Hari ke-96 Workshop: “Menemukan Kembali Jati Diri”.Pagi hari ini, suasana workshop terasa lebih ringan.Setelah 95 hari menyelami luka dan kenangan, hari ini para peserta diajak kembali ke diri mereka sendiri.Pak Dharma membuka sesi:“Kini saatnya melihat bukan hanya apa yang hilang, tetapi juga siapa yang kita temukan dalam diri kita setelah kehilangan.”Pagi: “Menyelam ke Dalam Diri”Para peserta duduk melingkar di halaman belakang yang rindang.Pak Dharma meminta mereka untuk menuliskan:1️⃣ Hal-hal yang mereka rindukan dari hidup mereka sebelum kehilangan.2️⃣ Hal-hal baru yang mereka temukan pada diri mereka setelahnya.Anya menulis:“Aku merindukan tawa Rio, tapi aku menemukan bahwa aku punya kekuatan yang tak pernah kusangka.”Menulis ini seperti menaburkan cahaya di ruang-ruang gelap di hatinya.Siang: “Tarian Kebebasan”Sesi siang ini berbeda.Para peserta diajak untuk menari diiringi musik tradisional Sunda.Tarian ini bukan tentang indahnya gerakan, tetapi tentang kebebas
Hari ke-93 Workshop: Mengalir bersama Kesedihan.Dimulai dengan suasana hati yang syahdu.Aula workshop sengaja didekorasi lebih tenang—hanya ada lilin-lilin kecil dan bunga mawar putih yang terhampar di tengah ruangan.Pak Dharma memulai dengan kata-kata sederhana:“Kesedihan bukan untuk ditolak, tapi untuk dialirkan. Hari ini, kita belajar berdamai dengannya.”Pagi: “Meditasi Air Mata”.Para peserta diajak untuk bermeditasi sambil menyadari emosi yang muncul.Pak Dharma berkata:“Hari ini, biarkan air mata menjadi aliran yang membersihkan hatimu. Biarkan semua yang kau rasakan keluar dengan jujur.”Anya duduk bersila, menarik napas panjang, lalu melepaskan.Di dalam kepalanya, kenangan Rio muncul lagi—wajahnya yang ceria, suaranya yang lembut.Air mata menetes satu per satu, dan Anya membiarkannya mengalir.Tanpa beban, tanpa rasa malu.Siang: “Menulis Surat kepada Kesedihan”.Sesi berikutnya, peserta diminta menulis surat kepada kesedihan mereka.Anya menulis:“Kesedihan, kau datan
Hari ke-90 Workshop: Mencintai yang Hilang.Pagi itu, suasana di aula workshop lebih tenang daripada biasanya.Hari ke-90 menjadi tonggak penting: 10 hari lagi menuju akhir dari 100 hari perjalanan.Para peserta, termasuk Anya, terlihat lebih rileks—seolah-olah mereka telah berdamai dengan banyak hal.Pagi: “Menulis Puisi Kehilangan”.Sesi pagi ini dipandu oleh Mbak Nisa, seorang penyair yang juga pernah mengalami kehilangan mendalam.Ia meminta semua peserta menulis puisi tentang orang yang telah pergi—bukan untuk meratapi, tetapi untuk merayakan cinta yang pernah ada.Anya menulis perlahan, kata demi kata.Puisinya sederhana, tapi penuh kejujuran:Aku pernah menunggumu pulang,Tapi kini aku tahu: kau telah menetap di dalamku.Aku pernah memeluk bayangmu,Tapi kini aku tahu: pelukan itu adalah doaku sendiri.Aku mencintaimu, walau kini hanya lewat udara yang kuhirup.Mbak Nisa membaca beberapa puisi peserta dengan lembut.Suasana aula penuh haru—air mata yang jatuh bukan lagi tanda k
Hari ke-88 Workshop: Menyatu dengan Keheningan.Pagi itu, hujan rintik-rintik turun membasahi jalan setapak menuju ruang utama workshop. Udara terasa sejuk, menenangkan. Anya bangun lebih awal hari ini, merasakan dorongan yang aneh dalam dadanya—seperti ada sesuatu yang menunggu untuk ditemukan dalam keheningan.Pagi: Sesi “Kekuatan Sunyi”.Hari ini, kelas dipandu oleh Bu Ayu, seorang praktisi meditasi yang sudah mengabdikan hidupnya untuk membantu orang menemukan kedamaian batin.Ia memulai sesi dengan kalimat:“Dalam keheningan, kita mendengar suara hati yang sering terabaikan.”Para peserta duduk dalam posisi meditasi, menutup mata, dan membiarkan hening menuntun mereka.Anya merasakan napasnya yang perlahan teratur—masuk dan keluar seperti ombak yang lembut.Bu Ayu membisikkan:“Dengarkan dirimu. Apa yang ingin dikatakan hatimu?”Anya mendengar—bukan dengan telinga, tapi dengan hati.Ada rasa rindu yang dalam. Rindu untuk berdamai dengan semua luka yang pernah ada.Siang: Berjalan
“Hari ke-86 Workshop: Membuka Diri untuk Masa Depan”.Pagi ini, suasana di lokasi workshop masih penuh ketenangan. Anya bangun dengan rasa syukur yang berbeda. Pot kecil berisi bibit yang ditanam kemarin masih berdiri kokoh di meja samping ranjangnya. Ada perasaan damai dan penuh harapan yang perlahan tumbuh.Pagi: Sesi “Membuka Jendela Masa Depan”.Peserta diminta berkumpul di aula terbuka yang menghadap ke taman.Mentor berdiri di depan, membagikan lembaran kertas dan spidol warna-warni.“Hari ini kita akan melukis masa depan. Bukan apa yang kita inginkan secara materi, tapi apa yang ingin kita rasakan di masa depan.”Latihan Visualisasi.Anya menutup mata, membiarkan suara alam sekitar menjadi latar.Ia membayangkan:Dirinya yang bisa tersenyum tulus.Kehidupan sederhana tapi penuh cinta.Rumah kecil yang dipenuhi tanaman hijau dan suasana damai.Sebuah pekerjaan yang membuat hatinya bahagia dan berguna bagi orang lain.Mentor kemudian meminta peserta menuangkan gambaran itu di ke
Workshop Kreatif: Seni Rasa Syukur.Di akhir sesi, para peserta diajak menulis surat cinta untuk diri sendiri, tentang betapa berharganya mereka.Anya menulis:“Anya sayang, aku bangga padamu. Terima kasih sudah bertahan, sudah mencari hal-hal yang indah, sudah mau membuka hatimu lagi.”Refleksi Penutup.Mentor berkata:“Hari ini, simpan rasa syukurmu seperti bunga yang kamu rawat. Biarkan mekar, biarkan wangi.”Anya memejamkan mata dan menghela napas panjang.Untuk pertama kalinya, ia merasa kebahagiaan itu sederhana, tak lagi jauh.Hari ke-83 menjadi momen di mana Anya mulai menyadari: hidupnya, meski berubah, masih penuh keindahan. 🌸✨*** “Hari ke-84 Workshop: Menari dengan Luka”.Pagi itu, langit Banten yang kelabu tak membuat suasana hati Anya murung. Justru ada semangat aneh yang muncul, seperti nyala api yang perlahan bangkit.Workshop hari ini mengambil tema: “Menari dengan Luka”.Pagi: Pembukaan yang Hangat.Mentor membuka sesi dengan musik lembut. Ia berkata:“Luka di hati