Home / Romansa / Gairah Cinta Kakakku / 1. Bertepuk sebelah tangan

Share

Gairah Cinta Kakakku
Gairah Cinta Kakakku
Author: Rossy Dildara

1. Bertepuk sebelah tangan

Author: Rossy Dildara
last update Last Updated: 2025-06-02 10:19:51

"Kak, aku cinta sama Kakak!" Aku menyeru, memberanikan diri mengungkapkan apa yang selama ini terpendam di hati, yang selama ini membuatku gelisah siang dan malam.

Aku sendiri tak tahu pasti sejak kapan benih cinta itu tumbuh. Namun, perasaan ini semakin hari semakin membuncah.

Aku berharap, dengan pengakuan ini, Kak Juna mengerti perasaanku yang sebenarnya—bukan sebagai adik, melainkan sebagai seorang kekasih. Dan tentu saja, aku ingin perasaanku ini dibalas dengan rasa yang sama, sekuat dan sedalam cintaku padanya.

"Apa? Cinta? Serius kamu, Dek?" Kak Juna tampak terkejut, matanya membulat sempurna. Responnya wajar, mungkin dia sama sekali tak menyangka aku akan mengungkapkan perasaanku lebih dulu.

"Iya, Kak. Aku mencintai Kakak, tapi bukan sebagai saudara, melainkan pasangan. Kakak mau 'kan, jadi pacarku?" Aku memperjelas, suaraku sedikit gemetar, mencoba meyakinkannya. Dengan keberanian yang tak pernah kurasakan sebelumnya, aku mencium bibirnya.

Cup!

Ini merupakan ciuman pertamaku. Dan dialah orang yang kutinggalkan jejak pertamaku ini.

Bibir Kak Juna terasa dingin, namun lembut, seperti salju yang mencair perlahan di bawah sinar matahari. Bibir yang selama ini kuimpikan, sekarang kurasakan sentuhannya. Rasanya... tak terlukiskan. Aku senang dan bahagia.

"Dek!" Dia tiba-tiba mendorong bahuku, menghentikan ciuman yang baru saja dimulai. Sentuhannya sedikit kasar, membuyarkan mimpi indahku.

Wajah Kak Juna memerah, keringat dingin membasahi wajah dan lehernya.

"Enggak, Dek! Ini nggak bisa! Kakak nggak bisa!" Kak Juna menggeleng cepat, seolah menolak keras kenyataan yang baru saja terjadi.

"Enggak bisa apanya, Kak?" tanyaku, bingung dan sedikit kecewa. Aku tak mengerti penolakannya.

Tangannya yang dingin perlahan menyentuh pipiku, sentuhannya lembut namun terasa begitu jauh, seperti membatasi jarak di antara kita. Mata kami bertemu, dalam tatapan itu tersirat kesedihan yang dalam.

"Cinta itu... yang kamu katakan tadi, kamu harus segera menghapusnya!" suaranya bergetar, kata-katanya menusuk hatiku seperti sebilah pisau.

"Maksudnya?" Bingung, aku bertanya kembali.

Menghapus? Kenapa harus dihapus? Bukankah selama ini dia juga mencintaiku? Bukankah tatapan, sentuhan, dan sikap posesifnya selama ini menunjukkan lebih dari sekadar kasih sayang seorang kakak?

"Kamu nggak boleh cinta sama Kakak, kita ini saudara. Kita kakak adik, apakah kamu lupa itu?" Suara Kak Juna tegas, mencoba meyakinkanku, namun kata-katanya terasa dingin dan menyakitkan.

"Aku ingat, tapi kita cuma saudara tiri, Kak. Tidak apa kalau saudara tiri saling mencintai, toh di agama nggak ada larangan." Aku mencoba membela diri, mencari celah dalam penolakannya.

"Itu memang benar. Tapi tetap saja nggak boleh!" Kak Juna menggeleng keras, menolak keras argumenku. "Kamu nggak boleh mencintai Kakak, Dek."

"Kakak sendiri bukannya mencintaiku juga, kan? Aku tau itu." Aku menatapnya tajam, mencoba mencari kejujuran di balik matanya yang berkaca-kaca.

Kak Juna tampak terkejut, dia terdiam sejenak, lalu bicara. "Kamu sepertinya salah paham. Cinta yang selama ini Kakak berikan padamu bukan cinta yang sama seperti apa yang kamu pikirkan. Cinta Kakak adalah cinta seorang Kakak terhadap adiknya, nggak lebih dari itu, Dek." Kata-kata itu seperti tamparan keras di wajahku.

"Kakak bohong!" Aku berteriak, dadaku bergemuruh.

Selama ini, aku yakin, lebih dari sekadar kasih sayang saudara yang dia berikan.

Sikap posesifnya yang berlebihan, larangan-larangannya agar aku tak dekat dengan siapa pun, bahkan larangan pacaran—semuanya menunjukkan lebih dari itu. Dia lebih dari seorang kakak bagiku. Dia posesif, melebihi Papi dan Mami. Dan itu, menurutku, adalah bukti cinta. Tapi, kenyataannya... sangat menyakitkan.

"Kakak nggak bohong, Dek," jawab Kak Juna, suaranya terdengar berat, mencoba meyakinkanku, namun matanya tak mampu menyembunyikan kesedihan. "Apa kamu pikir Kakak ini pria gila? Kakak nggak mungkin memiliki perasaan kepada adik sendiri. Selain itu, kamu juga tau kalau Kakak sudah punya pacar, Kakak mencintai Friska dan kami akan bertunangan."

Aku terkejut, mataku membulat tak percaya.

Benar, dia memang sudah punya pacar, tapi... aku selalu merasa ada yang janggal dalam hubungan mereka.

Aku selalu merasa Kak Juna tidak sepenuhnya mencintai Mbak Friska. Itulah yang memberiku keberanian untuk mengungkapkan perasaanku, aku berharap dia akan memilihku, meninggalkan Mbak Friska.

Apakah selama ini aku salah menilai? Pertanyaan itu bergema di kepalaku, menghantamku dengan kerasnya kenyataan.

"Apa Kakak serius?" Aku masih tak menyerah, mencoba mencari secercah harapan yang mungkin masih tersisa. "Kakak serius mau bertunangan dengan Mbak Friska?"

"Kakak serius, Dek. Bahkan dua rius bila perlu," sahutnya sambil perlahan-lahan menggenggam tanganku, mencium keningku. "Jadi Kakak mohon... kamu harus mengerti dengan posisi kita, tentang hubungan kita. Mulai sekarang... lupakan rasa cinta itu, dan anggap ciuman tadi tidak pernah terjadi di antara kita. Tapi kamu tenang saja... rasa cinta dan sayang Kakak padamu tidak akan pernah pudar. Selamanya kamu akan memiliki tempat di hati Kakak."

Air mataku mengalir deras, membasahi pipiku, mengalir tanpa bisa dihentikan. Hatiku sakit, hancur berkeping-keping, seperti kaca yang jatuh dan berserakan.

Butuh keberanian dan kematangan mental untuk mengungkapkan perasaanku pada Kak Juna, tapi setelah semuanya aku ungkapkan, dia dengan mudah menolakku.

Dia bahkan memintaku melupakan ciuman pertamaku, ciuman yang selama ini kuimpikan bersamanya.

Kak Juna jahat!

Kupikir kita bisa bersatu, kupikir rasa kita menyatu, tapi ternyata hanya akulah yang mencintai seorang diri, hanya aku yang berjuang sendiri. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Sakit sekali rasanya.

Aku... Aku membenci Kakak!

"Lho, Dek, kenapa menangis?"

Apakah setelah semuanya yang terjadi masih harus dipertanyakan alasan aku menangis? Kakak benar-benar tidak peka sekali. Ketidakpekaannya menambah rasa sakit yang sudah menggebu di dadaku.

Tangan Kak Juna perlahan mengusap kedua pipiku, sentuhannya yang dulu terasa hangat kini terasa dingin dan asing. Lalu, dia menarik kedua pipiku untuk memaksaku tersenyum.

"Jangan sedih, nanti cantiknya hilang. Sekarang kita pulang, yuk! Ini sudah malam, takutnya Mami dan Papi nungguin kita." Kata-katanya terdengar begitu ringan, seolah-olah masalah besar yang baru saja terjadi adalah hal yang sepele.

Aku langsung menepis tangannya dengan kasar, gerakanku penuh amarah dan kepedihan.

Aku tak mampu lagi menahan air mata yang terus mengalir. Aku berjalan lebih dulu menuju mobil, meninggalkan Kak Juna.

*

*

*

"Assalamualaikum." Salam Kak Juna memecah kesunyian rumah.

Kami berdua masuk ke dalam rumah disambut oleh Mami yang berdiri di ruang tengah, raut wajahnya tampak khawatir.

"Walaikum salam. Kok kalian pulangnya malam? Kenapa?" Mami mendekat, tangannya lembut mengusap puncak rambutku, sentuhan yang terasa begitu hangat di tengah badai yang menimpa hatiku.

Sebelumnya, aku dan Kak Juna pergi berdua untuk nonton bioskop.

Akulah yang sengaja mengajaknya, karena selama ini Kak Juna selalu sibuk dengan bisnis ikan lelenya.

Aku rindu padanya, ingin menghabiskan waktu bersamanya, menciptakan kenangan indah seperti dulu. Tapi sayangnya, semuanya tak seindah yang kubayangkan. Kenangan indah itu telah tergantikan oleh luka yang mendalam.

"Tadi macet parah di jalan, Mi. Ada kecelakaan." Kak Juna menjawab bohong, suaranya terdengar terpaksa. Aku tahu maksudnya, semua ini demi menutupi apa yang telah terjadi di antara kami.

"Aku mau ke kamar, ngantuk," kataku, suaraku terdengar lesu, tanpa semangat. Aku berlalu begitu saja, meninggalkan mereka berdua di ruang tengah. Kudengar samar-samar Mami bertanya pada Kak Juna,

"Kenapa pulang-pulang Silvi cemberut? Kalian berantem?"

Namun, aku tak punya niat menguping, tak punya energi untuk mendengarkan penjelasan Kak Juna. Aku hanya ingin menyendiri, menenangkan hatiku yang hancur.

Hari ini sudah cukup. Aku sangat lelah, lelah secara fisik dan emosional.

Hatiku sakit, luka yang baru saja kuterima terasa begitu dalam. Aku capek dengan cintaku ini, cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Andai saja bisa kukubur semua rasaku, mungkin sudah sejak lama aku melakukannya. Tapi, bagaimana caranya? Bagaimana caranya melupakan seseorang yang begitu dalam terpatri di hati?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Cinta Kakakku   6. Nasi goreng spesial

    Sampai di pinggir jalan, rupanya Mama Della juga ikut mengejar. Dia langsung menarik tanganku yang hampir mencapai sisi jalan, menghentikan niatku untuk pulang sendiri dengan menggunakan taksi."Kamu mau ke mana, Sayang?" Suaranya lembut, berbeda dengan amarah yang baru saja kurasakan."Hiks ...." Aku tiba-tiba menangis. Emosiku yang memuncak melebur menjadi air mata yang tak tertahankan. Tangisanku pecah, menumpahkan segala beban yang kurasakan.Mama Della langsung memelukku, menenangkan tubuhku yang gemetar. Namun tangisku kian menjadi, mengingat bagaimana nasibku yang terasa begitu buruk."Mama minta maaf, ya, kalau Mama ada salah sama kamu. Kalau memang kamu benar-benar kepengen menikah... Mama akan mendukungmu. Mama juga akan bicara dengan Papimu, supaya dia setuju," Mama Della berkata, suaranya penuh kelembutan dan pengertian. Kata-katanya bagai angin segar di tengah gersangnya hatiku. Aku tak menyangka ternyata dia memi

  • Gairah Cinta Kakakku   5. Tidak adil

    "Ya sudah… kalian makan dulu, yuk. Kalian pasti belum makan, kan?" Papi angkat bicara, lalu berdiri dari duduknya."Ayok Om, kebetulan aku juga laper nih." Kak Robert mengangguk seraya menyentuh perutnya, lalu dia menatap ke arahku. "Kamu mau makan bareng Kakak nggak, Vi? Ayok sekalian," ajaknya."Silvi biar makan denganku." Kak Juna lagi-lagi menyela, padahal aku baru membuka mulut ingin menjawab."Oh ya sudah." Kak Robert mengangguk mengerti.Papi pun merangkul bahu Kak Robert, lalu mengajaknya dan Om Joe menuju meja prasmanan."Kamu jangan mau sama Robert ya, Dek!" seru Kak Juna. Matanya menatapku tajam."Kenapa memangnya?""Pokoknya jangan!" jawabnya menggeleng tegas, tanpa memberikan alasan."Sayang!! Sini!!"Dari kejauhan, Mbak Friska berteriak memanggil. Dasar tidak sopan! Padahal apa susahnya dia ke sini, tanpa perlu berteriak-teriak begitu.Kak Juna menoleh, lalu mengangguk. Namun dia menatap ke arahku lagi. "Kakak tinggal dulu sebentar ya, Dek. Nanti Kakak balik lagi buat ki

  • Gairah Cinta Kakakku   4. Silvi masih kecil

    "Bukannya Kakak sendiri yang minta aku untuk melupakan rasa cinta ini?" Aku perlahan menyentuh dadaku yang berdenyut ngilu. "Kalau kita sering melakukan kontak fisik, bagaimana bisa aku melupakannya?""Kontak fisik apa yang kamu maksud? Apa memelukmu? Jadi Kakak nggak boleh memelukmu lagi??" Kak Juna menatapku dengan raut sedih dan kecewa."Bukan hanya memeluk saja, tapi mencium keningku juga.""Tapi bukannya dari dulu Kakak sudah sering memeluk dan mencium keningmu?" Dahinya berkerut bingung, namun raut sedihnya masih kentara jelas. "Kakak rasa itu wajar, Dek.""Mau itu wajar atau tidak, intinya aku nggak mau, Kak." Aku menggeleng cepat. "Aku mohon Kakak turuti permintaanku. Lagian setelah tunangan, Kakak juga akan menikah, jadi Kakak fokus saja dengan Mbak Friska. Nggak usah pedulikan aku lagi." Diakhir kalimat, aku mengucapkannya dengan nada ketus. Rasa kesalku padanya nyatanya masih menggebu."Lho... kok kamu bicara begitu?" Kak Juna tampak terkejut, bahkan kedua matanya kini suda

  • Gairah Cinta Kakakku   3. Menikah duluan

    Lagian, bukankah katanya pesta pertunangannya besok? Seharusnya Kak Juna sibuk mempersiapkan segalanya, jadi dia tidak akan punya waktu untuk sekadar "main" ke rumah Papa."Kamu nggak lagi berantem dengan Kakakmu 'kan, Sayang?"Pertanyaan Papa Dono membuatku tersentak dari lamunan. Aku menoleh, melihat wajah penuh perhatiannya. Aku menggeleng cepat."Enggak kok, Pa." Suaraku sedikit gemetar, mencoba meyakinkan diri sendiri sekaligus Papa Dono."Syukurlah kalau enggak." Tangannya yang hangat mengusap puncak kepalaku, sentuhan lembut yang terasa menenangkan. Segera aku memeluknya erat, mencari perlindungan dalam dekapannya yang penuh kasih sayang.Apakah sikapku tadi sudah menunjukkan bahwa aku dan Kak Juna bermasalah? Semoga saja tidak.***Pagi-pagi sekali, setelah sholat subuh, aku pamit pada Papa dan Mama untuk keluar rumah. Aku memberikan alasan ingin lari pagi bersama Love—sahabatku. Itu semua aku lakukan untuk menghindari Kak Juna.Chatnya kemarin tak kubalas, namun ma

  • Gairah Cinta Kakakku   2. Menjauh

    "Lho, Sayang ... kamu mau ke mana? Kok bawa-bawa koper?"Pertanyaan Papi terlontar saat dia melihatku keluar dari kamar dengan mendorong koper.Tadi pagi sebelum sarapan, aku sempat tak sengaja mendengar perbincangan antara Papi, Mami dan Kak Juna di dapur yang membahas masalah pertunangan dengan Mbak Friska. Aku terkejut, karena ternyata pertunangan mereka diadakan besok.Itu terdengar begitu mendadak, aku sendiri baru diberitahu semalam, itupun karena Kak Juna yang menolak cintaku."Sayang, kok kamu melamun? Ada apa?"Aku tersentak, Papi menyentuh pundakku. Aku menggeleng cepat."Enggak apa-apa kok, Pi. Aku cuma kangen sama Mama dan Papa, jadi mau tinggal di sana untuk sementara waktu. Boleh 'kan?"Papa Dono adalah Papa angkatku.Dulu, Papi Tian bercerita jika dia pernah ditipu oleh almarhum mama. Almarhum mama mengatakan bahwa aku sudah meninggal, padahal nyatanya aku dibuang ke panti asuhan.Entah apa masalah awalnya sehingga almarhum mama tega melakukan itu, Papi sendiri tidak me

  • Gairah Cinta Kakakku   1. Bertepuk sebelah tangan

    "Kak, aku cinta sama Kakak!" Aku menyeru, memberanikan diri mengungkapkan apa yang selama ini terpendam di hati, yang selama ini membuatku gelisah siang dan malam.Aku sendiri tak tahu pasti sejak kapan benih cinta itu tumbuh. Namun, perasaan ini semakin hari semakin membuncah.Aku berharap, dengan pengakuan ini, Kak Juna mengerti perasaanku yang sebenarnya—bukan sebagai adik, melainkan sebagai seorang kekasih. Dan tentu saja, aku ingin perasaanku ini dibalas dengan rasa yang sama, sekuat dan sedalam cintaku padanya."Apa? Cinta? Serius kamu, Dek?" Kak Juna tampak terkejut, matanya membulat sempurna. Responnya wajar, mungkin dia sama sekali tak menyangka aku akan mengungkapkan perasaanku lebih dulu."Iya, Kak. Aku mencintai Kakak, tapi bukan sebagai saudara, melainkan pasangan. Kakak mau 'kan, jadi pacarku?" Aku memperjelas, suaraku sedikit gemetar, mencoba meyakinkannya. Dengan keberanian yang tak pernah kurasakan sebelumnya, aku mencium bibirnya.Cup!Ini merupakan ciuman p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status