Share

Merasakan

Pintu toilet terbuka, Mas Bayu langsung keluar. “Dek!” pekik Mas Bayu dari depan pintu toilet. Dia berlari ke arahku dengan wajah cemasnya.

Aku tidak peduli. Kejadian hari ini masih membekas di benakku. Bayangkan saja, dia menyeretku dengan paksa, tidak peduli tatapan orang yang iba melihatku. Kemudian, dia juga membentakku seakan-akan dia paling benar, padahal sudah jelas dia berkilah. Aku mendengar suara perempuan tadi, tidak mungkin aku salah mendengarnya. Seharusnya aku tunggu sampai mereka berdua keluar, jadi aku bisa memergoki. 

Setelah itu, dia tidak berbicara kepadaku, tetapi langsung melenggang pergi ke lantai atas. Aku perhatikan dari bawah, dia masuk ke kamar. Kenapa dia? Sakit perut? Rasakan itu!

Aku jadi penasaran dengannya. Segera aku susul dia ke kamar. Sesampainya, Mas Bayu sudah membuka kaus yang ia pakai dan hendak menggantinya dengan kemeja.

“Setan apa yang ngerasukin kamu, sih? Ngapain malam-malam pakai kemeja?” Ucapanku langsung dibalas gelengan Mas Bayu. Dia melanjutkan aktivitasnya dengan mengganti celana pendek dengan celana bahan hitam. “Astaga! Kamu mau ke mana?”

“Aku harus ke kantor, Dek. Ada keadaan mendesak,” sahut Mas Bayu.

Tanganku mengepal dengan mata yang mulai membulat. Sumpah, apakah tidak cukup dia membuatku kecewa hari ini? Sampai sekarang masih saja ada kejadian yang dia lakukan sampai aku kecewa lagi?

 “Kamu beneran harus ke kantor malam ini?” tanyaku dengan nada rendah. Mas Bayu terus merapikan pakaiannya di depan cermin. “Or you want to meet that woman?

Dia langsung menatapku dan menghentikan pergerakannya. “Apa maksud kamu ngomong begitu?”

Aku mengendikkan bahu, seolah mengatakan tidak tahu. Mas Bayu justru berjalan ke arahku dengan mata yang membulat. Dia juga mengeraskan rahangnya. Aku sengaja membalas tatapan itu tidak kalah nyalang. Dia pikir aku takut padanya?

“Aku kerja untuk menafkahi kehidupan kita. Kenapa kamu malah ngomong kayak gitu!” Dia membentakku.

“Kalau kamu emang nggak mau ketemu sama perempuan tadi, kenapa kamu harus marah?” tanyaku yang dijawab dengan matanya yang menyipit. Dia pikir aku takut dengan gertakannya? Tidak sama sekali, karena aku merasa benar kali ini.

“Kamu masih pikir aku selingkuh?” tanya Mas Bayu dengan nada rendahnya.

Tidak aku jawab. Pandangan kualihkan ke nakas. Malam ini rasanya aku kesal banget. Coba saja ada Rio, pasti aku akan memukul lengannya. Tidak mungkin aku memukul Mas Bayu, bisa dikategorikan kekerasan dalam rumah tangga.

“Jawab aku!” desak Mas Bayu.

Aku melipat tangan di dada. “Kamu tinggal jawab pertanyaanku. Siapa perempuan itu?"

“Citra!”

“APA?!”

Aku kembali menatapnya. Kami berdua sama-sama marah. Namun, aku marah karena diselingkuhi, sedangkan dia marah karena tidak berhasil berkilah dariku.

“Aku udah jelasin semuanya sama kamu, Cit! Aku udah bilang kalau nggak ada perempuan di sana. Aku lagi nunggu lift” Mas Bayu mengencangkan kepalan tangannya.

Aku menantangnya dengan seringai. “Jadi, telingaku yang sudah rusak?”

Dia menghela napasnya dengan kasar. “Terserah kamu. Aku nggak peduli pendapatmu. Malam ini, aku harus ke kantor karena murni urusan kantor! Kalau kamu masih berpikir aku selingkuh, silakan. Aku nggak melarang.”

Aku berjalan meninggalkan Mas Bayu. Kakiku tanpa sadar berjalan ke arah pintu dan menguncinya dari dalam. Kemudian, kunci pintu itu aku bawa ke dalam genggaman. “Silakan pergi! Aku mau tidur.”

Seharusnya aku biarkan saja dia pergi. Malas juga kalau harus berhadapan dengan pembohong. Namun, aku justru mengunci pintu dari dalam dan menggenggam kunci itu.

“Citra, gimana caranya aku pergi kalau pintu dikunci?” Mas Bayu berjalan dan berdiri di dekatku. Masa bodoh dengan perkataannya, aku tidak ingin memberikan kunci kamar padanya.

Mas Bayu beralih duduk di samping kasur agar wajah kami berhadapan. Sial, baru aku ingin berbalik, dia sudah menahannya. Terpaksa mata kami saling menatap sekarang. Kasihan sekali Mas Bayu, matanya sendu ketika aku tatap.

“Tolong, Dek. Jangan begini sama aku, ya? Aku minta maaf sama kamu, tolong jangan marah kayak gini.” Mas Bayu mendekatkan wajahnya ke arahku. “Aku memang harus pergi ke kantor. Kamu harus percaya sama aku.”

Kalau dia sudah berbicara dengan lembut, aku paling malas mendengarnya. Bukannya jijik, tetapi aku jadi cepat menurut. Pokoknya aku tidak akan menuruti keinginan Mas Bayu malam ini. “Kamu boleh pergi asalkan dengan satu syarat!”

Matanya berbinar seketika. “Apa syaratnya?”

“Aku boleh pergi ke mana pun tanpa pengawasan kamu.” Aku bangkit dan duduk menghadapnya.

Mas Bayu berdiri. “Nggak bisa, Dek.”

“Kenapa nggak bisa?” tanyaku dengan satu sisi bibir yang kunaikkan.

“Aku nggak bisa ngebiarin kamu di luar sana sendirian, Dek. Kalau nanti terjadi apa-apa, aku juga yang salah nanti.”

Alasan itu lagi yang dia berikan. Aku jadi curiga, jangan-jangan dia menyembunyikan aku di rumah agar tidak ada yang menguntitnya nanti. Kalau begitu, dia akan bebas berselingkuh di luar sana.

“Pergi aja! Aku males lihat muka kamu,” ucapku sambil melempar kunci kamar ke arah pintu. Suara benturan kunci dengan pintu membuat aku sadar kalau itu tindakan yang salah. Tidak masalah, dari tadi juga aku benar tidak ada yang peduli. “Sana pergi!”

“Aku nggak bisa pergi kalau kamu terus ngambek begini!”

Tidak mau aku sedih, tetapi tidak mau menuruti keinginanku juga. Maunya apa, sih, dia? Kalau bukan suami, sudah kucabik wajahnya sampai puas. “Nggak jelas!”

Mas Bayu menghela napasnya. Dia duduk di sampingku, kemudian wajahnya kembali dia dekatkan ke arah bahuku. Satu kecupan lembut dia daratkan di pipiku. “Aku harus apa biar kamu nggak ngambek?”

Dia benar-benar sudah gila. Segera aku dorong tubuh Mas Bayu agar menjauh. “Seharusnya aku yang ngomong gitu. Aku harus apa biar kamu ngizinin kemauan aku kali ini?” jawabku dengan nada yang semakin sinis. “Selama ini aku udah cukup nurut sama kamu. Tapi kamu nggak pernah bisa nurutin kemauan aku yang satu itu!”

“Aku takut kalau kamu kenapa-kenapa di luar sana, Dek,” sahutnya.

“Memangnya apa yang Mas Bayu harapkan kalau aku di luar sana?” balasku sambil membalikkan tubuh. “Mas Bayu berharap aku ugal-ugalan di luar sana sampai membahayakan nyawa, begitu?”

“Nggak gitu juga, Dek,” ucap Mas Bayu. Dia memegang pundakku agar kami saling bertatapan. “Aku tahu kalau kamu nggak akan seperti itu.”

“Kalau udah tahu kenapa harus larang aku keluar rumah, sih? Kamu takut aku selingkuh, begitu?” Kali ini aku benar-benar marah. Pokoknya aku harus mendapatkan izin untuk bebas, setidaknya bisa membuang kebosanan karena suamiku yang sangat sibuk.

“Nggak gitu juga, Sayang. Sekarang kamu mau apa kalau keluar?” tanya Mas Bayu.

“Apa aja, dong. Aku masih punya adik yang bisa aku datengin, aku masih punya teman yang bisa aku ajak main ke mana aja.” Dia tidak membalas ucapanku. “Atau kamu takut aku ketemu selingkuhan kamu?”

"Citra, aku nggak selingkuh!" Mas Bayu bangkit dan mengambil tasnya. Dia menatapku sekilas sebelum mengambil kunci. Setelah itu dia menatapku dengan datar sambil membuka kunci pintu.

“Selalu begitu!”

Mas Bayu menatapku dengan sinis. “Selalu bagaimana? Kamu nggak pernah ngerti kemauan aku!” sahut Mas Bayu dengan nada tinggi.

Kenapa jadi dia yang marah? Harusnya aku yang marah!

“Karena alasan yang kamu kasih itu semuanya nggak masuk akal! Alasan bodoh.”

Dia tidak menjawab ucapanku. Tatapan matanya langsung tajam setelah aku berbicara.

Aku kembali duduk dan menatapnya dengan geram. "Kamu buat aku di rumah, setelah itu kamu bisa bebas ketemu perempuan itu."

Mas Bayu jalan mendekat ke arahku. "Citra, aku ingetin sekali lagi. Aku masih suami kamu! Jangan pernah membantah omongan suami!"

"Suami apa yang selingkuh dari istrinya?" sahutku diakhiri dengan seringai di wajah. "Aku penasaran sama perempuan selingkuhan kamu. Apakah dia terlalu cantik sampai kamu bisa melupakan aku?"

"Citra, aku tidak selingkuh!" Dia menunjuk wajahku. "Jangan pancing kemarahanku!"

"Kalau maling teriak maling, penjara bisa penuh. Bayu, aku bukan perempuan yang bisa kamu bodoh-bodohi seperti ini. Malam ini kamu mau ketemu perempuan itu lagi, kan?"

Mas Bayu berjalan ke arah pintu. Dia menatapku sebelum membuka pintu. Setelah itu, dia keluar dan meninggalkanku di kamar sendirian.

Aku tidak percaya kalau suami yang selama ini aku banggakan karena setia, akhirnya selingkuh juga. Untuk apa dia membuatku jatuh cinta kalau akhirnya dia akan meninggalkanku?

Tidak, aku tidak boleh terus bersikap seperti ini. Aku harus membuktikannya sendiri. Aku harus melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau Mas Bayu selingkuh. Jangan sampai semua hal yang aku bicarakan tadi tidak benar. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status