Share

Termasuk

Sepertinya aku membutuhkan hiburan lagi hari ini. Memikirkan kejadian kemarin sore ternyata membuat kepalaku sakit.

Setelah mengunci pintu mobil, aku langsung berjalan ke arah pintu utama rumah besar ini. Senyumku merekah ketika melihat taman yang dulu sering aku rawat. Untung masih terawat tanamannya, aku akan memberi perhitungan pada Rio kalau sampai dia tidak merawatnya.

“Rioooo!” pekikku setelah membuka pintu. Tidak ada orang di lantai ini. Sepertinya Rio masih di kamar, masih jam tujuh juga. Pasti dia masih tertidur, pemalas!

Aku langsung berjalan sambil membawa rantang berisikan sarapan untuknya. Sudah lama aku tidak melihat Rio, rindu banget rasanya. Pasti dia terkejut melihatku yang datang tiba-tiba.

Sampai di depan pintu kamar, aku mengetuknya berkali-kali. Tidak terbuka juga, pasti Rio masih tertidur pulas. Aku terus mengetuknya dengan keras, berharap pemiliknya keluar. Dia paling tidak bisa kalau pintunya diketuk terlalu keras, pasti akan marah.

Benar saja, pintunya langsung terbuka dan menampilkan wajah Rio yang sangar. Dia melayangkan tangannya tepat ke wajahku. Seketika mataku membulat dengan mulut terbuka.

“Astaga! Gue hampir mukul lo, Kak!” Rio menyandarkan tubuhnya di pintu, dia mengusap wajahnya dengan kasar.

“Ih! Jahat banget, sih, sama gue!” sahutku sambil memukul lengannya yang kekar. “Gue masih jadi kakak lo, tahu!”

Dia menatapku dengan lesu, sepertinya masih mengantuk. “Gue kirain maling. Lagian lo kenapa asal masuk, sih? Bukannya pencet bel di bawah?”

Aku langsung menoyor wajahnya. Kemudian berjalan masuk ke kamarnya dan mengambil bangku untuk duduk. “Lo yang tolol! Kenapa pintu depan nggak dikunci? Lo pikir gue bisa masuk karena dobrak pintu? Mana mungkin!”

Rio menatapku tidak percaya. Dia menelan salivanya sebelum tertawa hambar. “Emangnya nggak dikunci? Seinget gue, semalam udah gue kunci, Kak.”

Terus, dia pikir rumah ini ada hantu yang bisa membuka kunci pintu? Sepertinya dia mengigau semalam. “Nggak peduli udah dikunci atau belum! Intinya pagi ini pintunya nggak dikunci,” sahutku dengan nada tinggi.

Tenang, itu memang cara kami berbicara, sedikit berteriak. Bukannya kami marah atau bertengkar, tetapi agar lebih terasa saja hawa-hawa perdebatan.

“Hari ini ada kelas, nggak?” Aku meletakkan rantang di atas meja belajar Rio. “Gue buatin lo sarapan. Hari ini makan sarapan dari gue, ya?”

Rio berjalan ke kasur, kemudian meringkuk lagi di balik selimut. Segera aku sibak selimutnya. “Ayo, banguuun! Gue udah di rumah, nih. Masih aja lo ngambek.”

“Sono pergi! Gue mau tidur, nih!” sahut Rio sambil menarik selimutnya. Aku tahan, dia menatap wajahku. “Hari ini kosong, Kak. Gue mau tidur sampai sore!”

Ide cemerlang langsung muncul di benakku. Kalau di film yang aku tonton, akan ada lampu yang menyala di atas kepala. Segera aku goyangkan tubuhnya sampai dia bangun.

“Sumpah, lo orang ternyebelin, Kak! Kenapa, sih?” Rio merubah posisinya jadi duduk. “Suami lo ke mana? Tumben ngebolehin lo ke sini tanpa dia.”

Aku sudah membuka mulut, tetapi Rio menyelanya. “Atau jangan-jangan dia di bawah, ya? Aduh, lo bawa orang jutek itu kesini? “

Bola mataku berputar setelah dia megucapkan kata jutek. “Dia lagi kerja di kantornya, lah. Masa hari kerja begini dia main. Gue sendirian ke sini.”

Dia menganggukkan kepala. "Lo udah izin? Nanti dia dateng ngamuk-ngamuk, kan, nggak lucu."

"Nggak perlu izin. Sekarang dia udah kasih gue izin ke mana pun," sahutku.

"Gue masak nasi goreng, nih, buat lo!” kataku sambil memberikan rantang pada Rio.

Wajah Rio langsung ceria setelah memegang rantang. Dia membukanya perlahan-lahan, kepulan asap masih terlihat. “Jadi laper. Gue ambil sendok dulu, deh.” Dia berjalan ke arah pintu. “Lo mau makan juga?”

“Ambilin aja!” sahutku.

Rio pergi meninggalkanku sendirian di kamarnya. Ada sedikit penyesalan ketika melihat wajah Rio tadi. Aku yakin dia juga kesepian di rumah. Hatiku berdesir, mengingat Rio yang sedang sakit dan aku tidak bisa menemaninya di rumah. Semua itu karena pria brengsek yang statusnya masih menjadi suamiku. 

Astaga, aku jadi kesal lagi mengingat dia. Seharusnya aku tinggal di sini saja untuk beberapa hari. Lagi pula, dia juga tidak akan peduli. Dia sudah menemukan perempuan baru yang lebih baik dariku.

Rio kembali dengan dua sendok di tangannya. “Berhenti di sana!” perintahku. Dia langsung berhenti di depan pintu kamar mandi di kamarnya. “Gosok gigi dulu!”

Dengan sedikit penyesalan, akhirnya dia masuk ke kamar mandi. Masa bodoh kalau dia semakin marah, jorok kalau sarapan dengan keadaan giginya belum dibersihkan. Sambil menunggu, aku menyiapkan rantang khusus untuknya dan memisahkan bagianku. Untung aku membawa rantang kosong, jadi bisa digunakan.

“Gue lupa bawa kerupuk, Yo. Makan seadanya aja, ya?” ucapku setelah Rio keluar. Dia sudah selesai, rambut depannya masih sedikit basah. Aku yakin dia sekaligus membersihkan wajahnya. “Kalau gitu, kan, enak dilihat.”

"Nggak masalah, yang penting hari ini gue sarapan!" kata dia. “Lo dateng ke sini aja gue udah seneng, Kak.” Dia berjalan ke arahku. Rio berjalan di belakangku, lalu tiba-tiba dia mengecup pipiku.

“IIIH!” pekikku sambil mengusap bekas ciumannya. “Jijik!”

Wajahnya bersungut. “Tahu, deh, yang udah punya suami. Dulu, mah, kalau gue cium nggak pernah, tuh, nolak.”

Tidak mungkin aku risih dengannya. Jelas saja hanya untuk menggoda Rio. Aku tidak pernah marah jika dia mencium pipiku. Maklum saja, kebiasaan dari kecil yang masih melekat. Walaupun banyak yang mengira kami berpacaran lantaran tidak mengetahui latar belakang kami. Jelas saja, usia kami hanya terpaut tiga tahun.

“Enak nasi gorengnya! Lo jadi pinter masak, ya?” kata Rio.

Kurang ajar, bisa-bisanya dia memujiku sampai ke langit kemudian dia jatuhkan sampai ke bumi. “Kalau mau muji itu yang ikhlas, jangan pakai kata-kata ngejatuhin segala,” sindirku.

Dia tertawa di tempatnya. Aku perhatikan, dia semakin tidak terurus saja. Rambutnya sudah panjang dan mulai tumbuh kumis yang tidak bagus untuk diihat. “Hari ini kita ke barbershop.”

Rio sukses terbelalak. “Gue mau manjangin rambut gue, Kak.”

“Nggak ada! Lo harus potong rambut sesuai gaya yang dulu gue anjurin!” sahutku sedikit lebih tinggi suaranya. “Kalau begitu, lo kelihatan lebih ganteng, Yo.”

“Emangnya gue nggak ganteng kalau begini?” Rio menyisir rambut dengan tangannya sendiri. Aku jadi ingin tertawa melihatnya yang berlagak seperti cowok keren di luar sana.

“Bukan nggak ganteng, tapi sedikit turun kadar gantengnya lantaran lo kayak cowok yang nggak peduli sama keadaan wajah! Lihat, kumis lo udah mirip lele, tahu? Adanya di pinggiran doang!”

Kami berdua tertawa setelah Rio berkaca. Dia memilin kumisnya seperti pria tua yang sedang menggoda perempuan. Astaga, aksinya sukses membuatku senang pagi ini. Coba dari dulu aku bisa keluar rumah, pasti hal seperti ini sudah biasa terjadi.

“Hari ini temenin gue, ya?"

"Ke mana?" tanya dia dengan keadaan mulut penuh nasi.

"Gue mau ke apartemen si Bayu," sahutku.

Dia menganggukkan kepalanya. Lahap sekali dia makan, seperti orang yang tidak pernah makan saja. "Pelan-pelan, dong! Nanti keselek."

Rio bergumam sambil mengunyah. Setelah tertelan, dia menatapku. “Terus gue potong rambutnya kapan?”

“Potong rambut dulu baru ke apartemen.”

Aku beralih menatap ruangan yang penuh dengan kenangan. Andai saja aku bisa lebih tegas, mungkin Rio tidak perlu sendirian untuk waktu yang lama. Selama ini aku dikurung agar tidak bisa menemukan bukti kalau suamiku selingkuh.

Sebenarnya, aku masih tidak yakin kalau Mas Bayu selingkuh. Buktinya dia masih mau kembali ke rumah. Kalau memang dia selingkuh, untuk apa dia melakukan semua itu? Seharusnya dia bisa tidak peduli denganku. Dia masih berpikir tentang diriku, walaupun sedikit.

Sial, aku jadi semakin kesal mengingat kelakuan pria brengsek itu.

“Ini nasi gue pindah ke rantang lo, ya?” tanyaku setelah kembali menatap rantang.

Rio memandangku sambil tersenyum. “Bukan nasinya pindah, rantangnya yang gue tuker!”

Kalau bukan adik, mungkin sudah aku acak-acak wajahnya. Sabar, Citra, dia adik yang sudah lama aku telantarkan akibat penikahan. Akhirnya aku hanya bisa menarik napas panjang sambil mengelus dada.

Setelah itu, aku ketik beberapa kata untuk pesan Mas Bayu. Mudah-mudahan saja dia mengizinkan. Tempat rekomendasi dari Kiki pasti keren, aku tidak sabar untuk berfoto di sana. Dengan latar langit senja, pasti akan terlihat lebih keren.

“Maafin gue, ya?” kataku sambil menyuap nasi ke dalam mulut.

Rio menatapku kebingungan. Dia meletakkan rantangnya lalu meminum air yang aku bawa sebelum menjawab. “Maaf? Emang lo salah apaan?”

Dia pura-pura tidak tahu atau pura-pura bodoh? Sudah jelas kesalahanku menelantarkan dia, masih saja dia bertanya. “Gue minta maaf karena jarang kasih perhatian buat lo. Padahal seharusnya gue yang gantiin ibu buat ngurusin lo. Gara-gara pernikahan itu, gue jadi sulit buat ngurusin lo. Bahkan gue nggak bisa dateng ke sini hanya buat lihat keadaan lo.”

Rio manggut-manggut sambil memajukan bibirnya. Sialan, dia justru menganggap ucapanku candaan. “Gue udah gede, Kak. Selama gue masih bisa jalan dan tangan bisa gerak, lo nggak usah khawatir. Sekarang lo harus fokus ngurusin suami lo! Lagian kepergian ibu dan ayah nggak harus lo tanggung sendirian.”

***

"Selama ini lo nggak tahu apartemen suami lo?" kata Rio.

Kami sedang berjalan menuju meja resepsionis. Pertanyaan dia hanya aku jawab dengan gumaman. Dari tadi aku terus celingak-celinguk memastikan keadaan. Mudah-mudahan saja Mas Bayu tidak ada di sini. Kalau ada, bisa gawat. Semua rencanaku untuk memergokinya akan sia-sia.

"Terus, lo nggak pernah jengukin dia di apartemen?"

"Kalau gue nggak tahu, gimana cara gue jenguk dia?" timpalku. Rio terdiam.

Setelah sampai di meja resepsionis, aku langsung menampilkan senyuman yang bisa membuat semua orang percaya kalau aku sedang bahagia. "Saya mau tanya, apakah ada unit apartemen atas nama Bayu Adji Sasongko?"

Petugas itu tersenyum. "Sebentar, saya cek terlebih dahulu."

Rio menyenggol tubuhku. "Lo tahu di sini dari mana?"

Malas sekali menjawab pertanyaan Rio. Jawabannya pasti akan mengingatkanku tentang kejadian kemarin. Aku mendengkus dan menatapnya. "Kemarin gue sama Kiki ngikutin dia."

"Ngikutin? Ngapain lo ikutin dia?" tanya Rio. Aku yakin dia semakin penasaran dengan jawabanku.

"Karena gue penasaran, siapa perempuan yang masuk ke dalam mobil dia," sahutku.

Rio sukses terbelalak.

"Ada, Mba. Unit nomor 248, letaknya di lantai 24."

"Terima kasih."

Aku menarik lengan Rio yang masih terkejut ke arah lift. Tidak peduli apa yang dia pikirkan, aku hanya ingin melihat keadaan di lantai itu. Sekarang masih siang, pasti Mas Bayu tidak ada di apartemen. Syukur-syukur aku bisa melihat perempuan kemarin keluar dari unit apartemen Mas Bayu.

"Kak, apa maksud lo tadi?" tanya Rio setelah masuk ke dalam lift.

Aku tersenyum menatapnya. "Dia bawa perempuan lain ke apartemennya, Yo."

"Sialan!" pekiknya.

Aku menenangkan dirinya yang tersulut emosi. Wajar saja, Rio pasti tidak suka kalau aku diselingkuhi. "Tenang, bisa jadi itu rekan bisnis."

"Rekan bisnis nggak akan diundang ke apartemen, Kak!" kilahnya.

"Itu yang gue pikirin dari kemarin!" sahutku. "Mungkin lebih dari rekan bisnis."

Rio langsung memasang wajah kesal. "Gue tahu lo cemburu, jangan bercanda! Jadi, gimana sekarang?"

Pintu lift terbuka. Aku berjalan terlebih dahulu. "Lihat nanti aja."

Mataku mengedar mencari pintu dengan nomor 248. Setelah berjalan menyusuri lorong, ternyata itu unit paling ujung. Tidak mungkin aku mengetuknya sekarang, terlalu berbahaya.

Aku menarik lengan Rio untuk menjauh dari depan pintu. Kami berjalan ke arah lift lagi. Tadinya aku ingin menekan tombol lift, tetapi aku melihat ruangan kecil di ujung lain.

"Itu tangga darurat, Yo?" tanyaku.

Rio berjalan mendahului untuk memastikan. "Ruangan OB kayaknya."

Aku langsung berjalan ke arah sana. Sepertinya lorong kecil ini lumayan. "Bagus, deh."

"Bagus gimana?" tanya Rio.

Ketika aku menoleh, pintu unit apartemen Mas Bayu sepertinya terbuka. Aku menarik Rio agar bersembunyi di lorong kecil yang mengarah ke ruangan office boy.

"Kenapa?" tanya Rio agak tertahan.

Aku menyuruhnya agar tidak berisik. Sekarang aku harus mengikuti mereka. 

"Aku ke sana sekarang, ya?"

Apa itu suara perempuan yang tadi? Aku tidak mungkin melihatnya, bisa ketahuan.

Dentingan lift langsung membuatku sadar kalau sebentar lagi perempuan itu akan pergi. Beberapa saat kemudian, aku berlari untuk menekan tombo lift untuk turun.

"Kita nggak lihat wajah dia, Kak!"

"Percuma, tadi dia pakai masker sama kaca mata lagi, Yo. Sama seperti kemarin," sahutku.

"Brengsek! Kayaknya dia nggak mau ketahuan, deh."

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sumiya Sukmana
jadi penasaran
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kakak beradik kurang gizi jd dungu banget keduanya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status