Share

3. Tandatangani Kontrak Ini!

Penulis: Lil Seven
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-14 09:40:24

Pada akhirnya, Rigen benar-benar mengunciku di kamarnya seharian penuh.

Ketika akhirnya pintu terbuka, sosoknya yang tinggi dan dingin melangkah masuk. Dengan santai, dia melemparkan beberapa dokumen ke arahku. Kertas-kertas itu beterbangan, mendarat di atas ranjang tempat aku berbaring karena bosan.

"Tandatangani ini."

Suara beratnya tanpa emosi, membuat dadaku mencengkeram firasat buruk. Aku bangkit, meraih salah satu dokumen dengan tangan gemetar. Mataku membelalak saat membaca judulnya.

"Kontrak tutup mulut? Pernikahan kontrak?"

Suaraku bergetar. Aku menatap Rigen, mencari penjelasan. "Kenapa... kenapa aku harus melakukan ini? Apa sebenarnya salahku, Rigen?!"

Rigen tak langsung menjawab. Mata dinginnya menatapku dari atas, penuh superioritas. Bibirnya sedikit melengkung ke atas dalam seringai yang membuat bulu kudukku meremang.

"Apa otak kecilmu sudah lupa apa yang semalam telah kamu lakukan padaku?"

Suaranya tajam seperti belati. Darahku mengalir cepat. Aku menelan ludah.

"A-aku... itu..."

"Apa salahnya?"

Aku mencoba membela diri dengan suara lirih. "Kita suami istri. Mencium dan memelukmu seharusnya—"

Sebelum kata-kataku selesai, tatapan Rigen menghantam keberanianku dengan keras. Seolah aku adalah sesuatu yang menjijikkan. Mulutku langsung bungkam, dan badanku seakan menyusut di tempat.

"M-maaf... maafkan aku."

Aku mengucapkannya hampir tanpa suara. Ketakutan.

Ekspresi Rigen tetap tak berubah, seolah permintaan maafku hanya angin lalu. Dia membuang muka, menunjukkan ketidaksabarannya.

Sial, aku baru ingat.

Rigen Ataraka adalah seorang misophobia berat.

Kabarnya, dia tak pernah menyentuh siapa pun tanpa sarung tangan. Dan aku ... aku yang bodoh ini, tadi telah mencium dan memeluknya dalam kegembiraan tanpa menyadari siapa sebenarnya pria ini.

Tangan indahnya, seperti biasa, kini terbungkus sarung tangan hitam. Entah berapa kali pria itu mencuci dirinya setelah aku menyentuhnya.

"Ariella, wajahmu sama sekali tak menunjukkan penyesalan."

Nada suaranya tajam. "Haruskah aku mengubahmu jadi budak, bukan sekadar anjing?"

Aku tersentak. Menggeleng panik.

"T-tidak! Aku sudah cukup menderita hari ini sebagai anjingmu, Rigen. Jadi, tolong ...."

"Menderita?"

Rigen tertawa kecil. Namun tak ada sedikit pun kehangatan di sana. "Bagian mana yang membuatmu menderita? Aku datang dan melihatmu tertidur nyenyak di ranjangku."

Mengatupkan bibir, aku melontarkan serentetan alasan. "Aku lelah menunggumu... jadi aku tertidur. Apa salahnya? Kamu mengunciku seharian di sini!"

Rigen menghela napas panjang, seolah aku makhluk paling bodoh yang pernah dia temui.

"Aku hanya memastikan anjingku yang cantik ini tidak menggonggong ke mana-mana soal aku yang tak lagi koma."

Mendengar itu, aku mengerutkan kening. "T-tapi mengunciku seharian tanpa makan—"

"Oh? Jadi itu yang membuatmu menolak tanda tangan?"

Rigen mengangkat alisnya, pura-pura heran. "Kebetulan sekali, aku sudah menyiapkan makanan untukmu."

Dia bertepuk tangan sekali, dan seorang pelayan mendorong troli ke dalam kamar. Aromanya menggoda, membuat perutku yang kosong berteriak dalam diam.

Mataku berbinar. Akhirnya! Aku segera membuka tutup hidangan itu dengan penuh harapan, tapi... napasku tercekat.

"A-apa ini...?"

Di hadapanku, semangkuk makanan anjing tersaji.

"Makanan anjing," jawab Rigen santai, menyeringai dengan kejam.

Aku menatapnya tak percaya. "Makanan anjing...?"

"Apa kamu lupa siapa dirimu sekarang, Riel?"

Dia mendekat, jemarinya yang bersarung mengetuk wadah itu perlahan. "Kalung anjingmu masih melingkar di lehermu. Jangan sampai aku harus mengencangkannya lebih erat lagi."

"T-tapi...."

Suaraku tertahan di tenggorokan.

"Aku bahkan sudah mengukir namamu di mangkuknya, Ariella sayang."

Matanya menyala dengan kepuasan sadis. "Seharusnya kamu berterima kasih, Istriku."

Mendengar itu, aku mengepalkan tangan di pangkuanku. Sial! Dia benar-benar memperlakukan aku seperti anjing! Pria kejam ini!

"Kamu tidak berterima kasih, Riel?"

Nadanya berubah dingin saat aku hanya diam, mataku mengerjap, lalu buru-buru menelan harga diriku.

"T-terima kasih...."

Rigen mengangguk puas. "Makan."

Memandang mangkuk anjing, aku menelan ludah. "T-tapi, Rigen, aku tak mungkin makan ini—"

"Makan."

Sekali lagi, suaranya terdengar seperti ultimatum. Aku tahu dia tak akan segan berbuat sesuatu yang lebih buruk jika aku menolak.

Akhirnya, dengan tangan gemetar, aku meraih sendok dan menyendok makanan itu. Aku menutup mata, mempersiapkan diriku untuk rasa mengerikan di lidahku. Namun saat suapan pertama masuk....

"Hah...?"

Aku mengunyah perlahan dengan ekspresi tak percaya. Ini... enak?

Ragu, aku menyendok lagi. Rasa daging yang lembut, rempah yang meresap sempurna... ini bukan makanan anjing! Ini makanan manusia yang dibuat menyerupai makanan anjing!

Rigen yang duduk bersandar di kursinya tersenyum sinis. "Lihat, anjingku sangat lahap."

Aku memutar bola mata, berusaha mengabaikan ejekannya dan fokus pada makananku. Namun, ketika aku selesai, sebuah mangkuk susu putih diletakkan di hadapanku.

Tersentuh oleh kebaikannya yang tak terduga, aku tersenyum kecil. "Terima kasih, Rigen."

Namun saat aku hendak mengambilnya, Rigen menariknya kembali.

Aku mengerutkan kening. "Hm?"

"Siapa bilang kamu boleh meminumnya seperti manusia, Riel?"

Senyumnya bertambah jahat. "Jilat."

Tubuhku seketika membeku. "T-tapi, Rigen. Aku tadi makan dengan sendok—"

"Aku hanya memberi sedikit kelonggaran karena kamu tampak menyedihkan, Riel. Tapi sekarang, tidak." Matanya menatapku penuh tantangan. "Anjing tidak minum dengan tangannya, Riel."

Tanganku terkepal, ingin sekali menampar seringai di wajahnya. Namun, dalam hati, aku tahu aku kalah telak. Dengan gemetar, aku menunduk dan mulai menjilati susu dalam mangkuk itu.

Beberapa tetes jatuh ke daguku. "Ugh..."

"Jilat sampai habis," bisiknya tajam, "jika kamu ingin aku melepaskan kalung anjing di lehermu, Riel."

Mendengar itu, aku menatapnya dengan harapan. "Sungguh?"

Dia mendekat, membisikkan sesuatu yang membuatku merinding. "Pernahkah seorang Rigen Ataraka berbohong?"

Percaya dengan janjinya, aku pun melanjutkan minum, berusaha keras. Namun, beberapa saat kemudian, aku menyerah.

"R-Rigen... aku tidak sanggup lagi..."

Aku menatapnya, dengan bibir belepotan susu dan mata berkaca-kaca, berharap dia punya sedikit belas kasihan. Namun, yang kulihat adalah sesuatu yang aneh.

Panik.

Sejenak, Rigen tampak panik.

Namun, secepat kilat, ekspresi itu lenyap, digantikan oleh tatapan dinginnya. "Keluar," usirnya, galak.

Aku mengerjap. Bingung.

"Apa? Kenapa?"

"Keluar sekarang juga!"

Sebelum aku sempat memprotes, aku benar-benar ditendang keluar kamar.

"Jovian!"

Suara menggelegar Rigen terdengar dari dalam, Jovian, sang sekretaris yang berdiri di depan kamar dengan siaga, segera masuk ke dalam.

Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi mereka tak keluar dari kamar untuk waktu yang lama, seakan-akan sesuatu yang sangat serius telah terjadi.

Sementara aku, dibuang begitu saja di luar kamar dan tak dipedulikan.

Menghempaskan badan di sofa ruang tengah, aku menghela napas.

"Ini menyebalkan. Apa, sih, yang sebenarnya aku lakukan di sini?" desahku, menatap langit-langit rumah Rigen yang megah.

Ayah bilang aku hanya perlu menggantikan Megan, saudara tiriku, untuk menikahi pria koma yang tak berbahaya. Namun, apa? Sejak hari pertama di sini, aku seperti dilemparkan ke neraka.

"Rigen Ataraka, aku tak menyangka dia pria yang bukan hanya kejam, tapi sangat aneh!" dengusku menahan kesal.

Meskipun dia pria berkuasa dengan banyak musuh atau sebagainya, kepribadiannya sangat busuk!

"Aku memaafkanmu karena kamu tampan, oke?" gerutuku sambil memejamkan mata, berusaha untuk tidur saat tak melihat tanda-tanda Rigen akan menyuruhku masuk ke kamar.

Dan, mungkin karena terlalu lelah sebab berbagai kejadian sejak pagi, aku tertidur dengan begitu lelapnya di sofa ruang tamu rumah mewah sang taipan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Saleha
ko gini amat sih?
goodnovel comment avatar
Lil Seven
ga jahat kaaa ahhaaha
goodnovel comment avatar
Lil Seven
makasih kaa sudah bacaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   273. Kenapa, Rigen?

    “Aku tidak boleh percaya pada omongan perempuan itu.” Ariella berbisik pada dirinya sendiri, memandangi cermin besar di kamarnya. Bekas merah samar masih menghiasi lehernya, bukti nyata bagaimana Rigen begitu keras menandainya semalam. “Dia bilang Rigen akan bosan padaku… bahwa aku cuma gadis bodoh yang akhirnya ditinggalkan.” Ariella menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. “Tapi Rigen… dia tidak seperti itu. Dia berjanji padaku. Dia selalu bilang aku miliknya.” Ia mengusap matanya, berulang kali menarik napas dalam. Dirinya tidak boleh kalah oleh racun kata-kata Lily. Tidak boleh. Meski begitu, bayangan wajah sinis wanita itu terus berputar di kepalanya. Rigen akan bosan dengan gadis bodoh sepertimu. Kata-kata itu terngiang, bergaung tanpa henti, merobek hatinya perlahan. “Tidak, aku tidak boleh percaya…” gumamnya lagi, kali ini dengan suara lebih pelan, seolah bicara dengan dirinya yang paling rapuh. *** Sore itu, Ariella memutuskan berjalan keluar kamar. Ia butuh uda

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   272. Provokasi

    Setelah diam beberapa saat, Ariella akhirnya berteriak. “Aku tidak mau mendengar apa pun lagi darimu, Rigen!” Ariella menepis tangan Rigen yang mencoba menggenggam pergelangannya. Tubuhnya bergetar menahan emosi. Air mata yang belum kering di wajahnya kini mengalir lagi, makin deras. “Kamu pikir aku bisa bertahan setelah melihat bagaimana kamu memandangnya? Bagaimana kamu menyebut namanya seolah dia lebih penting dariku?” Rigen menatapnya tajam, sorot matanya gelap, rahangnya mengeras. “Jangan samakan. Lily tidak berarti apa-apa bagiku.” “Tidak berarti apa-apa?” Ariella terkekeh getir, lalu menjawab.“Kalau memang tidak berarti apa-apa, kenapa kamu tidak menyingkirkannya? Kenapa kamu biarkan dia datang dan menatapku seolah aku cuma pengganggu?” Dia berbalik, hendak membuka pintu kamar. Tapi Rigen lebih cepat, menutup pintu keras-keras dengan telapak tangannya hingga bunyi dentum memenuhi ruangan. Tubuh Ariella terjebak di antara pintu dan tubuh Rigen yang tinggi tegap. “Kamu

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   271. Tahan Aku

    “Aku bodoh…” Suara Ariella pecah lirih di kamar gelap itu. Ia duduk meringkuk di sudut ranjang, selimut menutupi tubuhnya, wajah basah oleh air mata. Tangannya gemetar, mencengkeram kain seakan itu satu-satunya pegangan. “Aku benar-benar bodoh kalau percaya pada janji Rigen… percaya kalau aku cukup untuk dia…” Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Kata-kata Lily bergaung terus di kepalanya. ‘Rigen akan bosan dengan gadis bodoh seperti kamu…’ Setiap suku kata menusuk dadanya. Ariella menggigit bibir, menekan isakannya supaya tidak terdengar keluar. Ia benci terlihat lemah, benci menyadari betapa rapuhnya ia di hadapan seorang wanita yang bahkan baru saja masuk ke hidupnya. “Kenapa aku selalu jadi yang paling kecil? Kenapa aku tidak pernah cukup?” Tangannya bergerak ke leher, menyentuh bekas gigitan Rigen yang masih samar. Tanda itu semalam memberinya keyakinan bahwa dia dimiliki, bahwa Rigen benar-benar melihatnya. Tapi pagi ini, tanda itu seolah jadi bukti kejam betapa m

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   270. Hanya Teman??

    “Aku sudah bilang, aku tidak ingin melihatmu bersama dia lagi, Rigen!” Suara Ariella pecah, lantang, meski tubuhnya gemetar hebat. Matanya merah, air mata berkilat tapi ia berusaha menahannya agar tidak jatuh di depan pria yang selalu menuntut kekuatannya. Rigen berdiri di ambang pintu ruang tamu, wajahnya tetap dingin, tapi ada sedikit kerutan di dahinya. “Kamu bereaksi berlebihan, Ariella. Lily hanya—” “Hanya apa?” potong Ariella cepat, nadanya meninggi. “Hanya teman lama? Hanya wanita yang kamu biarkan duduk manis di sebelahmu, tersenyum seakan dia lebih tahu siapa kamu daripada aku yang sudah tidur di sisimu tiap malam?” Suara itu menggema, menusuk jantung Rigen yang terbiasa mengendalikan situasi. Untuk pertama kalinya, tatapan Ariella tidak sekadar menangis—tapi penuh luka bercampur api. Rigen mendekat dengan langkah mantap. “Kamu tidak tahu apa-apa tentang hubungan masa laluku dengannya.” Ariella mendongak, menatapnya dengan air mata yang akhirnya jatuh. “Kalau me

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   269. Aku Ingin Pergi

    “Aku tidak bisa lagi, Rigen… aku harus keluar dari sini!” Ariella berbisik dengan suara pecah. Air matanya masih membekas di pipi, gaunnya kusut karena sempat berusaha menyingkirkan tangan Rigen. Ia meraih pegangan pintu kamar dengan gemetar, tapi sebelum sempat memutarnya, tangan besar itu lebih cepat menarik pergelangan tangannya. “Kamu pikir bisa lari begitu saja dariku?” tanya Rigen.Suara Rigen berat, dingin, tapi ada nada getir yang nyaris tak bisa ia sembunyikan. Tubuh Ariella ditarik hingga membentur dadanya. “Aku bukan tahananmu!” Ariella meronta, matanya membara oleh rasa sakit. “Kamu sudah menghancurkan janji yang kamu ucapkan semalam. Kamu memilih Lily—” “Aku tidak memilih Lily!” bentaknya, membuat bahu Ariella bergetar. "Berhenti menyebut namanya seakan-akan dia berarti apa pun bagiku!” “Kalau memang tidak berarti,” ucap Ariella, membalas cepat, suaranya serak oleh tangis.“Kenapa kamu tidak menyingkirkannya? Kenapa kamu biarkan dia ada di sini, berdiri di depanmu

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   268. Siapa Lily?

    “Aku percaya padamu, Ariella.” Suara Rigen malam itu masih bergaung di kepala Ariella. Hangat, dalam, dan penuh ketegasan. “Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada di sisimu. Aku sendiri yang akan membuka semua kebusukan keluarga ini, supaya kamu tidak lagi jadi korban.” Ariella tersenyum getir dalam ingatan itu. Dia hampir percaya, hampir menyerahkan seluruh hatinya tanpa ragu. Namun pagi ini, semuanya bergetar runtuh. “Aku tidak menyangka kamu bisa berubah secepat ini, Rigen.” Suara seorang wanita terdengar dari balik pintu ruang kerja. Ariella, yang sedang berjalan membawa nampan sarapan, berhenti mendadak. Tubuhnya menegang, jantungnya berdegup tak karuan. Suara itu bukan suara pelayan, bukan anggota keluarga yang ia kenal. Suara lembut tapi menusuk, seolah penuh kepemilikan. Dia menelan ludah, melangkah pelan mendekat ke pintu yang sedikit terbuka. Dari celah itu, matanya membeku. Seorang wanita dengan rambut hitam panjang, gaun sederhana, berdiri di hadapan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status