Sudah masuk minggu kesepuluh. Trimester pertama hampir lewat, tapi perubahan di tubuh Ariella terasa makin nyata. Wajahnya mulai membulat. Rambutnya lebih mudah lepek. Pinggulnya membesar pelan-pelan, dan pagi tadi… stretch mark pertama muncul di sisi bawah perutnya. Ia berdiri di depan cermin, hanya mengenakan bra dan celana tidur, menatap pantulan tubuhnya sendiri seperti orang asing. “Siapa kamu…?” bisiknya pelan. Ada bagian dari dirinya yang ingin bahagia. Bahwa tubuh ini sedang menciptakan kehidupan, bahwa semua perubahan ini adalah proses alami. Tapi bagian lain dari dirinya—yang dulu suka tampil rapi, percaya diri, dan merasa memikat—sekarang mulai menghilang. Air mata mulai menggenang di matanya. Bukan karena lelah, tapi karena kehilangan versi dirinya yang dulu. “Gendut. Kusam. Jelek…” katanya lirih sambil menyentuh pipinya sendiri. “Rigen pasti cuma bersabar karena dia terpaksa.” Tepat saat itu, pintu kamar terbuka. Rigen masuk sambil membawa dua botol jus
Pukul dua dini hari. Kebanyakan orang sedang tidur. Tapi Rigen… sedang mengemudi di jalanan kompleks perumahan dengan lampu hazard menyala. Di kursi penumpang, Ariella duduk bersedekap dengan wajah cemberut, mengenakan jaket kebesaran dan celana tidur bermotif stroberi. “Sudah belum, Riel?” tanya Rigen, pelan. Ariella menutup matanya, menghirup udara malam dalam-dalam dari jendela yang sedikit terbuka dan berkata dengan nada mengeluh. “Belum. Jalanannya sangat kering. Tiak ada bekas hujan sama sekali...” Rigen mengangguk, mencoba menyembunyikan rasa bingung yang makin besar. Ngidam kedua Ariella resmi dimulai dua malam yang lalu, saat ia tiba-tiba menangis hanya karena mendengar suara iklan air mineral yang menampilkan suara hujan. Katanya, “Rigen, aku... ingin mencium bau aspal basah.” Awalnya Rigen mengira itu cuma momen hormonal sementara. Tapi sejak malam itu, mereka sudah tiga kali keliling kompleks cuma buat cari jalanan yang “bau hujan”. “Coba putar arah,”
Sudah tiga minggu berlalu sejak pagi di mana Rigen duduk diam di samping Ariella, berusaha menjadi suami sabar yang tidak ikut terbawa emosi oleh badai hormon kehamilan istrinya. Namun, perlahan, batas kesabaran itu mulai bergeser ke tempat yang lebih sunyi dan keras—ke dalam dirinya sendiri. Ia mulai pulang lebih malam. Kadang tidak sempat makan malam bersama Ariella. Kadang, saat sempat, ia malah memilih duduk di balkon dengan laptop menyala dan segelas kopi dingin di tangan. Rigen menyalurkan rasa frustasinya karena tak bisa dekat dengan istrinya—karena tak bisa menjadi suami seperti dulu lagi—dengan satu cara yang ia tahu: bekerja keras. Terlalu keras. Ia menerima proyek tambahan, lembur dua kali lipat, bahkan sesekali membantu divisi lain tanpa diminta. Semua dilakukan diam-diam, tanpa keluhan, tanpa pemberitahuan pada siapa pun—termasuk pada Jovian, tangan kanannya sekaligus sahabat yang diam-diam mengawasi dengan cemas. --- Suatu malam, kantor sudah hampir kosong. Jam
Sudah sebulan sejak Ariella dan Rigen mengetahui kabar kehamilan itu. Awalnya, semuanya terasa seperti mimpi indah yang mereka jalani berdua—berpelukan lebih sering, Rigen jadi suami yang lebih protektif, bahkan rela googling tentang nutrisi ibu hamil setiap malam sebelum tidur.Namun, sekarang…. Rigen berdiri di depan pintu kamar, membawa semangkuk buah potong dan segelas air kelapa muda. “Sayang, kamu mau makan semangka dulu tidak? Atau melon? Aku udah buang bijinya semua—” “Aku bilang jangan dekat-dekat dulu!” sahut Ariella dari balik selimut, suaranya nyaris seperti ultimatum. Rigen berhenti di tempat, bingung sekaligus gelisah. “Tapi kamu belum makan dari tadi pagi, Istriku…” “Kalau kamu memaksa masuk, aku benar-benar akan muntah, nih!” teriak Ariella lagi, wajahnya muncul sedikit dari balik bantal. “Sumpah… bau keringat kamu membuat aku pusing!”Ariella mengatakan itu dengan menutup hidung, mengusir Rigen, suaminya tanpa ampun. Rigen terdiam. Seketika ia mencium
"Ah, Riel... "Rigen tak menunggu.Ia mengangkat tubuh Ariella ke atas meja dapur, lalu mencium bibirnya dengan dalam dan pelan. Ciuman yang tidak sekadar penuh gairah, tapi juga pengakuan. Bahwa ia memilih perempuan ini. Setiap hari. Bahkan setelah pertengkaran. Bahkan ketika semuanya tak sempurna."Rigen.... " Ariella melingkarkan kakinya di pinggang Rigen, mendorong tubuh mereka lebih rapat. "Emhhh, Sayangg.... "Napasnya tercekat saat Rigen mulai menelusuri lehernya dengan ciuman panas yang turun perlahan ke bahunya, kemudian ke belahan dada yang terbuka. Jemari Ariella meremas rambut suaminya, tak ingin kehilangan kendali, tapi juga tak mau menahannya. “Pelan, Sayang…” bisik Ariella, matanya terpejam. “Aku tahu,” jawab Rigen, suaranya rendah dan dalam. “Aku cuma mau kamu tahu—bahwa kamu... masih satu-satunya untukmu, Riel.”"Emmhhh, ah, kamu, dasar." Tubuh mereka menyatu dengan ritme yang mengalir alami, tanpa paksaan. Di atas meja dapur, dalam cahaya pagi, dan aroma rot
“Sedikit... tapi lebih banyak malu,” jawab Ariella pelan. “Aku menyerangmu tanpa tanya. Padahal kamu cuma... melakukan apa yang kamu bisa untuk kami," lanjutnya sambil menundukkan kepala. Rigen menyentuh dagunya, mengangkat wajahnya pelan agar mereka saling menatap. “Kamu tidak perlu malu karena kamu cemburu. Itu artinya kamu peduli, Riel.” Ia mengatakan itu sambil mencium ujung hidung istrinya. “Dan aku... suka kamu yang begini. Manusia. Utuh. Cemburu, takut, dan tetap mencintai aku sepenuh hati.” Ariella menarik napas panjang dan menjawab.“Aku tidak tahu cinta bisa sebesar ini sebelum ketemu kamu.” “Kalau begitu,” bisik Rigen, “biar aku kasih tahu kamu, seberapa besarnya cintaku malam ini.” Setelah mengatakan itu, Rigen membimbing Ariella berdiri, perlahan membuka selimut yang menutupi tubuh mereka. Gaun tipis yang dikenakan Ariella jatuh menyentuh lantai marmer dengan anggun. Cahaya bulan memandikan kulitnya yang hangat, berkilau samar dalam siluet malam. Rigen me