Aku berdiri di ambang pintu, tak tahu harus berbuat apa. Sepatu masih menempel di kaki, mantel belum kulepas. Di hadapanku, Rigen menghilang ke dalam koridor menuju kamar, meninggalkan jejak keheningan yang terlalu tebal untuk kuurai hanya dengan permintaan maaf. Jantungku berdetak tak karuan. Rasanya, seluruh tubuhku dihantam petir yang tak kelihatan—karena bukan Ezra, bukan foto itu, bukan surat nikah itu yang membuatku sesak—tapi wajah Rigen. Tatapannya yang retak, seolah aku bukan lagi tempat yang aman baginya. Aku menaruh mantel di gantungan, lalu melepas sepatu pelan-pelan. Setiap gerakan terasa berat. Aku ingin berlari menyusulnya. Menarik lengannya dan berkata, "Aku tidak memilih dia. Aku hanya takut kamu tidak pernah sepenuhnya milikku.” Tapi aku tahu, Rigen bukan tipe yang bisa disentuh dengan kalimat setengah hati. Ia tajam, terlalu tajam. Dan malam ini, ia sedang terluka karena aku menusukkan keraguan ke tubuh kepercayaannya. Pelan, aku menyusul ke kamar. Lam
Aku menatap layar ponselku cukup lama, seolah berharap kata-kata dalam email itu bisa berubah sendiri. Tapi mereka tetap di sana, seperti jerat yang tak terlihat:> *Tentang masa lalu Rigen... dan alasan sebenarnya kenapa dia menikah diam-diam.*Kata-kata itu terus menggema di kepalaku sepanjang perjalanan pulang. Mobil dinas yang mengantarku terasa lebih sempit malam ini, meski aku duduk sendiri. Di luar jendela, lampu-lampu kota berkelebat seperti bisikan rahasia yang tak sempat kusentuh.Di sisi lain hatiku, ada suara lain yang lebih familiar: suara Rigen, saat ia bilang ingin melindungiku… saat ia berkata aku adalah kelemahan yang akan ia ubah menjadi kekuatan.Tapi kalau benar dia ingin melindungiku… kenapa dia menyembunyikan masa lalunya?Dan lebih dari itu—kenapa Ezra tahu?---Pukul delapan kurang lima belas. Aku berdiri di depan cermin, bimbang. Gaun sederhana berwarna hitam pekat membungkus tubuhku, rambutku diikat rendah. Rapi, tapi tidak mencolok. Aku belum memutuskan apak
Pagi itu, aku datang lebih awal ke kantor. Mungkin karena gugup, mungkin karena semalam aku hampir tidak tidur setelah pengakuan Rigen di atap gedung. Rasanya seperti hidupku bergeser ke jalur baru—jalan yang penuh cahaya, tapi juga terlalu terang untuk seorang istri yang selama ini hidup dalam bayangan.Saat aku sedang menyusun dokumen kampanye baru di ruang meeting kecil, pintu terbuka."Selamat pagi," ujar suara bariton yang mulai familier. Ezra.Aku tersenyum sopan. "Pagi, Pak Ezra."Ia berjalan masuk tanpa diminta. Duduk tepat di kursi sebelahku. Terlalu dekat. Tangannya menumpu ke meja, sedikit condong. Matanya menatap layar laptopku, tapi sudut bibirnya tersenyum pada hal yang lain."Desainnya makin matang. Kamu punya sense estetika yang kuat. Rigen beruntung bisa merekrutmu," katanya santai.Jantungku mencelos sedikit. "Terima kasih. Tapi semua ini hasil kerja tim."Ezra tersenyum, kali ini lebih tipis. “Terlalu merendah justru membuatmu diremehkan, Ariella. Apalagi di perusa
Hari itu belum benar-benar selesai saat aku diminta menghadiri rapat sore bersama Ezra dan beberapa tim pemasaran lain. Aku berusaha menjaga sikap, tetap fokus pada data dan strategi, tapi dari sudut mata, aku bisa merasakan tatapan Ezra yang kadang terlalu lama menempel di wajahku.Dan saat dia dengan santai menyebutkan namaku di tengah presentasinya, menyisipkan pujian pada desain konsep yang kubuat—tanpa nada menggoda tapi cukup menyala—aku tahu, sesuatu akan terjadi malam ini.---Benar saja. Begitu ruangan rapat kosong dan aku bersiap membereskan laptopku, pintu terbuka keras. Rigen berdiri di sana. Matanya menusuk ruangan seperti cahaya X-ray.“Ezra,” katanya datar. “Ada waktu sebentar?”Ezra berdiri perlahan, ragu, lalu mengangguk. “Tentu. Ada yang bisa saya bantu?”“Aku ingin bicara empat mata. Sekarang.”Mereka keluar. Pintu tertutup. Tapi aku tidak bisa duduk tenang. Tak sampai lima menit, suara langkah terdengar kembali. Tapi kali ini, hanya Rigen yang masuk.Dan matanya l
Hari ini terasa berbeda.Sudah seminggu aku bekerja di perusahaan Rigen—atau lebih tepatnya, berpura-pura menjadi karyawan biasa. Selama itu pula aku mencoba menyesuaikan diri dengan tekanan dari manajer yang terang-terangan tidak menyukaiku, kolega yang memandangku setengah percaya, dan fakta bahwa suamiku sendiri tidak bisa menunjukkan siapa aku sebenarnya.Tapi hari ini… hari ini seseorang baru datang.Namanya Ezra.Dia diperkenalkan sebagai konsultan eksternal untuk proyek pemasaran internasional, dan dari detik pertama ia memasuki ruangan, aku tahu dia bukan orang biasa. Bukan hanya karena posturnya tinggi, wajahnya yang maskulin dan senyum percaya diri, tapi karena tatapan pertamanya langsung mengarah padaku. Lama. Dalam. Seperti mengenal sesuatu yang belum ia miliki.Aku berdiri, memberi hormat kecil, menyembunyikan kegugupan dengan senyum formal. Tapi Ezra malah mendekat lebih dulu, mengulurkan tangan lebih cepat daripada siapa pun.“Kamu pasti Ariella,” katanya, suaranya ber
Minggu pertama kerjaku berakhir lebih lambat dari yang kupikir. Tubuhku mungkin sudah di rumah, tapi kepalaku masih tertinggal di meja kantor, bersama aroma dokumen, suara keyboard, dan tatapan Nadine yang menusuk seperti silet tumpul.Langkahku berat menuju kamar. Kaca jendela besar di lorong rumah memantulkan siluetku sendiri—sedikit lebih ringkih dari biasanya. Tapi belum sempat aku membuka pintu kamar, suara dari ruang tamu menghentikanku.“Ada gadis pintar yang baru pulang dari kerja?”Aku mendongak. Di sofa, duduk santai dengan kemeja putih tergulung sampai siku dan celana abu yang tidak formal, ada Rigen. Membolak-balik sebuah buku dengan satu tangan, tangan lainnya memegang cangkir teh yang masih mengepul.“Aku tidak tahu kamu akan pulang malam ini,” kataku, meletakkan tas pelan di atas kursi.Rigen mengangkat bahu. “Aku kangen. Itu alasan yang cukup, kan?”Aku tersenyum tipis. “Kurang profesional. Tapi cukup manis.”Ia menepuk sofa di sebelahnya. “Sini. Duduk. Ceritakan se