"Lho, Sayang ... kamu mau ke mana? Kok bawa-bawa koper?"
Pertanyaan Papi terlontar saat dia melihatku keluar dari kamar dengan mendorong koper. Tadi pagi sebelum sarapan, aku sempat tak sengaja mendengar perbincangan antara Papi, Mami dan Kak Juna di dapur yang membahas masalah pertunangan dengan Mbak Friska. Aku terkejut, karena ternyata pertunangan mereka diadakan besok. Itu terdengar begitu mendadak, aku sendiri baru diberitahu semalam, itupun karena Kak Juna yang menolak cintaku. "Sayang, kok kamu melamun? Ada apa?" Aku tersentak, Papi menyentuh pundakku. Aku menggeleng cepat. "Enggak apa-apa kok, Pi. Aku cuma kangen sama Mama dan Papa, jadi mau tinggal di sana untuk sementara waktu. Boleh 'kan?" Papa Dono adalah Papa angkatku. Dulu, Papi Tian bercerita jika dia pernah ditipu oleh almarhum mama. Almarhum mama mengatakan bahwa aku sudah meninggal, padahal nyatanya aku dibuang ke panti asuhan. Entah apa masalah awalnya sehingga almarhum mama tega melakukan itu, Papi sendiri tidak menjelaskan secara detail, hanya saja intinya setelah aku berada di panti, Papa Dono dan Mama Della mengadopsiku sebagai anaknya. Namun, meski hanya orang tua angkat, aku akui mereka berdua memang benar-benar menyayangiku. Bahkan mereka juga sedih sampai menangis saat aku memutuskan untuk tinggal dengan Papi dan Mami. Sebenarnya aku bebas tinggal bersama siapa saja, karena Papi juga tidak pernah memaksaku untuk tinggal bersamanya. Dan alasanku tinggal di sini supaya bisa bertemu dengan Kak Juna setiap hari. Sejak kecil, dia adalah satu-satunya orang yang kuinginkan berada didekatku. Dia adalah matahariku, pusat dari seluruh duniaku. Namun, sekarang... semuanya terasa berbeda. Jauh lebih baik jika aku menjauh, memberi jarak di antara kami. Mungkin, dengan begitu, aku bisa melupakan rasa cinta ini, rasa cinta yang menyakitkan, rasa cinta yang bertepuk sebelah tangan. Aku harus pergi, untuk menyelamatkan diriku sendiri. "Ke rumah Papa Dononya nanti saja," kata Papi, suaranya lembut, namun terdengar sedikit kaku. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya, sesuatu yang kurasa berkaitan dengan percakapan tadi pagi. "Oh ya... kita ngobrol dulu di ruang keluarga, yuk. Ada yang ingin disampaikan oleh Kakakmu." "Tentang apa? Apa pertunangannya dengan Mbak Friska?" Pertanyaanku tersusun dengan nada yang sedikit tajam, tidak bisa kuhindari. Luka di hatiku masih terasa perih. "Oh jadi kamu sudah tau, ya, kalau Kakakmu mau tunangan? Papi sendiri baru tau tadi pagi, Juna baru ngomong. Tapi meski terkesan mendadak... Papi sangat senang, kamu juga senang, kan?" Papi tersenyum menatapku. Senang?? Tidak sama sekali, Pi. "Iya, Pi. Aku senang." Aku mengangguk terpaksa, mencoba menahan air mata yang mengancam akan tumpah. Kebohongan ini merasa begitu berat. "Ya sudah, sekarang kita ke ruang keluarga, ya?" Papi sudah merangkul bahuku, mengajakku untuk melangkah bersama. Namun aku menahan diri, menarik tangannya perlahan. "Papa Dono sudah menunggu di luar, Pi. Aku sepertinya nggak bisa ngobrol dengan kalian, Papi dan Mami saja, ya?" Aku mencoba menjelaskan dengan nada yang sehalus mungkin, mencari jalan keluar dari situasi yang sulit ini. "Lho, kok Papa Dono sudah menjemputmu? Kan Papi sudah bilang kalau kamu ke rumahnya nanti saja, lagian kenapa Papa Dono nggak ngabarin Papi dulu kalau mau ke sini untuk menjemputmu?" Papi terlihat bingung, nada suaranya menunjukkan kekecewaan yang terselubung. "Kan aku sudah minta izin tadi. Nggak apa-apa semisalnya Papa Dono sudah ke sini, lagian Papi sendiri pernah bilang... Kapanpun Papa atau Mama mau bertemu denganku, pintu rumah Papi terbuka untuk mereka." Aku mencoba menjelaskan dengan tegas, namun dengan nada yang tetap sopan. "Iya sih. Ya sudah deh kalau memang begitu." Papi tampak kecewa, namun dia sepertinya tidak bisa menahanku lagi. Mungkin dia tidak enak pada Papa Dono yang sudah menunggu. Aku tahu itu. Dan itulah yang kumanfaatkan. Syukurlah tadi aku langsung telepon Papa Dono dan meminta jemput, jadi ada alasan untukku supaya bisa langsung pergi dari rumah ini, menjauh dari semua yang menyakitkan. Aku tak sanggup lagi berada di sini. "Papi antar sampai depan deh kalau begitu. Tapi kita ke ruang keluarga dulu, ya, pamit sama Mami dan Kakakmu." "Iya." Aku mengangguk, mencoba menunjukkan ketenangan yang tidak kumiliki. Kami berdua pun melangkah bersama menuju ruang keluarga. Koperku sudah berpindah tangan, Papi yang mendorongnya. "Dek... kamu mau pergi ke mana?" Kak Juna langsung berdiri dari duduknya, wajahnya tampak terkejut, matanya menunjukkan kebingungan dan sedikit kecemasan. "Kenapa bawa koper?" "Ini, si Silvi katanya mau tinggal di rumah Pak Dono. Dan Pak Dono sudah menunggu di depan." Papi yang menjawab. "Lho, kok tinggal di rumah Om Dono sih, Dek? Kenapa mendadak begini?" Kak Juna tampak kecewa, suaranya menunjukkan kebingungan dan sedikit rasa bersalah. "Iya, kan kita mau bahas masalah pertunangan Juna." Mami menimpali, suaranya lembut, mencoba menenangkan situasi. Dia merangkul bahuku dengan lembut, sentuhannya menawarkan penghiburan yang tidak mampu kuterima. "Kakakmu mau tunangan, Sayang. Kita mau bahas tentang hal itu tadinya." "Kalian bertiga saja, Mi. Akunya nggak enak, udah ditungguin Papa di luar." Aku menarik lengan Mami dari bahuku. Lalu kucium lembut punggung tangannya, "Aku pamit ya, Mi, assalamualaikum." Mami langsung menatap Papi, kulihat Papi mengangguk, seperti melakukan isyarat. Setelah itu barulah Mami menjawab salamku tadi. "Walaikumsalam. Hati-hati ya, Sayang. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Mami, Papi atau Kakakmu." "Iya, Mi." Aku mengangguk, lalu menoleh ke arah Papi. Pria itu pun merangkulku, mengajakku untuk melangkah bersama sambil mendorong koper. "Tunggu dulu, Dek!" Suara Kak Juna menghentikan langkahku. Dia menghalangi jalan kami yang sedikit lagi keluar rumah. Kedua tangannya membentang di depan pintu, menunjukkan penolakannya. "Kenapa kamu mendadak ingin tinggal dengan Om Dono dan Tante Della? Apa alasannya, Dek?" "Aku kangen sama mereka," jawabku singkat, sambil membuang muka. Aku malas berlama-lama menatap wajahnya; rasa benci seketika membuncah mengingat penolakannya yang begitu menyakitkan. "Tapi—" Kak Juna mencoba membantah, namun— "Sudahlah, Jun. Biarkan Silvi dan Papi lewat," sela Papi cepat, mengusap punggungku sebelum mendorong pelan Kak Juna agar menyingkir. "Nggak enak, Om Dono sudah menunggu di luar." Kami pun melangkah menuju Papa Dono. Setelah mencium tangannya, aku masuk ke mobil. Kulihat Papi dan Papa Dono berbincang sebentar sebelum Papa Dono masuk dan duduk di sampingku. "Kalau kamu sudah selesai menuntaskan rasa kangenmu, kabari Papi, ya? Biar Papi menjemputmu pulang," ucap Papi di depan pintu mobil, mencium lembut keningku dengan penuh kasih sayang. Sentuhannya terasa hangat di tengah hatiku yang dingin. "Iya, Pi." Aku mengangguk. "Papi sayang sama kamu." Usapan lembut di pipiku. Pandanganku tak sengaja bertemu dengan Kak Juna yang berdiri di ambang pintu, wajahnya tampak bingung. "Aku juga sayang Papi." "Kami berdua pergi ya, Pak. Assalamualaikum," ucap Papa Dono, menghidupkan mesin mobil. "Walaikumsalam." Papi menjawab, bersamaan dengan Mami yang muncul di pintu rumah, melambaikan tangan. Aku membalasnya, lalu mobil melaju menjauh, meninggalkan rumah itu di belakang. Aku menarik napas panjang, dalam-dalam, mencoba menenangkan hati dan jiwaku yang masih bergolak. Semoga saja keputusanku sudah benar, dengan menjauhi Kak Juna, menjauhi semua rasa sakit ini. Aku tak ingin cintaku hanya membuatku tersiksa, terlebih dengan bayangan pernikahannya nanti dengan Mbak Friska. Ting! Ponselku tiba-tiba berbunyi, getarannya membuatku tersentak. Aku meraihnya di dalam tas, ternyata chat dari Kak Juna. [Dek... Kakak nggak ngerti kenapa kamu tiba-tiba ingin tinggal dengan Om Dono dan Tante Della. Padahal Kakak baru saja mau membahas masalah pertunangan Kakak dengan Friska. Tapi ya sudah, kamu baik-baik ya di sana. Besok Kakak main ke rumah Om Dono.] "Main?" Aku bergumam, nada suaraku penuh ketidakpercayaan. Kata itu terasa begitu enteng, begitu santai, di tengah luka yang masih kurasakan. Aku sengaja tinggal di rumah Papa Dono untuk menjauh darinya, untuk melupakan rasa cinta yang bertepuk sebelah tangan ini. Tapi dia... dia dengan santainya mengatakan ingin "main"? Tidak! Tidak akan terjadi! Aku yang akan melarangnya! Aku akan memastikan dia tidak akan mengunjungiku! Keputusanku sudah teguh. Aku harus menjaga jarak, untuk kesembuhan hatiku.Juna, yang masih terhuyung-huyung, perlahan berlutut di kaki Daddy Irfan. "Maafin aku, Om. Wajar Om marah, aku terima itu. Semuanya memang salahku. Aku akan bertanggung jawab di sini, aku akan membiayai semua pengobatan Friska sampai dia sembuh." Suaranya penuh penyesalan, menunjukkan kesungguhan permohonan maafnya. Dia siap menghadapi konsekuensi dari perbuatannya.Daddy Irfan langsung menendang Juna dengan kasar, menjauhkan dirinya dari kakinya. Gerakannya cepat dan kuat. "Membiayai katamu? Kamu pikir orang tua Friska nggak mampu? Aku mampu, Jun! Aku mampu!" teriaknya dengan mata melotot, napasnya tersengal-sengal, menunjukkan kemarahan yang belum mereda."Tapi, Om, itu bentuk tanggung jawabku karena sudah—" Juna mencoba menjelaskan, namun terpotong."Sudah, Jun, nggak usah!" Opa Angga segera menghentikan Juna, menarik cepat cucunya itu yang berniat kembali berlutut. "Kalau memang Daddy-nya Friska menolak tanggung jawabmu, kamu nggak usah
"Putri Anda mengalami serangan jantung, Pak."Kata-kata dokter itu menghantam mereka seperti petir di siang bolong, menciptakan keheningan sesaat yang mencekam. Udara terasa begitu berat, seakan menekan dada."Apa?! Serangan jantung?!" Mata Daddy Irfan membulat sempurna, wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi dahinya. Juna dan Opa Angga juga terpaku, terkejut luar biasa. "Tapi... bagaimana bisa, Dok?" Suara Daddy Irfan lirih, suaranya bergetar, mengungkapkan ketidakpercayaan dan keputusasaan yang mendalam."Dari hasil pemeriksaan yang saya lihat... Nona Friska ini dulunya pernah memiliki penyakit jantung ya 'kan Pak? Apakah benar?" Dokter itu bertanya, suaranya tenang namun tetap terdengar serius, menciptakan suasana yang makin menegangkan."Penyakit jantung?!" Juna dan Opa Angga berucap bersama, suara mereka nyaris bersamaan, mengungkapkan keterkejutan yang sama. Mereka saling berpandangan, mata mereka mencerminkan kebingungan dan ketakutan.Berita ini me
"Silvi.""Si-Silvi??" Suara Friska terbata-bata, raut wajahnya tampak terkejut sekaligus bingung. Matanya membulat lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Silvi... adikmu, Yang?""Iya." Juna mengangguk, matanya menatap Friska dengan tatapan bersalah. Dia tahu bahwa pengakuannya ini akan menghancurkan hati Friska."Bagaimana bisa kamu mencintai adikmu sendiri, ketimbang aku? Kamu ini waras nggak, sih, Yang? Ini kamu sedang bercanda, kan?""Sudah kubilang, kalau aku sejak tadi bicara serius. Kamu juga tentu tau kalau aku dan Silvi adalah saudara tiri, jadi nggak masalah kalau kami saling mencintai.""Enggak! Itu aneh sih, Yang." Friska menggeleng cepat, air matanya mengalir deras. Dia tampak tak habis pikir dengan ucapan Juna. Baginya, ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal, sesuatu yang melampaui batas kewajaran."Aneh apanya? Cinta itu 'kan tumbuh tanpa kita tau akan bertaut ke siapa, kenapa juga harus aneh?
Setelah dipersilakan masuk, Friska dengan sigap duduk di sofa ruang tamu.Detak jantungnya berdebar-debar, merasa tak sabar ingin cepat bertemu Juna.Dia lalu menatap sekeliling ruangan, mencoba menenangkan diri. Tak lama, Juna muncul, diikuti Opa Angga. Bayangan Silvi sejenak melintas di benak Juna, niatnya untuk menelepon gadis itu tertunda karena kehadiran Friska. Namun, masalah dengan Friska juga tak bisa diabaikan; nasibnya terkait erat dengannya."Yang!!" Mata Friska langsung berbinar, seakan dunia hanya berisi Juna saat ini. Dia dengan cepat berdiri dan memeluk Juna erat-erat. "Aku kangen banget sama kamu, Yang! Kamu ke mana saja? Kenapa nggak ada kabar?" Suaranya bergetar karena rindu yang terpendam.Opa Angga mengamati keduanya dengan seksama, tatapannya menelisik pada ekspresi Juna. Dia melihat sebuah kejenuhan, bahkan kesan risih yang terpancar dari wajah cucunya. Pelukan itu lekas dilepas Juna, gerakannya kaku dan terkesan formal."Kalia
Opa Angga terdiam, tatapannya yang sayu dan dalam seakan menembus jauh ke lubuk hati Juna. Sejujurnya, Ini bukan ranahnya, dia tahu itu. Keputusan Papi Tian dan Mami Nissa sudah bulat, sebuah keputusan yang telah dipikirkan berulang kali, sebuah keputusan yang didasari oleh pertimbangan yang matang dan mungkin, yang menyakitkan. Opa Angga mengerti, dia selalu mendukung keputusan anak-anaknya, karena dia yakin mereka tak akan mengambil keputusan yang gegabah. Namun, melihat Juna yang duduk di hadapannya, wajahnya pucat pasi, mata sembab karena menahan tangis, hati Opa Angga terenyuh. Cucu kesayangannya itu tampak begitu frustasi, begitu putus asa. Walau bagaimanapun, Juna tetaplah cucunya, cucu yang selalu dia sayangi. Cinta dan kasih sayang itu tak mudah untuk dihilangkan, meski dia harus bersikap tegas. "Memangnya cintamu pada Silvi dalam banget ya, Jun, sampai dari dulu kamu nggak bisa melupakannya?" Suaranya lembut, namun sarat dengan pertanyaan yang menusuk. Dia ingin mema
"Tapi, aku dan Kakak 'kan sudah menikah, Pi. Aku makin nggak bisa melupakannya. Dia sudah menjadi suamiku."Setidaknya, karena semuanya terlanjur terjadi, Silvi mencoba untuk menerima keadaannya, dengan menerima Juna yang kini telah menjadi suaminya."Pernikahan kalian nggak sah, ngapain dipikirin.""Tapi Kakak 'kan ada buktinya, Pi, dan di sana jelas kalau pernikahan siri itu sudah dilakukan.""Menurut Papi tetap nggak sah. Karena selain tanpa persetujuan keluarga... Dia juga melakukan itu tanpa persetujuanmu.""Apakah ini berarti pernikahanku dengan Kakak harus diulang?""Nggak perlu." Papi Tian menggeleng cepat."Kenapa?""Kamu dan Kakakmu akan selamanya menjadi saudara, jadi nggak akan pernah ada pernikahan di antara kalian." Papi Tian menjelaskan, suaranya tegas dan tanpa kompromi."Tapi semuanya 'kan sudah terlanjur terjadi, Pi. Lagian aku juga sudah gagal menikah dengan Kak Robert, jadi aku—" Silvi mencoba menjelaskan lagi, mencoba mencari celah agar Papinya mau mengerti pos