“Dia bukan untukmu, Rigen. Tidak pernah akan.” Suara Ibu Rigen menggema di ruang kunjungan tahanan pagi itu. Meski mengenakan seragam tahanan berwarna pucat, wibawanya tak juga luntur. Duduk tegak dengan sorot mata tajam, ia lebih mirip kepala rapat dewan direksi daripada tahanan kasus penghasutan dan percobaan pembunuhan. Rigen duduk di seberangnya, tubuhnya tak bergeming. Namun matanya penuh bara. “Dan siapa yang menurut Ibu lebih pantas?” tanya Rigen datar. Sang ibu menarik napas panjang sebelum menjawab, seolah sedang menyiapkan strategi terakhirnya. “Elisabeth.” ** Nama itu melayang seperti hantu masa lalu yang tak pernah benar-benar mati. Elisabeth adalah sepupu jauh dari garis keluarga Ardiatma—putri dari kakak ipar ibu Rigen yang menikah dengan diplomat Eropa. Cantik, cerdas, dan selalu hadir dalam setiap acara formal keluarga, dengan senyum sopan dan mata yang menyimpan ambisi. “Dia punya darah Ardiatma. Dia tahu tata cara. Dia terdidik. Dan yang paling pent
“Kamu pikir aku benci Ariella karena dia miskin? Karena dia cuma ‘perempuan biasa’ yang merebutmu dari keluargamu?” Suara Ibu Rigen parau tapi tajam, menusuk seperti pisau yang sudah lama disimpan dalam sarung, kini ditarik untuk menyayat yang terakhir kali. Rigen menatap ibunya dari seberang ruang interogasi. Dindingnya putih kusam, pantulan sinar lampu menyilaukan. Tapi tak ada yang bisa menutupi kebenaran yang mulai terkuak sedikit demi sedikit. “Aku benci dia,” lanjut sang Ibu dengan suara nyaris gemetar, “karena dia darah kotor. Karena dia bukan siapa-siapa—dan bukan anak dari siapa pun yang pantas kau jadikan istri.” Rigen mengernyit. “Apa maksud Ibu?” “Dia bukan anak biasa, Rigen… Dia anak dari wanita yang menghancurkan keluargamu.” Suara Ibu Rigen pecah dalam ruang tahanan sementara itu. Ruangan sempit dengan lampu putih menusuk tidak mengurangi kesan angkuh dari wanita yang kini duduk di balik meja pemeriksaan. Tapi nada suaranya tak lagi kokoh. Ia seperti batu tu
“Kamu ingin tahu kenapa aku ingin Ariella disingkirkan?” Suara perempuan itu meluncur begitu tenang, seperti pisau yang diasah dengan lembut tapi mematikan. Rigen menatap ibunya yang duduk di sofa ruang tamu. Tangannya memegang cangkir teh seperti biasa, seolah mereka sedang membicarakan resep makanan, bukan nyawa seseorang. “Aku ingin tahu segalanya,” jawab Rigen, suaranya nyaris bergetar karena amarah. “Termasuk alasan Ibu membayar orang untuk menyerang istriku. Ibu... menginginkan kematiannya, saat dia sedang mengandung cucu Ibu sendiri.” Sang Ibu meneguk tehnya pelan, lalu meletakkan cangkir ke atas piring kecil dengan gerakan elegan. “Karena aku lebih memilih melihat kamu kehilangan Ariella… daripada kehilangan dirimu sendiri, Rigen,” jawab wanita itu, dengan sangat tenang. *** Sejak awal pagi itu, langkah Rigen telah berat. Tapi bukan karena ragu—melainkan karena dia tahu, setelah hari ini, tidak akan ada lagi jalan pulang. Rumah tempat ia tumbuh akan menjadi
Jason menatap layar proyektor dengan napas memburu. Ruangan itu gelap, sunyi, hanya suara detakan jam dan video yang diputar ulang membuat atmosfer semakin mencekam. Rekaman itu memutar ulang instruksi kejam yang menggema dengan dingin: “Pastikan dia tak bicara sebelum anak itu lahir. Kalau perlu, jangan biarkan dia melahirkan.” Suara perempuan. Dingin, penuh kuasa. Dan yang paling mencengangkan—itu bukan suara milik Jason. Jason menoleh pelan. “Siapa itu?” tanyanya. Pria di sebelahnya membuka map berstempel khusus. “Sumber mengatakan... ini berasal dari jalur komunikasi rahasia yang biasa dipakai oleh orang-orang di level atas. Suara telah kami analisis—dan kemungkinan besar…” Ia menarik napas. “…itu suara Ibu Rigen.” Jason membeku. Darahnya seperti membeku, jari-jarinya gemetar. “Tidak mungkin…” desisnya. “Dia... dia melindungi aku. Dia berdiri bersamaku di depan media. Dia... dia ibuku.” Pria itu mengangguk pelan. “Itulah alasan kami tunjukkan padamu, Jason. Karen
Rigen berdiri di koridor rumah sakit, ponsel di genggamannya bergetar pelan. Wajahnya tegang. Matanya memerah bukan karena lelah, tapi karena amarah yang mengendap—terlalu dalam untuk diluapkan, terlalu perih untuk ditahan. Ariella tertidur di dalam, selimut tersampir di atas perutnya yang mulai membuncit. Dan Rigen tak lagi sanggup menatap wajah itu tanpa memikirkan satu hal: Ibunya berpihak pada pria yang nyaris membunuhnya. Jason. Keponakan yang selama ini mereka anggap “keluarga.” Dan kini, Ibunya mengakuinya sebagai anak sendiri. “Aku hanya membela anak-anakku…” Kata-kata itu masih menggema seperti bisikan kutukan di kepala Rigen. Ia membuka aplikasi di ponselnya. Mencari satu folder—hasil penyelidikan pribadi yang dulu sempat ia abaikan karena mengira Jason hanya iri. Namun ternyata... jauh lebih dari itu. Jason adalah musuh. Dan lebih berbahaya karena dilindungi oleh cinta yang salah. *** Sore itu, Rigen datang ke rumah sang Ibu. Ia tidak memberi kabar lebih dul
ya Jason duduk di ruang tahanan sementara. Dinding putih, lantai dingin, dan kamera pengawas yang menyala tanpa berkedip. Matanya menatap kosong ke depan—bukan karena pasrah, tapi karena sedang menyusun ulang strategi."Ini baru dimulai," gumamnya dengan seringai sinis. Dan, benar saja, beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Seorang pria berkacamata masuk, berpakaian rapi dan membawa map. Ia adalah salah satu pengacara terbaik negeri ini. Jason mengenalnya. “Pak Jason,” sapa si pengacara sambil duduk. “Ada kabar baik. Anda tidak akan ditahan lebih dari 24 jam," ucap pria itu dengan nada hormat. Jason menaikkan alis. “Apa yang mereka temukan?” tanyanya, dengan tangan tersilang di dada. “Tidak cukup untuk penahanan lanjutan. Tapi yang lebih penting... ada seseorang yang sudah mulai bicara untuk Anda.” Jason menyandarkan tubuh, bertanya dengan arogan. “Siapa?” Pengacara itu tersenyum tipis. “Ibu Anda—secara hukum bukan, tapi secara darah dan pengakuan sosial... adalah Ibu dar