Share

Bab 6 Salah Serang

“Dasar cowok gak peka! Nyebelin! Iiihhh!” gerutuku sembari melangkah cepat meninggalkan kedai itu. Sesekali, aku menjejak tanah untuk melampiaskan kekesalanku.

Bima sungguh menyebalkan. Ia terus-terusan membahas tentang Leo, bahkan menyinggung soal kinerjaku yang tidak memuaskannya.

Aku tahu, apa yang kulakukan terakhir itu memang salah. Seharusnya aku lanjut mengikuti Leo. Tapi aku malah berhenti karena tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku juga cukup tahu, bahwa itu adalah momen yang paling penting untuk membuktikan apakah Leo benar selingkuh atau tidak. Tapi, pikiranku terlanjur kacau duluan. Logikaku terlalu cepat menyimpulkan bahwa wanita itu memang selingkuhan Leo. Mengingat kedekatan yang mereka tunjukkan, serta durasi waktu yang mereka habiskan selama di dalam hotel. Jadi aku terpaksa berhenti dan berkutat dengan pemikiranku sendiri. Tidak bisakah Bima memahamiku pada bagian ini? Tidak bisakah dia sedikit berempati? Tanpa bisa menahan diri, aku lantas menendang tiang listrik sebagai ganti menendang Bima.

“Sagi!” teriak Bima yang sepertinya mengejarku.

Aku sempat menoleh sebentar. Tapi setelah itu, aku mempercepat langkahku. Menjauhi asal suara yang makin lama makin mendekat.

“Sagi! Tunggu!” panggil Bima lagi. Aku lurus saja berjalan tanpa memedulikan panggilan itu. Aku benar-benar tak ingin bicara dengan dia.

Tak lama kemudian, sepeda Bima berhasil menyusulku. Bima lalu berhenti dengan menghalangi jalanku.

“Gak usah ngambek, dong! Gitu aja tersinggung,” komentar Bima.

Aku lantas menatapnya tak suka.

“Iya, deh! Aku minta maaf!” ucap Bima kemudian, menyesali komentarnya. “Ayo naik! Hemat energi,” ajak Bima sembari memberi isyarat agar aku naik ke sepedanya. Ia mengajak pulang bersama.

Tapi, aku terlanjur kesal dibuatnya. Alih-alih bersedia dibonceng, aku lebih memilih untuk melampiaskan kekesalanku dengan menendang roda sepeda Bima. Bima pun terjatuh dan tertindih sepedanya. Namun jujur, aku sama sekali tak menyangka kalau tendanganku akan sampai membuatnya terjatuh.

Bima kemudian bangkit. Ia terlihat tak terima dengan perbuatanku kali itu.

“Kamu kenapa sih? Sensi banget hari ini! Ngeselin, tau gak?” Bima marah karena kubuat jatuh dari sepedanya.

Disebut ngeselin, aku tentu makin sensi. Suasana hatiku makin buruk saja. Langsung saja kulayangkan sebuah serangan ke arah Bima. Aku hendak meninjunya, namun tinjuku terhenti di udara. Bima berhasil menghentikan kepalan tanganku dan mengambil alih serangan. Ya, Bima menyerangku balik. Dia memutar tubuhku dan menarik tanganku ke belakang. Aku pun merintih kesakitan.

Tapi, aku tak berhenti di situ. Aku berusaha melepaskan diri dengan kaki yang mencoba menendang Bima. Tapi lagi-lagi Bima berhasil menghindari kakiku. Dia dengan mudah bisa membaca gerakanku.

“Diamlah!” Bima mencoba menenangkanku.

“Lepasin!” Aku berontak. Tapi cengkeraman tangan Bima terlalu kuat.

“Oke. Aku bakal lepasin. Tapi kamu dengerin dulu!” kata Bima. Sementara itu, aku terus meronta-ronta untuk melepaskan diri.

“Jangan salah serang!” kata Bima lagi. “Aku tau, kamu kesal dan marah. Aku tau, kamu pengen nyerang seseorang. Tapi gak gini caranya. Jangan salah orang!” terusnya.

“Siapa yang salah orang?” Aku menyangkal.

“Ya kamu lah! Ini semua gara-gara Leo, kan? Kamu pengen marah sama dia. Bahkan pengen mukulin dia. Tapi kamu gak bisa melakukannya. Itu sebabnya kamu melampiaskan kepada sembarang orang,” lanjut Bima.

“Lepasin gak? Lepasin aku sekarang!” perintahku tegas. Namun, Bima belum selesai dengan apa yang ingin dikatakannya.

“Kalo kamu pengen nyerang Leo, seranglah orang itu dengan cara yang elegan. Serang dia dengan cara yang pintar,” kata Bima lagi. Ia lalu melepaskan cengkeramannya dariku. Lantas, ia pulang duluan tanpa memaksaku untuk pulang bersama.

Aku pun terdiam di tempatku berdiri. Aku mengakui bahwa seluruh perkataan Bima barusan adalah benar. Aku sangat marah dan ingin menghukum Leo. Tapi aku tak mungkin melakukan itu, karena Leo bukan siapa-siapa di hidupku. Aku tak berhak marah, meski aku sangat ingin. Dan sebenarnya, aku juga tak berhak cemburu, karena Leo sudah berstatus mantan.

Mendadak, hatiku serasa teriris. Rasanya seperti ada yang menyayat luka hingga menimbulkan rasa perih. Rasa perih itu kemudian berubah menjadi tetesan bening yang mengaliri pipiku.

Jauh di dalam hati, aku mengakui sebuah rasa yang seharusnya tidak ada. Aku mengakui, bahwa aku masih menyukai Leo.

Tanpa sadar, tetesan bening itu semakin deras saja. Aku lalu berjongkok untuk menyembunyikan wajahku layaknya anak kecil yang menangis. Aku menangis tersedu-sedu di pinggir jalan, tanpa peduli pada siapa pun yang lewat. Masa bodoh dengan orang yang melihat. Aku hanya ingin menghabiskan rasa sedih yang muncul di malam itu.

Lalu tiba-tiba, sebuah tangan misterius mendarat di bahuku. Membuatku otomatis berhenti menangis karena terkejut dengan kemunculan tangan itu. Setelah beberapa detik terdiam, aku lantas berdiri dan berbalik badan. Sigap menyerang hingga pemilik tangan itu meringis kesakitan karena tangannya kuputar.

“Kakak?!” ucapku spontan begitu menyadari siapa orang itu. Dia adalah Venus. Refleks, aku melepaskan tangannya dari cengkeramanku.

“Maaf, Kak! Maaf! Aku gak sengaja,” kataku setelah itu.

Gerakanku sungguh refleks. Aku hanya berusaha melindungi diri dari serangan orang yang tidak diharapkan.

Sambil memegangi tangannya, Venus mengeluh. “Sakit, nih!” katanya.

Mendengar itu, aku pun meminta maaf lagi. “Iya, maaf!” kataku sambil kemudian mengelus tangan Venus. Aku tidak tahu kalau akan sesakit itu.

“Kakak baru tau kalo kamu bisa beladiri,” ungkap Venus kemudian. Ia seperti menyesal telah menyentuh bahuku tanpa suara. “Sejak kapan?” terusnya dengan pertanyaan.

“Sejak orangtua kita berpisah,” jawabku jujur. “Ngomong-ngomong, kenapa Kakak bisa ada di sini?” tanyaku kemudian. Penasaran juga bagaimana Venus bisa tiba-tiba muncul di belakangku dan pada waktu selarut itu. Apa yang dia lakukan di sekitar apartemenku?

“Kakak habis ketemu teman lama. Tempat tinggalnya di dekat sini. Karena keasyikan ngobrol, pulangnya malah kemaleman,” jawab Venus. Ia menjelaskan situasinya.

“Suami Kakak gak jemput?” tanyaku berpura-pura. Aku mengikuti alur cerita Venus yang menyatakan bahwa hubungan mereka baik-baik saja.

“Dia sedang tugas ke luar kota,” jawab Venus lagi. Entah Leo yang berbohong, atau Venus sendiri yang sengaja menutupi.

“Oh ...,” kataku.

“Jadi kalau boleh, malam ini Kakak mau nginap di tempat kamu. Besok pagi baru pulang,” pinta Venus.

“Me-menginap?” ucapku terbata. Aku sungguh terkejut karena Venus tiba-tiba mau menginap di tempatku. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah aku prediksikan.

“Kenapa? Gak boleh, ya?” tanya Venus ragu.

“Enggak, Kak. Bukan. Bukan gitu," sangkalku buru-buru.

"Terus?"

"Ya ... boleh lah. Masa gak boleh nginep? Ya tentu boleh, dong!” jelasku, khawatir Venus akan salah paham.

Tapi mungkin Venus mendeteksi ada yang aneh dari respon yang kutunjukkan. Venus lalu diam sejenak. Ia menatapku seperti ingin mengatakan sesuatu.

“Kalian ... lagi berantem ya?”

(*)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status