Wanita anggun paruh baya itu membuka lembaran kertas yang berada di dalam amplop warna cokelat. Surat yang berisi lamaran kerja Sarah. Nyonya besar itu mencari seorang suster untuk mengasuh cucunya.
"Nama kamu siapa?'' tanya wanita paruh baya anggun dan cantik itu menatap lekat ke arah wanita di depannya itu. "Sarah, Nyonya." "Nama lengkap?" "Sarah Mia, Nyonya." Wanita paruh baya itu manggut-manggut. "Sudah punya anak? Aku dengar dari Bibi jika kamu sudah punya seorang putra?" Sarah mengangguk. "Sudah, Nyonya." Wanita paruh baya itu menatap ke arah Sarah, lalu manggut-manggut. "Sudah tahu pekerjaanmu, menjaga cucuku?'' Sarah menunduk. "Sudah, Nyonya." "Eummm. Jadi kamu seorang janda?" tanyanya penuh selidik. Sarah terdiam tak menjawab. Ia hanya menundukkan kepalanya tak berani menatap majikannya itu. "Sarah." "Eumm nggeh, Nyonya," jawabnya berbohong. "Aku ingin cucuku makan teratur. Dan rajin sekolah." Jelas wanita dengan gaya elegan dengan banyak perhiasan melekat ditubuhnya memanglah dia wanita berkelas. Sarah menganggukkan kepala. "InsyaAllah, Nyonya." "Kamu saya terima kerja di sini dan mulai besok kau bisa merawat cucuku. Sekarang istirahatlah." "Baik, Nyonya." "Aku suka kamu cantik, bersih dan aku minta kamu bisa menjadi suster yang baik untuk cucuku." Sarah mengangguk pelan. "Nggeh, Nyonya." Wanita bernama Lili itu menutup kembali surat lamaran kerja Sarah, lalu menaruhnya di atas meja. "Sekarang istirahatlah." Sarah kembali mengangguk. "Nggih, Nyonya." "Bi antar Dia ke kamarnya, ya." Bu Lili bangkit mengambil surat lamarannya dan membawanya ke ruang kerjanya. Bibi Nik mengangguk patuh. "Nggeh, Nyah." "Ayo, Sarah ikut, Bibi." "Nggeh." *** Sarah dan Bibi mengundurkan diri, kini Sarah merasa sedih sudah satu bulan ia tak bekerja tabungannya sudah menipis untuk biaya putranya. "Kamu paham dengan perkataan Nyonya tadi?" tanya sang Bibi padanya. Sarah mengangguk paham. "Ngeh paham, Bi." '"Bagus." Sarah berjalan mengikuti langkah sang Bibi. Sarah menatap sekeliling rumah mewah dengan beberapa pekerja membuatnya takjub melihatnya rumah mewah yang hampir terlihat sempurna. Tiang-tiang menjulang tinggi seperti raksasa. Beberapa guci besar memenuhi setiap pojok ruangan. Rumah yang dipenuhi dengan kayu jati klasik, sembilan puluh persen rumah dimodifikasi sangat apik dan begitu wah. Para pekerja mengintip setelah mendengar Sarah berjalan. Para pekerja memicing, mengarahkan pandangan padanya. Membuat Sarah canggung. "Bibi!" Dea memanggil. Mereka berhenti. "Ngeh, Non." "Siapa dia?" tanya Dea penasaran. "Ini Sarah. Yang akan menjaga putri Anda Non." "Oh. Begitu? Kenalin saya Dea." "Nggeh saya Sarah Non." "Semoga betah ya, Sar." Sarah mengangguk. "Aamiin nggeh, Non." Wanita itu tersenyum. "Saya pergi dulu." Dea pergi dan tersenyum. Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tidak berselang lama, derit engsel berbunyi pintu kamar yang menjulang dari kayu jati itu pun terbuka. "Istirahatlah ini kamar kamu. Mau, Bibi ambilkan makan?" "Nanti saja Bi." "Ya sudah Bibi tinggal dulu ya, kalau ada apa-apa panggil pake itu ya." Tunjuknya ke arah telepon dalam ruangan kamar. "Nggeh, Bi." Sarah sembari menurunkan tas. Dan duduk di sisi ranjang yang lumayan besar juga empuk, tak menyangka ia bisa bekerja di rumah orang yang sangat kaya raya. Bahkan kamarnya yang di desa tak sebagus kamarnya. Sebuah kamar saja sangat bagus dan kedap suara. Sarah merapikan pakaiannya ke dalam lemari lalu mandi selesai ia Solat Dzuhur ia tertidur. Karena pekerjaannya akan dimulai esok hari. *** Sore hari Devan bermain ke rumah Ibunya, ia masuk ke dalam rumah, namun dadanya bergetar entah ada apa dengannya sepertinya ia melihat bayangan seorang wanita. Di satu titik pandangan Devan seketika terhenti, menatap sosok gadis berparas cantik yang sangat tak asing buatnya baru saja keluar dari arah samping rumah Ibunya. Devan menatap tak percaya ke arah wanita itu sepertinya ia mengenalinya tapi siapa? Devan membeku, menatap gadis itu. Entah karena sebuah kebetulan, atau memang semesta yang merencanakan, kedua netra tak bisa lepas dari wanita yang saat ini berjalan menuju ke arah taman lalu begitu saja menghilang. Sesaat mata Devan membulat. Dia terdiam sejenak. Bagai sebuah drama merasa tak percaya dengan apa yang dialaminya saat ini. Menemukan wanita yang selama ini menghilang dari hidupnya. "Sarah ...." Batin Devan tak percaya. Ah mungkin karena ini efek ia semalam mabuk. Jadi mengada-ada. Bukannya kata Pak RT Sarah sudah meninggal. Devan baru akan melangkah mengikuti wanita itu, namun suara lantang Mamanya memanggil. Kini Devan menghentikan langkah berbalik mengikuti Mamanya ke ruang santai. "Dev." Devan menatap Ibunya. "Tumben kesini, Nak?" "Iya. Ma. Kangen Tiara." Bu Lili tersenyum. Mengajak Devan berjalan ke arah ruang santai. Devan lalu beralih menatap pada seorang pria. Dia meraih telapak tangan pria itu lalu menciumnya takzim. "Bagaimana meetingnya?" tanya Pak Adiyasa. "Lancar, Pa." "Om Dev ...." Tiara berlari memeluk Devan dengan erat. "Tiara Om kangen banget." "Bohong kangen kok baru kesini padahal Tiara di sini sudah hampir satu minggu." Kesal Tiara. "Kan Om banyak pekerjaan." "Ah gak seru." "Maaf." Tiara terdiam. Devan mendekat dan memberikan es krim kesukaan Tiara. "Nih, ada rasa cokelat, vanila, stroberi mau pilih yang mana?" Rayu Devan pada keponakannya. Tiara tersenyum. "Semuanya untuk Tiara." "Eumm tapi ngak marah lagi, kan?" "Tergantung nanti." Semuanya ikut tertawa. *** Bu Lili berjalan ke arah dapur, menyuruh Bibi Nik untuk membuatkan teh hangat kesukaan putranya. Juga menyiapkan ayam panggang yang dibawa oleh Devan. "Bi. Mbak Sari mana?" "Masih belanja Nyah." "Bibi sibuk ngak?" "Lumayan sih. Kenapa Nyah?" "Ini Devan bawa ayam panggang, Bibi siapkan ya kalau repot minta tolong sama Sarah saja." "Sarah. Nyonya yakin?" "Ya saya akan uji kemampuan wanita itu." "Nggeh, Nyonya." Bu Lili kembali ke dalam sedangkan Bibi meracik teh lalu memanggil Sarah melalui sambungan telepon. Tak lama Sarah datang. "Ada apa Bi?" "Bantu siapkan ini ya. Bibi akan siapkan tehnya. "Baik, Bi." Bibi menyiapkan ayam panggang, urap, mie goreng juga orak arik tempe juga nasi. Kemudian menyuruh Sarah untuk membawakan ke arah ruang santai. "Sarah, ingat jaga antitut ya. Jangan sampai membuat, Nyonya marah." "Nggeh, Bi." Sarah membawa nampan berisikan panggang dan urap dan yang lainnya, sedangkan Bibi membawakan nasi setelah sampai sana pelan Sarah meletakkan makanan itu namun hanya beberapa orang baru berada di sana. selesai Sarah kembali ke dapur lagi. Kembali Sarah membawa nampan berisi tujuh gelas teh hangat. Berapa menit kemudian, pembicaraan seru itu terhenti saat Sarah datang dengan membawakan nampan itu lagi. "Permisi." Sarah menundukkan pandangan dan sedikit menekuk punggung saat meletakkan nampan di meja. Pelan, satu demi satu cangkir itu di suguhkan, aroma khas teh bikinan Bibi yang menusuk ke hidung sungguh sangat menggoda selera. Perlahan, jemari lentik Sarah bekerja. Sarah dengan pelan sekali meletakkan cangkir itu tanpa menimbulkan bunyi. "Monggo." "Terima kasih, Sarah." Sarah mengangguk. "Saya permisi, Nyonya." "Sarah," panggil Bu Lili kembali. "Saya, Nyah." Sarah memeluk nampan masih dengan wajah menunduk. "Dev, Dea, Ris kenalin ini Sarah dia yang akan mengurus Tiara." Dea tersenyum dan mengangguk. "Hai kita sudah bertemu ya tadi." Sarah mengagguk dan membuka suaranya. "Ngeh salam kenal Non." "Mbak cantik deh." Sahut Tiara"Ya Zahira pelakunya."Devan mencoba menjelaskan, tetapi mengherankan karena saat menjawab tak sedikit pun ia berani menatap Sarah."Astagfirullah jadi?''Devan diam. "Mas!""Iya dia." Sarah bahkan tak tahu jika suaminya Devan menyembunyikan sesuatu yang mungkin bisa membuat Sarah marah. "Kenapa, Mas tak memberitahu aku?" Sarah sungguh tak ingin berprasangka buruk, tetapi ia seorang wanita. Ekspresi sangat bersalah jelas ia tunjukkan, matanya masih belum berani menatap mata Sarah. "Aku tak ingin kamu kepikiran."Sarah diam."Maaf Sayang.""Apa menurut, Mas aku tak bisa dipercaya?" cecar Sarah bertubi-tubi."Sayang bukan begitu.""Aku tidak paham apa yang ada di pikiranmu. Kenapa menyembunyikan sesuatu yang penting begini?""Maaf, Sayang," ujar Devan. "Bukan masalah minta maaf, Mas. Tapi lihat ini kelewatan. Astaga? Dia hampir mencelakai kita semua lo. Pantasnya dia dipenjara kan?""Iya sih tapi belom punya bukti. Lagian hembus yang beredar saat kecelakaan dia hampir kritis.""Mas
"Bunda lihatlah Kak Shaka teleponan sama seorang wanita." Adu Raiyan pada sang Bunda. Sarah tersenyum. "Masa? Benar itu Shaka?" tanya Sarah penasaran karena selama ini Shaka begitu rapat menyimpan teman wanitanya. "Tidak ada. Orang ini teman mengajar aku Bunda. Adek saja yang kepo," jawabannya seraya menunduk. "Itung-itungan buat semangatin kalau ngajar kan, Mas.""Apaan ngak ngak ngak.""Dih. Cakep tau itu fotonya." Goda adiknya Raiyan. Shaka merasa malu. "Adek." Shaka kembali menggendong adik perempuannya Syena. Sarah menggelengkan kepala, "sudah-sudah mungkin Kakak kamu ingin fokus mengajar Raiyan."Raiyan tergelak, jalan pikiran kakaknya Shaka memang lain dari yang lain. Baginya itu sangat menghibur karena ia tipe pendiam, "Ide bagus. Tapi jangan kelamaan jomblo Mas." Godanya seraya menemani Syema bermain. "Raiy sudah jangan ganggu Kakakmu, lihatlah mukanya merah itu." Kata Sarah tersenyum. "Iya iya, Bunda."Shaka menguncir rambut adiknya. ''Bunda Syena dan Syema sudah maka
Devan mengisap dalam-dalam rokoknya, lalu mengembuskannya pelan. Ia menatap istrinya lama. Tatapan mata itu yang dulu selalu berhasil meluluhkan Devan, hingga Devan kalah berulang kali. "Minumlah, Mas!" Sarah membawakan secangkir kopi panas untuk suaminya. "Ya.""Bagaimana tangannya masih linu?'' tanya Sarah pada suaminya lagi. "Lumayan sih."Sarah menggeleng. "Jadi hari ini terakhir kontrol?''"Ya Sayang. Alhamdulillah pen sudah dilepas semua normal tinggal pemulihan saja.''"Alhamdulillah kalau begitu." Sarah duduk didekat suaminya. "Kamu tidak mencintaiku lagi?" Sarah tertawa keras hingga air mata menghentikannya. "Mas."Kekhawatiran berlebih pada sesuatu yang belum terjadi, kerap menimbulkan ketakutan tak beralasan, karena usai jatuh beberapa tahun lalu Devan harus terapi karena tangannya cidera akibat menghindari mobil yang mengarah ke pada dirinya. Sarah mendorong pelan dadanya untuk melepaskan diri dari pelukannya. Tersenyum kaku saat melihat tatapannya yang seolah menunt
Tangan Zahira mengusap cepat air yang tersisa di mata dan pipi. Ia lantas mengulas sebuah senyum, senyum yang bisa Zahira pastikan hanya sebuah kamuflase. Ya, hanya untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Padahal, gurat kesedihan dan kecewa terlihat jelas di wajahnya."Pagi Sayang.""Pagi, Ma.""Bagaimana semalam tidurnya nyenyak?""Eumm.""Syukurlah. Kita lalui ini sama-sama," ucap Mamanya seraya menariknya dalam pelukan. Zahira tahu Mamanya bermaksud menghiburnya, tetapi yang terjadi ia malah kembali menangis, hingga terisak-isak di pelukannya. "Sudah, jangan nangis lagi. Hanya kamu satu-satunya harta Mama.''"Kenapa pas kecelakaan aku tak mati saja, Mama. Kenapa harus Joy?" "Hus. Jangan bicara begitu, mungkin Allah punya rencana lain untukmu, Nak."Zahira terdiam. "Sabar ya."Sang Ibu mendorong kursi Zahira ke dekat sofa. "Tapi aku bukan wanita sempurna aku cacat, Mama."''Kamu masih punya Mama. Tenanglah.''Zahira menggelengkan kepala. "Tidak, aku kesepian, Ma.""Sudah, ja
Sekarang apa yang bisa Zahira lakukan selain menjalani hidup tanpa arti, mungkin itu karmanya karena sikap jahatnya selama ini padanya. Mata kini terpejam, segera kembali terbuka ketika mobil sepertinya sudah berhenti di depan rumah. Zahira menyusuri halaman rumah di dorong dengan kursi roda, oleh bodyguard sekaligus sopir kiriman Papanya tiga tahun lalu. "Deri, apa aku terlalu buruk?" tanyanya tidak sanggup lagi menahan ucapan. Ada yang menekan keras hati di dalam sini, seluruh sendi seakan lepas dari pengait. "Siapa yang bilang, Non?" tanya balik Deri pada majikannya itu. "Aku. Aku bahkan wanita tak berguna juga wanita jahat, aku telah menyakiti banyak orang.""Non semua orang punya masa lalu.""Aku lelah bolak-balik berobat ke Singapore tapi sepertinya tak ada hasil."Deri menatapnya lembut, terlihat dia tersenyum. "Karena bolak-balik itu akan membuat, Non bisa berjalan lagi."Zahira menunduk karena tidak kuasa menahan rasa bersalah, merasa malu telah berbuat semena-mena dengan
Tiga tahun kemudian. Perjalanan pulang dari Singapura terasa panjang dan melelahkan. Bandara Soekarno Hatta yang selalu ramai juga jalanan Jakarta yang padat, menyambut kedatangan Zahira seperti sekarang ini. Sudah hampir satu tahun belakangan ini Sarah mondar-mandir Jakarta-Singapura. Demi pengobatan kakinya yang lumpuh karena tak bisa jalan. Zahira menghela napas panjang. Mematikan layar ponsel dan memasukannya ke tas yang ia kenakan. Di dorong Deri sang bodyguard dengan kursi roda itu membuatnya muak dan putus asa, ia menangis hampir setiap saat. Zahira memejamkan mata lelah dan berat. Teringat terakhir kali mereka bertemu Devan di kantor sehari setelah Zahira mengalami kecelakaan hebat, Karena Zahira ingin menabrak Devan hingga dirinya terbanting sendiri bahkan rekan kerja juga sahabatnya Joy meninggal di tempat. Berdua duduk berdampingan siang itu, Zahira mulai berkeluh kesah. Mulai menyesali diri, mengutuki diri karena kematian Joy sahabatnya. Masih Zahira ingat perkataan Devan