Anya mengabaikan ketukan di pintu apartemennya. Jantungnya masih berdegup kencang setelah hasil bacaan sebelumnya, tapi dia tahu harus melanjutkan.Tangannya kembali meraih kartu tarot. Kali ini, pertanyaannya lebih spesifik.Anya (berbisik): "Siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kematian Larasati?"Dia menutup mata sejenak, menarik napas dalam, lalu mulai mengocok kartu. Energi di sekitarnya terasa semakin berat.Akhirnya, dia menarik tiga kartu.Kartu Pertama: The DevilAnya menatap kartu itu dengan napas tertahan. The Devil adalah simbol manipulasi, obsesi, dan keterikatan yang berbahaya.Anya (mengerutkan kening): "Seseorang terobsesi dengan Larasati… seseorang yang mungkin memiliki niat buruk sejak awal."Orang itu mungkin mengendalikan Larasati atau bahkan mempermainkannya sebelum tragedi terjadi.Kartu Kedua: The ChariotSebuah kartu yang melambangkan kontrol, determinasi, dan ambisi besar.Anya (berpikir keras): "Seseorang dengan kendali kuat… seseorang yang mengarahka
Siang itu, restoran milik Maminya Rio cukup ramai. Booth tarot yang dijaga Anya menarik perhatian beberapa pelanggan yang penasaran. Anya sudah menangani beberapa pembacaan, hingga seorang pria masuk dan duduk di hadapannya.Pria itu mengenakan kemeja hitam, dengan jam tangan mahal yang mencolok di pergelangannya. Rambutnya rapi, dan sorot matanya tajam, seolah menilai Anya sebelum ia berbicara.Pria: "Aku ingin konsultasi."Anya mengangguk, mulai mengocok kartu tarotnya.Anya: "Silakan pikirkan pertanyaan yang ingin bapak ajukan."Pria itu tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa dingin.Pria: "Aku tidak percaya tarot, tapi aku penasaran sejauh mana kamu bisa membaca masa depan seseorang."Nada suaranya mengandung tantangan. Anya tetap tenang, lalu menarik tiga kartu dan meletakkannya di atas meja.Anya: "Kita lihat apa yang kartu ini katakan."Matanya menelusuri kartu yang terbuka: The Moon, The Devil, dan The Tower.Anya merasakan hawa aneh. Kartu-kartu ini menggambarkan kebingunga
Anya melangkah mundur dengan hati berdebar. Rio tidak pernah membentaknya seperti ini sebelumnya. Ada sesuatu yang dia sembunyikan, sesuatu yang tidak ingin dia bicarakan."Baiklah, aku pergi," ujar Anya akhirnya, mencoba menahan emosi.Rio menutup pintu dengan cepat, meninggalkan Anya dengan lebih banyak pertanyaan di kepalanya.Saat berjalan menjauh dari rumah Rio, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:"Berhenti mencari tahu tentang Larasati. Itu berbahaya."Anya merasakan bulu kuduknya meremang. Siapa yang mengirim pesan ini? Dan bagaimana orang itu tahu bahwa dia sedang menyelidiki kematian Larasati?Dia segera membalas pesan itu: "Siapa ini?"Tidak ada balasan.Anya mempercepat langkahnya menuju apartemen. Pikirannya terus berputar, mencoba menghubungkan semua petunjuk yang dia temukan sejauh ini.Nathan, Tante Sisca, Reza, dan sekarang Rio yang tiba-tiba menghindar. Semuanya seperti memiliki bagian dari teka-teki ini.Saat tiba di apartemen, dia langsung
Anya duduk di apartemennya, menatap foto-foto Nathan yang diberikan Rio. Pikirannya berputar cepat. Jika Nathan memang masih ada di sekitar, kenapa dia tidak muncul di hadapan mereka?Ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:"Berhenti mencari atau kamu akan menyesal."Anya merasakan bulu kuduknya meremang. Tangannya spontan mengetik balasan, tetapi ragu-ragu sebelum mengirimnya.Siapa yang mengirim ini? Apakah ada hubungannya dengan Nathan? Ataukah seseorang yang ingin menyembunyikan kebenaran?Sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, ponselnya kembali bergetar. Kali ini panggilan masuk dari Reza."Anya, aku di bawah. Buka pintu," suara Reza terdengar sedikit tegang.Anya segera beranjak, membuka pintu apartemennya. Reza berdiri di sana dengan ekspresi serius."Kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil menatap Anya lekat.Anya mengangguk pelan. "Aku baru saja dapat pesan aneh."Reza meraih ponselnya, membaca pesan tersebut, lalu mendengus pelan. "Sepertinya ad
Reza menatap Anya tanpa berkedip, seolah memastikan bahwa yang ia lihat di matanya bukan sekedar bayangan keinginan sesaat. Jemarinya tetap menggenggam erat tangan Anya, memberi kesempatan untuk mundur jika memang itu yang diinginkannya. Tapi tidak ada penolakan. Tidak ada gerakan menjauh.Anya menarik napas dalam, merasakan jantungnya berdetak liar di dada. Tubuhnya terasa panas, bukan hanya karena jarak mereka yang begitu dekat, tetapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam—sesuatu yang selama ini ia tekan, tetapi malam ini tidak bisa lagi ia abaikan."Reza..." suara Anya nyaris bergetar.Reza mengangkat tangannya, menangkup wajah Anya dengan lembut. "Aku di sini, Anya."Dan sebelum Anya bisa membalas, bibirnya sudah diselimuti kehangatan. Reza menciumnya dalam, perlahan tapi penuh gairah. Tangannya merayap ke pinggang Anya, menariknya lebih dekat hingga tak ada lagi ruang tersisa di antara mereka.Anya kehilangan kendali, tangannya terangkat sendiri, melingkar di leher Reza, membalas
Setelah selesai makan, Reza menatap Anya dengan penuh kelembutan. Tatapan itu begitu dalam, seolah ingin mengukir setiap detik kebersamaan mereka di dalam ingatannya."Kamu bahagia?" tanya Reza, suaranya lembut namun penuh ketegasan.Anya tersenyum tipis, hatinya terasa hangat. "Aku... merasa tenang."Reza mendekat, tangannya mengusap lembut pipi Anya. "Kalau begitu, jangan pergi ke mana-mana. Tetap di sisiku."Anya menatapnya, menemukan kejujuran dalam sorot mata pria itu. Ia mengangguk pelan, lalu bersandar di dada Reza, menikmati momen kebersamaan yang terasa begitu berharga.Malam itu, mereka hanya duduk berdampingan, menikmati keheningan yang terasa begitu hangat. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan, karena dalam diam, mereka telah menemukan kebahagiaan.**Anya berbaring di atas kasur, masih merasakan hangatnya genggaman Reza. Tatapan pria itu begitu dalam, seolah ingin menyelami setiap inci dari perasaan yang kini menghubungkan mereka.Reza berbaring di sampingnya, satu le
Reza semakin tidak bisa menahan diri. Nafasnya memburu, matanya menatap Anya dengan penuh gairah yang tak tertahankan. Anya merasakan getaran panas di tubuhnya saat Reza semakin mendekat, menariknya lebih erat ke dalam pelukannya."Anya..." suara Reza serak, napasnya hangat di kulit Anya.Anya hanya bisa menggigit bibirnya, matanya berbinar dengan perasaan yang semakin membara. Jantungnya berdebar keras saat Reza mulai mempercepat gerakannya, menyapu setiap inci tubuhnya dengan penuh kepemilikan."Reza..." bisik Anya dengan suara bergetar, tangannya mencengkeram punggung Reza, merasakan setiap otot yang menegang di bawah jemarinya.Reza semakin dalam, semakin cepat, seolah tidak ingin ada jarak di antara mereka. Anya merasakan sensasi yang begitu intens, membuatnya semakin larut dalam gelombang yang tak terbendung. Ia mencengkram erat lengan Reza, mendekatkan wajahnya ke dada pria itu, menikmati kehangatan dan kekuatan yang menyelimuti dirinya.Gerakan mereka berpadu dalam ritme yang
Malam itu, Anya berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Ia mengenakan gaun hitam sederhana, tetapi cukup elegan. Rambutnya ia biarkan terurai, sedikit bergelombang. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya malam ini—perasaan yang bercampur antara harapan dan ketakutan.Ponselnya bergetar. Pesan dari Reza: "Aku sudah di sini. Aku tunggu."Anya menghela napas panjang sebelum mengambil tasnya dan melangkah keluar.Restoran tempat mereka biasa bertemu tidak terlalu ramai. Cahaya lampu remang-remang menciptakan suasana intim. Reza sudah duduk di meja pojok, mengenakan kemeja putih dengan lengan sedikit digulung. Ia terlihat santai, tetapi sorot matanya tajam, seakan menyelami pikiran Anya sejak ia masuk.Saat Anya duduk, Reza langsung menatapnya dalam."Kamu cantik malam ini," katanya pelan.Anya tersenyum tipis. "Terima kasih. Kamu juga terlihat... serius."Reza menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Karena aku memang ingin bicara serius."Anya memainkan ujung serbet di pangkuannya. "T
Sore itu, langit mendung menggantung di atas kota. Suasana tegang melingkupi ruang kerja Pak Bagas saat mereka merencanakan pertemuan dengan El.“Lokasinya di gudang kosong dekat pelabuhan Sunda Kelapa,” kata Pak Bagas, meletakkan ponselnya di meja setelah percakapan dengan El berakhir.Reza mengernyit. “Tempat itu terlalu sepi. Kalau ini jebakan, Pak Bagas bisa dalam bahaya.”Anya menatap peta yang dibentangkan Rio. "Kalau kita posisikan tim di tiga titik pengawasan ini, kita bisa pantau area tanpa El menyadari," usulnya sambil menunjuk lokasi strategis.Rio mengangguk setuju. “Aku akan pimpin tim pengintai. Reza, kamu jagain Anya.”Reza melirik Anya dengan tatapan lembut namun penuh tekad. “Aku nggak akan jauh darimu.”Beberapa jam kemudian, saat senja mulai jatuh, mereka bergerak ke lokasi. Pak Bagas masuk lebih dulu ke dalam gudang tua yang nyaris runtuh, sementara Reza, Rio, dan Anya bersembunyi di jarak aman, memantau dari teropong kecil.El sudah menunggu di dalam, wajahnya puc
Di sudut parkiran, El duduk di dalam mobil hitam dengan kaca gelap. Wajahnya pucat dan tegang. Ia memandangi foto Anya yang tergeletak di kursi penumpang, lalu menatap ponselnya yang tak berhenti bergetar. Nama Nathan muncul di layar.Dengan ragu, El menjawab panggilan itu."Aku tahu kau bertemu mereka, El," suara Nathan terdengar dingin di seberang. "Jangan lupa siapa yang membesarkanmu, siapa yang membayarmu selama ini. Kau tahu apa yang harus kau lakukan."El terdiam beberapa detik, lalu menjawab pelan, "Aku tak akan membiarkan mereka menghancurkan kita. Tapi… aku tidak akan sakiti Anya."Panggilan terputus. El menghela napas panjang dan menutup matanya, jelas gelisah. Kenangan masa kecilnya bersama Larasati, kembarannya All, dan keterlibatannya dalam jaringan Nathan kembali terlintas di benaknya.Sementara itu, di apartemen Anya, Reza dengan sigap memeriksa setiap sudut ruangan, memastikan tak ada alat penyadap atau kamera tersembunyi. Anya memandangi pria itu dengan hati yang han
Keesokan paginya, matahari Bali menyinari lembut balkon kamar penginapan Anya dan Reza. Suasana masih hening, hanya suara ombak yang terdengar samar dari kejauhan. Anya duduk di kursi rotan, matanya menatap kosong laut biru, pikirannya terus memutar kata-kata Guru Adarma.Reza keluar dari kamar membawa dua cangkir kopi hangat. Ia menyerahkan satu ke Anya, lalu duduk di sampingnya. “Masih kepikiran soal El dan Rio?”Anya mengangguk pelan. “Aku merasa semuanya belum selesai, Za. Perasaan aku nggak tenang.”Reza menarik napas dalam. “Kita selesaikan satu per satu, pelan-pelan. Kita sudah jauh sampai sini, Anya. Kita harus tetap kuat.”Tiba-tiba ponsel Anya bergetar. Pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal. “Kalau kau ingin tahu siapa sebenarnya El dan keterkaitannya dengan Nathan, temui aku di kafe dekat apartemenmu, sepulang dari Bali.”Anya menunjukkan pesan itu pada Reza. Ia mengernyit curiga. “Kita harus hati-hati. Jangan-jangan jebakan.”Anya menggigit bibir. “Tapi kalau benar ad
Anya dan Reza saling bertukar pandang, kegelisahan mulai meresap. "Jadi, ini sudah waktunya," kata Anya, suaranya tenang meskipun ketakutan merayapi hatinya."Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain maju," jawab Reza, sambil menatap El yang sejak tadi diam. "El, apa yang kamu tahu tentang Rio? Dia lebih terlibat dalam permainan ini daripada yang kita kira."El yang sedari tadi terdiam, kini melangkah mendekat, matanya penuh keseriusan. "Rio… dia selalu ada di sekitar Nathan. Tapi aku rasa dia lebih dari sekadar sekutu. Aku pernah mendengar Nathan berbicara tentang Rio sebagai seseorang yang bisa ‘menyelesaikan pekerjaan kotor’. Itu berarti, kita menghadapi lebih dari sekadar ancaman biasa."Anya mengangguk, mengerti. "Jadi, kita harus memutar otak. Aku tidak akan menyerahkan apapun pada mereka."Reza menggenggam tangan Anya dengan erat. "Kita akan bertindak lebih cepat. Jika kita terus menunda, mereka akan lebih dulu bergerak."Malam itu, setelah pertemuan yang panjang, mereka me
Guru Adarma melangkah masuk dengan tenang. Tatapannya dalam, seolah bisa membaca pikiran Anya, Reza, dan El hanya dengan melihat sorot mata mereka. Ia duduk di kursi rotan dekat jendela, mengeluarkan sebuah map kulit tua yang terlihat usang.“Apa yang saya pegang ini,” ucapnya sambil meletakkan map di atas meja, “adalah salinan dokumen yang selama ini dicari Nathan dan orang-orangnya. Larasati sempat menyerahkannya padaku sebelum kecelakaan itu.”Anya membungkuk, jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat membuka map tersebut. Di dalamnya ada salinan kontrak, rekening transfer ilegal, serta catatan rahasia tentang penyelundupan data yang melibatkan beberapa perusahaan besar.Reza memicingkan mata, membaca cepat isi dokumen. “Ini… bisa menghancurkan Nathan. Bukti ini cukup kuat untuk menyeret dia ke pengadilan.”Guru Adarma mengangguk pelan. “Benar. Tapi ada syaratnya, Anya.”Anya menegakkan badan, menatap Guru Adarma dengan tatapan penuh tanya.“Kau harus memastikan dokumen i
Sementara itu, di balik pepohonan, El berdiri diam. Dadanya berdegup kencang. Melihat Anya begitu tenang bersama Reza membuat hatinya berkonflik. Tugasnya jelas—mengambil kembali dokumen yang disimpan Anya dan memastikan Anya tidak akan membocorkan rahasia jaringan mereka. Tapi bayangan untuk menyakiti Anya membuatnya bimbang.“Fokus, El,” gumamnya sendiri, mencoba mengusir keraguan.Malam harinya, di penginapan sederhana yang mereka tempati, Anya memutuskan untuk melakukan meditasi lebih dalam. Ia menyalakan lilin dan duduk bersila, mencoba membaca energi siapa yang sebenarnya mengintai mereka.Dalam penglihatannya yang hening, bayangan sosok El muncul. Wajahnya samar, tapi tatapannya jelas. El tampak gelisah, seolah ingin bicara tapi tertahan sesuatu.Anya tersentak membuka mata. Jantungnya berdegup cepat. “El…” bisiknya. “Dia di sini.”Reza yang duduk tak jauh darinya langsung menghampiri. “El? Kau yakin?”Anya mengangguk. “Dia mengikuti kita. Aku harus bicara dengannya. Aku perlu
Keesokan paginya, Anya dan Reza tiba di sebuah desa kecil di lereng gunung, tempat di mana Guru Adarma tinggal. Udara sejuk dan pemandangan hamparan sawah menghiasi perjalanan mereka.Reza memarkirkan mobil di depan rumah kayu sederhana namun terawat. Seorang pria paruh baya berwajah teduh, berjanggut putih, dan mengenakan pakaian serba putih menyambut mereka di teras. Matanya tajam namun penuh ketenangan."Selamat datang, Anya… Reza," sapa Guru Adarma.Anya menunduk hormat. "Terima kasih sudah mau menerima kami, Guru."Guru Adarma mengangguk dan mempersilakan mereka masuk ke dalam. Di ruangan dalam, suasana hening dan damai. Aroma dupa lembut menyelimuti ruangan. Anya mengeluarkan map berisi dokumen yang didapatkannya, lalu meletakkannya di hadapan sang guru."Guru, saya perlu bimbingan Anda. Semua ini terlalu besar untuk saya pahami sendiri. Ini semua tentang ayah saya, tentang El, dan… tentang masa lalu yang terus menghantui saya," suara Anya lirih namun tegas.Guru Adarma membuka
Dengan penuh keberanian, Anya melangkah masuk. Ruangan dalam rumah remang-remang, hanya diterangi cahaya lampu minyak di sudut. Di tengah ruangan ada seorang pria tua duduk di kursi goyang, wajahnya sebagian tertutup bayangan, namun sorot matanya tajam mengamati Anya.“Aku yang kirim surat itu,” katanya perlahan. “Namaku Wiratma. Aku sahabat ayahmu dulu… dan aku tahu kenapa Larasati harus mati.”Anya menahan napas, jantungnya berdebar. “Tolong ceritakan semuanya…”Wiratma menunduk sejenak, lalu menatap Anya dengan mata sendu. “Ayahmu, Nathan… dia terlibat dalam jaringan pencucian uang dan perdagangan benda-benda antik ilegal sejak 30 tahun lalu. Larasati dulu mengetahui semuanya secara tak sengaja karena dia menemukan dokumen rahasia. Ia berusaha membongkar semuanya, tapi sayangnya… dia keburu dihabisi.”Anya tertegun. “Jadi… ayahku benar-benar…?”Wiratma mengangguk perlahan. “Sayangnya iya. Larasati terlalu dekat dengan kebenaran. Dan ada lebih banyak orang yang terlibat. Termasuk El
Dari balik pintu terdengar suara tenang, familiar.“Ini aku, Rio. Boleh masuk?”Reza menghela napas lega dan membuka pintu. Rio masuk dengan ekspresi serius. “Aku dengar kalian lagi dalam masalah. Aku bisa bantu?”Anya mendekat, ragu-ragu. “Dari mana kamu tahu?”Rio menunjukkan ponselnya. “Aku juga dapat pesan ancaman yang sama. Kayaknya mereka nggak cuma awasi kalian, tapi aku juga.”Reza mengernyit curiga. “Kamu yakin nggak ada keterlibatanmu, Rio?”Rio menatap Reza dengan sorot jujur. “Reza, aku suka Anya, iya. Tapi aku nggak sejahat itu. Aku nggak akan membahayakan dia.”Anya terdiam. Situasi ini makin rumit. Namun di tengah ketegangan itu, ia merasa satu hal pasti — ia tidak sendirian. Reza dan Rio, meskipun dalam posisi yang sulit, sama-sama ingin melindunginya.“Kalau begitu, ayo kita bertiga ke kantor polisi. Kita selesaikan ini sama-sama,” ujar Anya mantap.Reza dan Rio mengangguk. Mereka bertiga melangkah keluar apartemen, membawa bukti rekaman dan tekad kuat. Meski bayang-b