Share

Bab 7 Kedatangan Venus

“Kalian lagi berantem ya?”

Ucapan Venus yang satu itu membuatku agak was-was. Aku khawatir barangkali Venus menyaksikan apa yang terjadi antara aku dan Bima barusan.

“Kamu kenapa nangis? Berantem sama Bima?” tebak Venus lagi.

Mendapat pertanyaan seperti itu, aku tentu jadi curiga. Mungkinkah Venus benar-benar melihat kejadian tadi? Untuk memastikan kecurigaanku, aku pun bertanya padanya.

“Sudah berapa lama Kakak ada di sini?” tanyaku penuh selidik. “Kakak lihat apa aja?” tambahku.

Lalu dengan spontan Venus menjawab pertanyaanku.

“Kakak baru turun dari taksi. Tadinya mau langsung ke apartemen kamu. Tapi karena lihat kamu bengong, terus nangis di pinggir jalan, makanya turun di sini,” jelas Venus. “Kenapa? Ada masalah?” tanyanya lagi.

Sekarang, aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Aku harus menemukan alasan untuk menunda kedatangan Venus ke tempatku.

“Aku sama Bima gak kenapa-kenapa. Kami baik-baik aja. Aku nangis bukan karena itu kok,” jelasku mengarang cerita.

“Oh, syukurlah kalo gitu. Terus, kenapa?”

“Masalahnya adalah ... aku lapar sekarang. Temenin aku makan dulu sebelum pulang. Oke, Kak?” ucapku beralasan. Padahal aku baru selesai makan.

“Oh, gitu. Aku kira apa,” kata Venus sambil tersenyum lega.

Kami pun mencari tempat makan terdekat. Lalu pilihanku berhenti pada sebuah tenda pedagang kaki lima yang menjual nasi goreng dengan pengunjung cukup penuh. Aku sengaja memilih tempat itu untuk mengulur waktu. Sementara itu, aku langsung menghubungi Bima lewat pesan instan. Aku harap, Bima bisa diajak kerjasama untuk malam ini. Karena tak ada pilihan lain, selain harus berakting.

Bim, kamu di mana? Udah nyampe apartemen belum?

Aku mengirim pesan pertama kepada Bima. Tapi dia tak membalasku. Bahkan, dibaca saja tidak.

Bim, jawab dong! Aku nanya serius nih! Kamu udah nyampe apa belum?

Aku lalu mengirim pesan kedua. Tapi itu juga tidak dibalasnya. Pesan ketiga pun aku kirimkan.

Kak Venus mau nginap di tempat kita. Kalo udah nyampe, tolong kondisikan rumah! Aku lagi mengulur waktu.

Tak perlu menunggu lama, balasan pesan itu masuk ke ponselku.

Kamu lagi sama Venus? Kok bisa? Balas Bima yang penasaran.

Itu gak penting. Yang penting sekarang, beresin dulu tempat tinggal kita. Cepetan ya! Balasku memberi perintah.

Tapi Bima masih penasaran. Sehingga ia mengirim pesan lagi ke ponselku.

Kamu gak lagi becanda, kan?

Lalu dengan cepat, aku membalas pesan itu. 

Ngapain aku becanda? Aku udah pusing soal Leo. Ngapain harus becanda soal Venus? Udah buruan! Pokoknya, jangan sampai terlihat mencurigakan! Pesanku.

***

“Ayo, Kak! Masuk! Anggap aja rumah sendiri.”

Aku mempersilakan Venus untuk masuk begitu sampai di apartemen. Jujur, ini bukan pertama kalinya Venus datang ke tempatku. Sebelumnya dia pernah ke sini bersama Leo saat aku dan Bima baru menikah. Tapi, ini adalah pertama kalinya dia menginap di sini.

Begitu aku menutup pintu, tahu-tahu Bima datang menyambutku dengan akting manisnya yang ternyata sudah dimulai. “Sayang, kok pulangnya malam banget?” sambutnya seraya menghampiri.

Mendengar kalimat itu, tubuhku otomatis membeku. Aku mendadak bingung harus merespon apa. Bukan apa-apa, aku hanya tidak menduga bahwa akting Bima akan seberlebihan itu. Pakai acara panggil sayang pula. Apakah dia sedang berusaha membuat Venus cemburu?

“Eh, ada Kak Venus. Halo Kak, gimana kabarnya? Sehat?” sambut Bima kemudian kepada Venus. Ia pura-pura baru menyadari keberadaan Venus di tempat kami.

“Aku baik. Maaf loh, aku datang malam-malam dan gak bawa apa-apa,” kata Venus sambil malu-malu.

“Gak apa-apa, Kak. Santai. Kak Venus datang ke sini aja kita udah seneng,” kata Bima sembari melirik kepadaku. Aku yang diliriknya, tentu menunjukkan rasa tak sukaku.

“Ayo Kak, kita ngobrol sambil duduk!” ajak Bima kemudian. Mereka pun menuju sofa.

Sementara Venus dan Bima mengobrol, aku lebih memilih untuk bersih-bersih diri, lalu menyiapkan keperluan tidur untuk kakakku. Lagi pula, aku malas berperan sebagai obat nyamuk di antara mereka berdua. Biarkan saja mereka bernostalgia membicarakan hal-hal sesukanya. Lagi pula, Venus sedang butuh dihibur. Sedangkan Bima, ah sudahlah, aku tak peduli dia sedang memodusi Venus atau tidak.

Sesampainya di kamar, aku menyadari bahwa kamarku telah berubah. Seketika aku menyadari kalau kamar tersebut sudah dipersiapkan Bima untuk Venus menginap. Itu artinya, malam ini aku harus tidur di kamar Bima.

Aku lalu menuju lemari. Aku hendak mengambil baju ganti untuk Venus. Namun, ternyata lemarinya terkunci, dan kunci tersebut tak ada di kamarku. Seketika aku paham bahwa kuncinya pasti disembunyikan Bima. Aku lalu bergegas menuju kamar Bima.

Sesampainya di kamar Bima, aku terkejut karena barang-barangku diletakkan sembarang. Buku-buku kesayangan dan peralatan make-up bercampur menjadi satu. Tumpang tindih di atas kasur. Melihat itu, aku sungguh ingin teriak memanggil Bima untuk memarahinya. Namun, amarah itu terpaksa kuredam karena ingat sedang ada Venus. Aku pun bergegas mencari kunci lemariku yang sudah pasti ada di tumpukan itu juga. Setelah kutemukan, aku kembali ke kamarku untuk menyiapkan pakaian ganti.

“Kak, udah jam dua belas lewat nih. Tidur, yuk!” ajakku kepada Venus usai menyiapkan keperluan tidur. Venus yang tengah berbincang, lantas menyahutku dari tempat duduknya. “Oh, oke. Kalau gitu, aku ikut ke kamar mandi dulu,” katanya seraya bangkit dari sofa.

Seketika, terlihat wajah Bima berubah tak senang. Bima sedang asyik berbincang dengan Venus. Ia bahkan tertawa tak jelas entah membahas apa. Tapi aku merusak semuanya. Aku menghentikan momen bahagia Bima.

Sementara Venus di kamar mandi, aku lantas menyerang Bima. Aku memukul lengan Bima sambil mengomel. “Itu barangku kenapa ditaruh sembarangan?” ucapku pelan sambil menahan kesal. “Kalau rusak gimana? Kalau ada yang hilang gimana?” terusku sambil memukul lagi.

“Sembarangan gimana? Semuanya aku taruh di kasur,” kata Bima sambil menghentikan pukulanku. Sekarang, sebelah tanganku ada dalam cengkeramannya.

“Ya tapi jangan dicampur juga nyimpennya!” protesku. “Pokoknya, aku gak mau tau ya! Kamu ... beresin barang aku!”

Mendengar itu, Bima tentu protes. “Enak aja! Ya gak mau lah. Barang, barang kamu. Kenapa harus aku yang beresin? Udah bagus barangnya aku pindahin!” kata Bima.

“Siapa suruh dipindahin? Aku kan gak minta.”

“Kan kamu yang suruh kondisikan rumah?”

“Ya tapi gak harus sampe mindahin barang-barang yang itu juga kan?” ucapku gemas.

“Asal kamu tau ya, kamar kamu itu ...,” ucapan Bima tak selesai. Ia tiba-tiba mengubah dialognya menjadi tidak nyambung. “Iya, Sayang! Aku minta maaf. Tangan kamu pegel? Iya, nanti aku pijat,” ucapnya sambil mengelus tanganku yang tadinya dicengkeram. Membuatku heran dan berpikir pasti ada sesuatu. Ternyata benar. Karena setelah itu, Bima beralih bicara kepada Venus.

“Sudah selesai, Kak? Kamarnya sebelah sana, ya!” kata Bima sambil menunjuk ke arah kamarku.

Aku tentu menoleh, ikut melihat kepada Venus.

“Oh iya. Makasih!” balas Venus.

“Selamat istirahat ya, Kak!” ucap Bima lagi kepada Venus. “Yuk, Sayang, kita ke kamar!” lanjutnya kepadaku, sembari merangkul, berjalan menuju kamar. Mendadak romantis untuk akting yang manis.

Namun, begitu pintu kamar Bima dibuka, aku cepat-cepat melepaskan diri dari rangkulannya. “Malam ini aku mau tidur sama Kak Venus!” kataku kemudian. Aku lantas menarik tangan Venus menuju kamar. “Yuk, Kak!” ajakku.

Tepat saat aku hendak menutup pintu kamar, Bima tiba-tiba merajuk. “Sayang, masa kamu mau tidur sama Kak Venus?” tanyanya sambil menahan pintu.

“Mumpung Kak Venus menginap. Aku udah lama gak tidur bareng. Boleh, ya? Please!” jawabku sambil memelas.

“Kalau kamu tidur bareng Kak Venus, nanti aku yang gak bisa tidur,” bujuk Bima manja. “Kamu kan tau, aku susah tidur kalo tanpa kamu,” terusnya gombal. Ada saja akalnya Bima supaya aku tidak lepas dari tugas membereskan barang. Bima sungguh keterlaluan.

Mendengar itu, aku cuma menghela napas. Aku pasrah kalau saat itu diriku akan kalah. Ditambah lagi, Venus menimpali bujukan Bima dan seakan mendukungnya. “Udah, sana! Lain kali kita bisa tidur bareng,” katanya.

Kalau sudah begitu, maka tak ada pilihan lain bagiku selain harus mengalah sekaligus menurut. Aku terpaksa tidur sekamar dengan Bima. Tentunya, setelah membereskan barang-barangku terlebih dahulu.

Keesokan harinya, dering ponsel Bima membangunkanku pada jam yang masih terlalu pagi. Begitu membuka mata, aku dibuat terkejut karena Bima tiba-tiba sudah berbaring di sampingku. Sontak, aku pun teriak. Namun, teriakanku berhenti karena tangan Bima membekap mulutku.

“Ada Venus di sini, pikir dulu sebelum berteriak!” ucap Bima mengingatkan.

(*)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status