Share

3.Godaan Aluna

last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-19 10:50:44

Aluna masih menatap Kenzo tanpa bisa menahan gugup yang tiba-tiba menyerang. Tatapan mata pria matang itu terlalu dalam, terlalu menekan, membuat jantungnya berdetak cepat tanpa alasan yang bisa ia pahami.

“Kenzo, sahabat Papa kamu,” ucap pria itu dengan nada tenang, sembari menyodorkan tangan.

Aluna sempat ragu sesaat, tapi akhirnya membalas jabatan tangannya. “S–saya Aluna,” sahutnya cepat, sedikit terbata. Sentuhan tangan Kenzo hangat, besar, dan entah kenapa membuatnya susah menarik diri.

Andreas memperhatikan interaksi itu dengan dahi berkerut tapi tetap tersenyum tipis. “Tak biasanya kamu gugup begini, Sayang. Ada apa?” tanyanya ringan, seolah ingin menggoda.

Aluna langsung menarik tangannya cepat-cepat. “Tidak, Pah. Aku hanya … lelah saja,” ucapnya singkat sambil memaksakan senyum. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan wajah yang entah kenapa terasa panas.

Andreas menatapnya agak lama sebelum kembali berkata, “Dari mana saja kamu semalam? Mama kamu laporan kalau tadi pagi kamu baru pulang.”

“Mama udah gak ada, Pah,” sahut Aluna datar. “Siapa yang laporan? Tante Sarah?”

Pertanyaan itu seperti belati tajam yang menusuk hatinya. Andreas terdiam, menatap anaknya sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Mau sampai kapan kamu tak menganggap kalau dia adalah ibumu juga?”

Aluna mendengus pelan, bibirnya melengkung sinis. “Bukankah dulu kita pernah sepakat, Pah? Aku gak kasih restu Papa nikah sama dia. Dia diterima di rumah ini saja sudah lebih dari cukup. Tak perlulah Papa melebih-lebihkan dengan memintaku menghormatinya sama seperti aku menghormati Mama dulu.”

Tanpa menunggu tanggapan, Aluna langsung berbalik, melangkah pergi dengan kepala tegak. Suara langkahnya terdengar jelas di lantai marmer, meninggalkan keheningan di ruang tamu.

Andreas hanya menghela napas panjang, lalu menatap Kenzo yang masih berdiri di tempat. “Itulah putriku,” ujarnya dengan nada lelah tapi bangga. “Keras kepala, sulit diatur, tapi … dia pintar, bahkan lebih dari ibunya dulu.”

Kenzo mengangguk perlahan, menatap arah Aluna menghilang. “Aku bisa lihat itu. Tapi kurasa, kau terlalu keras padanya.”

Andreas menatap balik dengan kening berkerut. “Keras bagaimana? Dia anak gadis, tak mungkin kubebaskan begitu saja. Apalagi dia setidak suka itu sama Sarah, entahlah kenapa.”

Kenzo menatapnya dalam-dalam sebelum menjawab dengan nada tenang, “Itu dia, Andreas. Kau gak pernah benar-benar paham bagaimana Aluna.” Kalimat itu membuat Andreas terdiam. Ia tahu, Kenzo jarang bicara tanpa alasan.

****

Malam itu, Aluna duduk di balkon kamarnya, hanya diterangi lampu kecil dan cahaya dari kolam renang di bawah sana. Angin malam mengibaskan rambutnya, membuatnya tampak lebih tenang dari biasanya. Tapi wajahnya tetap menyiratkan lelah.

Ia menatap kosong ke arah kota. “Papa gak akan pernah ngerti. Aku gak akan pernah suka wanita itu, sampai kapan pun,” gumamnya pelan.

Tak lama, terdengar ketukan pelan di pintu. Ia tak menjawab, hingga suara engsel berderit.

“Hai, Sayang,” suara Andreas terdengar lembut. Ia berjalan mendekat lalu mengecup puncak kepala putrinya. “Boleh Papa duduk di sini?”

Aluna menatapnya sekilas, lalu mengangguk tanpa bicara.

“Kuliah kamu gimana?”

“Langsung saja, Pah,” potong Aluna cepat. “Papa mau tanya ke mana aku semalam, kan? Tante Sarah ngadu apa kali ini?”

Andreas menarik napas panjang, lalu duduk di kursi seberang. “Papa cuma mau bilang, Papa harus adil. Sarah bisa ninggalin Papa kalau kamu terus begini.”

Aluna mendengus, lalu tertawa getir. “Bagus dong. Papa bisa cari istri lain. Yang bisa bener-bener ngurus Papa, bukan cuma pamer tas mahal sama barang-barang gak penting lainnya. Tante Sarah itu cuma tahu caranya hambur-hamburin uang Papa dan nyari masalah sama aku.”

“Stop, Aluna!” suara Andreas meninggi. “Papa gak ngerti kenapa kamu berasumsi kalau dia jahat. Dia perhatian sama kamu.”

“Itu cuma di depan Papa,” potong Aluna cepat. “Beda kalau Papa gak ada. Papa pikir aku bohong? Sejak nikah sama Tante Sarah, Papa jadi makin berubah.”

“Sudah,” jawab Andreas datar. “Papa sudah tanya. Semua pekerja bilang Sarah selalu bersikap baik sama kamu.”

Aluna tersenyum miring, menggeleng pelan. “Lihat saja, semua orang di rumah ini takut sama dia. Mereka gak akan jujur.”

Keheningan menggantung sesaat. Andreas akhirnya bangkit, nada suaranya melembut. “Aluna, harus sampai kapan kamu seperti ini? Papa cuma pengen rumah ini tenang.”

“Keluar, Pah,” ucap Aluna pelan tapi tegas. “Aku mau sendiri.”

Andreas menatapnya dalam diam sebelum akhirnya berjalan keluar, menutup pintu perlahan.

****

Pagi datang cepat. Aluna sudah bangun sejak subuh, mandi cepat, lalu bersiap dengan ransel kecil di punggung. Ia ingin berangkat lebih pagi ke kampus, biar bisa merasakan ketenangan.

Langkahnya terhenti di ruang makan ketika mendengar suara ayahnya. “Papa antar kamu, ya?”

Aluna menoleh sekilas. “Aku naik kendaraan umum saja, Pah. Gak usah repot,” jawabnya cepat, matanya melirik sekilas ke arah Sarah yang duduk manis di meja makan dengan senyum sinis.

“Pagi, Aluna,” sapa Sarah berpura-pura ramah seperti biasa.

Aluna terdiam, menatapnya tajam.

“Sarapan dulu? Atau mau … Mama siapkan bekal?”

“Gak usah,” jawab Aluna datar, lalu langsung berlalu menuju pintu keluar.

Tepat ketika ia sampai di halaman, suara klakson pelan terdengar. Sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah. Pintu terbuka, menampilkan sosok yang sama sekali tidak ia sangka.

Kenzo keluar dengan gaya santai, kemeja lengan panjang digulung, jam mahal melingkar di pergelangan tangan. Tatapannya langsung tertuju pada Aluna yang berdiri terpaku di ujung anak tangga.

“Aluna biar aku yang antar!” seru Kenzo ke arah Andreas.

Andreas tersenyum lebar. “Tentu saja boleh. Jaga putriku, pastikan dia sampai dengan aman dan selamat!”

Aluna membeku sejenak, lalu tersenyum tipis, menahan degup jantungnya yang tak karuan. Ia melangkah ke mobil, dan Kenzo sendiri yang membukakan pintu untuknya.

“Silakan, Nona keras kepala,” gumamnya dengan nada menggoda.

Aluna melirik tajam, tapi senyum kecil tetap muncul di bibirnya. “Diam dulu, Om!”

“Orang semenyenangkan kamu tak pantas cemberut begitu,” balas Kenzo pelan sebelum menutup pintu.

Mobil melaju meninggalkan rumah besar itu. Untuk beberapa menit, tak ada suara. Hanya suara mesin dan musik pelan dari radio.

Aluna menatap keluar jendela, matanya kosong. Kenzo melirik sekilas, lalu berkata dengan nada tenang, “Kau tak suka pada Sarah?”

Aluna menoleh pelan, menatapnya balik. “Om antar aku buat interogasi? Dibayar berapa sama Papa?” tanyanya santai tapi menggigit.

Kenzo tertawa kecil, suaranya berat dan dalam. “Aku gak perlu dibayar untuk ngajak ngobrol kamu. Lagipula, aku sudah lebih dari cukup uang.”

Aluna mengangkat alis. “Wah, sombong juga ya, Om tampan ini.”

Kenzo menoleh, matanya menyipit sedikit. “Tampan?”

Aluna pura-pura batuk kecil, menatap ke depan lagi. “Memang Om tampan, kan?”

Kenzo tersenyum kecil. “Kau gadis yang aneh. Bar-bar, tapi jujur. Jarang kutemui yang seperti kamu.”

Aluna menoleh cepat. “Om baru kenal aku semalam, udah sok tahu.”

“Mataku cukup tajam,” balas Kenzo santai. “Dan kamu terlalu mudah dibaca.”

“Om gak ngaduin soal malam kemarin ke Papa, kan?”

Kenzo mengangkat bahunya. “Untuk apa? Aku bukan Sarah.”

Aluna melipat tangan di dada, lalu berpaling ke jendela lagi. Tapi pipinya diam-diam memanas. Entah kenapa, setiap kali pria itu bicara dengan nada rendah dan dingin, ada sesuatu di tubuhnya yang bereaksi.

“Tante Sarah bukan wanita baik,” ucap Aluna tiba-tiba, memecah keheningan. “Om boleh gak percaya, tapi dia beda jauh dari Mama.”

Kenzo tak langsung menjawab. Pandangannya tetap lurus ke depan. “Aku gak punya hak buat menilai, tapi … jika soal Sarah, aku lumayan kenal wanita itu. Dan semua yang kau ucapkan, sepertinya memang benar.’

Aluna menoleh cepat, menatapnya lekat. “Serius?”

“Serius,” sahut Kenzo singkat.

Mobil kembali hening. Aluna menatap wajah Kenzo diam-diam, mengamati rahang kokohnya, garis halus di bawah mata, dan brewok tipis yang membuatnya terlihat semakin maskulin. Ada sesuatu yang berbahaya sekaligus menenangkan dari pria itu.

“Om,” panggil Aluna pelan.

“Hm?”

“Kalau aku bilang aku suka pria matang seperti Om … salah gak?” tanyanya santai, tapi matanya menantang.

Kenzo tersenyum miring. “Kalau yang kamu maksud suka ngobrol, tentu tidak. Tapi kalau lebih dari itu …” Ia menoleh sebentar, menatapnya dalam. “Itu lain cerita, Aluna.”

Aluna terkekeh kecil, tapi jantungnya berdetak semakin cepat. Mobil berhenti di depan kampus. Aluna membuka pintu, tapi sebelum keluar, ia sempat menatap Kenzo sebentar.

“Om, terima kasih sudah mau kurepotkan. Tapi hati-hati, ya. Aku tipe gadis yang bisa bikin orang ketagihan buat dekat sama aku,” ucapnya dengan nada menggoda.

Kenzo menatapnya datar, tapi senyum kecil di ujung bibirnya jelas terlihat. “Kita lihat nanti, Nona keras kepala.”

Aluna turun dari mobil, menutup pintu pelan. Ia melangkah ke gerbang kampus, tapi sebelum benar-benar menjauh, ia sempat menoleh. Mobil Kenzo belum bergerak. Pria itu masih di sana, menatapnya.

Untuk sesaat, dunia seolah berhenti. Dua tatapan saling bertemu, antara gadis muda yang berani dan pria matang yang mulai kehilangan kendali.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Cinta Om Duda   8.Sarah Licik

    Ia ingin mengambil foto, tapi tangannya bergetar. Bukannya mencari bukti, Sarah malah berbalik cepat dan berjalan dengan langkah panjang menuju area parkir. Pikirannya gelap. Begitu masuk ke mobil, ia menyalakan mesin dan langsung menginjak pedal gas dalam-dalam. “Tidak bisa dibiarkan!” geramnya. Mobil melaju cepat menembus lalu lintas siang yang cukup panas. Dalam pikirannya, hanya ada satu tujuan, kantor Andreas. Ia ingin tahu sejauh mana kebutaan suaminya terhadap kedekatan gila itu. Gerbang bertuliskan Erlangga Group terbuka otomatis. Sarah keluar dengan langkah tergesa namun tetap menjaga penampilan. Dari luar, ia masih tampak seperti istri konglomerat yang anggun. Tapi begitu masuk ke ruangan Andreas, amarahnya tak lagi bisa disembunyikan. Andreas sedang berbicara dengan asisten pribadinya, Ergita, ketika pintu ruangan terbuka kasar. Sarah masuk tanpa mengetuk dan langsung melempar tas mahalnya ke atas meja, tepat di tumpukan berkas yang sedang dibahas. “Keluar kamu!”

  • Gairah Cinta Om Duda   7.Kehangatan Pria Matang

    Sementara itu, di rumah Kenzo, aroma daging panggang mulai memenuhi dapur. Aluna berdiri canggung di samping meja makan, menatap lelaki itu yang kini mengenakan kaos hitam dan celana bahan abu gelap. Lengan kekarnya tampak jelas setiap kali ia mengaduk saus di panci. “Om … ternyata beneran bisa masak sendiri,” ucap Aluna pelan, setengah kagum, setengah tak percaya. Kenzo menoleh sedikit, menatapnya dari balik bahu. “Kau pikir aku cuma bisa kerja dan menyetir mobil?” senyumnya muncul samar, lalu kembali fokus pada wajan. “Aku pikir Om tipe yang tinggal duduk, terus ada pelayan nyiapin semua,” sahut Aluna, berusaha terdengar santai. “Kalau semua dilakukan orang lain, apa gunanya punya tangan?” jawab Kenzo tenang. Ia menyalakan api kecil, lalu menuangkan saus cokelat ke piring daging yang sudah tertata rapi. Aluna memperhatikan setiap gerakannya. Entah kenapa, cara Kenzo memotong daging, mengaduk saus, bahkan menaruh garam di ujung jari saja terlihat seperti adegan dari film ya

  • Gairah Cinta Om Duda   6.Antara Rasa dan Rahasia

    Aluna masih membelalak, belum sempat menelan ludah ketika seorang asisten rumah tangga tiba-tiba muncul dari arah dapur sambil membawa nampan berisi gelas dan air. “Mau saya lanjutkan saja, Non?” tanyanya sopan, membuat Kenzo yang baru saja membuka kancing kemejanya sontak menoleh. Kenzo dengan cepat menutup kembali kemeja yang sudah terurai di bagian bawah, seolah tak terjadi apa-apa. “Tidak usah,” jawab Aluna santai. Tatapan Kenzo sempat melirik Aluna yang masih kaku di tempat, lalu senyum kecil muncul di bibirnya. “Aku ke atas dulu, ganti pakaian. Enjoy, Aluna.” Ia mengedipkan sebelah matanya ringan sebelum berbalik dan menaiki anak tangga dengan langkah santai. Aluna hanya bisa menatap punggungnya menjauh, detak jantungnya masih belum stabil. Pria itu seolah tahu cara menimbulkan gemuruh tanpa harus banyak bicara. Begitu Kenzo menghilang di tikungan tangga, Aluna menunduk, menatap lantai berubin putih mengilap di bawah kakinya. 'Andai aku bisa tinggal di sini, aku g

  • Gairah Cinta Om Duda   5.Saling Terpesona

    Begitu Sarah dan Kenzo berjalan ke depan rumah, Aluna bergegas jalan melewati dapur. Ia hampir menabrak Lastri yang sedang menata piring.“Ibu ngagetin aja,” sergah Aluna setengah kesal.Lastri menatapnya heran. “Non mau ke mana? Baru juga pulang.”“Aku keluar sebentar ya, Bu. Kalau Papa gak di rumah, sikap Tante Sarah makin nyebelin,” keluhnya.Lastri menghela napas berat. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk membuat Aluna merasa tenang tinggal di rumah itu. “Ibu tahu, Non. Tapi hati-hati, ya. Jangan pulang terlalu larut, takutnya … nanti Tuan keburu pulang.”“Aku cuma sebentar, kok.”“Pergi sama siapa memangnya, Non?” tanya Lastri kemudian, menghentikan langkah gadis itu lagi. Aluna tersenyum, lalu mendekat dan berbisik pelan di telinga Lastri, “Om tampan, Bu.”Wajah Lastri langsung berubah merah, sementara Aluna terkekeh kecil dan pergi begitu saja. Di halaman depan, Sarah masih berbicara dengan Kenzo, berusaha menarik perhatian dengan suaranya yang manja. Namun begitu mobil pria

  • Gairah Cinta Om Duda   4.Muka Dua Ibu Tiri

    Selama belajar seharian, pikiran Aluna tak pernah bisa lepas dari Kenzo. Setiap kali menatap papan tulis, bayangan wajah pria matang itu muncul begitu jelas di kepalanya, dari caranya menatap dingin, nada suaranya yang dalam, hingga sorot matanya yang seolah bisa menembus hati siapa pun. Ia bahkan sempat tersenyum sendiri di tengah kelas, membuat salah satu temannya heran dan memandang aneh. Tapi sekalipun pikirannya dipenuhi oleh pria itu, semua pelajaran tetap masuk dengan sempurna. Aluna memang cerdas, hanya saja pikirannya sering melayang ke arah yang tidak seharusnya.Begitu kelas berakhir, ia buru-buru merapikan buku, lalu berjalan cepat keluar dari kelas. Tasnya disampirkan asal di bahu, langkahnya tergesa menuju parkiran. Ia hanya ingin cepat sampai di rumah, berharap Kenzo masih di sana. Namun baru beberapa langkah melewati lorong sepi kampus, dua sosok berdiri menghadangnya. Jenna dengan gaya sok berkuasa, dan Masrya, pengikut setianya. Aluna mendengus malas. “Masih ada

  • Gairah Cinta Om Duda   3.Godaan Aluna

    Aluna masih menatap Kenzo tanpa bisa menahan gugup yang tiba-tiba menyerang. Tatapan mata pria matang itu terlalu dalam, terlalu menekan, membuat jantungnya berdetak cepat tanpa alasan yang bisa ia pahami.“Kenzo, sahabat Papa kamu,” ucap pria itu dengan nada tenang, sembari menyodorkan tangan.Aluna sempat ragu sesaat, tapi akhirnya membalas jabatan tangannya. “S–saya Aluna,” sahutnya cepat, sedikit terbata. Sentuhan tangan Kenzo hangat, besar, dan entah kenapa membuatnya susah menarik diri.Andreas memperhatikan interaksi itu dengan dahi berkerut tapi tetap tersenyum tipis. “Tak biasanya kamu gugup begini, Sayang. Ada apa?” tanyanya ringan, seolah ingin menggoda.Aluna langsung menarik tangannya cepat-cepat. “Tidak, Pah. Aku hanya … lelah saja,” ucapnya singkat sambil memaksakan senyum. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan wajah yang entah kenapa terasa panas.Andreas menatapnya agak lama sebelum kembali berkata, “Dari mana saja kamu semalam? Mama kamu laporan kalau tadi pagi kamu ba

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status