Share

Kebahagiaan

Sudah tiga hari sejak perdebatanku dengan Mas Bayu. Masing-masing dari kami tidak ada yang mengirim pesan. Aku masih segan untuk menanyakan kabarnya. Kalau dia, aku tidak tahu alasannya.

Sejujurnya, aku jadi menyesal karena bertengkar dengan Mas Bayu. Dia benar-benar hilang kabar sejak hari itu. Kalau tahu dia akan semarah ini, mungkin aku tidak akan menyangkal omongannya.

Namun, sebenarnya kenapa dia harus marah? Aku hanya menanyakan tentang perempuan yang berbicara dengannya di mal. Kalau memang itu tidak benar, seharusnya dia bisa membuktikan omongannya. Dia hanya bilang aku mengigau dan tidak melihat siapa-siapa di dekatnya. Alasan yang klasik.

Sekarang aku sedang menunggu kedatangan Kiki, temanku saat di SMA. Kami sudah berjanji untuk menghabiskan sore hari di daerah Bundaran HI. Sudah lama aku tidak melihat keramaian. Semua itu gara-gara Mas Bayu yang awalnya bersikap manis dan setia. Sayangnya, sekarang dia sudah mulai membuatku tidak percaya dengan sikapnya.

Suara ponsel menyadarkanku. Segera aku lihat pemberitahuan. Ternyata pesan dari Kiki.

Kiki:

Gue udah di stasiun MRT HI, lo di mana?

Aku celingak-celinguk mencari keberadaannya dia. Aku juga sudah di tempat itu, tetapi aku tidak melihatnya. Setelah tidak melihat keberadaannya, aku memutuskan untuk berjalan ke arah pintu luar. Mungkin saja dia sudah di sana.

"Patah leher lo kalau nengok terus!"

Aku menengok ke belakang. Ternyata Kiki yang menegurku. Sejak kapan dia mengikutiku? Pantas saja tidak ketemu, ternyata dia di belakangku.

"Dari kapan lo di belakang gue?" tanyaku.

Aku langsung mengaitkan tangannya dan berjalan. Ternyata dia masih saja bondol, padahal sudah aku katakan untuk memanjangkan rambutnya. Sudah seperti pria saja kalau dia membuat rambutnya terlihat pendek.

"Lo udah izin sama suami?" kata Kiki.

Mendengar kata suami, rasanya aku ingin muntah. Hal yang terbayang pertama adalah wajah Mas Bayu, sedangkan aku tidak ingin melihatnya sekarang. Mataku memutar. "Jangan ngomongin suami, deh."

Dia tertawa puas, seperti sudah lama saja tidak menertawakan diriku. “Asli, suami lo ada masalah hidup apaan, sih? Masa tega banget ngebiarin istrinya sendirian di rumah segede itu?”

“Nggak tahu, deh. Kerasukan setan kantornya kali,” sahutku.

Setelah keluar dari area MRT, keramaian kota langsung menyambut kami berdua. Sungguh, suasana seperti ini yang membuatku nyaman, bukan di rumah sendirian. 

"Lo nggak izin hari ini?" tanya Kiki. Sepertinya pertanyaan dari dia harus kujawab. Bisa ribet urusannya kalau tidak dijawab.

"Gue nggak izin sama dia hari ini. Baru pertama kali, nih, gue pergi nggak izin suami," sahutku sambil berjalan mendahuluinya.

"Parah, lo. Ketahuan bisa kena marah pasti. Gue ingetin, ya, si Bayu itu orangnya serem kalau udah marah," sahut Kiki.

Aku langsung terkikih. "Minggu kemarin kita berantem, Ki."

Kiki menahan tanganku dan membuat kami berhadapan. "Kenapa bisa berantem, Cit?"

Aku mengendikkan bahu. "Ya, begitu, deh."

Dia menghentikan taksi yang lewat di dekat kami. Kemudian, dia mendorong tubuhku untuk masuk terlebih dahulu. Aku langsung tersenyum. "Mau ke mana?"

"Seharusnya kita nggak di sini, Cit! Kalau lo mau cerita, seharusnya di tempat lain yang lebih sepi aja!" sahutnya. "Bang, anterin kami ke Kokas!"

Dia menyodorkan beberapa botol cokelat yang aku suka pastinya. “Buat bagusin mood lo yang berantakan.”

“Terima kasih, Kiki. Sayang banget sama Kikiiii,” ucapku manja. Biasa, menghibur hati yang sudah membuatku gembira. Pasti sebentar lagi dia akan marah.

“Nggak usah berlebihan! Jijik gue dengernya,” kata Kiki. Benar saja, dia langsung marah. “Jadi, gimana bisa berantem?”

"Gue curiga kalau Bayu selingkuh."

"What?" Kiki berteriak tepat di samping telingaku.

"Jangan kenceng-kenceng, bisa budek kuping gue!" kataku sambil menutup telinga kiri.

"Lo bercanda, kan?" tanya dia memastikan.

Aku tersennyum, kemudian menggeleng. "Sayangnya itu beneran. Gue denger sendiri ketika Bayu ngobrol sama perempuan lain. Sayangnya ketika gue mau pergokin, perempuan itu udah hilang, Ki."

"Lo denger di mana? Siapa tahu lo salah denger, Cit."

"Kiki, kuping gue masih sehat. Bayu ngomong kalau hari libur harus nemuin gue, biar nggak ketahuan katanya," jelasku.

Kiki menggeleng tidak percaya. "Terus, mereka ngomong apa selain itu?"

Aku tersenyum lebar. "Perempuan itu bilang kalau mereka akan menikah."

"Gila! Serius, nih?" kata Kiki.

"Lo pikir gue lagi ngedongeng?"

"Lebih baik lo jangan buruk sangka dulu sama dia, deh. Takutnya itu cuma dugaan lo doang. Di mal, kan, banyak orang. Mungkin aja itu suara perempuan lain, Cit."

Aku langsung tertawa setelah mendengar Kiki berbicara. "Kita berantem, karena dia bohong sama gue, Ki. Gue udah tanya ke dia soal perempuan itu, tapi tetep aja dia nggak mau ngaku."

Kiki memegang pundakku. "Cit, lo salah sangka mungkin. Setahu gue, si Bayu orangnya setia. Dia nggak pernah selingkuh dari pacarnya waktu kita SMA."

Itu waktu SMA, bisa jadi sekarang sifatnya berubah. Siapa yang bisa menjamin kalau sifat orang tidak berubah?

"Waktu itu ada yang WA dia, namanya Leon. Awalnya gue nggak peduli, tapi ketikan dia itu aneh, Ki. Dia manggil suami gue Mas Bayu, terus pakai aku-kamu. Kita aja pakai gue-lo," sahutku.

Kiki tertawa lepas setelah mendengar penjelasanku. Tidak ada yang aneh, kenapa dia tertawa?

"Dari nama aja udah ketahuan kalau dia itu cowok. Lo masih cemburu sama cowok?"

"Tapi ketikannya aneh, Ki. Gue tanya sama lo, kalau WA sama atasan itu pakai aku-kamu?"

Kiki menghentikan tawanya. Dia tidak bisa menyangkalku kali ini. "Pakai bahasa formal pastinya."

"Gue tanya lagi, kenapa suami gue dipanggil mas? Dia kan pemilik perusahaan, kenapa nggak dipanggil bapak?" tanyaku lagi.

"Benar juga, ya," kata Kiki.

"Parahnya, gue sempet denger kalau dia ngejadwalin untuk tidur sama gue di akhir pekan aja."

Kiki membelalakkan matanya. Dia sampai tidak bisa berkata-kata.

"Gue denger semua omongan dia, Ki. Menurut lo, apa dia nggak selingkuh?"

"Tapi itu cowok, Cit."

Aku menggeser badan menghadapnya. "Gue curiga kalau dia pakai nama cowok untuk nyembunyiin identitas selingkuhannya. Dia takut banget waktu gue hampir angkat telepon si Leon."

Aku mengalihkan pandangan ke arah ponsel. Aku harus memastikan kalau tidak ada pesan dari satpam di rumah. Berharap ada pesan dari satpam, ponselku justru dikirim pesan oleh Mas Bayu. Ada beberapa panggilan tidak terjawab juga dari dia. Astaga, banyak banget. Ada apa dengan Mas Bayu? Apa dia ingin marah padaku karena aku tidak menghubunginya juga? Dia juga tidak menghubungiku, untuk apa dia marah?

My Hubby:

Kamu boleh pergi, biar otak kamu seger. Nggak mikirin aku selingkuh melulu.

Sial, masih saja dia berkilah ketika beberapa bukti sudah kupegang. Sepertinya Mas Bayu harus diperiksa kesehatan jiwanya. Lagi pula, sebelum dia mengizinkan aku pergi, aku sudah pergi dengan Kiki hari ini. 

Bukannya aku tidak mematuhi perintah suami. Aku hanya takut akan terkena serangan psikis jika harus menahan diri di rumah. Memangnya kalau aku sendirian, aku bisa mendapatkan kesenangan? Selama ini aku menderita, beruntung aku masih percaya dengan Mas Bayu. Namun, kali ini aku sudah tidak percaya dengannya.

"Cit! Itu bukannya mobil suami lo?"

 Baru saja dia mengirim pesan, sudah ditemukan saja mobilnya. Sepertinya dia tidak tahu kalau aku keluar tanpa pengetahuan dia. 

"Ikutin, Pak!" kataku. "Dia mau ke mana, ya?"

Kiki menggeleng, dia kembali melihat mobil di depan kami. "Lo tahu apartemen dia, Cit?"

Kalau aku tahu, aku tidak mungkin cemburu dengan Leon. "Di daerah Jakarta."

"Itu juga gue tahu, Citra! Maksud gue, letaknya lo tahu?"

Aku berdecih sebal. "Kalau tahu, nggak mungkin gue curiga sama si Leon yang tinggal bareng sama dia, Ki!"

"Si Leon ini tinggal sama Bayu? Maksudnya gimana, Cit?"

Sudah aku bilang, mereka berselingkuh. Kiki masih tidak percaya dari tadi. Ketika aku berkata kalau mereka tinggal berdua, dia langsung kaget. "Makanya gue percaya kalau mereka berdua selingkuh."

"Gila banget!" ucap Kiki. Dia menatapku lagi. "Kalau bener, berarti mereka berdua udah selingkuh selama berapa bulan?"

"Lo hitung aja, berapa lama dia ninggalin gue sendirian di rumah?" timpalku.

Dia melihat obrolan pesan kami. Kemudian dia memekik tertahan. "Lama banget, dua bulan lebih!"

"Lo pikirin, deh, apa yang mereka lakukan selama dua bulan?" tanyaku. 

Kiki tersenyum masam, kemudian mengelus bahuku. "Sabar, ya?"

"Gue sendirian di rumah, dia malah asyik berduaan sama selingkuhannya," sahutku. "Gue juga goblok nurutin kemauan dia!"

Kami terus mengikuti mobil Mas Bayu. Dia berhenti di depan mini market.

"Apa mereka selingkuh sampai ke tahap bersetubuh?" tanya Kiki. "Terus, dia selingkuh karena apa? Lo nggak buat dia seneng mungkin?"

Itu pertanyaan yang belum bisa aku jawab. Kalau memang dia selingkuh karena keahlianku di atas ranjang, sepertinya tidak mungkin. Dia sendiri yang bilang kalau aku hebat. Untuk pertanyaan pertama, aku masih menerka-nerka. "Mudah-mudahan hanya satu apartemen, Ki."

"Satu ruangan aja bisa bersetubuh, apa lagi satu apartemen," sahut Kiki.

Tidak perlu dia jelaskan, aku sudah berpikir sejauh itu. Kalau sampai dia berbuat itu dengan perempuan lain, aku akan segera meminta cerai dengannya.

"Kalau sampai bener, gue mau cerai aja, Ki!"

"Astaga!" pekik Kiki. "Nyebut, Cit! Nanti dikabulin Tuhan, nyesek nanti!"

Tidak peduli. Aku tidak ingin diduakan. Daripada aku harus hidup dengan perempuan lain, lebih baik aku pisah dengannya.

Seorang perempuan berpakaian serba putih keluar dari mini market. Dia menggunakan masker penutup mulut dan kaca mata. Sial, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia masuk ke dalam mobil Mas Bayu.

"Itu dia, Cit?"

Bisa jangan tanya padaku terlebih dahulu? Aku juga tidak tahu. Lagi pula, aku baru pertama kali melihatnya. Kalau memang itu selingkuhan Mas Bayu, sepertinya wajar saja kalau dia berpaling. Dilihat dari penampilannya, dia memang lebih menarik.

Sial, aku jadi sedih melihat ini semua. Rasanya aku ingin pulang saja sekarang. Tanpa sadar, air mataku mengalir melihatnya.

"Citra?"

Aku menoleh, mendapati Kiki dengan wajah sendunya. Aku langsung tersenyum dan menyeka air mata itu. Saat ini, aku tidak boleh lemah. Masih ada waktu untuk membuktikan kalau aku bukanlah wanita bodoh.

"Lo nggak apa-apa?" tanya dia.

Aku mengangguk samar. Kemudian, aku kembali menatap mobilnya. Mas Bayu mulai menjalankan mobilnya. Aku tidak sanggup melihat kenyataan kalau Mas Bayu selingkuh.

"Ikutin terus, Pak!"

Saat ini aku hanya ingin melihat di mana letak apartemen dia. Mulai hari ini, tidak ada lagi Citra yang baik pada suami. Aku muak dengan semua tingkahnya yang manis. Kalau saja aku tahu semua ini lebih awal ....

Astaga, air mataku kembali mengalir. Hatiku berdenyut-denyut membayangkan mereka berdua yang sedang tertawa di dalam mobil. Mungkin, mereka bertemu dan saling bercumbu juga.

Aku mengalihkan pandangan ke arah luar, berharap ada sebuah lelucon yang bisa membuat tertawa.

"Brengsek!" desisku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status