Beranda / Romansa / Gairah Cinta Om Duda / 2.Pesona Om Tampan

Share

2.Pesona Om Tampan

last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-19 10:49:56

Mereka masih berdiri di ambang pintu, saling melempar tatapan penuh tanda tanya. Udara pagi di ruang itu terasa hangat, tapi entah kenapa dada Aluna terasa sesak. Ia mengerjap pelan, berusaha menenangkan diri, sementara pikirannya masih melayang pada kejadian semalam. Rambutnya berantakan, wajahnya tampak gelisah, dan tenggorokannya kering.

“M–maaf! Om yang nolongin aku semalam?” tanyanya pelan, suaranya agak serak.

Kenzo berdiri tegak di ambang pintu, tubuhnya menjulang dengan pakaian santai namun tetap terlihat berwibawa. Pria matang itu menaikkan sebelah alisnya, tatapannya begitu dingin.

“Kamu mabuk berat dan ….”

“Aku ingat bagian itu,” potong Aluna cepat. Ia mengangkat tangan seolah tak ingin mendengar lebih jauh. “Om gak perlu jelaskan, karena memang bukan aku yang salah dalam kejadian rusuh malam tadi.” Nada suaranya datar tapi jelas, penuh pembelaan diri seperti biasa melakukan hal itu.

Kenzo hanya diam beberapa detik, lalu tersenyum miring. Senyuman tipis itu lebih mirip ejekan kecil ketimbang keramahan. Ada sesuatu yang menggelitiknya saat melihat gadis di hadapannya begitu percaya diri.

“Bagaimana kau merasa tidak bersalah setelah membuat perempuan yang sebaya denganmu di klub malam tadi sampai tak sadarkan diri?” tanyanya santai, tapi ada tekanan dalam suaranya.

Aluna memutar bola matanya malas. Ia menyandarkan satu tangan di kusen pintu, lalu menarik napas panjang sebelum menjawab.

“Om, Jenna itu pantas mendapat hukuman. Aku gak bakal berulah kalau dia gak ikut campur urusanku semalam.”

“Urusan apa? Gadis sepertimu tak mungkin banyak musuh, kan?” Kenzo menatapnya tajam, separuh ingin tahu, separuh menguji.

Aluna hanya tersenyum sinis, menatap balik dengan sorot mata menantang. “Masalah kecil yang cuma orang kepo kayak dia yang bisa bikin besar. Aku cuma datang ke sana buat senang-senang, bukan cari ribut. Tapi dia malah nyenggol aku duluan.”

Kenzo mengangguk pelan, menatapnya dengan pandangan yang sulit dibaca. “Maaf, Nona. Tapi di sini saya hanya membantumu. Selebihnya, itu bukan urusan saya.” Ia lalu melipat tangan di dada, suaranya datar namun dalam. “Saya hanya khawatir kamu akan bermasalah dengan orang tuamu setelah pulang dari sini.”

Aluna tersenyum getir. Ia berjalan pelan ke arah jendela, menatap ke luar sebentar, lalu kembali menghadap Kenzo.

“Om gak perlu khawatir. Aku sudah biasa bertengkar dengan Papa-ku,” ujarnya ringan tapi dengan nada getir yang tak bisa disembunyikan. “Apalagi dengan ibu tiriku. Dia itu spek manusia yang gak punya hati. Sering kali aku pengen banget nendang dia keluar dari rumah. Tapi sayangnya, Papa selalu belain dia.”

Nada suaranya bar-bar, blak-blakan, dan benar-benar tanpa menutupi apapun pada orang baru. Tapi entah kenapa, Kenzo justru tersenyum kecil. Senyuman itu tak sepenuhnya karena lucu, lebih karena ia terkejut dengan keberanian gadis muda itu. Ia jarang sekali bertemu wanita yang bisa berbicara sesantai itu padanya, apalagi dengan nada menantang seperti itu.

“Om gak seharusnya senyum begitu,” kata Aluna tiba-tiba.

Kenzo menatapnya, alisnya terangkat sedikit. “Kenapa?”

“Soalnya ... itu bikin Om kelihatan makin tampan,” balas Aluna tanpa ragu. Ia lalu melangkah pelan mendekat, wajahnya tetap datar tapi matanya menyorot tajam.

Kenzo hanya menghela nafas pelan, menahan diri untuk tidak menanggapi terlalu jauh. “Mau sarapan dulu?” tanyanya sekadar mengalihkan suasana.

Aluna menggeleng cepat. “Tak perlu, Om. Aku harus segera pulang. Papa pasti sudah siap dengan ceramahan tiga babaknya atau mungkin sekarang akan bertambah jadi empat babak karena si nenek lampir selalu suka jika Papa memarahiku..” Ia menatap Kenzo sambil tersenyum nakal. “Terima kasih udah bantu aku malam tadi, Om tampan.”

Tanpa pikir panjang, Aluna mencolek dagu Kenzo pelan. Sentuhan itu membuat pria matang itu mematung sejenak, bukan karena kaget, tapi karena heran dengan keberanian gadis itu. Belum sempat ia membuka mulut, Aluna sudah melangkah turun menuruni anak tangga.

Namun baru beberapa langkah, suara Kenzo terdengar lagi. “Aku belum tahu namamu.”

Langkah Aluna terhenti. Ia menoleh pelan, menatap Kenzo sambil menahan senyum. “Om bisa panggil aku Aluna ... atau sayang kalau mau,” katanya santai, lalu tertawa kecil dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi.

Kenzo berdiri mematung di tempatnya, tangan dimasukkan ke saku celana, lalu menghela nafas panjang.

“Huft, dasar anak zaman sekarang,” gumamnya sambil menggeleng kecil. Tapi di balik nada kesalnya, terselip sedikit senyum yang jarang sekali muncul di wajah pria itu.

Beberapa menit kemudian, Aluna sudah berada di dalam kendaraan umum menuju rumah. Kepalanya bersandar di jendela, matanya menatap keluar. Ia tidak tahu harus bersyukur atau merasa malu dengan apa yang terjadi.

“Om tampan itu ... gimana ya? Keren banget,” gumamnya lirih, lalu terkekeh sendiri.

Tak lama, mobil berhenti di depan gerbang rumah mewah milik keluarganya. Ia turun dengan cepat, tapi masih sempat melirik kanan kiri seperti pencuri. “Aman gak, ya?” bisiknya pelan.

Ia berusaha cari aman supaya tidak bertemu dengan Andreas, ayahnya, ataupun Sarah, ibu tirinya yang sudah pasti akan langsung menyulut pertengkaran. Satpam yang berjaga di pos tampak mengenali wajahnya dan segera keluar.

“Ngapain celingukan di situ, Non?” tanya si satpam dengan nada bingung.

Aluna buru-buru menempelkan telunjuk di bibirnya. “Sssttt!! Diam! Papa sama Tante Sarah ada di rumah gak?”

Belum sempat satpam itu menjawab, suara deheman khas dari arah samping membuat tubuh Aluna menegang. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, lalu membuka mata dengan wajah yang dipaksakan tenang.

“Ngapain kamu baru pulang pagi-pagi begini, Aluna?” suara itu dingin, datar, dan penuh sindiran.

“Menginap di rumah temanku,” jawab Aluna santai, berjalan masuk sambil tersenyum pura-pura manis. Tapi langkahnya langsung terhenti ketika tangan Sarah menjambak rambutnya kasar dari belakang.

“Awwhh! Lepas! Tante gak berhak atur hidupku!” seru Aluna lantang, mencoba menepis tangan wanita itu.

Sarah menarik rambutnya makin kencang, wajahnya menegang. “Jawab yang jujur, Aluna!”

Para pekerja rumah yang melihat kejadian itu hanya bisa saling pandang, tidak ada satupun yang berani menolong. Mereka terlalu takut pada Sarah, wanita yang temperamennya bisa berubah dalam hitungan detik. Mereka bisa kehilangan pekerjaan jika membela Aluna saat amarahnya sedang naik.

“Aku bilang lepas!” bentak Aluna sambil memutar badannya cepat. Ia menepis tangan Sarah dengan keras hingga wanita itu sedikit terdorong. Lalu, tanpa menunggu lagi, ia berlari masuk ke dalam rumah.

“ALUNA!!” teriak Sarah dari belakang. Tapi gadis itu tidak peduli. Ia naik tangga dua anak sekaligus, menghilang ke lantai atas.

Sarah berdiri di tempat, menatap tajam ke arah para pekerja. “Ngapain liatin saya? Kerja!” bentaknya.

Seketika semua menunduk dan berpura-pura sibuk. Udara di halaman rumah itu terasa menegang selama beberapa menit, sampai akhirnya Sarah masuk dengan wajah masam.

Hari bergulir pelan. Aluna tak keluar dari kamarnya seharian. Ia berbaring di atas kasur sambil memainkan ponsel, sesekali mengeluh lapar tapi terlalu malas turun.

“Daripada dengar suara ular itu, mending aku kelaparan,” gumamnya kesal.

Matahari mulai condong ke barat. Sinar senja menyelinap masuk melalui celah jendela kamar, dan di tengah keheningan itu, terdengar ketukan pelan di pintu.

“Siapa?” seru Aluna agak keras.

“Ibu, Non,” sahut suara lembut dari luar. Satu-satunya suara yang bisa menenangkan hati Aluna selain suara Andreas.

Aluna menghela nafas panjang. “Masuk aja, Bu. Gak dikunci.”

Pintu terbuka pelan, memperlihatkan sosok wanita paruh baya yang sudah lama mengabdi di rumah itu. “Tuan Andreas minta Non Aluna turun,” katanya sopan. “Katanya ... Tuan mau kenalin Non sama temannya.”

“Papa udah pulang?” tanya Aluna malas, masih berbaring.

“Baru saja, Non.”

Aluna duduk perlahan, menatap Lastri sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, aku turun. Lagian aku juga bosan di kamar.”

Ia bangkit dari tempat tidur, mengambil waktu sebentar untuk merapikan rambutnya di depan cermin. Ia memoles sedikit lip balm, lalu berjalan keluar kamar dengan langkah santai, seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya.

Namun, langkah santai itu berubah tegang ketika pandangannya jatuh pada sosok yang sedang duduk di ruang tamu. Tubuhnya seketika membeku. Tatapannya tak bisa berpaling.

“Om tampan?” batinnya berteriak kaget.

Di sisi lain, pria yang duduk itu juga tampak sama terkejutnya. Kenzo, pria matang yang menolongnya semalam, kini berdiri perlahan. Pandangan tajamnya tetap tertuju pada gadis yang baru muncul di tangga.

“Ini dia putri semata wayangku,” suara Andreas memecah keheningan. Ia tersenyum bangga sambil menarik lengan Aluna agar mendekat. “Namanya Aluna.”

Jantung Aluna berdetak cepat. Ia nyaris tak percaya dengan kebetulan ini. Sementara itu, Kenzo masih menatapnya tanpa berkata apa-apa. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, tapi kali ini tak ada ejekan, hanya tatapan yang dalam dan berbahaya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Cinta Om Duda   8.Sarah Licik

    Ia ingin mengambil foto, tapi tangannya bergetar. Bukannya mencari bukti, Sarah malah berbalik cepat dan berjalan dengan langkah panjang menuju area parkir. Pikirannya gelap. Begitu masuk ke mobil, ia menyalakan mesin dan langsung menginjak pedal gas dalam-dalam. “Tidak bisa dibiarkan!” geramnya. Mobil melaju cepat menembus lalu lintas siang yang cukup panas. Dalam pikirannya, hanya ada satu tujuan, kantor Andreas. Ia ingin tahu sejauh mana kebutaan suaminya terhadap kedekatan gila itu. Gerbang bertuliskan Erlangga Group terbuka otomatis. Sarah keluar dengan langkah tergesa namun tetap menjaga penampilan. Dari luar, ia masih tampak seperti istri konglomerat yang anggun. Tapi begitu masuk ke ruangan Andreas, amarahnya tak lagi bisa disembunyikan. Andreas sedang berbicara dengan asisten pribadinya, Ergita, ketika pintu ruangan terbuka kasar. Sarah masuk tanpa mengetuk dan langsung melempar tas mahalnya ke atas meja, tepat di tumpukan berkas yang sedang dibahas. “Keluar kamu!”

  • Gairah Cinta Om Duda   7.Kehangatan Pria Matang

    Sementara itu, di rumah Kenzo, aroma daging panggang mulai memenuhi dapur. Aluna berdiri canggung di samping meja makan, menatap lelaki itu yang kini mengenakan kaos hitam dan celana bahan abu gelap. Lengan kekarnya tampak jelas setiap kali ia mengaduk saus di panci. “Om … ternyata beneran bisa masak sendiri,” ucap Aluna pelan, setengah kagum, setengah tak percaya. Kenzo menoleh sedikit, menatapnya dari balik bahu. “Kau pikir aku cuma bisa kerja dan menyetir mobil?” senyumnya muncul samar, lalu kembali fokus pada wajan. “Aku pikir Om tipe yang tinggal duduk, terus ada pelayan nyiapin semua,” sahut Aluna, berusaha terdengar santai. “Kalau semua dilakukan orang lain, apa gunanya punya tangan?” jawab Kenzo tenang. Ia menyalakan api kecil, lalu menuangkan saus cokelat ke piring daging yang sudah tertata rapi. Aluna memperhatikan setiap gerakannya. Entah kenapa, cara Kenzo memotong daging, mengaduk saus, bahkan menaruh garam di ujung jari saja terlihat seperti adegan dari film ya

  • Gairah Cinta Om Duda   6.Antara Rasa dan Rahasia

    Aluna masih membelalak, belum sempat menelan ludah ketika seorang asisten rumah tangga tiba-tiba muncul dari arah dapur sambil membawa nampan berisi gelas dan air. “Mau saya lanjutkan saja, Non?” tanyanya sopan, membuat Kenzo yang baru saja membuka kancing kemejanya sontak menoleh. Kenzo dengan cepat menutup kembali kemeja yang sudah terurai di bagian bawah, seolah tak terjadi apa-apa. “Tidak usah,” jawab Aluna santai. Tatapan Kenzo sempat melirik Aluna yang masih kaku di tempat, lalu senyum kecil muncul di bibirnya. “Aku ke atas dulu, ganti pakaian. Enjoy, Aluna.” Ia mengedipkan sebelah matanya ringan sebelum berbalik dan menaiki anak tangga dengan langkah santai. Aluna hanya bisa menatap punggungnya menjauh, detak jantungnya masih belum stabil. Pria itu seolah tahu cara menimbulkan gemuruh tanpa harus banyak bicara. Begitu Kenzo menghilang di tikungan tangga, Aluna menunduk, menatap lantai berubin putih mengilap di bawah kakinya. 'Andai aku bisa tinggal di sini, aku g

  • Gairah Cinta Om Duda   5.Saling Terpesona

    Begitu Sarah dan Kenzo berjalan ke depan rumah, Aluna bergegas jalan melewati dapur. Ia hampir menabrak Lastri yang sedang menata piring.“Ibu ngagetin aja,” sergah Aluna setengah kesal.Lastri menatapnya heran. “Non mau ke mana? Baru juga pulang.”“Aku keluar sebentar ya, Bu. Kalau Papa gak di rumah, sikap Tante Sarah makin nyebelin,” keluhnya.Lastri menghela napas berat. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk membuat Aluna merasa tenang tinggal di rumah itu. “Ibu tahu, Non. Tapi hati-hati, ya. Jangan pulang terlalu larut, takutnya … nanti Tuan keburu pulang.”“Aku cuma sebentar, kok.”“Pergi sama siapa memangnya, Non?” tanya Lastri kemudian, menghentikan langkah gadis itu lagi. Aluna tersenyum, lalu mendekat dan berbisik pelan di telinga Lastri, “Om tampan, Bu.”Wajah Lastri langsung berubah merah, sementara Aluna terkekeh kecil dan pergi begitu saja. Di halaman depan, Sarah masih berbicara dengan Kenzo, berusaha menarik perhatian dengan suaranya yang manja. Namun begitu mobil pria

  • Gairah Cinta Om Duda   4.Muka Dua Ibu Tiri

    Selama belajar seharian, pikiran Aluna tak pernah bisa lepas dari Kenzo. Setiap kali menatap papan tulis, bayangan wajah pria matang itu muncul begitu jelas di kepalanya, dari caranya menatap dingin, nada suaranya yang dalam, hingga sorot matanya yang seolah bisa menembus hati siapa pun. Ia bahkan sempat tersenyum sendiri di tengah kelas, membuat salah satu temannya heran dan memandang aneh. Tapi sekalipun pikirannya dipenuhi oleh pria itu, semua pelajaran tetap masuk dengan sempurna. Aluna memang cerdas, hanya saja pikirannya sering melayang ke arah yang tidak seharusnya.Begitu kelas berakhir, ia buru-buru merapikan buku, lalu berjalan cepat keluar dari kelas. Tasnya disampirkan asal di bahu, langkahnya tergesa menuju parkiran. Ia hanya ingin cepat sampai di rumah, berharap Kenzo masih di sana. Namun baru beberapa langkah melewati lorong sepi kampus, dua sosok berdiri menghadangnya. Jenna dengan gaya sok berkuasa, dan Masrya, pengikut setianya. Aluna mendengus malas. “Masih ada

  • Gairah Cinta Om Duda   3.Godaan Aluna

    Aluna masih menatap Kenzo tanpa bisa menahan gugup yang tiba-tiba menyerang. Tatapan mata pria matang itu terlalu dalam, terlalu menekan, membuat jantungnya berdetak cepat tanpa alasan yang bisa ia pahami.“Kenzo, sahabat Papa kamu,” ucap pria itu dengan nada tenang, sembari menyodorkan tangan.Aluna sempat ragu sesaat, tapi akhirnya membalas jabatan tangannya. “S–saya Aluna,” sahutnya cepat, sedikit terbata. Sentuhan tangan Kenzo hangat, besar, dan entah kenapa membuatnya susah menarik diri.Andreas memperhatikan interaksi itu dengan dahi berkerut tapi tetap tersenyum tipis. “Tak biasanya kamu gugup begini, Sayang. Ada apa?” tanyanya ringan, seolah ingin menggoda.Aluna langsung menarik tangannya cepat-cepat. “Tidak, Pah. Aku hanya … lelah saja,” ucapnya singkat sambil memaksakan senyum. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan wajah yang entah kenapa terasa panas.Andreas menatapnya agak lama sebelum kembali berkata, “Dari mana saja kamu semalam? Mama kamu laporan kalau tadi pagi kamu ba

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status