnama mendadak terdiam. "Kamu tau dengan gelang yang kupakai ini
"Aku minta maaf karena telah menjadi beban pikiran bapak. Aku sungguh_""Tak ada yang harus kamu mintai maaf karena bukan kamu yang salah," sela Langit. "Jusru kamilah yang harus meminta maaf. Sebab itu, aku datang ke sini. Sebagai perwakilan rumah sakit, aku meminta maaf karena telah membuatmu harus mengalami kejadian buruk itu. Kami menganggapnya sebagai kecelakaan kerja. Karena itu_" Langit mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tas kecil dalam pangkuannya. Amplop itu lalu dia letakkan di hadapan Kahyangan. "_ terimalah ini sebagai ganti rugi atau jalan damai. Berharap kamu tidak melaporkan apa yang sudah terjadi padamu kepada kepolisian."Kahyangan melirik amplop itu sekilas sebelum mengalihkan pandang pada wajah Langit yang sangat tampan. Di masa lalu, wajah itu pernah terlihat sangat ketakutan dan basah dengan airmata karena nyaris jadi korban penculikan beberapa pria dewasa tak dikenal. Kalau tidak ada dirinya, entah bagaimana nasib Langit. Dia juga tidak yakin Langit masih ada
“Tadi siang Mentari menelpon papa. Dia panik karena kamu pergi mengunjungi gadis petugas kebersihan itu. Meskipun kamera cctv menunjukkan kalau gadis petugas kebersihan itu memang refleks menolong kamu, tapi dia tetap yakin kalau gadis petugas kebersihan itu mencari simpati kamu. Perasaannya mengatakan keberadaan gadis petugas kebersihan itu akan mengancam hubungan kalian. Karena itu, dia meminta diberi wewenang untuk memecat gadis petugas kebersihan itu.”Mendengar ucapan Dewa, Langit langsung menaruh sendoknya dan rahangnya mengencang. “Bagaimana dia punya niat memecat Kahyangan sementara Kahyangan mengalami memar-memar akibat ulahnya. Harusnya dia meminta maaf kepada Kahyangan dan bukan malah ingin memecatnya. Sungguh aku tidak mengerti dengan Mentari, pa.”“Mengapa kamu harus seemosi ini, Langit. Kamu boleh berpikir kalau gadis petugas kebersihan tidak bersalah berdasarkan cctv yang sudah kamu lihat. Tapi kan kamu belum mengenal gadis petugas kebersihan secara menyeluruh. Kamu bar
Drrrrt! Drrrrt!Dewa terhenyak dari lamunannya. Dia segera melirik ponsel yang masih dalam genggaman. Begitu membaca nama yang tertera di layarnya, dia pun segera menerima panggilan tersebut."Halo, Pak Guruh?" sapanya pada penelpon."Apa bapak hari ini sibuk?" tanya orang yang ada di seberang."Tidak juga, pak.""Bagaimana kalau kita makan siang bersama?""Tidak masalah.""Baik. Kalau begitu, aku tunggu bapak di tempat biasa.""Baiklah."Satu jam kemudian, Dewa sudah berhadapan dengan Guruh, rekan bisnisnya, dengan dijeda oleh sebuah meja yang penuh makanan satu sama lain. Mereka berdua memang sudah dekat sejak duduk di bangku kuliah. Ya bisa dikatakan kalau mereka bersahabat."Aku mengajakmu makan siang bersama karena selain kita sudah lama tidak semeja begini, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu. Ini soal anak-anak."Dewa yang baru menyuapkan makanan ke dalam mulutnya sendiri, melirik Guruh. "Anak-anak? Kenapa dengan anak-anak?""Anak-anak sudah lama sekali bertunangan. Men
"Tadi Pak Guruh mengajak papa makan siang bersama. Kamu mau tahu apa yang kami bahas?" tanya Dewa pada Langit. Saat ini mereka sedang makan malam bersama.Langit melirik Dewa tanpa menghentikan gerakan tangannya di atas piring. "Memangnya apa yang kalian bahas?""Kamu dan Mentari. Pak Guruh mengusulkan pernikahan kalian dipercepat karena beliau menganggap sudah waktunya kalian menikah. Kalian sudah terlalu lama berstatus tunangan.""Tapi aku tidak bisa, pa," sahut Langit tanpa rasa ragu.Dewa terhenyak. Dia langsung menyipitkan pandang pada Langit. "Kenapa tidak bisa?""Karena aku belum bisa menyukai Mentari dari tiga tahun lalu hingga sekarang, pa. Aku tidak mau menikah tanpa cinta.""Cinta?" Dewa menghela nafas berat. Dia sudah tahu kenapa Langit belum mau menikah dengan Mentari, itu karena putranya ini sudah menemukan cinta pertamanya yang selama ini dicari-cari. "Pernikahan tidak sepenuhnya butuh cinta. Yang penting....""Bisnis kian kuat dan berkembang?" sela Langit. "Cukup mama