Anya menggigit bibirnya. Dia tahu, setelah ini tidak akan ada jalan kembali. Tapi dia butuh jawaban.Anya: "Gue mau tahu."Reza menatapnya lama, lalu menghela napas.Reza: "Gue bukan orang baik, Anya. Banyak hal yang nggak bisa gue ceritain ke lo. Tapi kalau lo tetap maksa, gue kasih sedikit clue."Anya mengangguk pelan.Reza: "Lo tahu gue anak orang kaya. Tapi gue gak pernah cerita gimana cara keluarga gue dapetin semua itu."Anya menelan ludah.Anya: "Maksud lo?"Reza melirik sekeliling, lalu merendahkan suaranya.Reza: "Dunia bisnis itu kotor, Anya. Lebih banyak permainan di belakang layar daripada yang lo bayangin."Anya mulai merasa ada yang aneh.Anya: "Lo bilang kayak gitu karena lo pernah terlibat?"Reza tersenyum miring.Reza: "Gue gak sepolos yang lo kira. Gue pernah ngalamin hal yang mungkin bakal bikin lo mikir ulang buat dekat sama gue."Anya mengerutkan kening.Anya: "Lo ngomong seakan-akan lo penjahat."Reza tertawa pelan, tapi tidak ada humor di matanya.Reza: "Bisa di
Anya tiba di restoran Rio dengan langkah mantap, meski hatinya masih penuh tanda tanya. Malam ini restoran tampak lebih sepi dibanding biasanya. Hanya ada beberapa pelanggan yang duduk di sudut-sudut, menikmati makan malam mereka.Rio sudah menunggu di salah satu meja dekat jendela. Begitu melihat Anya, dia melambaikan tangan."Gue pesan teh hangat buat lo," kata Rio begitu Anya duduk. "Kelihatan lo butuh sesuatu yang nenangin."Anya menatapnya curiga. "Mau ngomong apa?"Rio menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke kursi. "Lo pernah denger nama Larasati, kan?"Anya langsung siaga. "Sering. Tapi nggak pernah ketemu orangnya. Siapa dia sebenarnya?"Rio menggulirkan jemarinya di atas meja, tampak ragu sebelum akhirnya bicara. "Larasati itu... dulu pacarnya Reza."Jantung Anya serasa berhenti berdetak sesaat. "Apa?"Rio mengangguk. "Dan lebih dari itu, dia juga anaknya mamiku."Otak Anya berusaha memproses informasi ini. "Jadi... dia adik tiri lo?""Iya." Rio menghela napas lagi. "T
Ponsel Anya bergetar di atas meja kafe, menampilkan nama Reza di layar. Anya melirik sekilas ke arah El sebelum mengangkat teleponnya."Halo?" suara Anya terdengar santai, tetapi ada sedikit ketegangan."Kamu di mana?" suara Reza terdengar dalam dan tajam."Di kafe.""Sama siapa?"Anya menghela napas. "Aku lagi ngobrol sama El."Hening. Beberapa detik berlalu tanpa jawaban, lalu terdengar tarikan napas panjang dari Reza. "Kenapa kamu ketemu dia?"El mengangkat alis, sepertinya bisa menebak situasinya. Anya menjauhkan ponsel sedikit dari telinga, merasa suasana mulai berubah."Dia cuma cerita sesuatu. Bukan urusan besar.""Bukan urusan besar?" suara Reza sedikit meninggi. "Anya, dia pria yang pernah masuk penjara karena kasus kekerasan."Anya menggigit bibir. "Aku tahu, aku juga bukan anak kecil. Aku bisa jaga diri.""Dengar, aku nggak suka kamu sendirian sama dia."Anya memutar matanya. "Oh? Sejak kapan kamu punya hak buat atur siapa yang bisa aku temui?""Sejak aku peduli sama kamu."
Sesampainya di parkiran apartemen, Reza turun lebih dulu dan melepas helmnya. Anya mengikuti, melepaskan helm dan menyerahkannya pada Reza."Terima kasih sudah mengantarku," kata Anya, mencoba meredakan ketegangan.Reza menerima helm itu tanpa menjawab. Matanya masih tajam menatap Anya. "Kamu nggak akan ketemu El lagi, kan?"Anya mendesah. "Aku nggak bisa janji, Reza. Dia teman lama.""Teman lama yang punya kasus hukum. Kamu sendiri yang bilang kamu nggak suka red flag, kan?"Anya terdiam. Reza punya poin di situ.Tapi tetap saja, cara Reza mengontrolnya seperti ini membuatnya tidak nyaman. "Aku tahu kamu khawatir, tapi kamu nggak bisa maksa aku buat menjauhi seseorang."Reza mengusap wajahnya, tampak frustrasi. "Aku nggak maksa. Aku cuma..." Ia berhenti sejenak, seolah menahan diri. "Aku cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa."Anya menatapnya lama. "Jadi ini karena kamu peduli?"Reza mendekat, hanya beberapa inci dari wajah Anya. Suaranya lebih rendah saat ia berkata, "Apa menurutmu aku
Anya menghela napas panjang saat melihat ponselnya. Ada tiga agenda penting hari ini, El ingin bertemu sebelum kembali ke Singapura, Reza kemungkinan akan menunggunya di apartemen, dan booth tarot di restoran Maminya Rio tetap harus berjalan.Pilihannya sulit. Tapi dia harus menjalani semuanya.---Siang - Pertemuan dengan ElAnya duduk di salah satu sudut kafe, menunggu El yang tak lama kemudian datang dengan senyum tipis.El: "Aku senang bisa ketemu kamu lagi, Anya."Anya: "Aku juga, El. Jadi, apa yang mau kamu bicarakan sebelum balik?"El menatapnya sejenak, lalu menghela napas.El: "Aku tahu aku punya masa lalu yang buruk. Kasus itu... Aku nggak bisa membuktikan kalau aku nggak bersalah. Media langsung menghukumku sebelum pengadilan memutuskan."Anya mendengarkan dengan hati-hati.Anya: "Lalu, sekarang apa rencanamu?"El: "Aku ingin menata ulang hidupku. Tapi sebelum itu... Aku ingin tahu, Anya. Apa kamu percaya aku bersalah?"Anya terdiam. Matanya bertemu dengan tatapan El yang p
Anya menatap layar ponselnya, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Pesan dari nomor tak dikenal itu terasa seperti ancaman tersembunyi."Jangan cari tahu lebih jauh. Ini peringatan."Siapa yang mengirimnya? Apakah ini terkait dengan Larasati? Atau seseorang dari masa lalu Reza?Rio yang melihat perubahan ekspresi Anya segera bertanya.Rio: "Kenapa? Ada sesuatu?"Anya ragu sejenak sebelum menunjukkan pesan itu pada Rio. Matanya menyipit saat membaca pesan itu, lalu ia mendesah.Rio: "Aku tahu ini pasti akan terjadi."Anya: "Apa maksudmu?"Rio: "Mami selalu mengatakan bahwa rahasia yang terlalu lama terkubur akan menuntut untuk terungkap. Dan sekarang, seseorang tahu kalau kita mulai mencari tahu."Anya menggigit bibirnya. Firasat buruknya semakin kuat.Anya: "Menurutmu siapa yang mengirim pesan ini?"Rio: "Bisa siapa saja. Bisa seseorang dari keluarga Reza, bisa juga seseorang yang masih terhubung dengan Larasati."Anya terdiam. Kepalanya terasa penuh dengan pertanyaan yang b
Di bawah langit malam yang temaram, Reza dan Anya duduk berdua di balkon apartemen Reza. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, membawa ketegangan yang semakin terasa nyata.Reza menatap Anya dengan mata yang sulit diartikan, antara ragu, ingin, dan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ketertarikan.Reza: "Anya... aku nggak bisa bohong lagi. Aku punya perasaan ke kamu."Anya yang tengah menyesap teh hangat hampir tersedak. Ia menatap Reza dengan ekspresi tidak percaya.Anya: "Apa?"Reza tersenyum kecil, seolah melihat ekspresi terkejut Anya adalah sesuatu yang menyenangkan.Reza: "Aku suka kamu, Anya. Bukan cuma iseng atau main-main. Aku tahu ini membingungkan, dan aku nggak maksa kamu buat ngerasain hal yang sama."Anya terdiam. Hatinya berkecamuk. Ia memang merasakan sesuatu yang berbeda ketika bersama Reza. Ada ketertarikan yang tidak bisa ia abaikan, ada debaran yang lebih dari sekadar teman biasa.Anya: (menghela napas) "Jujur, aku juga ngerasa sesuatu yang nggak biasa kalau sa
Setelah kejadian tadi, Anya masih merasakan hangatnya sentuhan Reza di keningnya. Perasaannya campur aduk, antara bahagia, bingung, dan sedikit takut. Ia tahu ada sesuatu yang nyata di antara mereka, tetapi apakah ia siap untuk menerimanya?Saat mereka berjalan keluar dari kafe, Reza tetap di sisinya, sesekali mencuri pandang ke arah Anya yang masih diam.Reza: (sambil memasukkan tangan ke saku celana) "Kamu masih kepikiran?"Anya menoleh, menatap pria itu dengan tatapan yang sulit ditebak.Anya: "Apa maksudmu?"Reza menyeringai kecil.Reza: "Tentang kita."Anya menghela napas. Ia ingin menjawab, tapi bibirnya terasa kaku. Ia bahkan belum benar-benar memahami perasaannya sendiri.Melihat itu, Reza tiba-tiba meraih tangan Anya, menggenggamnya lembut.Reza: (suara dalam dan tenang) "Aku nggak akan memaksamu, Anya. Tapi aku juga nggak mau kamu terus-terusan lari dari perasaanmu sendiri."Anya menatap tangan mereka yang saling bertaut. Ada getaran hangat yang mengalir, mengusik pertahanan
Kilatan cahaya samar muncul di antara asap dupa yang mulai menebal. Anya menahan napas saat simbol-simbol samar mulai muncul di permukaan meja altar—seperti ukiran cahaya yang menari-nari, membentuk pola yang belum pernah ia lihat sebelumnya.Reza mencondongkan tubuh. “Apa itu? Seperti kode…”All mengangguk pelan. “Itu bukan sembarang simbol. Itu adalah bahasa cahaya, kode dari leluhur spiritual yang hanya bisa dibaca oleh penjaga garis darah tertentu.”Anya mengusap pelan satu simbol yang paling terang, jari-jarinya seperti kesetrum energi hangat. Dalam sekejap, bayangan muncul di benaknya—gambar seorang perempuan berpakaian putih duduk di bawah pohon besar, dikelilingi burung dan cahaya.“Itu… nenekku?” Anya menatap All. “Aku pernah lihat foto ini waktu kecil.”All menjawab, “Dia salah satu penjaga pertama gerbang cahaya dari garis keturunanmu. Ia menyimpan kekuatan itu sampai waktunya datang untuk diturunkan padamu.”“Dan waktunya sekarang?” tanya Reza.Anya menarik napas dalam. “K
Malam itu, Anya tertidur dengan kepala penuh pertanyaan, namun hatinya lebih tenang daripada malam-malam sebelumnya. Ada sesuatu dalam sorot mata All—campuran rasa bersalah, perlindungan, dan keyakinan—yang membuat Anya merasa dijaga.Dalam tidurnya, Anya kembali ke sebuah tempat yang pernah ia lihat dalam mimpi: hutan berkabut, danau hitam, serta sebuah batu besar bertuliskan simbol kuno. Kali ini, ia tidak sendiri. Sosok Larasati berdiri di seberang danau, mengenakan gaun putih yang diterpa angin."Aku tahu kamu akan ke sini lagi," suara Larasati menggema lembut. "Sudah waktunya kamu membuka kunci itu.""Kunci apa?" tanya Anya.Larasati mengangkat tangan dan menunjuk ke batu. Tiba-tiba, batu itu memendar cahaya keemasan, membentuk pola-pola aneh yang berkilau. Anya mendekat dan menyentuhnya. Begitu jarinya menyentuh permukaan, cahaya mengalir masuk ke tubuhnya—hangat, kuat, dan tak terbendung."Apa ini?" Anya terengah."Pengetahuan. Kebenaran. Dan kekuatan dari garismu."Dalam sekej
Anya menahan napas. Matanya terpaku pada pria bertudung yang perlahan melangkah masuk ke dalam ruang bawah tanah. Cahaya redup dari senter yang digenggam Reza menyorot wajahnya—nyaris identik dengan El, namun ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya lebih tajam, lebih dingin, namun ada luka mendalam di balik senyumnya.“All?” tanya Anya lagi, suaranya nyaris berbisik.Pria itu mengangguk pelan. “Aku... adalah bayangan yang mereka sembunyikan. Saudara yang dilupakan. Dan kau, Anya... kau terlalu dalam masuk ke pusaran yang mereka bangun bertahun-tahun.”Reza maju selangkah, melindungi Anya secara refleks. “Apa maksudmu? Kau tahu tentang kematian Larasati?”All menghela napas. “Aku tahu segalanya. Larasati... dia adik tiriku. Dia tahu kebenaran tentang siapa Nathan sebenarnya. Dia tahu bahwa kami berdua—aku dan El—bukan hanya anak asuh. Kami adalah bagian dari ritual... eksperimen spiritual yang dibangun oleh Nathan dan para leluhur yang terobsesi dengan ilmu gelap.”Anya terdiam. Dunia yan
Dengan ragu, ia membukanya.Isinya adalah beberapa surat tua... dan satu jurnal kulit yang diikat dengan tali. Di sampulnya tertulis dengan tinta emas:"Milik: N.""Nathan " bisik Anya.Reza mendekat. "Ini... bisa jadi rahasia yang Larasati tahu."Anya membuka halaman pertama.Dan di sana tertulis:"Hanya yang terpilih bisa membuka kebenaran. Siapa pun yang membaca ini, bersiaplah menghadapi sisi tergelap dari cahaya."***Halaman-halaman awal jurnal Nathan dipenuhi dengan catatan yang nyaris seperti mantra. Tinta emasnya memudar, namun tiap baris memancarkan energi yang sulit dijelaskan. Anya merasakannya seperti arus listrik lembut yang mengalir di ujung jarinya.Reza duduk di sampingnya, menatap dengan tatapan tajam. “Kau yakin mau baca semuanya sekarang?”Anya mengangguk. “Larasati mati karena ini. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya ia temukan.”Ia membuka halaman ketiga belas. Di sana terdapat diagram kompleks, berisi lingkaran dan segitiga bertumpuk, dengan nama-nama kuno tertul
Malam itu, setelah kembali ke apartemen, Anya tidak bisa tidur. Tubuhnya terbaring di kasur, namun pikirannya terus melayang. Wajah Nathan, Larasati, El, All, dan... Reza—semuanya saling bersilangan dalam benaknya.Ia memejamkan mata, mencoba meditasi ringan. Tapi yang datang justru bukan ketenangan, melainkan mimpi yang aneh dan terasa sangat nyata.Dalam mimpinya, Anya berdiri di tengah hutan berkabut. Di hadapannya ada sebuah pintu berdiri sendiri, tak tertempel pada dinding mana pun. Pintu kayu tua, sama persis seperti yang ia lihat di rumah tua El.Suara Larasati terdengar samar, memanggil namanya dari balik pintu.“Anya… kamu harus lihat ini… sebelum semuanya terlambat.”Dengan tangan gemetar, Anya mendorong pintu itu. Ia masuk dan mendapati sebuah ruangan berbentuk bundar dengan cermin besar di dinding. Dalam cermin, ia melihat bukan dirinya… tapi Nathan muda, bersama seorang perempuan—ibunya Anya.Mereka berbicara serius. Lalu, ibunya menyerahkan sebuah kalung dengan batu hita
Sebuah foto gelap, agak buram. Tampak seorang laki-laki berdiri di depan pintu apartemen lantai 12. Pintu apartemennya.Anya menahan napas.Bukan Reza.Bukan Rio.Dan bukan siapa pun yang ia kenal.Ia segera beranjak dari meja, meraih tas, lalu melangkah cepat keluar dari booth-nya. Tapi langkahnya terhenti saat seseorang berdiri di hadapannya—All.“All?” Anya hampir tak percaya.Namun All hanya menatapnya dengan mata tajam dan berkata pelan, “Kamu harus tahu… ini belum berakhir.”***Anya terpaku. Kalimat All seperti pisau yang perlahan menembus kulit kesadarannya."Kamu harus tahu… ini belum berakhir."“All… kamu maksud apa?” tanya Anya, suaranya bergetar antara marah dan takut.All menatap sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar mereka, lalu menarik tangan Anya ke sudut lorong dekat tangga darurat. Bayangan neon restoran tak menjangkau tempat itu, hanya sisa cahaya dari papan iklan yang bergetar samar di dinding.“Selama ini kamu pikir kamu sudah mengenal El… tapi El tidak pe
“Kau harus menghadapi pilihan terdalam dalam dirimu. Siapa yang benar-benar kau percaya? Dan… siapa dirimu sebenarnya.”Seketika, salah satu cermin pecah, dan El muncul dari pecahan itu. Ia menatap Anya dengan mata penuh luka.“Aku selalu ada untukmu,” ujar El. “Dari awal, aku yang mendekatimu… bukan dia.”“Tapi aku juga bagian dari yang kau cintai,” potong All. “Kau tahu itu di hatimu.”Lorong itu mulai bergetar, dan lantainya retak. Cermin-cermin lain mulai menunjukkan masa depan yang berbeda—satu di mana Anya bersama El, damai namun penuh misteri. Satu lagi di mana ia bersama All, kuat namun penuh risiko.“Pilih sekarang!” gema suara dari langit-langit Ruang Bayangan.Anya menutup matanya. Ingatan demi ingatan melintas… semua rasa sakit, semua kehangatan, semua kebingungan. Tapi di tengah semua itu, ia tahu: bukan hanya tentang memilih siapa. Tapi tentang menerima semua sisi dalam dirinya—termasuk sisi bayangan.“Aku memilih untuk menyatukan kalian,” katanya tegas. “Aku tidak akan
Anya melangkah perlahan mendekati lemari besi yang menganga. Jantungnya berdetak cepat, seolah memberi isyarat bahwa apa pun yang ada di dalam sana… bisa mengubah segalanya.Adrian menyorotkan senter ke dalam. Rak-rak logam berlapis debu menampung tumpukan map tua, berkas, dan kotak kecil berlabel simbol aneh—tanda okultisme yang pernah Anya lihat di salah satu kartu tarot kuno.Di tengah, ada satu kotak kayu berwarna merah darah.Anya menarik napas dalam-dalam dan membuka kotak itu.Isinya:Sebuah liontin berlambang mata ketigaSurat tangan dengan tinta hitam, terbaca:“Untuk Anya, jika kamu membaca ini, maka kamu sudah berada di tengah lingkaran. Jangan percaya siapapun, bahkan dirimu sendiri.”Satu kartu tarot yang tak pernah Anya miliki sebelumnya. Tidak termasuk dalam 78 kartu mayor maupun minor. Bergambar dua anak perempuan yang saling berhadapan dengan cahaya menyinari dari atas.“Ini... bukan kartu biasa,” bisik Anya. “Seperti… dibuat khusus.”Adrian membaca pelan tulisan di b
Anya berdiri di tengah ruang meditasi tua yang dulu pernah digunakan Larasati di pusat pelatihan spiritual Nathan. Udara di dalam ruangan itu dingin, meski siang matahari menyengat di luar. Lantainya dari kayu gelap yang sudah sedikit lapuk. Tak ada siapa-siapa. Hanya Anya, senter kecil, dan rasa berdebar di dadanya.Ia ingat ucapan Adrian: "Larasati pernah bilang ada sesuatu yang dikubur di bawah papan lantai ruang itu."Dengan hati-hati, Anya menelusuri papan demi papan. Tangannya menyapu permukaan kayu yang berdebu. Lalu... klik. Suara aneh dari salah satu papan. Ia dorong dengan pelan. Papan itu terangkat, memperlihatkan rongga kecil... dan sebuah kotak besi tua di dalamnya.Jantung Anya berdegup kencang. Ia mengangkat kotak itu—berat. Ada kunci kombinasi. Tapi stiker kecil yang menempel di sisi kotak membuat matanya terbelalak."KODE: 170384"Tanggal lahirku…? pikir Anya, bingung. Ia memutar kombinasi itu—dan klik—kotak terbuka.Isinya: foto-foto lama, surat tangan, dan flashdisk