Share

2. Menjauh

Author: Rossy Dildara
last update Last Updated: 2025-06-02 15:45:56

"Lho, Sayang ... kamu mau ke mana? Kok bawa-bawa koper?"

Pertanyaan Papi terlontar saat dia melihatku keluar dari kamar dengan mendorong koper.

Tadi pagi sebelum sarapan, aku sempat tak sengaja mendengar perbincangan antara Papi, Mami dan Kak Juna di dapur yang membahas masalah pertunangan dengan Mbak Friska. Aku terkejut, karena ternyata pertunangan mereka diadakan besok.

Itu terdengar begitu mendadak, aku sendiri baru diberitahu semalam, itupun karena Kak Juna yang menolak cintaku.

"Sayang, kok kamu melamun? Ada apa?"

Aku tersentak, Papi menyentuh pundakku. Aku menggeleng cepat.

"Enggak apa-apa kok, Pi. Aku cuma kangen sama Mama dan Papa, jadi mau tinggal di sana untuk sementara waktu. Boleh 'kan?"

Papa Dono adalah Papa angkatku.

Dulu, Papi Tian bercerita jika dia pernah ditipu oleh almarhum mama. Almarhum mama mengatakan bahwa aku sudah meninggal, padahal nyatanya aku dibuang ke panti asuhan.

Entah apa masalah awalnya sehingga almarhum mama tega melakukan itu, Papi sendiri tidak menjelaskan secara detail, hanya saja intinya setelah aku berada di panti, Papa Dono dan Mama Della mengadopsiku sebagai anaknya.

Namun, meski hanya orang tua angkat, aku akui mereka berdua memang benar-benar menyayangiku.

Bahkan mereka juga sedih sampai menangis saat aku memutuskan untuk tinggal dengan Papi dan Mami.

Sebenarnya aku bebas tinggal bersama siapa saja, karena Papi juga tidak pernah memaksaku untuk tinggal bersamanya. Dan alasanku tinggal di sini supaya bisa bertemu dengan Kak Juna setiap hari.

Sejak kecil, dia adalah satu-satunya orang yang kuinginkan berada didekatku. Dia adalah matahariku, pusat dari seluruh duniaku.

Namun, sekarang... semuanya terasa berbeda. Jauh lebih baik jika aku menjauh, memberi jarak di antara kami.

Mungkin, dengan begitu, aku bisa melupakan rasa cinta ini, rasa cinta yang menyakitkan, rasa cinta yang bertepuk sebelah tangan. Aku harus pergi, untuk menyelamatkan diriku sendiri.

"Ke rumah Papa Dononya nanti saja," kata Papi, suaranya lembut, namun terdengar sedikit kaku. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya, sesuatu yang kurasa berkaitan dengan percakapan tadi pagi. "Oh ya... kita ngobrol dulu di ruang keluarga, yuk. Ada yang ingin disampaikan oleh Kakakmu."

"Tentang apa? Apa pertunangannya dengan Mbak Friska?" Pertanyaanku tersusun dengan nada yang sedikit tajam, tidak bisa kuhindari. Luka di hatiku masih terasa perih.

"Oh jadi kamu sudah tau, ya, kalau Kakakmu mau tunangan? Papi sendiri baru tau tadi pagi, Juna baru ngomong. Tapi meski terkesan mendadak... Papi sangat senang, kamu juga senang, kan?" Papi tersenyum menatapku.

Senang?? Tidak sama sekali, Pi.

"Iya, Pi. Aku senang." Aku mengangguk terpaksa, mencoba menahan air mata yang mengancam akan tumpah. Kebohongan ini merasa begitu berat.

"Ya sudah, sekarang kita ke ruang keluarga, ya?" Papi sudah merangkul bahuku, mengajakku untuk melangkah bersama. Namun aku menahan diri, menarik tangannya perlahan.

"Papa Dono sudah menunggu di luar, Pi. Aku sepertinya nggak bisa ngobrol dengan kalian, Papi dan Mami saja, ya?" Aku mencoba menjelaskan dengan nada yang sehalus mungkin, mencari jalan keluar dari situasi yang sulit ini.

"Lho, kok Papa Dono sudah menjemputmu? Kan Papi sudah bilang kalau kamu ke rumahnya nanti saja, lagian kenapa Papa Dono nggak ngabarin Papi dulu kalau mau ke sini untuk menjemputmu?" Papi terlihat bingung, nada suaranya menunjukkan kekecewaan yang terselubung.

"Kan aku sudah minta izin tadi. Nggak apa-apa semisalnya Papa Dono sudah ke sini, lagian Papi sendiri pernah bilang... Kapanpun Papa atau Mama mau bertemu denganku, pintu rumah Papi terbuka untuk mereka." Aku mencoba menjelaskan dengan tegas, namun dengan nada yang tetap sopan.

"Iya sih. Ya sudah deh kalau memang begitu." Papi tampak kecewa, namun dia sepertinya tidak bisa menahanku lagi. Mungkin dia tidak enak pada Papa Dono yang sudah menunggu. Aku tahu itu. Dan itulah yang kumanfaatkan.

Syukurlah tadi aku langsung telepon Papa Dono dan meminta jemput, jadi ada alasan untukku supaya bisa langsung pergi dari rumah ini, menjauh dari semua yang menyakitkan. Aku tak sanggup lagi berada di sini.

"Papi antar sampai depan deh kalau begitu. Tapi kita ke ruang keluarga dulu, ya, pamit sama Mami dan Kakakmu."

"Iya." Aku mengangguk, mencoba menunjukkan ketenangan yang tidak kumiliki. Kami berdua pun melangkah bersama menuju ruang keluarga. Koperku sudah berpindah tangan, Papi yang mendorongnya.

"Dek... kamu mau pergi ke mana?" Kak Juna langsung berdiri dari duduknya, wajahnya tampak terkejut, matanya menunjukkan kebingungan dan sedikit kecemasan. "Kenapa bawa koper?"

"Ini, si Silvi katanya mau tinggal di rumah Pak Dono. Dan Pak Dono sudah menunggu di depan." Papi yang menjawab.

"Lho, kok tinggal di rumah Om Dono sih, Dek? Kenapa mendadak begini?" Kak Juna tampak kecewa, suaranya menunjukkan kebingungan dan sedikit rasa bersalah.

"Iya, kan kita mau bahas masalah pertunangan Juna." Mami menimpali, suaranya lembut, mencoba menenangkan situasi. Dia merangkul bahuku dengan lembut, sentuhannya menawarkan penghiburan yang tidak mampu kuterima. "Kakakmu mau tunangan, Sayang. Kita mau bahas tentang hal itu tadinya."

"Kalian bertiga saja, Mi. Akunya nggak enak, udah ditungguin Papa di luar." Aku menarik lengan Mami dari bahuku. Lalu kucium lembut punggung tangannya, "Aku pamit ya, Mi, assalamualaikum."

Mami langsung menatap Papi, kulihat Papi mengangguk, seperti melakukan isyarat. Setelah itu barulah Mami menjawab salamku tadi.

"Walaikumsalam. Hati-hati ya, Sayang. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Mami, Papi atau Kakakmu."

"Iya, Mi." Aku mengangguk, lalu menoleh ke arah Papi. Pria itu pun merangkulku, mengajakku untuk melangkah bersama sambil mendorong koper.

"Tunggu dulu, Dek!" Suara Kak Juna menghentikan langkahku.

Dia menghalangi jalan kami yang sedikit lagi keluar rumah. Kedua tangannya membentang di depan pintu, menunjukkan penolakannya. "Kenapa kamu mendadak ingin tinggal dengan Om Dono dan Tante Della? Apa alasannya, Dek?"

"Aku kangen sama mereka," jawabku singkat, sambil membuang muka. Aku malas berlama-lama menatap wajahnya; rasa benci seketika membuncah mengingat penolakannya yang begitu menyakitkan.

"Tapi—" Kak Juna mencoba membantah, namun—

"Sudahlah, Jun. Biarkan Silvi dan Papi lewat," sela Papi cepat, mengusap punggungku sebelum mendorong pelan Kak Juna agar menyingkir. "Nggak enak, Om Dono sudah menunggu di luar."

Kami pun melangkah menuju Papa Dono. Setelah mencium tangannya, aku masuk ke mobil. Kulihat Papi dan Papa Dono berbincang sebentar sebelum Papa Dono masuk dan duduk di sampingku.

"Kalau kamu sudah selesai menuntaskan rasa kangenmu, kabari Papi, ya? Biar Papi menjemputmu pulang," ucap Papi di depan pintu mobil, mencium lembut keningku dengan penuh kasih sayang. Sentuhannya terasa hangat di tengah hatiku yang dingin.

"Iya, Pi." Aku mengangguk.

"Papi sayang sama kamu." Usapan lembut di pipiku. Pandanganku tak sengaja bertemu dengan Kak Juna yang berdiri di ambang pintu, wajahnya tampak bingung.

"Aku juga sayang Papi."

"Kami berdua pergi ya, Pak. Assalamualaikum," ucap Papa Dono, menghidupkan mesin mobil.

"Walaikumsalam." Papi menjawab, bersamaan dengan Mami yang muncul di pintu rumah, melambaikan tangan. Aku membalasnya, lalu mobil melaju menjauh, meninggalkan rumah itu di belakang.

Aku menarik napas panjang, dalam-dalam, mencoba menenangkan hati dan jiwaku yang masih bergolak. Semoga saja keputusanku sudah benar, dengan menjauhi Kak Juna, menjauhi semua rasa sakit ini. Aku tak ingin cintaku hanya membuatku tersiksa, terlebih dengan bayangan pernikahannya nanti dengan Mbak Friska.

Ting!

Ponselku tiba-tiba berbunyi, getarannya membuatku tersentak. Aku meraihnya di dalam tas, ternyata chat dari Kak Juna.

[Dek... Kakak nggak ngerti kenapa kamu tiba-tiba ingin tinggal dengan Om Dono dan Tante Della. Padahal Kakak baru saja mau membahas masalah pertunangan Kakak dengan Friska. Tapi ya sudah, kamu baik-baik ya di sana. Besok Kakak main ke rumah Om Dono.]

"Main?"

Aku bergumam, nada suaraku penuh ketidakpercayaan. Kata itu terasa begitu enteng, begitu santai, di tengah luka yang masih kurasakan.

Aku sengaja tinggal di rumah Papa Dono untuk menjauh darinya, untuk melupakan rasa cinta yang bertepuk sebelah tangan ini. Tapi dia... dia dengan santainya mengatakan ingin "main"?

Tidak! Tidak akan terjadi! Aku yang akan melarangnya! Aku akan memastikan dia tidak akan mengunjungiku! Keputusanku sudah teguh. Aku harus menjaga jarak, untuk kesembuhan hatiku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Cinta Kakakku   7. Aku selalu ada untukmu

    "Sama Kakak saja, Dek. Biar Kakak yang antar." Suara Kak Juna, serak dan berat, menciptakan getaran amarah yang siap meledak di dalam dadaku.Aku langsung menepis tangannya, gerakan refleks yang dipicu oleh amarah yang membuncah. Bukan hanya menepis, aku juga mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga.Brukk!!Tubuh Kak Juna terhuyung, jatuh tersungkur ke aspal. Bunyi tubuhnya membentur jalanan terdengar begitu nyaring, menciptakan gema di telingaku. Namun, aku tak peduli. Aku tak mampu lagi menahan amarah yang membara. Ini adalah kesempatan emas untuk pergi darinya, untuk menjauhkan diri dari cengkeramannya."Jalan, Pak!""Baik, Nona." Sopir taksi itu mengangguk patuh, lalu menginjak pedal gas. Mobil melaju meninggalkan rumah, meninggalkan Kak Juna yang tergeletak di jalanan.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan debaran jantungku yang masih berpacu kencang.Punggungku menyandar di kursi mobil,

  • Gairah Cinta Kakakku   6. Nasi goreng spesial

    Sampai di pinggir jalan, rupanya Mama Della juga ikut mengejar. Dia langsung menarik tanganku yang hampir mencapai sisi jalan, menghentikan niatku untuk pulang sendiri dengan menggunakan taksi."Kamu mau ke mana, Sayang?" Suaranya lembut, berbeda dengan amarah yang baru saja kurasakan."Hiks ...." Aku tiba-tiba menangis. Emosiku yang memuncak melebur menjadi air mata yang tak tertahankan. Tangisanku pecah, menumpahkan segala beban yang kurasakan.Mama Della langsung memelukku, menenangkan tubuhku yang gemetar. Namun tangisku kian menjadi, mengingat bagaimana nasibku yang terasa begitu buruk."Mama minta maaf, ya, kalau Mama ada salah sama kamu. Kalau memang kamu benar-benar kepengen menikah... Mama akan mendukungmu. Mama juga akan bicara dengan Papimu, supaya dia setuju," Mama Della berkata, suaranya penuh kelembutan dan pengertian. Kata-katanya bagai angin segar di tengah gersangnya hatiku. Aku tak menyangka ternyata dia memi

  • Gairah Cinta Kakakku   5. Tidak adil

    "Ya sudah… kalian makan dulu, yuk. Kalian pasti belum makan, kan?" Papi angkat bicara, lalu berdiri dari duduknya."Ayok Om, kebetulan aku juga laper nih." Kak Robert mengangguk seraya menyentuh perutnya, lalu dia menatap ke arahku. "Kamu mau makan bareng Kakak nggak, Vi? Ayok sekalian," ajaknya."Silvi biar makan denganku." Kak Juna lagi-lagi menyela, padahal aku baru membuka mulut ingin menjawab."Oh ya sudah." Kak Robert mengangguk mengerti.Papi pun merangkul bahu Kak Robert, lalu mengajaknya dan Om Joe menuju meja prasmanan."Kamu jangan mau sama Robert ya, Dek!" seru Kak Juna. Matanya menatapku tajam."Kenapa memangnya?""Pokoknya jangan!" jawabnya menggeleng tegas, tanpa memberikan alasan."Sayang!! Sini!!"Dari kejauhan, Mbak Friska berteriak memanggil. Dasar tidak sopan! Padahal apa susahnya dia ke sini, tanpa perlu berteriak-teriak begitu.Kak Juna menoleh, lalu mengangguk. Namun dia menatap ke arahku lagi. "Kakak tinggal dulu sebentar ya, Dek. Nanti Kakak balik lagi buat ki

  • Gairah Cinta Kakakku   4. Silvi masih kecil

    "Bukannya Kakak sendiri yang minta aku untuk melupakan rasa cinta ini?" Aku perlahan menyentuh dadaku yang berdenyut ngilu. "Kalau kita sering melakukan kontak fisik, bagaimana bisa aku melupakannya?""Kontak fisik apa yang kamu maksud? Apa memelukmu? Jadi Kakak nggak boleh memelukmu lagi??" Kak Juna menatapku dengan raut sedih dan kecewa."Bukan hanya memeluk saja, tapi mencium keningku juga.""Tapi bukannya dari dulu Kakak sudah sering memeluk dan mencium keningmu?" Dahinya berkerut bingung, namun raut sedihnya masih kentara jelas. "Kakak rasa itu wajar, Dek.""Mau itu wajar atau tidak, intinya aku nggak mau, Kak." Aku menggeleng cepat. "Aku mohon Kakak turuti permintaanku. Lagian setelah tunangan, Kakak juga akan menikah, jadi Kakak fokus saja dengan Mbak Friska. Nggak usah pedulikan aku lagi." Diakhir kalimat, aku mengucapkannya dengan nada ketus. Rasa kesalku padanya nyatanya masih menggebu."Lho... kok kamu bicara begitu?" Kak Juna tampak terkejut, bahkan kedua matanya kini suda

  • Gairah Cinta Kakakku   3. Menikah duluan

    Lagian, bukankah katanya pesta pertunangannya besok? Seharusnya Kak Juna sibuk mempersiapkan segalanya, jadi dia tidak akan punya waktu untuk sekadar "main" ke rumah Papa."Kamu nggak lagi berantem dengan Kakakmu 'kan, Sayang?"Pertanyaan Papa Dono membuatku tersentak dari lamunan. Aku menoleh, melihat wajah penuh perhatiannya. Aku menggeleng cepat."Enggak kok, Pa." Suaraku sedikit gemetar, mencoba meyakinkan diri sendiri sekaligus Papa Dono."Syukurlah kalau enggak." Tangannya yang hangat mengusap puncak kepalaku, sentuhan lembut yang terasa menenangkan. Segera aku memeluknya erat, mencari perlindungan dalam dekapannya yang penuh kasih sayang.Apakah sikapku tadi sudah menunjukkan bahwa aku dan Kak Juna bermasalah? Semoga saja tidak.***Pagi-pagi sekali, setelah sholat subuh, aku pamit pada Papa dan Mama untuk keluar rumah. Aku memberikan alasan ingin lari pagi bersama Love—sahabatku. Itu semua aku lakukan untuk menghindari Kak Juna.Chatnya kemarin tak kubalas, namun ma

  • Gairah Cinta Kakakku   2. Menjauh

    "Lho, Sayang ... kamu mau ke mana? Kok bawa-bawa koper?"Pertanyaan Papi terlontar saat dia melihatku keluar dari kamar dengan mendorong koper.Tadi pagi sebelum sarapan, aku sempat tak sengaja mendengar perbincangan antara Papi, Mami dan Kak Juna di dapur yang membahas masalah pertunangan dengan Mbak Friska. Aku terkejut, karena ternyata pertunangan mereka diadakan besok.Itu terdengar begitu mendadak, aku sendiri baru diberitahu semalam, itupun karena Kak Juna yang menolak cintaku."Sayang, kok kamu melamun? Ada apa?"Aku tersentak, Papi menyentuh pundakku. Aku menggeleng cepat."Enggak apa-apa kok, Pi. Aku cuma kangen sama Mama dan Papa, jadi mau tinggal di sana untuk sementara waktu. Boleh 'kan?"Papa Dono adalah Papa angkatku.Dulu, Papi Tian bercerita jika dia pernah ditipu oleh almarhum mama. Almarhum mama mengatakan bahwa aku sudah meninggal, padahal nyatanya aku dibuang ke panti asuhan.Entah apa masalah awalnya sehingga almarhum mama tega melakukan itu, Papi sendiri tidak me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status