Pada akhirnya, Rigen benar-benar mengunciku di kamarnya seharian penuh.
Ketika akhirnya pintu terbuka, sosoknya yang tinggi dan dingin melangkah masuk. Dengan santai, dia melemparkan beberapa dokumen ke arahku. Kertas-kertas itu beterbangan, mendarat di atas ranjang tempat aku berbaring karena bosan. "Tandatangani ini." Suara beratnya tanpa emosi, membuat dadaku mencengkeram firasat buruk. Aku bangkit, meraih salah satu dokumen dengan tangan gemetar. Mataku membelalak saat membaca judulnya. "Kontrak tutup mulut? Pernikahan kontrak?" Suaraku bergetar. Aku menatap Rigen, mencari penjelasan. "Kenapa... kenapa aku harus melakukan ini? Apa sebenarnya salahku, Rigen?!" Rigen tak langsung menjawab. Mata dinginnya menatapku dari atas, penuh superioritas. Bibirnya sedikit melengkung ke atas dalam seringai yang membuat bulu kudukku meremang. "Apa otak kecilmu sudah lupa apa yang semalam telah kamu lakukan padaku?" Suaranya tajam seperti belati. Darahku mengalir cepat. Aku menelan ludah. "A-aku... itu..." "Apa salahnya?" Aku mencoba membela diri dengan suara lirih. "Kita suami istri. Mencium dan memelukmu seharusnya—" Sebelum kata-kataku selesai, tatapan Rigen menghantam keberanianku dengan keras. Seolah aku adalah sesuatu yang menjijikkan. Mulutku langsung bungkam, dan badanku seakan menyusut di tempat. "M-maaf... maafkan aku." Aku mengucapkannya hampir tanpa suara. Ketakutan. Ekspresi Rigen tetap tak berubah, seolah permintaan maafku hanya angin lalu. Dia membuang muka, menunjukkan ketidaksabarannya. Sial, aku baru ingat. Rigen Ataraka adalah seorang misophobia berat. Kabarnya, dia tak pernah menyentuh siapa pun tanpa sarung tangan. Dan aku ... aku yang bodoh ini, tadi telah mencium dan memeluknya dalam kegembiraan tanpa menyadari siapa sebenarnya pria ini. Tangan indahnya, seperti biasa, kini terbungkus sarung tangan hitam. Entah berapa kali pria itu mencuci dirinya setelah aku menyentuhnya. "Ariella, wajahmu sama sekali tak menunjukkan penyesalan." Nada suaranya tajam. "Haruskah aku mengubahmu jadi budak, bukan sekadar anjing?" Aku tersentak. Menggeleng panik. "T-tidak! Aku sudah cukup menderita hari ini sebagai anjingmu, Rigen. Jadi, tolong ...." "Menderita?" Rigen tertawa kecil. Namun tak ada sedikit pun kehangatan di sana. "Bagian mana yang membuatmu menderita? Aku datang dan melihatmu tertidur nyenyak di ranjangku." Mengatupkan bibir, aku melontarkan serentetan alasan. "Aku lelah menunggumu... jadi aku tertidur. Apa salahnya? Kamu mengunciku seharian di sini!" Rigen menghela napas panjang, seolah aku makhluk paling bodoh yang pernah dia temui. "Aku hanya memastikan anjingku yang cantik ini tidak menggonggong ke mana-mana soal aku yang tak lagi koma." Mendengar itu, aku mengerutkan kening. "T-tapi mengunciku seharian tanpa makan—" "Oh? Jadi itu yang membuatmu menolak tanda tangan?" Rigen mengangkat alisnya, pura-pura heran. "Kebetulan sekali, aku sudah menyiapkan makanan untukmu." Dia bertepuk tangan sekali, dan seorang pelayan mendorong troli ke dalam kamar. Aromanya menggoda, membuat perutku yang kosong berteriak dalam diam. Mataku berbinar. Akhirnya! Aku segera membuka tutup hidangan itu dengan penuh harapan, tapi... napasku tercekat. "A-apa ini...?" Di hadapanku, semangkuk makanan anjing tersaji. "Makanan anjing," jawab Rigen santai, menyeringai dengan kejam. Aku menatapnya tak percaya. "Makanan anjing...?" "Apa kamu lupa siapa dirimu sekarang, Riel?" Dia mendekat, jemarinya yang bersarung mengetuk wadah itu perlahan. "Kalung anjingmu masih melingkar di lehermu. Jangan sampai aku harus mengencangkannya lebih erat lagi." "T-tapi...." Suaraku tertahan di tenggorokan. "Aku bahkan sudah mengukir namamu di mangkuknya, Ariella sayang." Matanya menyala dengan kepuasan sadis. "Seharusnya kamu berterima kasih, Istriku." Mendengar itu, aku mengepalkan tangan di pangkuanku. Sial! Dia benar-benar memperlakukan aku seperti anjing! Pria kejam ini! "Kamu tidak berterima kasih, Riel?" Nadanya berubah dingin saat aku hanya diam, mataku mengerjap, lalu buru-buru menelan harga diriku. "T-terima kasih...." Rigen mengangguk puas. "Makan." Memandang mangkuk anjing, aku menelan ludah. "T-tapi, Rigen, aku tak mungkin makan ini—" "Makan." Sekali lagi, suaranya terdengar seperti ultimatum. Aku tahu dia tak akan segan berbuat sesuatu yang lebih buruk jika aku menolak. Akhirnya, dengan tangan gemetar, aku meraih sendok dan menyendok makanan itu. Aku menutup mata, mempersiapkan diriku untuk rasa mengerikan di lidahku. Namun saat suapan pertama masuk.... "Hah...?" Aku mengunyah perlahan dengan ekspresi tak percaya. Ini... enak? Ragu, aku menyendok lagi. Rasa daging yang lembut, rempah yang meresap sempurna... ini bukan makanan anjing! Ini makanan manusia yang dibuat menyerupai makanan anjing! Rigen yang duduk bersandar di kursinya tersenyum sinis. "Lihat, anjingku sangat lahap." Aku memutar bola mata, berusaha mengabaikan ejekannya dan fokus pada makananku. Namun, ketika aku selesai, sebuah mangkuk susu putih diletakkan di hadapanku. Tersentuh oleh kebaikannya yang tak terduga, aku tersenyum kecil. "Terima kasih, Rigen." Namun saat aku hendak mengambilnya, Rigen menariknya kembali. Aku mengerutkan kening. "Hm?" "Siapa bilang kamu boleh meminumnya seperti manusia, Riel?" Senyumnya bertambah jahat. "Jilat." Tubuhku seketika membeku. "T-tapi, Rigen. Aku tadi makan dengan sendok—" "Aku hanya memberi sedikit kelonggaran karena kamu tampak menyedihkan, Riel. Tapi sekarang, tidak." Matanya menatapku penuh tantangan. "Anjing tidak minum dengan tangannya, Riel." Tanganku terkepal, ingin sekali menampar seringai di wajahnya. Namun, dalam hati, aku tahu aku kalah telak. Dengan gemetar, aku menunduk dan mulai menjilati susu dalam mangkuk itu. Beberapa tetes jatuh ke daguku. "Ugh..." "Jilat sampai habis," bisiknya tajam, "jika kamu ingin aku melepaskan kalung anjing di lehermu, Riel." Mendengar itu, aku menatapnya dengan harapan. "Sungguh?" Dia mendekat, membisikkan sesuatu yang membuatku merinding. "Pernahkah seorang Rigen Ataraka berbohong?" Percaya dengan janjinya, aku pun melanjutkan minum, berusaha keras. Namun, beberapa saat kemudian, aku menyerah. "R-Rigen... aku tidak sanggup lagi..." Aku menatapnya, dengan bibir belepotan susu dan mata berkaca-kaca, berharap dia punya sedikit belas kasihan. Namun, yang kulihat adalah sesuatu yang aneh. Panik. Sejenak, Rigen tampak panik. Namun, secepat kilat, ekspresi itu lenyap, digantikan oleh tatapan dinginnya. "Keluar," usirnya, galak. Aku mengerjap. Bingung. "Apa? Kenapa?" "Keluar sekarang juga!" Sebelum aku sempat memprotes, aku benar-benar ditendang keluar kamar. "Jovian!" Suara menggelegar Rigen terdengar dari dalam, Jovian, sang sekretaris yang berdiri di depan kamar dengan siaga, segera masuk ke dalam. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi mereka tak keluar dari kamar untuk waktu yang lama, seakan-akan sesuatu yang sangat serius telah terjadi. Sementara aku, dibuang begitu saja di luar kamar dan tak dipedulikan. Menghempaskan badan di sofa ruang tengah, aku menghela napas. "Ini menyebalkan. Apa, sih, yang sebenarnya aku lakukan di sini?" desahku, menatap langit-langit rumah Rigen yang megah. Ayah bilang aku hanya perlu menggantikan Megan, saudara tiriku, untuk menikahi pria koma yang tak berbahaya. Namun, apa? Sejak hari pertama di sini, aku seperti dilemparkan ke neraka. "Rigen Ataraka, aku tak menyangka dia pria yang bukan hanya kejam, tapi sangat aneh!" dengusku menahan kesal. Meskipun dia pria berkuasa dengan banyak musuh atau sebagainya, kepribadiannya sangat busuk! "Aku memaafkanmu karena kamu tampan, oke?" gerutuku sambil memejamkan mata, berusaha untuk tidur saat tak melihat tanda-tanda Rigen akan menyuruhku masuk ke kamar. Dan, mungkin karena terlalu lelah sebab berbagai kejadian sejak pagi, aku tertidur dengan begitu lelapnya di sofa ruang tamu rumah mewah sang taipan.Giovanni menatap pantulan dirinya di dinding kaca ruang kerja. Setelan jas hitamnya masih rapi, dasinya masih terikat sempurna, tapi ada sesuatu di balik mata itu — sesuatu yang tak bisa lagi ia samarkan dengan logika atau gengsi. Sejak pertemuan dengan Leonardo Valez siang tadi, pikirannya tidak tenang. Bayangan tawa Alicia, cara perempuan itu menatap pria asing dengan mata berbinar, terus berputar di kepalanya seperti penghinaan yang halus tapi menyakitkan. Ia sudah berusaha menahan diri. Tapi yang tersisa sekarang hanyalah sisa kesabaran yang menipis seperti api yang kekurangan udara. “Kenapa aku masih peduli?” gumamnya, menekan pelipis dengan satu tangan. Telepon di meja berdering pelan. Giovanni melirik sekilas — nama di layar: Cia. Jari-jarinya berhenti di udara beberapa detik sebelum akhirnya ia menekan tombol jawab. “Kenapa?” suaranya datar, tapi ada nada dalam yang tak bisa disembunyikan. “Gio…” suara di seberang terdengar hati-hati, lembut tapi ragu. “Aku cuma mau
“Aku bilang diam, Cia.” Nada Giovanni terdengar rendah, tajam, dan entah kenapa… bergetar di udara. Tatapannya menahan banyak hal — marah, cemburu, tapi juga sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Aku terpaku. Tangannya masih di sisi kursi, menjebakku di antara tubuhnya dan meja kaca itu. “Giovanni, kamu—” “Jangan panggil aku seperti itu,” potongnya cepat, suaranya pelan tapi menekan. “Kau tahu aku benci saat suaraku keluar dari bibirmu seperti itu.” “Lalu apa? Bos?” Aku mengangkat dagu, mencoba menutupi debar di dada. “Kau mau aku terus memanggilmu seperti bawahan?” Giovanni menyipit. “Kau selalu tahu cara memancingku, ya?” “Aku hanya jujur,” balasku, menahan napas saat tubuhnya sedikit condong ke depan. “Kau pikir aku takut?” Sekilas, sudut bibirnya terangkat — tapi itu bukan senyum lembut. Itu adalah tatapan seorang pria yang tahu ia berkuasa. “Tidak, Cia,” katanya pelan, hampir berbisik di dekat telingaku. “Kau tidak takut. Dan itulah masalahnya.” Aku bergeming. Napas kami h
Hari berikutnya di kantor terasa… aneh. Tidak ada sapaan pagi dari Giovanni. Tidak ada komentar sarkastik, tidak ada ejekan, bahkan tidak ada panggilan “Cia” dengan nada menyebalkannya itu. Yang ada hanya kesunyian. Dan tatapan sekilas dari balik kaca bening ruangannya setiap kali aku lewat. Entah kenapa, justru itu yang membuatku gelisah. --- Siang hari, aku membawa beberapa dokumen ke ruang Giovanni. Dia sedang menelepon, jadi aku hanya menaruh map di mejanya dengan pelan. Tapi baru saja aku hendak pergi, suaranya memanggil rendah. “Cia.” Langkahku terhenti. Aku menoleh. Dia sudah menutup teleponnya, menatapku tanpa ekspresi. “Kemarin malam.” Suara itu dalam, pelan, tapi tegas. “Aku kelewatan.” Aku menelan ludah. “Kamu sadar juga akhirnya.” Dia berdiri, mendekat. “Tapi kamu nggak sepenuhnya korban.” “Maaf?” keningku berkerut. Giovanni berhenti di depan meja, menatapku dengan tatapan yang membuat lututku lemah. “Kamu tahu gimana caranya bikin aku kehilangan kontrol.
“Aku nggak nyangka kamu bisa segugup itu ketemu Leonardo lagi,” suara Nina, rekan satu timku, menggoda. Kami sedang bersiap untuk makan malam proyek—makan malam penting yang melibatkan klien baru dari Spanyol. Ya, dia: Leonardo Valez. Pria yang terlalu sopan, terlalu ganteng, dan terlalu tahu cara tersenyum yang bisa menyaingi bahaya. Aku memutar bola mata. “Gugup apanya? Aku cuma sekretaris, bukan yang mau negosiasi.” “Sekretaris pribadi Giovanni Axel,” Nina menekankan dengan nada bercanda. “Dan kalau gosip kantor benar, kalian... sedikit lebih dari sekadar bos dan sekretaris.” “Gosip kantor butuh terapi,” jawabku cepat. Tapi jauh di dalam dada, ada denyutan aneh yang bahkan aku sendiri tak mengerti. Giovanni sejak dua hari terakhir jadi aneh. Lebih sunyi, tapi lebih sering memperhatikan. Dan setiap kali Leonardo muncul di agenda rapat, ekspresinya berubah—dingin, tapi matanya... terlalu tajam. --- Restoran malam itu penuh cahaya keemasan. Musik jazz pelan mengalun, meja
“Sekretaris pribadi tidak seharusnya pulang lebih dulu dari bosnya.” Suara Giovanni terdengar pelan tapi jelas, membuat langkahku yang baru keluar dari lift langsung terhenti. Aku menatap jam tangan. Sudah pukul delapan malam. Seluruh kantor hampir gelap, hanya lampu di ruang CEO yang masih menyala samar. Ya Tuhan… kenapa aku masih di sini? Aku menoleh ke arahnya, berdiri di ambang pintu ruangannya dengan kemeja putihnya yang sedikit tergulung di lengan, dasi longgar, dan tatapan itu—tajam, malas, tapi entah kenapa selalu menelan semua ruang napas. “Jam segini?” aku mencoba terdengar santai. “Bukannya kita udah beres?” Dia tidak menjawab. Hanya menggerakkan jarinya pelan, memanggilku untuk mendekat. Isyarat sederhana, tapi sukses membuat perutku terasa dingin. “Giovanni, aku—” “Lima detik,” katanya tenang, “kalau kamu masih berdiri di sana, aku akan datang dan menyeretmu sendiri.” Sial. Aku melangkah masuk, mencoba menahan degup jantungku yang entah kenapa sema
“Kenapa kamu diam?” Giovanni bersuara rendah, nyaris seperti desis. Suara itu terlalu dekat, terlalu dalam, dan terlalu berbahaya untuk jantungku. Aku menelan ludah. “Karena aku nggak mau menanggapi hal yang nggak penting,” sahutku cepat, pura-pura sibuk menatap layar laptop, padahal tanganku gemetar di atas keyboard. “Tidak penting?” Ia tertawa pelan, langkahnya mendekat. Aku bisa mencium aroma maskulinnya—parfum kayu manis yang terlalu khas Giovanni. “Jadi menurutmu saat aku menatapmu seperti ini… itu tidak penting?” Tubuhku otomatis menegang. Matanya menuruni wajahku perlahan, lalu berhenti di bibirku. Dan aku tahu dia tahu—aku sedang menahan napas. “Berhenti… menatap seperti itu,” bisikku hampir tak terdengar. Giovanni hanya mengangkat alis. “Sejak kapan aku harus nurut sama sekretarisku sendiri?” Aku ingin memutar bola mata saking kesalnya, tapi aku tahu kalau aku melawan, dia akan semakin menikmati permainan ini. Sial. Aku jatuh di dalam jebakan licik si CEO menyeba