Mas Bayu masih tertidur di dalam ruangannya. Aku sengaja keluar untuk berbicara dengan Leon. Mas Bayu tidak perlu tahu kalau aku sedang menjalankan rencana untuk penyergapan Luna.
"Jadi, apa rencana lu kali ini, Cit?"
Aku sedang berbicara dengan Leon. Dia yang akan membantu aku dalam penangkapan Luna nanti.
"Gue udah chat Luna untuk ketemuan nanti siang. Tapi, gue yakin dia nggak akan sendirian. Setelah perusahaannya direbut, gue yakin dia bawa anak buahnya untuk nangkep gue nanti."
Leon mendengus. "Lu mau bawa pekerja perusahaan itu juga? Lumayan, mereka pasti berguna. Setidaknya ada lawan untuk pengawal si Luna."
Aku menjawabnya dengan kikihan. "Tentu aja tidak. Gue akan bawa polisi, Yon!"
"Lu mau laporin kasus ini ke polisi sekarang?" tanya Leon. "Lo udah punya semua bukti dari kejahatan Luna?"
"Iya, gue nggak mau ada bakteri yang hidup di sekitar gue dan Mas Bayu. Kalau ada, dia harus dimusnahkan segera. Semuanya udah gue kumpulin semala
Setelah beberapa jam menunggu kehadiran dokter untuk memeriksa Mas Bayu, akhirnya tiba saatnya dia boleh pulang. Luka yang dia dapat lantaran melompat dari mobil tidak terlalu parah, paling-paling hanya luka gores.Aku sudah menyiapkan barang-barang Mas Bayu di dalam tas untuk pulang. Dia sedang duduk saja sambil menonton tayangan televisi."Lu bener nggak butuh bantuan gua, Kak?"Yang sedang berbicara itu Rio. Kami menelepon dari tadi. Dia kukuh ingin meminta datang dan membantu aku. Namun, dia juga memiliki hal yang mendesak di kampus. Jadi, aku larang dia."Bener, Yo. Nanti gue yang bawa mobilnya, santai aja. Sini ke rumah nggak terlalu jauh, kok," jawabku."Ya udah, gua tutup teleponnya. Nanti malam gua ke rumah, mau nitip apaan?' tanya Rio.Aku menoleh ke Mas Bayu. "Nitip perban dan obat merah aja, deh. Buat jaga-jaga kalau nanti perban harus diganti.""Nggak ke dokter lagi aja?" kata Rio."Aduh, nggak usah, deh! Tan
Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, Mas Bayu sudah tidak menggunakan perban lagi. Walau masih terlihat bekas luka di beberapa bagian, setidaknya dia tidak perlu terikat oleh perban yang mengganggunya lagi.Dia belum pulang kerja, aku sudah menunggunya di depan pintu. Katanya dia sudah di jalan, sebentar lagi mungkin akan tiba.Aku harus bersyukur karena memiliki suami sebaik Mas Bayu. Andaikan aku disuruh menilai, mungkin nilai yang akan aku berikan adalah tanda tidak terhingga. Menurutku, masih ada nilai di atas nilai maksimum.Tidak setara apa yang aku lakukan padanya dibanding dia korbankan padaku.Suara derung mesin mobil membuatku berdiri dan membuka pintu. Mas Bayu berjalan ke arahku dengan wajah yang tersenyum."Nggak usah nungguin di depan, Dek. Di dalem rumah aja nggak apa-apa, kok," katanya.Aku mengambil tas dia, kemudian membuka jas yang Mas Bayu pakai. "Nggak apa-apa, lagian cuma duduk di dalem doang bosen. Jalanan la
Terhitung sudah hampir empat bulan pernikahanku dengan Mas Bayu berjalan. Aku selalu berusaha untuk menjadi istri yang baik. Namun, selama beberapa minggu belakangan Mas Bayu tidak pulang ke rumah. Dia bilang urusan pekerjaan sedang rumit. Jadi, Mas Bayu harus tinggal di apartemen untuk menghemat waktu.Awalnya aku tidak masalah kalau Mas Bayu harus tinggal di apartemen karena urusan pekerjaan. Namun, apakah urusannya terlalu rumit sampai setiap hari dia tidak pulang ke rumah? Mas Bayu hanya pulang ketika weekend, selebihnya Mas Bayu tinggal di apartemen.Jujur aku kesepian selama ini. Aku memiliki suami, tetapi seperti tidak memiliki suami. Di rumah sendirian tanpa Mas Bayu. Terlebih lagi Mas Bayu tidak mengizinkanku untuk keluar rumah tanpa dirinya.Kami terjebak di dalam perjodohan orang tua kami. Ayah dan ibuku tewas enam bulan yang lalu akibat kecelakaan. Kemudian, Pak Santoso, yang sekarang menjadi mertuaku memberikan surat wasiat dari ayah. Surat it
Aku mengangkat selimut yang menutupi badan. Di sebelah, ada Mas Bayu yang masih terlelap dengan tangan memeluk leherku. Ternyata dia masih memelukku sampai pagi. Astaga, aku jadi senyum-senyum sendiri.Satu kecupan lembut kudaratkan di bibirnya sebelum bangkit. Andai setiap pagi aku dapat melihat wajahnya yang damai seperti ini, pasti tidak akan ada yang namanya si Citra yang kesepian. Selama ini setiap bangun hanya bisa melihat gorden yang tertutup. Hal yang membosankan.
Mungkin hari ini akan menjadi hari paling tidak jelas bagiku. Kalau orang lain mengatakan hari terindah atau hari terburuk, aku tidak keduanya. Tidak indah-indah banget, tidak buruk-buruk juga.Memang, sih, Mas Bayu sudah bilang kalau mereka tinggal bersama di sebuah unit apartemen. Namun, entah kenapa, aku tetap saja merasakan ada hal aneh dari pria bernama Leon. Mungkin hanya firasat yang tidak harus dipikirkan, tetapi bagaimana cara aku melupakannya?Setelah perdebatan kecil di rumah, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke pusat perbelanjaan di daerah Blok M. Aku yang memilih barang untuk dibeli, sementara Mas Bayu dengan wajah tidak senangnya yang mendorong troli. Banyak banget barang yang aku beli; dua karung beras berukuran kecil, tiga botol minyak goreng, beberapa makanan siap saji, sabun cuci baju dan piring, beberapa kaleng minuman soda, dan banyak makan ringan.Sampai depan kasir, kami berdua bingung bagaimana caranya memasukkan belanjaan ke dalam mobil.
Pintu toilet terbuka, Mas Bayu langsung keluar. “Dek!” pekik Mas Bayu dari depan pintu toilet. Dia berlari ke arahku dengan wajah cemasnya.Aku tidak peduli. Kejadian hari ini masih membekas di benakku. Bayangkan saja, dia menyeretku dengan paksa, tidak peduli tatapan orang yang iba melihatku. Kemudian, dia juga membentakku seakan-akan dia paling benar, padahal sudah jelas dia berkilah. Aku mendengar suara perempuan tadi, tidak mungkin aku salah mendengarnya. Seharusnya aku tunggu sampai mereka berdua keluar, jadi aku bisa memergoki.Setelah itu, dia tidak berbicara kepadaku, tetapi langsung melenggang pergi ke lantai atas. Aku perhatikan dari bawah, dia masuk ke kamar. Kenapa dia? Sakit perut? Rasakan itu!Aku jadi penasaran dengannya. Segera aku susul dia ke kamar. Sesampainya, Mas Bayu sudah membuka kaus yang ia pakai dan hendak menggantinya dengan kemeja.“Setan apa yang ngerasukin kamu, sih? Ngapain malam-malam pakai kemeja?” Ucapanku langsung diba
Sudah tiga hari sejak perdebatanku dengan Mas Bayu. Masing-masing dari kami tidak ada yang mengirim pesan. Aku masih segan untuk menanyakan kabarnya. Kalau dia, aku tidak tahu alasannya.Sejujurnya, aku jadi menyesal karena bertengkar dengan Mas Bayu. Dia benar-benar hilang kabar sejak hari itu. Kalau tahu dia akan semarah ini, mungkin aku tidak akan menyangkal omongannya.Namun, sebenarnya kenapa dia harus marah? Aku hanya menanyakan tentang perempuan yang berbicara dengannya di mal. Kalau memang itu tidak benar, seharusnya dia bisa membuktikan omongannya. Dia hanya bilang aku mengigau dan tidak melihat siapa-siapa di dekatnya. Alasan yang klasik.Sekarang aku sedang menunggu kedatangan Kiki, temanku saat di SMA. Kami sudah berjanji untuk menghabiskan sore hari di daerah Bundaran HI. Sudah lama aku tidak melihat keramaian. Semua itu gara-gara Mas Bayu yang awalnya bersikap manis dan setia. Sayangnya, sekarang dia sudah mulai membuatku tidak percaya dengan sikap
Sepertinya aku membutuhkan hiburan lagi hari ini. Memikirkan kejadian kemarin sore ternyata membuat kepalaku sakit.Setelah mengunci pintu mobil, aku langsung berjalan ke arah pintu utama rumah besar ini. Senyumku merekah ketika melihat taman yang dulu sering aku rawat. Untung masih terawat tanamannya, aku akan memberi perhitungan pada Rio kalau sampai dia tidak merawatnya.“Rioooo!” pekikku setelah membuka pintu. Tidak ada orang di lantai ini. Sepertinya Rio masih di kamar, masih jam tujuh juga. Pasti dia masih tertidur, pemalas!Aku langsung berjalan sambil membawa rantang berisikan sarapan untuknya. Sudah lama aku tidak melihat Rio, rindu banget rasanya. Pasti dia terkejut melihatku yang datang tiba-tiba.Sampai di depan pintu kamar, aku mengetuknya berkali-kali. Tidak terbuka juga, pasti Rio masih tertidur pulas. Aku terus mengetuknya dengan keras, berharap pemiliknya keluar. Dia paling tidak bisa kalau pintunya diketuk terlalu keras, past