Share

Bab 2 Di Balik Foto Pernikahan

“Sagi?” ucap Venus saat melihatku muncul di balik pintu yang ia buka, sesaat setelah aku menekan bel.

Bagaimanapun, apa yang Bima sampaikan telah membuatku terganggu. Berita tidak menyenangkan itu sungguh mengejutkan dan telah mengusik kedamaian hidupku.

Saat itu, aku mengutarakan niat untuk memperkenalkan Leo pada acara penting keluarga. Tapi bukannya mendapat respon positif, Leo malah memutuskan hubungan dengan alasan mau dijodohkan. Setelah putus, ternyata kami dipertemukan kembali dalam sebuah pertemuan keluarga. Itu adalah acara pertunangan Venus. Dan aku sangat terkejut ketika tahu bahwa calon pasangannya adalah Leo.

Aku sudah lama tak mengingatnya. Aku sudah berdamai dengan takdir perpisahan yang berlalu nyaris satu tahun silam. Aku tersenyum. Menunjukkan ekspresiku yang tampak baik-baik saja. Lalu Venus memelukku spontan. Memberi pelukan rindu karena lama tak bertemu.

“Ayo masuk!” ajak Venus kemudian. Mempersilakan aku untuk masuk ke rumahnya. “Harusnya kabarin dulu kalo mau ke sini. Lihat, tuh! Rumah Kakak masih berantakan. Belum sempat beres-beres,” terus Venus sembari memungut beberapa helai baju yang berserakan di sofa.

Jujur, aku sedikit aneh ketika melihat penampakan rumah Venus dan Leo. Aku tahu betul bagaimana cara hidup dua orang ini. Mereka adalah tipe orang yang sangat menjaga kerapian dan kebersihan tempat tinggal. Tapi kali ini, penampakan dalam rumah mereka sungguh tak enak dipandang. Pakaian, selimut, tas, hingga buku-buku terletak di sembarang tempat. Bahkan piring kotor juga nampak di sana. Persis seperti kapal pecah. Membuat sebuah pertanyaan otomatis terlintas di ruang pikirku. Sejak kapan kakakku jadi seberantakan ini?

“Gak apa-apa. Aku cuma mampir, kok. Kebetulan tadi aku habis nganter pesanan furnitur di dekat sini. Jadi sekalian lewat,” kataku mengarang cerita. Padahal, aku datang untuk memastikan sesuatu.

“Oh, gitu. Ya udah, tunggu bentar ya! Kakak beresin ini dulu.” Lantas, dengan cepat ia memungut barang-barangnya yang tak beraturan. Melenyapkannya dari ruang tamu dalam sekejap.

“Oke. Santai aja, Kak!” kataku.

Sambil menunggu Venus membereskan barang-barangnya, aku melihat-lihat beberapa foto yang dipajang di ruang itu. Lalu mataku terhenti pada sebuah foto yang terpampang besar di salah satu dinding. Itu adalah foto pernikahan Venus dan Leo, beserta keluarga besar. Aku lantas memandanginya lekat-lekat. Dan memoriku kembali ke beberapa bulan yang lalu.

Saat itu, tepat di hari pernikahan Leo dan Venus, aku melarikan diri usai menemui Venus di kamarnya. Melihat Venus yang nampak cantik dalam balutan gaun pengantinnya, membuat perasaanku campur aduk. Aku sedih, kecewa, dan tidak siap dengan apa yang akan kulihat sebentar lagi. Aku tidak bisa menjadi saksi pernikahan mereka. Aku tidak berani melukai perasaanku lebih dalam lagi. Jadi untuk menghindari semua itu, aku memilih kabur dari rumah dan menghilang selama berhari-hari dengan segala drama yang aku ciptakan setelahnya. Aku menyendiri di suatu tempat, sambil meratapi perpisahanku dengan Leo. Meratapi kenyataan yang tak sesuai keinginan.

“Aku kecewa sama kamu!” tiba-tiba suara Venus membuyarkan lamunanku. Ucapannya mengembalikan fokusku pada waktu yang sebenarnya. Waktu saat ini.

Aku menoleh. Aku melihat Venus yang kini ikut memandangi foto berukuran besar itu. “Karena aku gak ada di foto pernikahan kalian?” tebakku kemudian.

Venus membenarkan lewat anggukan. “Semua orang kecewa sama kamu. Kamu lebih mementingkan pekerjaan di hari spesial kakakmu satu-satunya,” lanjutnya bercerita.

Aku lalu menghela napas mendengar pernyataan itu.

“Sebenarnya, akulah yang paling kecewa di hari itu,” ucapku yang merasa disalahkan.

“Bukan kamu, tapi aku. Itu baru benar,” ralat Venus pada apa yang kuucapkan.

“Enggak!” sangkalku tegas. “Aku orangnya. Aku yang paling terluka di waktu itu,” kataku yang serasa diberi celah untuk mengungkapkan isi hati yang terpendam lama.

Dengan raut wajah heran, Venus pun mempertanyakan. “Terluka? Maksud kamu?”

Sebelum menjawab pertanyaan Venus, aku mengambil posisi nyaman untuk duduk bercerita. Aku duduk di sofa, lalu mengungkapkan fakta yang terjadi di hari pernikahan itu.

“Sebenarnya hari itu, aku enggak pergi menemui investor. Hari itu ... aku dapat kabar buruk kalau orang yang kusayangi akan menikahi gadis lain. Jadi aku terpaksa pergi,” ungkapku.

“Kamu ... punya pacar?” ucap Venus yang seolah tak percaya dengan pengakuanku.

Aku mengangguk.

“Kenapa gak pernah bilang?”

“Kami backstreet karena Ibu gak setuju,” kataku. “Tapi setelahnya, ia malah mengkhianatiku. Meninggalkanku untuk perempuan baru.”

“Jadi, kamu pergi ke sana untuk menggagalkan pernikahannya?”

“Menurut Kakak begitu?”

Venus tak menjawab. Ia hanya menatapku, menunggu kelanjutan cerita dariku. Lalu aku melanjutkan cerita itu.

“Aku gak punya keberanian untuk menggagalkan pernikahan mereka. Sebelum hari penting itu tiba, aku sudah pernah memohon padanya. Tapi dia gak mau kembali dan bersikeras untuk tetap menikahi perempuan itu.”

“Kenapa begitu? Apa mungkin, karena calonnya hamil di luar nikah?” Venus menerka-nerka. Lalu dengan spontan, aku menanyakan hal yang sama. “Apa Kakak hamil sebelum menikah?”

“Apa?” Venus terkejut dengan pertanyaan itu. “Kenapa tanya begitu?” Ia tentu bingung dan heran karena mendapat pertanyaan semacam itu.

“Maksudku, dia bukan orang seperti itu. Dia baik dan sangat perhatian. Tapi kelemahannya, dia terlalu penurut. Dia tidak bisa menolak permintaan keluarganya. Itu bagian yang gak aku suka dari dirinya,” jelasku.

“Jadi, ke mana kamu pergi waktu itu?”

“Aku pergi untuk menenangkan diri. Aku ke suatu tempat, di mana gak ada seorang pun yang bisa menemukan aku. Tapi sialnya, Bima malah menemukanku dan membujukku untuk pulang.”

“Bima memang paling tahu tentang kamu,” komentar Venus yang entah bermaksud apa. “Terus, tentang penculikan itu?” tanyanya kemudian. Ia mempertanyakan kebohonganku yang lainnya.

“Aku maksa Bima buat ngarang cerita. Lalu aku sembunyi di apartemennya. Aku perlu waktu untuk sendirian,” terangku lagi. “Aku ... tidak bisa pura-pura bahagia dengan ikut merayakan momen pernikahanmu. Aku gak bisa terlihat baik-baik saja di tengah kebahagiaan keluarga besar. Jadi, aku minta maaf untuk itu. Aku sungguh minta maaf karena telah menciptakan drama kekanakan yang membuat semua orang khawatir, sekaligus kecewa. Maafin aku!” ucapku seraya tertunduk. Menyadari kesalahan bahwa di hari itu aku telah menimbulkan kekacauan.

Venus tak lagi merespon. Ia mungkin berpikir banyak hal tentang diriku. Dalam pikirannya, mungkin Venus menilaiku ini dan itu. Atau mungkin, ia memang kehabisan kata untuk menanggapi fakta yang kuceritakan.

“Jadi Kakak, aku mohon berbahagialah dengan pernikahanmu! Jangan biarkan pengorbanan-pengorbanan yang tidak kamu ketahui menjadi sia-sia begitu saja. Berbahagialah dengan pasanganmu!” kataku.

Mendengar itu, Venus tentu tidak mengerti dengan apa yang kumaksudkan. “Maksud kamu apa? Kok ngomongnya gitu?”

“Maksud aku, di luar sana ada banyak orang yang tidak seberuntung Kakak. Ada orang-orang yang terhalang restu, bahkan mengalami pengkhianatan. Pernikahan Kakak yang berjalan mulus sejak awal, tidak semua orang bisa mendapatkannya.”

“Kamu bicara seolah pernikahanku sedang tidak baik-baik saja,” responnya datar.

“Bukankah memang begitu?”

(*)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status