Home / Romansa / Gairah Cinta Kakakku / 8. Menarik perhatianku

Share

8. Menarik perhatianku

Author: Rossy Dildara
last update Last Updated: 2025-06-19 17:40:00

Secara tiba-tiba, Papi melangkah cepat ke arahku, lalu memelukku erat. Pelukannya begitu tiba-tiba, sehingga membuatku terkejut.

Bukan cuma aku, bahkan Love juga tersentak kaget melihat apa yang terjadi.

Namun, tak dapat ku pungkiri bahwa pelukan Papi begitu hangat, menciptakan rasa nyaman yang tak terduga. Di tengah ketegangan yang kurasakan, aku juga merasa rindu padanya, rindu akan kasih sayang seorang ayah.

"Eh Om Tian... selamat siang, Om. Om mau jemput Silvi, ya?" Love bertanya dengan ramah, suaranya mencoba mencairkan suasana tegang. Dia tersenyum ke arah Papi meskipun kulihat sedikit canggung.

"Iya nih." Suara Papi Tian terdengar berat, seperti suara seseorang yang menahan beban berat. Aku dapat merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat dalam dekapannya, detak jantung yang seakan ikut berdebar bersama jantungku.

"Ya sudah. Kita nggak jadi deh nontonnya, Vi. Lain kali saja. Aku pulang duluan kalah begitu, ya? Bye!!" Love cepat-cepat melepaskan genggaman tangannya padaku, lalu berlari kecil meninggalkan kami berdua yang masih tampak membeku karena terkejut. Aku sempat tersenyum padanya, menunjukkan rasa terima kasihku.

"Ayok masuk." Papi melepaskan pelukannya, lalu menarikku lembut untuk masuk ke dalam mobilnya yang mewah. Sentuhannya lembut, namun ada aura ketegasan yang tak dapat kusembunyikan.

Aku menduga kedatangannya berhubungan dengan Papa yang sudah datang ke rumah. Aku berharap, Papi akan menyampaikan kabar baik, bahwa dia setuju untuk mengizinkanku menikah. Harapan itu, seperti seberkas cahaya di tengah kegelapan.

"Kita makan siang bareng, ya? Sekaligus ada hal yang ingin Papi bahas denganmu." Papi menyalakan mesin mobilnya, lalu memakaikanku sabuk pengaman.

"Iya." Aku mengangguk cepat.

Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang, kami hampir tak bicara sampai akhirnya tiba di sebuah restoran mewah.

Namun, aneh rasanya karena untuk pertama kalinya Papi mengajakku makan siang di restoran orang lain, bukan di restoran Mami.

"Kita duduk di sana, Papi sudah pesan meja untuk kita." Papi menunjuk meja yang berada paling pojok sebelah kanan, lalu merangkulku untuk ikut bersamanya.

"Kok nggak di restoran Mami makannya, Pi?" tanyaku merasa penasaran dengan alasannya mengajakku makan di sini.

"Iya, memang sengaja."

"Sengaja?" Alis mataku bertaut, semakin penasaran. "Kenapa?"

"Kalau di restoran Mami pasti banyak yang kenal kita. Lebih baik di sini, karena Papi nggak mau perbincangan kita didengar orang."

"Oohhh." Aku mengangguk mengerti.

Kami pun duduk berhadapan, memesan menu yang sama. Aroma makanan yang harum memenuhi hidungku, namun pikiran tetap tertuju pada percakapan yang akan segera terjadi.

Sebelum pelayan datang membawa pesanan kami, Papi membuka suara, suaranya lebih lembut, lebih menenangkan.

"Tadi Papa Dono ke rumah Papi," katanya, jari-jarinya dengan lembut mengelus puncak kepalaku. Sentuhan itu, sehalus sutra, menenangkan debar jantungku yang bergemuruh.

"Terus, apa jawaban Papi?" Suaraku bergetar, campuran rasa penasaran dan kecemasan yang tak tertahankan. Aku ingin segera mendengar jawabannya, jawaban yang akan menentukan arah hidupku.

"Kamu serius, ingin benar-benar menikah?" Tatapannya tajam, menembusku, seolah ingin memastikan kesungguhanku.

"Serius, Pi," jawabku cepat, suaraku mantap. "Kalau nggak serius, aku nggak akan berani ngomong ke kalian."

Papi terdiam sejenak, menatapku dalam-dalam. Lalu, tangannya yang besar dan hangat menggenggam tanganku di atas meja, sentuhan yang penuh kasih sayang.

"Asal kamu janji sama Papi, ya?"

"Janji apa?" Aku bertanya, debaran jantungku semakin cepat.

"Jangan berhenti kuliah. Kamu harus lulus minimal sampai S1, karena pendidikan itu penting di zaman sekarang, Vi."

"Iya, Pi. Aku janji." Aku mengangguk cepat, setuju dengan syaratnya. "Apakah ini berarti Papi menyetujui permintaanku? Mengizinkanku menikah?"

"Iya." Jawaban singkat itu terasa berat, kulihat sorot mata Papi, tersirat keraguan dan mungkin juga sedikit terpaksa. "Sekarang pilihlah ...," katanya seraya mengeluarkan tiga lembar foto dari dalam saku jasnya. Tiga foto pria tampan terpampang di depanku.

Aku menatap ketiga foto tersebut, mataku sontak membulat tak percaya. Kak Robert, Kak Atta, dan Kak Baim. Ketiga pria tampan itu adalah teman-teman Kak Juna.

Apakah ini artinya Papi memintaku memilih salah satu dari mereka untuk dijodohkan denganku?

"Sebetulnya masih ada satu kandidat lagi, cuma Papi baru ingat kalau dia non muslim. Jadi dia langsung Papi diskualifikasi." Papi menjelaskan, suaranya tenang.

"Siapa memangnya, Pi?" Aku penasaran.

"Si Leon, teman Kakakmu juga. Kamu pasti ingat dia juga, kan?"

"Oh Kak Leon. Iya... Aku ingat dia, Pi." Aku mengangguk, ingatan tentang sosok Kak Leon muncul di benakku.

"Jadi kamu mau pilih yang mana?" Pertanyaan Papi membuatku terdiam.

"Kalau aku pilih Kak Robert gimana? Tapi aku bingung."

Dari ketiga foto itu, hanya Kak Robert yang menarik perhatianku. Kisah masa lalunya yang gagal menikah karena sang pacar hamil, menarik rasa penasaranku. Tapi... ada rasa bimbang yang mengganjal. Dia adalah Kakaknya Love.

"Bingungnya kenapa?" Papi bertanya, terlihat heran. "Dia pria yang baik, tampan dan ada turunan Korea juga dari Daddy-nya. Rasanya siapapun wanitanya nggak akan menolak kalau dijodohkan dengannya." Papi mencoba meyakinkanku.

"Bukan soal itu, Pi. Tapi dia 'kan Kakaknya si Love." Aku menjelaskan kekhawatiranku.

"Memang kenapa kalau dia Kakaknya Love? Kamu keberatan?" Papi balik bertanya.

"Bukan aku, takutnya Love yang keberatan."

"Kalau memang kamu tertariknya sama Robert, ya sudah. Nanti soal Love biar Papi yang bicara dengan Om Joe." Papi menawarkan solusi.

"Enggak usah Papi yang bicara dengan Om Joe, biar nanti aku saja yang bicara langsung ke Lovenya." Aku lebih memilih untuk berbicara langsung dengan Love. Lebih jujur dan lebih personal.

"Ya sudah." Papi mengangguk setuju.

"Kalau Lovenya setuju, aku bisa langsung menikah dengan Kak Robert 'kan, Pi?" Aku bertanya penuh harap.

"Nanti dulu." Jawaban Papi membuatku mengerutkan dahi.

"Kok nanti?"

"Papi mau kamu dan Robert saling mengenal, minimal sebulan sebelum kalian menikah." Papi menjelaskan alasannya.

"Aku sama Kak Robert 'kan sudah saling mengenal dari dulu, Pi." Aku sedikit protes.

"Iya. Tapi 'kan kalau mengenal satu sama lain belum. Anggap saja ini seperti ta'aruf. Kamu mengerti soal itu, kan?" Papi menjelaskan dengan sabar.

"Oh ya sudah, nggak apa-apa." Aku mengangguk, meski dalam hati sedikit kecewa.

Aku ingin cepat menikah, ingin segera membuat jarak yang kokoh antara aku dan Kak Juna. Namun, aku tak bisa menolak keputusan Papi kali ini. Aku harus menerimanya.

Ta'aruf? Ya sudah. Setidaknya ini langkah yang lebih baik daripada tidak diizinkan menikah.

*

*

*

Air masih menetes dari rambutku, tubuh masih terasa hangat setelah mandi sore.

Ponselku berdering nyaring dari atas kasur, membuatku tersentak. Segera kuambil, jantungku berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya. Nomor tak dikenal terpampang di layar. Aku ragu sejenak, lalu menekan tombol hijau.

[Assalamualaikum, Silvi, ini Kak Robert.

Kakak dapat nomormu dari Papimu dan Kakak sudah dengar tentang perjodohan kita.

Kalau kamu nggak keberatan... apa kamu mau malam ini makan dengan Kakak? Nanti soal tempatnya kamu katakan saja, mau makan di mana.]

Wiihh... Langsung diajak kencan 🤭

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rossy Dildara
kasihan kenapa kak? 🥲
goodnovel comment avatar
KKK
awl2 dh kesian pd Robert
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Cinta Kakakku   44. Tanggung jawab

    Juna, yang masih terhuyung-huyung, perlahan berlutut di kaki Daddy Irfan. "Maafin aku, Om. Wajar Om marah, aku terima itu. Semuanya memang salahku. Aku akan bertanggung jawab di sini, aku akan membiayai semua pengobatan Friska sampai dia sembuh." Suaranya penuh penyesalan, menunjukkan kesungguhan permohonan maafnya. Dia siap menghadapi konsekuensi dari perbuatannya.Daddy Irfan langsung menendang Juna dengan kasar, menjauhkan dirinya dari kakinya. Gerakannya cepat dan kuat. "Membiayai katamu? Kamu pikir orang tua Friska nggak mampu? Aku mampu, Jun! Aku mampu!" teriaknya dengan mata melotot, napasnya tersengal-sengal, menunjukkan kemarahan yang belum mereda."Tapi, Om, itu bentuk tanggung jawabku karena sudah—" Juna mencoba menjelaskan, namun terpotong."Sudah, Jun, nggak usah!" Opa Angga segera menghentikan Juna, menarik cepat cucunya itu yang berniat kembali berlutut. "Kalau memang Daddy-nya Friska menolak tanggung jawabmu, kamu nggak usah

  • Gairah Cinta Kakakku   43. Kamu hanya mempermainkannya

    "Putri Anda mengalami serangan jantung, Pak."Kata-kata dokter itu menghantam mereka seperti petir di siang bolong, menciptakan keheningan sesaat yang mencekam. Udara terasa begitu berat, seakan menekan dada."Apa?! Serangan jantung?!" Mata Daddy Irfan membulat sempurna, wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi dahinya. Juna dan Opa Angga juga terpaku, terkejut luar biasa. "Tapi... bagaimana bisa, Dok?" Suara Daddy Irfan lirih, suaranya bergetar, mengungkapkan ketidakpercayaan dan keputusasaan yang mendalam."Dari hasil pemeriksaan yang saya lihat... Nona Friska ini dulunya pernah memiliki penyakit jantung ya 'kan Pak? Apakah benar?" Dokter itu bertanya, suaranya tenang namun tetap terdengar serius, menciptakan suasana yang makin menegangkan."Penyakit jantung?!" Juna dan Opa Angga berucap bersama, suara mereka nyaris bersamaan, mengungkapkan keterkejutan yang sama. Mereka saling berpandangan, mata mereka mencerminkan kebingungan dan ketakutan.Berita ini me

  • Gairah Cinta Kakakku   42. Hanya ingin dia

    "Silvi.""Si-Silvi??" Suara Friska terbata-bata, raut wajahnya tampak terkejut sekaligus bingung. Matanya membulat lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Silvi... adikmu, Yang?""Iya." Juna mengangguk, matanya menatap Friska dengan tatapan bersalah. Dia tahu bahwa pengakuannya ini akan menghancurkan hati Friska."Bagaimana bisa kamu mencintai adikmu sendiri, ketimbang aku? Kamu ini waras nggak, sih, Yang? Ini kamu sedang bercanda, kan?""Sudah kubilang, kalau aku sejak tadi bicara serius. Kamu juga tentu tau kalau aku dan Silvi adalah saudara tiri, jadi nggak masalah kalau kami saling mencintai.""Enggak! Itu aneh sih, Yang." Friska menggeleng cepat, air matanya mengalir deras. Dia tampak tak habis pikir dengan ucapan Juna. Baginya, ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal, sesuatu yang melampaui batas kewajaran."Aneh apanya? Cinta itu 'kan tumbuh tanpa kita tau akan bertaut ke siapa, kenapa juga harus aneh?

  • Gairah Cinta Kakakku   41. Kita harus putus

    Setelah dipersilakan masuk, Friska dengan sigap duduk di sofa ruang tamu.Detak jantungnya berdebar-debar, merasa tak sabar ingin cepat bertemu Juna.Dia lalu menatap sekeliling ruangan, mencoba menenangkan diri. Tak lama, Juna muncul, diikuti Opa Angga. Bayangan Silvi sejenak melintas di benak Juna, niatnya untuk menelepon gadis itu tertunda karena kehadiran Friska. Namun, masalah dengan Friska juga tak bisa diabaikan; nasibnya terkait erat dengannya."Yang!!" Mata Friska langsung berbinar, seakan dunia hanya berisi Juna saat ini. Dia dengan cepat berdiri dan memeluk Juna erat-erat. "Aku kangen banget sama kamu, Yang! Kamu ke mana saja? Kenapa nggak ada kabar?" Suaranya bergetar karena rindu yang terpendam.Opa Angga mengamati keduanya dengan seksama, tatapannya menelisik pada ekspresi Juna. Dia melihat sebuah kejenuhan, bahkan kesan risih yang terpancar dari wajah cucunya. Pelukan itu lekas dilepas Juna, gerakannya kaku dan terkesan formal."Kalia

  • Gairah Cinta Kakakku   40. Terima kasih

    Opa Angga terdiam, tatapannya yang sayu dan dalam seakan menembus jauh ke lubuk hati Juna. Sejujurnya, Ini bukan ranahnya, dia tahu itu. Keputusan Papi Tian dan Mami Nissa sudah bulat, sebuah keputusan yang telah dipikirkan berulang kali, sebuah keputusan yang didasari oleh pertimbangan yang matang dan mungkin, yang menyakitkan. Opa Angga mengerti, dia selalu mendukung keputusan anak-anaknya, karena dia yakin mereka tak akan mengambil keputusan yang gegabah. Namun, melihat Juna yang duduk di hadapannya, wajahnya pucat pasi, mata sembab karena menahan tangis, hati Opa Angga terenyuh. Cucu kesayangannya itu tampak begitu frustasi, begitu putus asa. Walau bagaimanapun, Juna tetaplah cucunya, cucu yang selalu dia sayangi. Cinta dan kasih sayang itu tak mudah untuk dihilangkan, meski dia harus bersikap tegas. "Memangnya cintamu pada Silvi dalam banget ya, Jun, sampai dari dulu kamu nggak bisa melupakannya?" Suaranya lembut, namun sarat dengan pertanyaan yang menusuk. Dia ingin mema

  • Gairah Cinta Kakakku   39. Tolong restui aku

    "Tapi, aku dan Kakak 'kan sudah menikah, Pi. Aku makin nggak bisa melupakannya. Dia sudah menjadi suamiku."Setidaknya, karena semuanya terlanjur terjadi, Silvi mencoba untuk menerima keadaannya, dengan menerima Juna yang kini telah menjadi suaminya."Pernikahan kalian nggak sah, ngapain dipikirin.""Tapi Kakak 'kan ada buktinya, Pi, dan di sana jelas kalau pernikahan siri itu sudah dilakukan.""Menurut Papi tetap nggak sah. Karena selain tanpa persetujuan keluarga... Dia juga melakukan itu tanpa persetujuanmu.""Apakah ini berarti pernikahanku dengan Kakak harus diulang?""Nggak perlu." Papi Tian menggeleng cepat."Kenapa?""Kamu dan Kakakmu akan selamanya menjadi saudara, jadi nggak akan pernah ada pernikahan di antara kalian." Papi Tian menjelaskan, suaranya tegas dan tanpa kompromi."Tapi semuanya 'kan sudah terlanjur terjadi, Pi. Lagian aku juga sudah gagal menikah dengan Kak Robert, jadi aku—" Silvi mencoba menjelaskan lagi, mencoba mencari celah agar Papinya mau mengerti pos

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status