Reza membuka amplop dengan hati-hati. Anya menahan napas saat selembar kertas terlipat rapi keluar dari dalamnya. Tulisan tangan yang rapi namun penuh tekanan terlihat di atas kertas berwarna gading itu. "Jika kau ingin tahu kebenaran, temui aku di tempat Larasati menghilang." Anya menggigit bibir. “Tempat Larasati menghilang? Maksudnya di mana?” Reza berpikir sejenak, lalu matanya menyipit. “Jembatan tua dekat bukit. Itu tempat terakhir Larasati terlihat sebelum kecelakaan.” Jantung Anya berdebar semakin kencang. “Jadi kita ke sana sekarang?” Reza menatapnya dalam. “Ini bisa jadi jebakan, Anya.” Anya tahu itu. Tapi hatinya tidak bisa diam. Ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Larasati. “Kalau ini satu-satunya cara, aku akan datang,” ujar Anya tegas. Reza menghela napas, lalu menggenggam tangan Anya erat. “Kalau begitu, kita pergi bersama.” Hujan masih rintik saat mereka melangkah keluar, menuju malam yang penuh misteri. ** A
Perempuan itu menggigit bibirnya, jelas ada ketakutan yang belum sepenuhnya hilang dari dirinya. Namun, ia sudah mengambil keputusan."Aku akan bicara," katanya lirih.Anya dan Reza saling bertukar pandang. Ini adalah titik balik dari semua misteri yang selama ini menghantui mereka."Malam itu, Larasati menemui seseorang," perempuan itu mulai bercerita. "Ia terlihat gelisah, seolah tahu sesuatu yang bisa mengubah segalanya.""Nathan?" tebak Anya.Perempuan itu mengangguk. "Ya, Larasati menemui Nathan. Dia tahu rahasia yang selama ini disembunyikan oleh Nathan dan Tante Sisca. Sesuatu yang, jika terbongkar, akan menghancurkan mereka."Reza mengepalkan tangannya. "Apa rahasia itu?"Perempuan itu menggeleng pelan. "Aku tidak tahu pasti, tapi aku mendengar percakapan mereka. Larasati menuduh Nathan telah melakukan sesuatu yang keji di masa lalu. Sesuatu yang melibatkan… orang lain."Jantung Anya berdetak lebih cepat. "Siapa orang lain itu?"Perempuan itu menatap mereka dengan sorot mata p
Anya masih terdiam, memproses kata-kata maminya Rio. Ada sesuatu yang Larasati ketahui, sesuatu yang cukup besar hingga membuatnya terbunuh.Ponsel Anya tiba-tiba bergetar di dalam tasnya. Ia mengambilnya dan melihat sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:"Berhenti mencari tahu. Atau kamu akan bernasib sama."Darahnya berdesir. Anya menatap layar ponselnya dengan tegang."Kenapa?" tanya Reza pelan, melihat ekspresi Anya yang berubah.Anya menyerahkan ponselnya kepadanya. Reza membaca pesan itu, lalu rahangnya mengeras."Kita diawasi," gumamnya.Maminya Rio juga melihat pesan itu. Wajahnya semakin pucat. "Anya, lebih baik kamu mundur saja. Ini bukan urusan yang mudah."Tapi Anya menggeleng. Ada sesuatu yang lebih besar di balik kematian Larasati, dan kini seseorang mencoba menutupinya."Aku tidak bisa mundur sekarang," katanya tegas. "Larasati pantas mendapatkan keadilan."Reza menatapnya lekat-lekat. "Kalau begitu, kita harus lebih hati-hati. Kita tidak tahu siapa yang mengirim pe
Anya menatap layar ponselnya, jantungnya berdegup kencang. Pesan dari nomor tak dikenal itu terasa seperti peringatan serius."Berhenti mencari tahu atau kamu akan bernasib sama seperti Larasati."Reza melihat ekspresi Anya yang tegang dan langsung merebut ponselnya. Matanya menyipit saat membaca pesan itu. "Sial! Ini berarti kita sudah diawasi."Rio menghela napas berat. "Gue gak suka ini. Kalau mereka bisa menghabisi Larasati, berarti mereka gak segan-segan buat menyingkirkan siapa pun yang mengancam rahasia mereka."Anya menggigit bibirnya, pikirannya berputar cepat. "Tapi kita gak bisa mundur sekarang. Kita harus cari tahu siapa yang mengirim pesan ini dan sejauh mana keterlibatan Nathan."Reza mengangguk. "Kita harus berhati-hati. Gue bakal cek apakah kita bisa lacak nomor ini. Siapa tahu kita bisa tahu dari mana asal pesan ini dikirim."Rio menatap sekitar dengan gelisah. "Untuk sementara, kita harus lebih waspada. Jangan bergerak sendirian. Kalau mereka benar-benar berbahaya, k
Suara Larasati terdengar dari rekaman itu, suaranya bergetar, penuh ketakutan."Aku tahu semua tentang Nathan… tentang apa yang dia lakukan di balik semua ini. Aku nggak bisa diam aja. Aku harus kasih tahu seseorang. Kalau sesuatu terjadi padaku, tolong… cari kebenarannya.”Reza mengepalkan tangannya. "Sial, dia tahu sesuatu yang bisa membahayakan nyawanya."Rio meraih surat-surat yang ada di dalam kotak itu. "Ini dokumen keuangan… ada transfer besar ke rekening anonim. Dan lihat ini, ada catatan pengiriman seseorang ke luar negeri, tanpa identitas resmi."Anya menarik napas dalam. “Ini lebih besar dari yang kita kira.”Mereka bertiga saling bertukar pandang, sadar bahwa mereka baru saja menemukan bukti kuat tentang keterlibatan Nathan dalam sesuatu yang jauh lebih kelam dari dugaan mereka.Namun, sebelum mereka bisa mencerna semuanya, suara langkah kaki terdengar dari luar vila.Seseorang ada di sana.Dan mereka tidak datang dengan niat baik.**Suara langkah kaki mendekat semakin ce
Reza terus memacu mobilnya di jalanan yang semakin ramai. Klakson kendaraan lain bersahutan ketika ia menyalip dengan kecepatan tinggi. Anya menggenggam erat sabuk pengaman, jantungnya berdetak liar.“Mereka masih mengejar!” Rio berseru dari kursi belakang, matanya tak lepas dari kaca belakang. Dua motor itu tetap membuntuti mereka, bahkan semakin mendekat.Reza menekan pedal gas lebih dalam, mencoba mencari jalan keluar. Tapi tiba-tiba—jalan di depan mereka berakhir di sebuah gang buntu.“Sial!” Reza membanting setir ke kiri, namun ruang untuk berbelok terlalu sempit.Anya menoleh panik. “Kita harus keluar dari sini sekarang!”Motor pengejar berhenti beberapa meter dari mereka. Dua pria berpakaian hitam turun, salah satu dari mereka mengacungkan pistol ke arah mobil.Rio meraih pegangan pintu. “Kita harus lari ke dalam gang sebelum mereka menembak!”Reza dan Anya saling pandang sejenak, lalu mengangguk. Tanpa membuang waktu, mereka bertiga membuka pintu dan berlari ke gang kecil di s
Malam itu, Anya, Reza, dan Rio berkumpul di apartemen Reza untuk membahas langkah selanjutnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh informasi yang baru saja mereka temukan."Kita harus menemukan orang itu secepatnya," kata Reza dengan nada serius. "Kalau dia benar-benar tahu sesuatu tentang Nathan, dia mungkin dalam bahaya seperti Larasati dulu."Anya mengangguk, pikirannya masih tertuju pada sosok misterius dari masa lalu Nathan. "Siapa sebenarnya orang ini, Reza? Bagaimana kamu tahu dia bisa membantu?"Reza menghela napas dalam. "Aku pernah mendengar tentang dia dari Larasati sebelum dia meninggal. Namanya Adrian. Dia dulu bekerja untuk Nathan, tapi tiba-tiba menghilang tanpa jejak."Rio menyipitkan matanya. "Menghilang? Maksudmu dia mungkin sudah...""Tidak," potong Reza cepat. "Dia tidak mati. Aku yakin dia hanya bersembunyi. Dan jika kita bisa menemukannya, mungkin dia bisa memberi kita jawaban."Anya menggigit bibirnya, merasa cemas. "Tapi bagaimana kita bisa menemukannya? Kalau dia b
Anya merasakan ketegangan, detak jantungnya berpacu. Reza dan Rio saling bertukar pandang, mencari jalan keluar. Nathan masih berdiri di halaman, sementara seseorang yang tak terlihat semakin mendekat dari dalam rumah.“Kita harus keluar dari sini,” bisik Rio.Tanpa berpikir panjang, Reza meraih tangan Anya dan menariknya ke sisi balkon. Ada pohon besar di dekatnya, dengan cabang yang cukup kuat untuk menahan berat mereka.“Kita lompat ke sana,” ujar Reza mantap.Anya menelan ludah. Itu terlihat berbahaya, tapi lebih baik daripada terjebak di sini bersama Nathan.Rio melompat lebih dulu, mencengkeram cabang pohon dan dengan gesit turun ke tanah. Reza membantu Anya memanjat pagar balkon sebelum dia sendiri melompat turun dengan sigap.Mereka bertiga mendarat di rerumputan, napas memburu. Nathan tampak terkejut dengan aksi nekat mereka, tapi sebelum dia bisa bereaksi, mereka sudah berlari menembus pekarangan dan keluar dari area vila.“Ke mobil!” seru Rio.Namun, saat mereka hampir menc
Anya tertawa pelan sambil menunjukkan pesan itu pada Reza.“Kayaknya sahabatku sudah nggak sabar ikut heboh.”Hari itu mereka kembali ke Jakarta dengan hati penuh rencana. Setibanya di apartemen, mereka langsung menemui orang tua Anya dan Reza. Kedua keluarga menyambut dengan suka cita dan mendukung rencana mereka sepenuhnya.Minggu-minggu berikutnya diisi dengan berbagai kesibukan. Reza menemani Anya memilih undangan, fitting kebaya akad, dan mencari tempat resepsi yang sesuai. Rio, meskipun menahan rasa di hati, ikut membantu menjadi koordinator tamu.Suatu sore di kafe langganan dekat apartemen, Rina, Anya, dan Rio berkumpul untuk membicarakan konsep dekorasi. Rina bersemangat menunjukkan moodboard yang sudah ia siapkan, sementara Rio diam-diam memperhatikan Anya dengan tatapan lembut.“Anya, kamu benar-benar bahagia sekarang, ya?” tanya Rio, suaranya tenang.Anya mengangguk penuh keyakinan.“Iya, Rio. Aku yakin Reza orang yang tepat untuk aku.”Rio mengulum senyum. Ia menunduk sej
Pagi itu, udara Bali begitu sejuk, seolah menyambut lembaran baru dalam hidup Anya dan Reza. Deburan ombak terdengar lembut dari kejauhan, menenangkan hati yang selama ini penuh ketegangan.Anya menatap ke arah balkon vila tempat mereka menginap. Reza sedang berbicara santai dengan Rio, keduanya tampak jauh lebih tenang dan damai setelah semua yang terjadi.Tak ada lagi bayang-bayang masa lalu. Tak ada lagi kejaran musuh ataupun ancaman kekuatan gelap.Anya tersenyum sendiri. Siapa sangka, perjalanan panjang penuh luka dan air mata ini akhirnya berujung pada ketenangan dan cinta sejati?Saat Reza menyadari tatapan Anya, ia segera menghampirinya dan menggenggam tangannya.“Kamu kelihatan tenang pagi ini.”Anya mengangguk pelan.“Setelah semua yang terjadi… aku rasa ini saatnya kita mulai merangkai masa depan yang baru.”Reza tersenyum, lalu menarik Anya perlahan menuju meja sarapan di taman kecil vila mereka. Meja itu sudah dihiasi bunga kamboja putih dan minuman segar khas Bali.“Pagi
Suasana pura kembali menegang. Langit di atas kepala mereka tampak mulai gelap, padahal matahari belum sepenuhnya terbenam. Awan hitam berkumpul, menciptakan tekanan udara yang menyesakkan.Anya dan Reza berlari kembali ke lingkaran pelindung, tempat Guru Adarma berdiri tegap meskipun napasnya sudah mulai berat. Lelaki tua itu menoleh ke arah mereka, tatapannya tajam namun penuh ketenangan.“Bram dan anak buahnya akan melancarkan serangan kedua,” kata Guru Adarma, suaranya dalam dan mantap. “Kali ini mereka tidak hanya mengincar liontinmu, Anya. Mereka ingin membuka gerbang dimensi yang akan membangkitkan kekuatan kegelapan yang selama ini tersegel.”Anya mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya. Tangannya masih erat dalam genggaman Reza."Apa yang harus kami lakukan, Guru?"Guru Adarma tersenyum samar.“Percayakan segalanya pada keyakinan dan cinta kalian. Itu kunci terakhir yang bisa menetralisasi kekuatan mereka.”Sementara itu, dari sisi lain pura, Bram, Rangga, dan Rio telah
Langit malam di Bali mulai gelap pekat. Aroma dupa dari Pura Guru Adarma semakin menyebar, membungkus suasana dengan keheningan dan kesakralan. Anya duduk bersila di dalam lingkaran pelindung bersama Reza dan Rio. Di hadapan mereka, Guru Adarma menutup mata, tangan beliau membentuk mudra kuno, mulutnya terus melantunkan mantra dengan suara stabil.Cahaya lilin di sekeliling mereka tampak bergetar. Liontin di leher Anya bersinar samar, rona keemasan menyelimuti tubuhnya perlahan. Energi perlindungan mulai terbentuk sempurna.Namun, di luar pagar pura, Bram, Rangga, dan Andre sudah memulai gerakannya. Andre mengeluarkan kain hitam bertuliskan aksara kuno yang telah dirapal mantra hitam."Begitu ini ditempelkan di gerbang, pagar pelindung pura mereka akan melemah," gumam Andre dengan suara serak.Rangga mengangguk. "Cepat, sebelum energi perlindungan mereka sempurna."Dengan cekatan, Andre menempelkan kain itu di pintu gerbang pura. Angin malam mendadak berhembus kencang, langit yang se
Pagi itu, udara di Jakarta terasa lebih sejuk dari biasanya. Anya terbangun dengan perasaan sedikit lebih tenang setelah pesan suara dari Guru Adarma semalam. Ia segera menelepon Reza dan Rio, mengajak mereka bertemu di kafe langganan dekat apartemen.Saat mereka bertiga duduk bersama, Anya mengeluarkan ponselnya dan memutar ulang pesan suara itu. Suara Guru Adarma kembali menggema, membuat mereka semua saling pandang penuh arti.Rio mengernyit.“Kalau Guru Adarma sampai menghubungi, berarti ini bukan ancaman biasa. Beliau orang yang sensitif secara spiritual, kita harus anggap serius.”Reza mengangguk, wajahnya tenang namun penuh perhatian.“Anya, aku rasa kita perlu ke Bali lagi. Kita harus bertemu Guru Adarma. Mungkin beliau punya petunjuk yang bisa membantu kita menghadapi ancaman ini.”Anya menatap Reza, ada keraguan di matanya, tapi juga harapan.“Baik. Kita berangkat akhir pekan ini.”Sementara itu, Dimas tetap di Jakarta untuk menjaga pengamanan digital dan fisik mereka. Ia me
Pagi harinya, udara Jakarta yang biasanya bising terasa semakin mencekam bagi Anya dan Reza. Meski berita besar sudah tersebar luas, mereka sadar — bahaya justru mulai mendekat.Di ruang tamu apartemen, Anya, Reza, Arman, Maya, dan Pak Surya duduk melingkar, mendiskusikan langkah selanjutnya. Ponsel Anya terus berbunyi — pesan dukungan, permintaan wawancara, dan… pesan ancaman anonim.Pak Surya menekankan, “Mulai hari ini, kita harus tingkatkan keamanan. Jangan bepergian sendirian. Kalau perlu, kita pakai jasa pengamanan pribadi untuk sementara waktu.”Reza menggenggam tangan Anya erat. “Aku gak akan lepas kamu. Kita lewati semua ini sama-sama.”Maya menimpali dengan tegas, “Aku sudah hubungi temanku yang di LSM. Mereka bisa bantu awasi dan beri perlindungan kalau situasi makin panas.”Sementara itu, di tempat lain, Bram dan Andre bertemu di sebuah vila tersembunyi milik salah satu kolega mereka. Wajah Andre gelap penuh amarah.“Kalau data ini terus tersebar, kita selesai. Kita butuh
Setelah malam yang penuh ketegangan, pagi itu rumah Arman terasa lebih tenang. Anya duduk di meja makan, menatap secangkir teh hangat yang mengepul perlahan. Reza dan Arman duduk di ruang tamu, membicarakan langkah selanjutnya, sementara Maya sesekali melirik ke arah pintu jendela, masih dibayangi kecemasan.Reza bangkit dari kursi dan menghampiri Anya. Tangannya lembut menyentuh bahu perempuan yang dicintainya itu.“Kita sudah sangat dekat, Anya. Data dari Maya bisa jadi kunci utama untuk membuka semuanya,” ucapnya dengan nada yakin.Anya mengangguk pelan. “Aku tahu… Tapi aku masih penasaran satu hal, Reza. Kenapa Bram dan Andre begitu berani? Seolah-olah mereka tak takut dengan siapa pun.”Arman yang mendengar itu ikut bergabung. Ia menatap serius, lalu berkata,“Karena mereka punya orang dalam di lembaga hukum. Polisi, jaksa, bahkan beberapa petinggi bisnis yang melindungi mereka. Kalau kita mau menang, kita harus cari cara agar data ini sampai ke tangan yang bersih.”Maya tiba-ti
Anya menunjukkan pesan itu ke Reza.Mereka saling bertukar pandang — firasat mereka mengatakan, malam ini akan menjadi malam yang panjang dan penuh jawaban.***Matahari mulai condong ke barat saat Reza dan Anya kembali ke apartemen untuk bersiap. Suasana hening sepanjang perjalanan; keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing tentang pesan misterius yang baru saja mereka terima.Pukul 18.45, mereka sudah tiba di Kafe Seroja — kafe kecil bergaya vintage dengan interior kayu dan lampu temaram. Kafe itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pengunjung yang asyik dengan kopi dan laptop mereka.Reza memilih meja di sudut ruangan yang menghadap pintu masuk. Anya duduk di seberangnya, matanya sesekali melirik ke sekitar. Tepat pukul 19.00, pintu kafe berderit terbuka.Masuklah seorang pria paruh baya, berjaket hitam dan celana kain gelap. Rambutnya sudah memutih di pelipis, namun sorot matanya tajam dan penuh perhitungan. Ia melangkah mantap ke arah meja mereka dan duduk tanpa diundang.“
"Ini bukan orang biasa," gumam Reza. "Namanya Harun. Dulu dia pengacara gelap yang pernah terkait dengan kasus korupsi besar-besaran, tapi lolos karena kurang bukti."Rangga mengangguk. "Benar. Aku juga temukan bahwa Andre dan Harun bekerja sama untuk menguasai salah satu perusahaan properti warisan milik keluarga Nathan. Mereka ingin mengalihkan aset besar ke rekening luar negeri menggunakan dokumen palsu."Anya mengernyit. "Tapi bukankah aset-aset itu masih dalam proses hukum setelah Nathan tertangkap?""Justru itu. Mereka memanfaatkan kekosongan dan celah hukum. Kalau mereka berhasil, bisa jadi semua properti itu lenyap tanpa jejak," jelas Rangga.Reza mengepalkan tangan, rahangnya mengeras."Kita nggak bisa diam saja. Aku punya beberapa kolega di kejaksaan yang bisa bantu percepat proses blokir aset. Tapi kita butuh bukti konkret keterlibatan Andre dan Harun."Rangga tersenyum tipis dan menarik satu amplop cokelat dari tasnya."Aku sudah siapkan ini. Ada rekaman percakapan dan sal