Share

4. Ibu Mertua Datang.

Author: Lil Seven
last update Last Updated: 2025-04-14 09:40:38

"Ugh, sial! Tali anjing ini benar-benar menyebalkan!" keluhku sambil menatap bayanganku di cermin. Wajah cantikku tetap memesona, meski ada penghinaan yang mengikat leherku.

Pagi hari, aku terbangun di atas ranjang Rigen tanpa tahu siapa yang memindahkanku ke sini.

Bibirku mengulas senyum sinis, menyentuh tali itu dengan jari gemetar. Aku mungkin anak haram yang tak diinginkan, tapi sekarang, aku adalah istri Rigen Ataraka—raja takhta tertinggi di negeri ini.

"Bahkan dengan tali anjing seperti ini, wajahku masih sangat cantik," gumamku dengan ekspresi bangga.

Namun, kegembiraan itu hanya berlangsung sekejab karena suara yang tiba-tiba menyela.

"Wah, percaya diri sekali, Riel."

Suara tawa rendah itu menghantamku. Aku menoleh, dan di sana, Rigen berdiri di ambang pintu. Mata keemasannya menelanjangiku, menusuk hingga ke dasar keberadaanku.

"R-Rigen?"

Suaraku nyaris berbisik, malu karena dia mendengar gumamanku.

Dia melangkah maju, auranya mendominasi, membuat udara di ruangan menipis. "Tadinya kupikir akan melepas tali itu hari ini. Tapi melihatmu begitu menikmatinya, mungkin aku harus menundanya."

"Aku tidak menikmatinya!" protesku, memelototinya, berusaha tegar.

Rigen menyeringai, menyentuh daguku dengan ujung jarinya, menciptakan percikan panas yang merayap ke seluruh tubuhku. "Benarkah, hm?"

Aku menelan ludah, mencoba menahan getaran di dadaku. "Jadi, kapan kamu akan melepasnya, Suamiku Sayang?"

Sengaja kumemanggilnya sayang untuk membuat Rigen bersikap sedikit lunak.

Namun, dia hanya mengangkat bahu, acuh tak acuh. "Entahlah."

Sungguh, melihat wajah sombongnya itu, aku sangat ingin mencakarnya!

Namun, sebelum sempat bergerak, Rigen mendekat dan merendahkan wajahnya, membuat napasku tercekat.

"Lakukan, Riel," bisiknya, tantangan terpampang jelas di wajahnya.

"A-apa?"

"Ekspresimu mengatakan kamu ingin mencakar wajahku," ejeknya, dengan senyuman sinis.

Aku terkesiap saat merasakan jarak kami terlalu dekat, sehingga spontan berteriak. "T-tidak!"

Rigen tertawa kecil. "Sayang sekali. Seandainya tadi kamu berani mencakarku, mungkin aku akan memasukkanmu ke dalam sel pribadiku."

Mendengar itu, aku menggeram. Sial, penjahat gila ini! Aku harus segera melepaskan diri!

Rigen memandangku dengan ekspresi main-main, jarak di antara kami semakin dekat sehingga jantungku berdetak kencang, aku tak tahu apa yang dia ingin lakukan tapi aura berbahaya yang mengelilinginya, membuat aku menjauhkan punggungku darinya.

Tiba-tiba, Jovian menerobos masuk dengan wajah tegang. "Tuan, ibu Anda datang berkunjung!"

Ekspresi Rigen yang tadi tampak santai, langsung berubah. "Pastikan dia tak tahu aku sadar. Buat rumah ini seperti ditinggali pria koma."

Aku ternganga melihatnya berubah dalam sekejap. Namun, sebelum aku bisa memproses semuanya, Rigen menatapku tajam dan berkata. "Jovian, ganti talinya."

Dia memberi isyarat untuk melepaskan tali anjing dari leherku.

"Baik, Tuan."

Sigap, Jovian membuka sebuah kotak beludru, sebuah kalung yang indah terlihat, saat Jovian mendekat ke arahku untuk melepaskan tali anjing dari leherku dan menggantikannya dengan kalung yang ia pegang, Rigen tiba-tiba mengangkat tangan.

"Jangan sentuh Ariella. Aku sendiri yang akan melakukannya."

Dia mendekat, dan dengan gerakan penuh kuasa, melepaskan tali anjing itu. Napasku tercekat saat sesuatu yang dingin melingkari leherku

"Ariella, ingat."

"Apa yang ada di kalung ini," bisiknya, jari-jarinya membelai kulitku, membuat tubuhku meremang, "Bisa memantau setiap gerakan dan ucapanmu. Jangan main-main dengan ibu."

Aku mengangguk cepat. Aku tahu ancaman ini bukan main-main.

Beberapa saat kemudian, Rigen berbaring di ranjang, memerankan pria koma dengan sempurna.

Semua persiapan akhirnya selesai, Jovian sudah turun untuk menyambut ibu Rigen, sedangkan aku ditinggal sendirian di kamar menemani Rigen yang sedang 'koma'.

Seharusnya itu hanya butuh beberapa menit.

Rencananya adalah, membiarkan ibu mertuaku melihat keadaanku dan Rigen, lalu Jovian dengan sopan akan menuntun wanita itu pergi meninggalkan kediaman Rigen Ataraka.

Namun anehnya, beberapa menit sudah berlalu tapi ibu mertuaku belum juga muncul di hadapan kami.

"Aku bosan."

Kugoyangkan jari kakiku dengan tatapan memandang sekeliling. Tatapanku berakhir pada Rigen yang tengah berbaring.

"Hm?"

Mataku menyipit saat melihat ujung hidung mancung Rigen, tampak dihinggapi seekor lalat.

"Hah? Ini bahaya. Bagaimana jika gara-gara lalat itu dia bersin dan ketahuan kalau pura-pura koma?"

Panik, aku yang tengah duduk di pinggir ranjang pun dengan reflek mendekat ke arah Rigen, bermaksud mengusir lalat dari hidung Rigen dengan lembut. Tapi....

"Ahhh!"

Aku sedikit terpeleset dan tubuhku malah menimpa badan Rigen dan bibirku menyentuh bibirnya!

Menyadari bahwa Rigen paling benci disentuh orang, aku jadi semakin panik dan berusaha menghindari bersentuhan dengan Rigen secepat mungkin.

Namun, kakiku malah terpeleset dan bibirku... menyentuh bibir Rigen.

Duniaku seakan berhenti.

Aku ingin menjauh, tetapi sebelum aku sempat bereaksi—

"Ya ampun… Sayang!"

Suaranya melengking, membekukan darahku. Ibu mertuaku berdiri di ambang pintu, matanya membesar.

Aku terlonjak, panik. "I-ini tidak seperti yang Anda pikirkan!" seruku, mencoba memberikan penjelasan.

Namun, wanita itu justru tersenyum penuh arti.

"Ramalan itu benar… kamu benar-benar mencintai putraku. Aku bisa mati dengan tenang sekarang."

Wanita itu mengucapkan sesuatu yang mengejutkan.

Melihat betapa anehnya kejadian ini, mataku hanya berkedip kedip, bingung.

"M-maksud Ibu?" tanyaku, semakin bingung.

Dia justru tersenyum dan melontarkan pertanyaan lain. "Sayang, siapa namamu kemarin?"

Dada terasa sesak. Aku ingin menangis. Wanita yang menikahkanku dengan Rigen bahkan tidak tahu namaku. Namun, meskipun hatiku mencelos, aku tetap menjawab dengan sopan.

"Itu... namaku—"

"Ariella Smith, Nyonya."

Tiba-tiba Jovian menyela.

Aku menoleh padanya, menatap dengan curiga.

Kenapa dia begitu sigap menjawab? Apakah dia takut aku mengaku sebagai Megan—saudari tiriku yang seharusnyamenikah dengan Rigen?

Untungnya, ibu mertua hanya mengangguk acuh. "Ya, ya, terserah namanya siapa. Nah, Ariella sayang, ini untukmu."

Dia mengulurkan blackcard ke arahku dengan gerakan santai.

"Aku merasa tenang sekarang setelah melihatmu memeluk putraku dengan penuh cinta. Aku mengakuimu sebagai menantuku," ucapnya, dengan senyum yang tampak murni dan tulus.

Aku menatap benda itu dengan mata berbinar, tak percaya. "Ini… untukku?"

"Ambillah, Sayang."

Tangannya yang lembut menepuk punggung tanganku dengan hangat. Aku menelan ludah, terharu. "T-terima kasih banyak, Ibu."

Bahkan ayahku tidak pernah memberiku harta sebanyak ini saat mengorbankanku untuk menikahi pria koma. Tapi ibu mertuaku…

Sepertinya dia orang baik.

Setelah berbicara denganku, wanita itu lantas menatap Rigen yang terbaring lemah, sorot matanya penuh luka.

"Ah, seandainya dia…" katanya lirih, lalu menarik napas panjang. "Sudahlah. Aku tak tahan melihatnya seperti ini. Ibu pamit dulu."

"Baik, Ibu. Hati-hati di jalan."

Aku ingin mengantarnya sampai ke pintu rumah, tapi Jovian dengan lihai menciptakan alasan, hingga ibu mertuaku memutuskan aku cukup mengantar sampai depan kamar saja.

Sebelum pergi, dia menatapku dengan sendu.

"Tolong jaga putraku, Ariella. Dia pria yang luar biasa… Jika saja kecelakaan itu tidak terjadi."

Matanya berkabut. Suaranya bergetar.

Aku menatap punggungnya yang perlahan menjauh dengan perasaan bercampur aduk.

Wanita yang memberi seseorang uang dengan begitu mudah pasti orang baik.

Sayang sekali, dia telah ditipu oleh putranya sendiri.

Setelah ibu mertuaku pergi, aku hendak kembali ke tempat tidur, tetapi tiba-tiba—

Klik.

Pintu terkunci.

"Hah?"

Belum juga aku tersadar dengan keterkejutanku, Suara dingin Rigen menggema, menusuk nadi.

"Apa mencium seseorang yang tak berdaya itu hobimu, Riel?"

Aku menoleh perlahan. Rigen bangun, mata hitamnya membara. Tatapannya terkunci padaku—pemangsa yang baru saja menemukan mangsanya.

Sial… Aku dalam bahaya besar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Lil Seven
wkwkw enggak kok kak
goodnovel comment avatar
Abut Thoyyib
suami kejam
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   367. CEO Bucin

    Giovanni menatap pantulan dirinya di dinding kaca ruang kerja. Setelan jas hitamnya masih rapi, dasinya masih terikat sempurna, tapi ada sesuatu di balik mata itu — sesuatu yang tak bisa lagi ia samarkan dengan logika atau gengsi. Sejak pertemuan dengan Leonardo Valez siang tadi, pikirannya tidak tenang. Bayangan tawa Alicia, cara perempuan itu menatap pria asing dengan mata berbinar, terus berputar di kepalanya seperti penghinaan yang halus tapi menyakitkan. Ia sudah berusaha menahan diri. Tapi yang tersisa sekarang hanyalah sisa kesabaran yang menipis seperti api yang kekurangan udara. “Kenapa aku masih peduli?” gumamnya, menekan pelipis dengan satu tangan. Telepon di meja berdering pelan. Giovanni melirik sekilas — nama di layar: Cia. Jari-jarinya berhenti di udara beberapa detik sebelum akhirnya ia menekan tombol jawab. “Kenapa?” suaranya datar, tapi ada nada dalam yang tak bisa disembunyikan. “Gio…” suara di seberang terdengar hati-hati, lembut tapi ragu. “Aku cuma mau

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   366. Benci Atau Butuh?

    “Aku bilang diam, Cia.” Nada Giovanni terdengar rendah, tajam, dan entah kenapa… bergetar di udara. Tatapannya menahan banyak hal — marah, cemburu, tapi juga sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Aku terpaku. Tangannya masih di sisi kursi, menjebakku di antara tubuhnya dan meja kaca itu. “Giovanni, kamu—” “Jangan panggil aku seperti itu,” potongnya cepat, suaranya pelan tapi menekan. “Kau tahu aku benci saat suaraku keluar dari bibirmu seperti itu.” “Lalu apa? Bos?” Aku mengangkat dagu, mencoba menutupi debar di dada. “Kau mau aku terus memanggilmu seperti bawahan?” Giovanni menyipit. “Kau selalu tahu cara memancingku, ya?” “Aku hanya jujur,” balasku, menahan napas saat tubuhnya sedikit condong ke depan. “Kau pikir aku takut?” Sekilas, sudut bibirnya terangkat — tapi itu bukan senyum lembut. Itu adalah tatapan seorang pria yang tahu ia berkuasa. “Tidak, Cia,” katanya pelan, hampir berbisik di dekat telingaku. “Kau tidak takut. Dan itulah masalahnya.” Aku bergeming. Napas kami h

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   365. Aku Cuma Sekretaris

    Hari berikutnya di kantor terasa… aneh. Tidak ada sapaan pagi dari Giovanni. Tidak ada komentar sarkastik, tidak ada ejekan, bahkan tidak ada panggilan “Cia” dengan nada menyebalkannya itu. Yang ada hanya kesunyian. Dan tatapan sekilas dari balik kaca bening ruangannya setiap kali aku lewat. Entah kenapa, justru itu yang membuatku gelisah. --- Siang hari, aku membawa beberapa dokumen ke ruang Giovanni. Dia sedang menelepon, jadi aku hanya menaruh map di mejanya dengan pelan. Tapi baru saja aku hendak pergi, suaranya memanggil rendah. “Cia.” Langkahku terhenti. Aku menoleh. Dia sudah menutup teleponnya, menatapku tanpa ekspresi. “Kemarin malam.” Suara itu dalam, pelan, tapi tegas. “Aku kelewatan.” Aku menelan ludah. “Kamu sadar juga akhirnya.” Dia berdiri, mendekat. “Tapi kamu nggak sepenuhnya korban.” “Maaf?” keningku berkerut. Giovanni berhenti di depan meja, menatapku dengan tatapan yang membuat lututku lemah. “Kamu tahu gimana caranya bikin aku kehilangan kontrol.

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   364. Bukan Klien Biasa

    “Aku nggak nyangka kamu bisa segugup itu ketemu Leonardo lagi,” suara Nina, rekan satu timku, menggoda. Kami sedang bersiap untuk makan malam proyek—makan malam penting yang melibatkan klien baru dari Spanyol. Ya, dia: Leonardo Valez. Pria yang terlalu sopan, terlalu ganteng, dan terlalu tahu cara tersenyum yang bisa menyaingi bahaya. Aku memutar bola mata. “Gugup apanya? Aku cuma sekretaris, bukan yang mau negosiasi.” “Sekretaris pribadi Giovanni Axel,” Nina menekankan dengan nada bercanda. “Dan kalau gosip kantor benar, kalian... sedikit lebih dari sekadar bos dan sekretaris.” “Gosip kantor butuh terapi,” jawabku cepat. Tapi jauh di dalam dada, ada denyutan aneh yang bahkan aku sendiri tak mengerti. Giovanni sejak dua hari terakhir jadi aneh. Lebih sunyi, tapi lebih sering memperhatikan. Dan setiap kali Leonardo muncul di agenda rapat, ekspresinya berubah—dingin, tapi matanya... terlalu tajam. --- Restoran malam itu penuh cahaya keemasan. Musik jazz pelan mengalun, meja

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   363. Teguran

    “Sekretaris pribadi tidak seharusnya pulang lebih dulu dari bosnya.” Suara Giovanni terdengar pelan tapi jelas, membuat langkahku yang baru keluar dari lift langsung terhenti. Aku menatap jam tangan. Sudah pukul delapan malam. Seluruh kantor hampir gelap, hanya lampu di ruang CEO yang masih menyala samar. Ya Tuhan… kenapa aku masih di sini? Aku menoleh ke arahnya, berdiri di ambang pintu ruangannya dengan kemeja putihnya yang sedikit tergulung di lengan, dasi longgar, dan tatapan itu—tajam, malas, tapi entah kenapa selalu menelan semua ruang napas. “Jam segini?” aku mencoba terdengar santai. “Bukannya kita udah beres?” Dia tidak menjawab. Hanya menggerakkan jarinya pelan, memanggilku untuk mendekat. Isyarat sederhana, tapi sukses membuat perutku terasa dingin. “Giovanni, aku—” “Lima detik,” katanya tenang, “kalau kamu masih berdiri di sana, aku akan datang dan menyeretmu sendiri.” Sial. Aku melangkah masuk, mencoba menahan degup jantungku yang entah kenapa sema

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   362. Tatapan yang Membakar

    “Kenapa kamu diam?” Giovanni bersuara rendah, nyaris seperti desis. Suara itu terlalu dekat, terlalu dalam, dan terlalu berbahaya untuk jantungku. Aku menelan ludah. “Karena aku nggak mau menanggapi hal yang nggak penting,” sahutku cepat, pura-pura sibuk menatap layar laptop, padahal tanganku gemetar di atas keyboard. “Tidak penting?” Ia tertawa pelan, langkahnya mendekat. Aku bisa mencium aroma maskulinnya—parfum kayu manis yang terlalu khas Giovanni. “Jadi menurutmu saat aku menatapmu seperti ini… itu tidak penting?” Tubuhku otomatis menegang. Matanya menuruni wajahku perlahan, lalu berhenti di bibirku. Dan aku tahu dia tahu—aku sedang menahan napas. “Berhenti… menatap seperti itu,” bisikku hampir tak terdengar. Giovanni hanya mengangkat alis. “Sejak kapan aku harus nurut sama sekretarisku sendiri?” Aku ingin memutar bola mata saking kesalnya, tapi aku tahu kalau aku melawan, dia akan semakin menikmati permainan ini. Sial. Aku jatuh di dalam jebakan licik si CEO menyeba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status