Share

183. Musuh Dalam Selimut?

Author: Lil Seven
last update Last Updated: 2025-07-24 21:46:31

Ariella tengah di taman rumah sakit sendirian, saat langkah pelan terdengar di belakangnya.

“Elisabeth?”

Suara Ariella pelan tapi tajam, tanpa menoleh.

Wanita itu berhenti, tersenyum kecil. "Kamu tahu aku di sini?"

“Kamu memakai parfum yang sama,” jawab Ariella, menoleh. “Mawar putih.”

Elisabeth tertawa ringan, duduk di sampingnya seolah mereka sahabat lama.

"Wah, wah. Kamu selalu sensitif terhadap detail kecil. Itu... menarik."

Ariella menatap wanita itu lekat-lekat.

“Kupikir kamu sudah pergi. Menghilang setelah... semua yang terjadi," sahut Ariella dengan ekspresi skeptis.

“Aku sempat berniat,” sahut Elisabeth tenang, membenarkan letak rambutnya yang ditiup angin. “Tapi saat aku melihat kalian berdua... di taman itu malam itu… aku sadar satu hal.”

Ariella menunggu.

“Bahwa aku tidak bisa pergi begitu saja. Bahwa mungkin aku masih punya peran dalam semua ini.”

Ariella mengernyit. “Peran sebagai apa? Penonton? Penolong? Atau... penyusup?”

Elisabeth terkekeh kecil.

“Kenapa selalu c
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (1)
goodnovel comment avatar
onm m
lanjut thor
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   184. Kamu Di Pihak Mana?

    “Aku tahu kamu mendengar semuanya.”Elisabeth menoleh cepat. Suara itu datang dari balik bayang-bayang balkon apartemen hotel tempat ia menginap. Suaranya familiar. Tegas. Tua. Namun tetap memancarkan kuasa.Bramardyo Ataraka.Pria itu berdiri tegak, mengenakan mantel panjang dan sarung tangan kulit. Senyumnya setipis awan gelap sebelum badai.“Aku tidak pernah lupa siapa yang bisa menghancurkan… atau menyelamatkan,” lanjut Bram, berjalan perlahan mendekatinya.Elisabeth menyilangkan tangan, berusaha menyembunyikan kegelisahan di balik raut angkuhnya. “Kalau kamu ingin memaksaku ikut menekan Rigen, lupakan. Dia bukan orang yang mudah disingkirkan.”“Aku tidak menuntut kesetiaan,” sahut Bram, santai. “Hanya keputusan cerdas.”Elisabeth menatap lelaki itu tajam. “Cerdas? Kamu pikir menghancurkan reputasi Ariella di publik, menjerat Rigen lewat rekayasa hukum, dan mencuci tangan dari semuanya itu… cerdas?”Bram tersenyum pelan. “Kamu mulai terdengar seperti dia," ejeknya. “Kamu tahu apa

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   183. Musuh Dalam Selimut?

    Ariella tengah di taman rumah sakit sendirian, saat langkah pelan terdengar di belakangnya.“Elisabeth?” Suara Ariella pelan tapi tajam, tanpa menoleh.Wanita itu berhenti, tersenyum kecil. "Kamu tahu aku di sini?"“Kamu memakai parfum yang sama,” jawab Ariella, menoleh. “Mawar putih.”Elisabeth tertawa ringan, duduk di sampingnya seolah mereka sahabat lama. "Wah, wah. Kamu selalu sensitif terhadap detail kecil. Itu... menarik."Ariella menatap wanita itu lekat-lekat. “Kupikir kamu sudah pergi. Menghilang setelah... semua yang terjadi," sahut Ariella dengan ekspresi skeptis. “Aku sempat berniat,” sahut Elisabeth tenang, membenarkan letak rambutnya yang ditiup angin. “Tapi saat aku melihat kalian berdua... di taman itu malam itu… aku sadar satu hal.”Ariella menunggu.“Bahwa aku tidak bisa pergi begitu saja. Bahwa mungkin aku masih punya peran dalam semua ini.”Ariella mengernyit. “Peran sebagai apa? Penonton? Penolong? Atau... penyusup?”Elisabeth terkekeh kecil. “Kenapa selalu c

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   182. Pergi Untuk Menyusun Rencana Baru

    Tiga hari setelah berita itu viral…Elisabeth duduk di ruang tamu rumah keluarganya yang kini terasa seperti penjara. Tirai jendela ditutup rapat. Telepon rumah dicabut. Asisten pribadinya tidak lagi datang. Dunia yang dulu tunduk di bawah kakinya, kini menjauh dengan kejam.Wajahnya pucat. Rambut pirangnya diikat sembarangan. Matanya cekung, tak tidur selama dua malam. Namun bukan karena penyesalan. Tapi karena berpikir—bagaimana menyelamatkan dirinya.“Kalau aku jatuh… aku akan jatuh dengan anggun. Dan bangkit lebih tinggi," bisik Elisabeth pada dirinya sendiri, dengan suara serak. Ia menatap bayangannya di kaca jendela. Senyum tipis kembali muncul, bukan senyum penuh percaya diri seperti dulu—tapi senyum penuh strategi.Ia menghubungi seseorang. Butuh tiga kali nada dering hingga tersambung.“Halo?”“Maaf mengganggu. Tapi aku rasa kita butuh bicara... tentang kesepakatan yang pernah tertunda,” ucap Elisabeth dengan nada datar.“Kamu yakin? Sekarang semua mata tertuju padamu, Lis.

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   181. Membalas Elisabeth

    “Kamu pikir aku akan terus diam setelah semua yang kamu lakukan, Lis?” Suara Rigen menggema di udara malam, tajam dan berat, seperti petir yang membelah langit. Ia berdiri di ambang pintu rumah besar keluarga Ataraka, tepat di ruang utama tempat Elisabeth duduk dengan segelas anggur di tangan, tampak tenang seolah tidak pernah berbuat dosa. Elisabeth mengangkat wajahnya. Tatapannya tidak goyah. Senyum licik itu tetap menghiasi bibirnya. “Kalau kamu datang untuk menyalahkanku, silakan. Aku sudah terbiasa menjadi kambing hitam dalam hidupmu," ucapnya. Rigen melangkah masuk, matanya menyala penuh amarah. “Kambing hitam? Kamu hampir membunuh ibu dari anakku, Lis!” “Ariella yang lemah itu memang selalu mencari simpati. Aku hanya menunjukkan kenyataan. Sejak awal, kamu dan dia tidak pernah cocok,” balas Elisabeth, nada suaranya penuh ejekan. Rigen menghantam gelas anggur Elisabeth hingga pecah berkeping di lantai. “Aku diam selama ini karena aku masih mengingat bahwa kau sepu

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   180. Mengincar Ariella

    "Kamu pikir kamu bisa sembunyi dariku selamanya, Ariella?" Suara itu menghantam udara pagi seperti duri dingin menusuk kulit. Ariella membeku. Tangannya yang baru saja membuka pintu penginapan langsung bergetar. Ia mengenali suara itu bahkan sebelum tubuh ramping dan tinggi milik Elisabeth Ataraka muncul dari balik tiang batu taman kecil depan penginapan. "Aku tidak mau ada masalah. Pergi dari sini," bisik Ariella, suaranya tercekat, namun matanya berusaha tenang. Elisabeth berjalan mendekat, langkahnya angkuh dan penuh percaya diri. Mata birunya menatap tajam, dingin, seperti tidak mengenal rasa kasihan. "Masalah?" sinisnya. Bibir merah itu menyeringai. "Sayang sekali. Masalah itu selalu ada di mana pun kamu pergi, Riel. Apalagi kalau kamu masih menggendong sesuatu yang seharusnya jadi milikku." Ariella mundur satu langkah, memeluk perutnya refleks. "Anak ini bukan urusanmu." Elisabeth tertawa pelan. "Oh, betapa naifnya kamu. Kamu pikir Rigen akan benar-benar memilih kamu

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   179. Momen Manis

    "Riel, kamu masih suka aroma melati?"Ariella mengangkat wajahnya dari bantal, menoleh ke arah suara Rigen yang berdiri di ambang pintu kamar penginapan. Pria itu membawa nampan kecil berisi secangkir teh melati hangat dan beberapa potong roti manis.Ia tersenyum samar. "Kamu masih ingat itu, Rigen?"Rigen meletakkan nampan di meja kecil dekat jendela. Ia duduk perlahan di sisi tempat tidur, memandangi istrinya yang kini mulai terlihat kehamilannya. Perut kecil itu perlahan membulat, dan hanya dengan melihatnya, hati Rigen terasa penuh."Mana mungkin aku lupa hal sekecil itu? Kamu selalu bilang teh melati bisa bikin kamu tenang. Jadi… kupikir kamu butuh itu sekarang," jawabnya dengan ekspresi melembut. Ariella terdiam sejenak, menatap teh itu sebelum akhirnya perlahan duduk dan mengambil cangkirnya.Hangat."Aku… belum bisa bilang semuanya kembali seperti semula, Rigen," katanya lirih.Rigen mengangguk. "Aku tidak akan memaksamu, Riel. Tapi biarkan aku temani kamu melewati ini.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status