Siang itu, restoran milik Maminya Rio cukup ramai. Booth tarot yang dijaga Anya menarik perhatian beberapa pelanggan yang penasaran. Anya sudah menangani beberapa pembacaan, hingga seorang pria masuk dan duduk di hadapannya.Pria itu mengenakan kemeja hitam, dengan jam tangan mahal yang mencolok di pergelangannya. Rambutnya rapi, dan sorot matanya tajam, seolah menilai Anya sebelum ia berbicara.Pria: "Aku ingin konsultasi."Anya mengangguk, mulai mengocok kartu tarotnya.Anya: "Silakan pikirkan pertanyaan yang ingin bapak ajukan."Pria itu tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa dingin.Pria: "Aku tidak percaya tarot, tapi aku penasaran sejauh mana kamu bisa membaca masa depan seseorang."Nada suaranya mengandung tantangan. Anya tetap tenang, lalu menarik tiga kartu dan meletakkannya di atas meja.Anya: "Kita lihat apa yang kartu ini katakan."Matanya menelusuri kartu yang terbuka: The Moon, The Devil, dan The Tower.Anya merasakan hawa aneh. Kartu-kartu ini menggambarkan kebingunga
Anya melangkah mundur dengan hati berdebar. Rio tidak pernah membentaknya seperti ini sebelumnya. Ada sesuatu yang dia sembunyikan, sesuatu yang tidak ingin dia bicarakan."Baiklah, aku pergi," ujar Anya akhirnya, mencoba menahan emosi.Rio menutup pintu dengan cepat, meninggalkan Anya dengan lebih banyak pertanyaan di kepalanya.Saat berjalan menjauh dari rumah Rio, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:"Berhenti mencari tahu tentang Larasati. Itu berbahaya."Anya merasakan bulu kuduknya meremang. Siapa yang mengirim pesan ini? Dan bagaimana orang itu tahu bahwa dia sedang menyelidiki kematian Larasati?Dia segera membalas pesan itu: "Siapa ini?"Tidak ada balasan.Anya mempercepat langkahnya menuju apartemen. Pikirannya terus berputar, mencoba menghubungkan semua petunjuk yang dia temukan sejauh ini.Nathan, Tante Sisca, Reza, dan sekarang Rio yang tiba-tiba menghindar. Semuanya seperti memiliki bagian dari teka-teki ini.Saat tiba di apartemen, dia langsung
Anya duduk di apartemennya, menatap foto-foto Nathan yang diberikan Rio. Pikirannya berputar cepat. Jika Nathan memang masih ada di sekitar, kenapa dia tidak muncul di hadapan mereka?Ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:"Berhenti mencari atau kamu akan menyesal."Anya merasakan bulu kuduknya meremang. Tangannya spontan mengetik balasan, tetapi ragu-ragu sebelum mengirimnya.Siapa yang mengirim ini? Apakah ada hubungannya dengan Nathan? Ataukah seseorang yang ingin menyembunyikan kebenaran?Sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, ponselnya kembali bergetar. Kali ini panggilan masuk dari Reza."Anya, aku di bawah. Buka pintu," suara Reza terdengar sedikit tegang.Anya segera beranjak, membuka pintu apartemennya. Reza berdiri di sana dengan ekspresi serius."Kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil menatap Anya lekat.Anya mengangguk pelan. "Aku baru saja dapat pesan aneh."Reza meraih ponselnya, membaca pesan tersebut, lalu mendengus pelan. "Sepertinya ad
Reza menatap Anya tanpa berkedip, seolah memastikan bahwa yang ia lihat di matanya bukan sekedar bayangan keinginan sesaat. Jemarinya tetap menggenggam erat tangan Anya, memberi kesempatan untuk mundur jika memang itu yang diinginkannya. Tapi tidak ada penolakan. Tidak ada gerakan menjauh.Anya menarik napas dalam, merasakan jantungnya berdetak liar di dada. Tubuhnya terasa panas, bukan hanya karena jarak mereka yang begitu dekat, tetapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam—sesuatu yang selama ini ia tekan, tetapi malam ini tidak bisa lagi ia abaikan."Reza..." suara Anya nyaris bergetar.Reza mengangkat tangannya, menangkup wajah Anya dengan lembut. "Aku di sini, Anya."Dan sebelum Anya bisa membalas, bibirnya sudah diselimuti kehangatan. Reza menciumnya dalam, perlahan tapi penuh gairah. Tangannya merayap ke pinggang Anya, menariknya lebih dekat hingga tak ada lagi ruang tersisa di antara mereka.Anya kehilangan kendali, tangannya terangkat sendiri, melingkar di leher Reza, membalas
Setelah selesai makan, Reza menatap Anya dengan penuh kelembutan. Tatapan itu begitu dalam, seolah ingin mengukir setiap detik kebersamaan mereka di dalam ingatannya."Kamu bahagia?" tanya Reza, suaranya lembut namun penuh ketegasan.Anya tersenyum tipis, hatinya terasa hangat. "Aku... merasa tenang."Reza mendekat, tangannya mengusap lembut pipi Anya. "Kalau begitu, jangan pergi ke mana-mana. Tetap di sisiku."Anya menatapnya, menemukan kejujuran dalam sorot mata pria itu. Ia mengangguk pelan, lalu bersandar di dada Reza, menikmati momen kebersamaan yang terasa begitu berharga.Malam itu, mereka hanya duduk berdampingan, menikmati keheningan yang terasa begitu hangat. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan, karena dalam diam, mereka telah menemukan kebahagiaan.**Anya berbaring di atas kasur, masih merasakan hangatnya genggaman Reza. Tatapan pria itu begitu dalam, seolah ingin menyelami setiap inci dari perasaan yang kini menghubungkan mereka.Reza berbaring di sampingnya, satu le
Reza semakin tidak bisa menahan diri. Nafasnya memburu, matanya menatap Anya dengan penuh gairah yang tak tertahankan. Anya merasakan getaran panas di tubuhnya saat Reza semakin mendekat, menariknya lebih erat ke dalam pelukannya."Anya..." suara Reza serak, napasnya hangat di kulit Anya.Anya hanya bisa menggigit bibirnya, matanya berbinar dengan perasaan yang semakin membara. Jantungnya berdebar keras saat Reza mulai mempercepat gerakannya, menyapu setiap inci tubuhnya dengan penuh kepemilikan."Reza..." bisik Anya dengan suara bergetar, tangannya mencengkeram punggung Reza, merasakan setiap otot yang menegang di bawah jemarinya.Reza semakin dalam, semakin cepat, seolah tidak ingin ada jarak di antara mereka. Anya merasakan sensasi yang begitu intens, membuatnya semakin larut dalam gelombang yang tak terbendung. Ia mencengkram erat lengan Reza, mendekatkan wajahnya ke dada pria itu, menikmati kehangatan dan kekuatan yang menyelimuti dirinya.Gerakan mereka berpadu dalam ritme yang
Malam itu, Anya berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Ia mengenakan gaun hitam sederhana, tetapi cukup elegan. Rambutnya ia biarkan terurai, sedikit bergelombang. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya malam ini—perasaan yang bercampur antara harapan dan ketakutan.Ponselnya bergetar. Pesan dari Reza: "Aku sudah di sini. Aku tunggu."Anya menghela napas panjang sebelum mengambil tasnya dan melangkah keluar.Restoran tempat mereka biasa bertemu tidak terlalu ramai. Cahaya lampu remang-remang menciptakan suasana intim. Reza sudah duduk di meja pojok, mengenakan kemeja putih dengan lengan sedikit digulung. Ia terlihat santai, tetapi sorot matanya tajam, seakan menyelami pikiran Anya sejak ia masuk.Saat Anya duduk, Reza langsung menatapnya dalam."Kamu cantik malam ini," katanya pelan.Anya tersenyum tipis. "Terima kasih. Kamu juga terlihat... serius."Reza menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Karena aku memang ingin bicara serius."Anya memainkan ujung serbet di pangkuannya. "T
Anya terbangun dengan cahaya matahari yang menyusup melalui tirai apartemennya. Matanya masih berat, tubuhnya terasa hangat, dan yang pertama kali ia sadari adalah tangan Reza yang melingkari pinggangnya, menariknya lebih dekat.Jantungnya berdetak pelan, tetapi perasaan itu terlalu dalam untuk diabaikan. Ia menoleh sedikit, melihat wajah Reza yang masih terlelap. Ada ketenangan di sana, sesuatu yang jarang ia lihat sebelumnya.Anya menatap langit-langit, pikirannya mulai berputar. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di antara mereka?Reza menggeliat sedikit, matanya terbuka setengah. "Udah bangun?" suaranya serak karena baru saja terjaga.Anya mengangguk pelan. "Udah. Kamu?"Reza tersenyum kecil, lalu menarik Anya lebih dekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. "Kalau bisa, aku nggak mau bangun," bisiknya. "Biar aja begini terus."Anya tertawa kecil, tetapi di balik itu ada perasaan yang menusuk. Sampai kapan? Sampai kapan kita begini?Reza menatapnya lekat. "Aku serius
Farel akhirnya mengungkapkan, bahwa bertahun-tahun lalu saat Reza masih kuliah, ia pernah terseret dalam sebuah kasus bisnis gelap yang melibatkan penipuan investasi. Meskipun Reza saat itu akhirnya keluar dari lingkaran tersebut dan membenahi hidupnya, rekam jejak itu masih ada dan beberapa orang dari masa lalu itu mulai kembali muncul di Jakarta.“Aku tidak mengatakan Reza orang jahat. Justru dia keluar dari lingkaran itu dengan susah payah. Tapi aku khawatir, mereka yang dulu pernah terlibat bisa mencoba mendekati kalian lagi, bahkan memanfaatkan momen pernikahan kalian untuk balas dendam,” jelas Farel dengan serius.Anya terdiam lama. Pandangannya jatuh pada Reza, yang kini menunduk, wajahnya diliputi rasa bersalah.“Kenapa kamu nggak pernah cerita soal ini ke aku?” bisik Anya.Reza menghela napas dalam.“Aku takut kamu nggak bisa terima masa lalu aku. Aku ingin kamu melihat aku yang sekarang… bukan yang dulu.”Suasana menjadi hening. Namun beberapa menit kemudian, Anya menggengga
Hari-hari Anya dan Reza semakin padat dengan persiapan pernikahan. Di tengah-tengah kesibukan itu, Reza sesekali mengajak Anya meluangkan waktu berdua untuk sekadar makan malam santai atau berjalan-jalan sore, agar mereka tak tenggelam dalam stres persiapan.Sementara itu, Rio, yang diam-diam memendam rasa kepada Anya sejak lama, mulai terlihat berbeda. Ia semakin sering menawarkan bantuan untuk segala hal, bahkan hal-hal kecil. Suatu sore saat mereka bertiga berkumpul untuk rapat vendor, Rio menatap Anya lebih lama dari biasanya. Rina, yang menyadari hal itu, menarik Rio ke samping setelah rapat.“Rio, kamu harus hati-hati dengan perasaanmu. Anya sudah akan menikah dengan Reza,” ujar Rina pelan tapi tegas.Rio menunduk, bibirnya menekan.“Aku tahu, Rin. Aku cuma… aku nggak bisa pura-pura nggak ada apa-apa. Aku suka dia, dari dulu.”Rina menepuk bahu Rio.“Kamu sahabat mereka berdua. Jangan rusak itu. Kalau kamu memang sayang Anya, kamu harus ikut bahagia lihat dia bahagia.”Rio meng
Anya tertawa pelan sambil menunjukkan pesan itu pada Reza.“Kayaknya sahabatku sudah nggak sabar ikut heboh.”Hari itu mereka kembali ke Jakarta dengan hati penuh rencana. Setibanya di apartemen, mereka langsung menemui orang tua Anya dan Reza. Kedua keluarga menyambut dengan suka cita dan mendukung rencana mereka sepenuhnya.Minggu-minggu berikutnya diisi dengan berbagai kesibukan. Reza menemani Anya memilih undangan, fitting kebaya akad, dan mencari tempat resepsi yang sesuai. Rio, meskipun menahan rasa di hati, ikut membantu menjadi koordinator tamu.Suatu sore di kafe langganan dekat apartemen, Rina, Anya, dan Rio berkumpul untuk membicarakan konsep dekorasi. Rina bersemangat menunjukkan moodboard yang sudah ia siapkan, sementara Rio diam-diam memperhatikan Anya dengan tatapan lembut.“Anya, kamu benar-benar bahagia sekarang, ya?” tanya Rio, suaranya tenang.Anya mengangguk penuh keyakinan.“Iya, Rio. Aku yakin Reza orang yang tepat untuk aku.”Rio mengulum senyum. Ia menunduk sej
Pagi itu, udara Bali begitu sejuk, seolah menyambut lembaran baru dalam hidup Anya dan Reza. Deburan ombak terdengar lembut dari kejauhan, menenangkan hati yang selama ini penuh ketegangan.Anya menatap ke arah balkon vila tempat mereka menginap. Reza sedang berbicara santai dengan Rio, keduanya tampak jauh lebih tenang dan damai setelah semua yang terjadi.Tak ada lagi bayang-bayang masa lalu. Tak ada lagi kejaran musuh ataupun ancaman kekuatan gelap.Anya tersenyum sendiri. Siapa sangka, perjalanan panjang penuh luka dan air mata ini akhirnya berujung pada ketenangan dan cinta sejati?Saat Reza menyadari tatapan Anya, ia segera menghampirinya dan menggenggam tangannya.“Kamu kelihatan tenang pagi ini.”Anya mengangguk pelan.“Setelah semua yang terjadi… aku rasa ini saatnya kita mulai merangkai masa depan yang baru.”Reza tersenyum, lalu menarik Anya perlahan menuju meja sarapan di taman kecil vila mereka. Meja itu sudah dihiasi bunga kamboja putih dan minuman segar khas Bali.“Pagi
Suasana pura kembali menegang. Langit di atas kepala mereka tampak mulai gelap, padahal matahari belum sepenuhnya terbenam. Awan hitam berkumpul, menciptakan tekanan udara yang menyesakkan.Anya dan Reza berlari kembali ke lingkaran pelindung, tempat Guru Adarma berdiri tegap meskipun napasnya sudah mulai berat. Lelaki tua itu menoleh ke arah mereka, tatapannya tajam namun penuh ketenangan.“Bram dan anak buahnya akan melancarkan serangan kedua,” kata Guru Adarma, suaranya dalam dan mantap. “Kali ini mereka tidak hanya mengincar liontinmu, Anya. Mereka ingin membuka gerbang dimensi yang akan membangkitkan kekuatan kegelapan yang selama ini tersegel.”Anya mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya. Tangannya masih erat dalam genggaman Reza."Apa yang harus kami lakukan, Guru?"Guru Adarma tersenyum samar.“Percayakan segalanya pada keyakinan dan cinta kalian. Itu kunci terakhir yang bisa menetralisasi kekuatan mereka.”Sementara itu, dari sisi lain pura, Bram, Rangga, dan Rio telah
Langit malam di Bali mulai gelap pekat. Aroma dupa dari Pura Guru Adarma semakin menyebar, membungkus suasana dengan keheningan dan kesakralan. Anya duduk bersila di dalam lingkaran pelindung bersama Reza dan Rio. Di hadapan mereka, Guru Adarma menutup mata, tangan beliau membentuk mudra kuno, mulutnya terus melantunkan mantra dengan suara stabil.Cahaya lilin di sekeliling mereka tampak bergetar. Liontin di leher Anya bersinar samar, rona keemasan menyelimuti tubuhnya perlahan. Energi perlindungan mulai terbentuk sempurna.Namun, di luar pagar pura, Bram, Rangga, dan Andre sudah memulai gerakannya. Andre mengeluarkan kain hitam bertuliskan aksara kuno yang telah dirapal mantra hitam."Begitu ini ditempelkan di gerbang, pagar pelindung pura mereka akan melemah," gumam Andre dengan suara serak.Rangga mengangguk. "Cepat, sebelum energi perlindungan mereka sempurna."Dengan cekatan, Andre menempelkan kain itu di pintu gerbang pura. Angin malam mendadak berhembus kencang, langit yang se
Pagi itu, udara di Jakarta terasa lebih sejuk dari biasanya. Anya terbangun dengan perasaan sedikit lebih tenang setelah pesan suara dari Guru Adarma semalam. Ia segera menelepon Reza dan Rio, mengajak mereka bertemu di kafe langganan dekat apartemen.Saat mereka bertiga duduk bersama, Anya mengeluarkan ponselnya dan memutar ulang pesan suara itu. Suara Guru Adarma kembali menggema, membuat mereka semua saling pandang penuh arti.Rio mengernyit.“Kalau Guru Adarma sampai menghubungi, berarti ini bukan ancaman biasa. Beliau orang yang sensitif secara spiritual, kita harus anggap serius.”Reza mengangguk, wajahnya tenang namun penuh perhatian.“Anya, aku rasa kita perlu ke Bali lagi. Kita harus bertemu Guru Adarma. Mungkin beliau punya petunjuk yang bisa membantu kita menghadapi ancaman ini.”Anya menatap Reza, ada keraguan di matanya, tapi juga harapan.“Baik. Kita berangkat akhir pekan ini.”Sementara itu, Dimas tetap di Jakarta untuk menjaga pengamanan digital dan fisik mereka. Ia me
Pagi harinya, udara Jakarta yang biasanya bising terasa semakin mencekam bagi Anya dan Reza. Meski berita besar sudah tersebar luas, mereka sadar — bahaya justru mulai mendekat.Di ruang tamu apartemen, Anya, Reza, Arman, Maya, dan Pak Surya duduk melingkar, mendiskusikan langkah selanjutnya. Ponsel Anya terus berbunyi — pesan dukungan, permintaan wawancara, dan… pesan ancaman anonim.Pak Surya menekankan, “Mulai hari ini, kita harus tingkatkan keamanan. Jangan bepergian sendirian. Kalau perlu, kita pakai jasa pengamanan pribadi untuk sementara waktu.”Reza menggenggam tangan Anya erat. “Aku gak akan lepas kamu. Kita lewati semua ini sama-sama.”Maya menimpali dengan tegas, “Aku sudah hubungi temanku yang di LSM. Mereka bisa bantu awasi dan beri perlindungan kalau situasi makin panas.”Sementara itu, di tempat lain, Bram dan Andre bertemu di sebuah vila tersembunyi milik salah satu kolega mereka. Wajah Andre gelap penuh amarah.“Kalau data ini terus tersebar, kita selesai. Kita butuh
Setelah malam yang penuh ketegangan, pagi itu rumah Arman terasa lebih tenang. Anya duduk di meja makan, menatap secangkir teh hangat yang mengepul perlahan. Reza dan Arman duduk di ruang tamu, membicarakan langkah selanjutnya, sementara Maya sesekali melirik ke arah pintu jendela, masih dibayangi kecemasan.Reza bangkit dari kursi dan menghampiri Anya. Tangannya lembut menyentuh bahu perempuan yang dicintainya itu.“Kita sudah sangat dekat, Anya. Data dari Maya bisa jadi kunci utama untuk membuka semuanya,” ucapnya dengan nada yakin.Anya mengangguk pelan. “Aku tahu… Tapi aku masih penasaran satu hal, Reza. Kenapa Bram dan Andre begitu berani? Seolah-olah mereka tak takut dengan siapa pun.”Arman yang mendengar itu ikut bergabung. Ia menatap serius, lalu berkata,“Karena mereka punya orang dalam di lembaga hukum. Polisi, jaksa, bahkan beberapa petinggi bisnis yang melindungi mereka. Kalau kita mau menang, kita harus cari cara agar data ini sampai ke tangan yang bersih.”Maya tiba-ti