LOGINMereka masih berdiri di ambang pintu, saling melempar tatapan penuh tanda tanya. Udara pagi di ruang itu terasa hangat, tapi entah kenapa dada Aluna terasa sesak. Ia mengerjap pelan, berusaha menenangkan diri, sementara pikirannya masih melayang pada kejadian semalam. Rambutnya berantakan, wajahnya tampak gelisah, dan tenggorokannya kering.
“M–maaf! Om yang nolongin aku semalam?” tanyanya pelan, suaranya agak serak. Kenzo berdiri tegak di ambang pintu, tubuhnya menjulang dengan pakaian santai namun tetap terlihat berwibawa. Pria matang itu menaikkan sebelah alisnya, tatapannya begitu dingin. “Kamu mabuk berat dan ….” “Aku ingat bagian itu,” potong Aluna cepat. Ia mengangkat tangan seolah tak ingin mendengar lebih jauh. “Om gak perlu jelaskan, karena memang bukan aku yang salah dalam kejadian rusuh malam tadi.” Nada suaranya datar tapi jelas, penuh pembelaan diri seperti biasa melakukan hal itu. Kenzo hanya diam beberapa detik, lalu tersenyum miring. Senyuman tipis itu lebih mirip ejekan kecil ketimbang keramahan. Ada sesuatu yang menggelitiknya saat melihat gadis di hadapannya begitu percaya diri. “Bagaimana kau merasa tidak bersalah setelah membuat perempuan yang sebaya denganmu di klub malam tadi sampai tak sadarkan diri?” tanyanya santai, tapi ada tekanan dalam suaranya. Aluna memutar bola matanya malas. Ia menyandarkan satu tangan di kusen pintu, lalu menarik napas panjang sebelum menjawab. “Om, Jenna itu pantas mendapat hukuman. Aku gak bakal berulah kalau dia gak ikut campur urusanku semalam.” “Urusan apa? Gadis sepertimu tak mungkin banyak musuh, kan?” Kenzo menatapnya tajam, separuh ingin tahu, separuh menguji. Aluna hanya tersenyum sinis, menatap balik dengan sorot mata menantang. “Masalah kecil yang cuma orang kepo kayak dia yang bisa bikin besar. Aku cuma datang ke sana buat senang-senang, bukan cari ribut. Tapi dia malah nyenggol aku duluan.” Kenzo mengangguk pelan, menatapnya dengan pandangan yang sulit dibaca. “Maaf, Nona. Tapi di sini saya hanya membantumu. Selebihnya, itu bukan urusan saya.” Ia lalu melipat tangan di dada, suaranya datar namun dalam. “Saya hanya khawatir kamu akan bermasalah dengan orang tuamu setelah pulang dari sini.” Aluna tersenyum getir. Ia berjalan pelan ke arah jendela, menatap ke luar sebentar, lalu kembali menghadap Kenzo. “Om gak perlu khawatir. Aku sudah biasa bertengkar dengan Papa-ku,” ujarnya ringan tapi dengan nada getir yang tak bisa disembunyikan. “Apalagi dengan ibu tiriku. Dia itu spek manusia yang gak punya hati. Sering kali aku pengen banget nendang dia keluar dari rumah. Tapi sayangnya, Papa selalu belain dia.” Nada suaranya bar-bar, blak-blakan, dan benar-benar tanpa menutupi apapun pada orang baru. Tapi entah kenapa, Kenzo justru tersenyum kecil. Senyuman itu tak sepenuhnya karena lucu, lebih karena ia terkejut dengan keberanian gadis muda itu. Ia jarang sekali bertemu wanita yang bisa berbicara sesantai itu padanya, apalagi dengan nada menantang seperti itu. “Om gak seharusnya senyum begitu,” kata Aluna tiba-tiba. Kenzo menatapnya, alisnya terangkat sedikit. “Kenapa?” “Soalnya ... itu bikin Om kelihatan makin tampan,” balas Aluna tanpa ragu. Ia lalu melangkah pelan mendekat, wajahnya tetap datar tapi matanya menyorot tajam. Kenzo hanya menghela nafas pelan, menahan diri untuk tidak menanggapi terlalu jauh. “Mau sarapan dulu?” tanyanya sekadar mengalihkan suasana. Aluna menggeleng cepat. “Tak perlu, Om. Aku harus segera pulang. Papa pasti sudah siap dengan ceramahan tiga babaknya atau mungkin sekarang akan bertambah jadi empat babak karena si nenek lampir selalu suka jika Papa memarahiku..” Ia menatap Kenzo sambil tersenyum nakal. “Terima kasih udah bantu aku malam tadi, Om tampan.” Tanpa pikir panjang, Aluna mencolek dagu Kenzo pelan. Sentuhan itu membuat pria matang itu mematung sejenak, bukan karena kaget, tapi karena heran dengan keberanian gadis itu. Belum sempat ia membuka mulut, Aluna sudah melangkah turun menuruni anak tangga. Namun baru beberapa langkah, suara Kenzo terdengar lagi. “Aku belum tahu namamu.” Langkah Aluna terhenti. Ia menoleh pelan, menatap Kenzo sambil menahan senyum. “Om bisa panggil aku Aluna ... atau sayang kalau mau,” katanya santai, lalu tertawa kecil dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Kenzo berdiri mematung di tempatnya, tangan dimasukkan ke saku celana, lalu menghela nafas panjang. “Huft, dasar anak zaman sekarang,” gumamnya sambil menggeleng kecil. Tapi di balik nada kesalnya, terselip sedikit senyum yang jarang sekali muncul di wajah pria itu. Beberapa menit kemudian, Aluna sudah berada di dalam kendaraan umum menuju rumah. Kepalanya bersandar di jendela, matanya menatap keluar. Ia tidak tahu harus bersyukur atau merasa malu dengan apa yang terjadi. “Om tampan itu ... gimana ya? Keren banget,” gumamnya lirih, lalu terkekeh sendiri. Tak lama, mobil berhenti di depan gerbang rumah mewah milik keluarganya. Ia turun dengan cepat, tapi masih sempat melirik kanan kiri seperti pencuri. “Aman gak, ya?” bisiknya pelan. Ia berusaha cari aman supaya tidak bertemu dengan Andreas, ayahnya, ataupun Sarah, ibu tirinya yang sudah pasti akan langsung menyulut pertengkaran. Satpam yang berjaga di pos tampak mengenali wajahnya dan segera keluar. “Ngapain celingukan di situ, Non?” tanya si satpam dengan nada bingung. Aluna buru-buru menempelkan telunjuk di bibirnya. “Sssttt!! Diam! Papa sama Tante Sarah ada di rumah gak?” Belum sempat satpam itu menjawab, suara deheman khas dari arah samping membuat tubuh Aluna menegang. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, lalu membuka mata dengan wajah yang dipaksakan tenang. “Ngapain kamu baru pulang pagi-pagi begini, Aluna?” suara itu dingin, datar, dan penuh sindiran. “Menginap di rumah temanku,” jawab Aluna santai, berjalan masuk sambil tersenyum pura-pura manis. Tapi langkahnya langsung terhenti ketika tangan Sarah menjambak rambutnya kasar dari belakang. “Awwhh! Lepas! Tante gak berhak atur hidupku!” seru Aluna lantang, mencoba menepis tangan wanita itu. Sarah menarik rambutnya makin kencang, wajahnya menegang. “Jawab yang jujur, Aluna!” Para pekerja rumah yang melihat kejadian itu hanya bisa saling pandang, tidak ada satupun yang berani menolong. Mereka terlalu takut pada Sarah, wanita yang temperamennya bisa berubah dalam hitungan detik. Mereka bisa kehilangan pekerjaan jika membela Aluna saat amarahnya sedang naik. “Aku bilang lepas!” bentak Aluna sambil memutar badannya cepat. Ia menepis tangan Sarah dengan keras hingga wanita itu sedikit terdorong. Lalu, tanpa menunggu lagi, ia berlari masuk ke dalam rumah. “ALUNA!!” teriak Sarah dari belakang. Tapi gadis itu tidak peduli. Ia naik tangga dua anak sekaligus, menghilang ke lantai atas. Sarah berdiri di tempat, menatap tajam ke arah para pekerja. “Ngapain liatin saya? Kerja!” bentaknya. Seketika semua menunduk dan berpura-pura sibuk. Udara di halaman rumah itu terasa menegang selama beberapa menit, sampai akhirnya Sarah masuk dengan wajah masam. Hari bergulir pelan. Aluna tak keluar dari kamarnya seharian. Ia berbaring di atas kasur sambil memainkan ponsel, sesekali mengeluh lapar tapi terlalu malas turun. “Daripada dengar suara ular itu, mending aku kelaparan,” gumamnya kesal. Matahari mulai condong ke barat. Sinar senja menyelinap masuk melalui celah jendela kamar, dan di tengah keheningan itu, terdengar ketukan pelan di pintu. “Siapa?” seru Aluna agak keras. “Ibu, Non,” sahut suara lembut dari luar. Satu-satunya suara yang bisa menenangkan hati Aluna selain suara Andreas. Aluna menghela nafas panjang. “Masuk aja, Bu. Gak dikunci.” Pintu terbuka pelan, memperlihatkan sosok wanita paruh baya yang sudah lama mengabdi di rumah itu. “Tuan Andreas minta Non Aluna turun,” katanya sopan. “Katanya ... Tuan mau kenalin Non sama temannya.” “Papa udah pulang?” tanya Aluna malas, masih berbaring. “Baru saja, Non.” Aluna duduk perlahan, menatap Lastri sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, aku turun. Lagian aku juga bosan di kamar.” Ia bangkit dari tempat tidur, mengambil waktu sebentar untuk merapikan rambutnya di depan cermin. Ia memoles sedikit lip balm, lalu berjalan keluar kamar dengan langkah santai, seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. Namun, langkah santai itu berubah tegang ketika pandangannya jatuh pada sosok yang sedang duduk di ruang tamu. Tubuhnya seketika membeku. Tatapannya tak bisa berpaling. “Om tampan?” batinnya berteriak kaget. Di sisi lain, pria yang duduk itu juga tampak sama terkejutnya. Kenzo, pria matang yang menolongnya semalam, kini berdiri perlahan. Pandangan tajamnya tetap tertuju pada gadis yang baru muncul di tangga. “Ini dia putri semata wayangku,” suara Andreas memecah keheningan. Ia tersenyum bangga sambil menarik lengan Aluna agar mendekat. “Namanya Aluna.” Jantung Aluna berdetak cepat. Ia nyaris tak percaya dengan kebetulan ini. Sementara itu, Kenzo masih menatapnya tanpa berkata apa-apa. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, tapi kali ini tak ada ejekan, hanya tatapan yang dalam dan berbahaya.Di lantai bawah, suasana jauh lebih tenang. Kantin kantor sudah hampir kosong. Ergita duduk di salah satu pojok, menyeruput kopi panas sambil menepuk dadanya sendiri pelan, berusaha meredakan rasa cemas sejak kejadian di ruangan tadi.Suasana sore hari sudah sangat lenggang, sebagian besar karyawan sudah pulang setelah menyelesaikan pekerjaan mereka.Ergita meremas sedikit rambutnya. Ia tidak pernah suka berada di antara konflik rumah tangga bosnya. Tapi apa boleh buat, ia tadi terjebak di sana. Bayangan ketika Andreas menciumnya tadi tiba-tiba memenuhi isi kepalanya. Sedikit senyuman tersungging di wajah gadis itu. Belum sempat ia mengambil napas panjang, seorang karyawan perempuan masuk terburu-buru ke kantin dan langsung meminum air dingin dari dispenser seperti seseorang yang kehausan setelah lari jauh.“Baru mau pulang … eh, malah ada kejadian begini,” gerutunya sambil mengipasi wajah sendiri.Ergita menatapnya bingung. “Kok kayaknya panik? Ada apa memangnya?”Wanita itu menoleh
Pintu ruangan tertutup pelan, namun bunyinya cukup memantul di antara dinding, membuat ruangan itu tiba-tiba terasa lebih sempit dari biasanya. Andreas berdiri tegak, tak bergerak sedikit pun. Sorot matanya lurus ke wajah Sarah, tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Ia hanya diam dengan napas yang teratur, seperti lelaki yang sudah bersiap menghadapi badai yang sudah ia perkirakan sejak lama.Sarah, sebaliknya, menunjukkan reaksi yang jauh lebih cepat. Alisnya terangkat, bibirnya menegang, dan matanya menyipit penuh curiga. Biasanya, kalau ada masalah, Andreas akan melembutkan nada suaranya, meminta maaf lebih dulu, atau bahkan memeluknya hanya demi meredakan suasana. Tapi hari ini tidak. Hari ini Andreas tampak berbeda. Terlalu tenang, terlalu santai.“Kenapa kamu menatapku seperti aku yang punya dosa?” tanya Sarah, suaranya naik dengan nafas terengah-engah, campuran antara marah dan tak percaya.Andreas memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, bahunya naik turun ringan s
Aluna ikut tertawa melihat pria itu menertawakan tawarannya. Namun ia sungguh tak main-main, Aluna akan sangat bahagia jika menikah dengan Kenzo walaupun usia mereka selisih cukup jauh. “Bagus, Nona,” katanya sambil memiringkan kepala. “Karena aku sudah tak sabar memiliki Nyonya muda Pradipta seutuhnya.”Wajah Aluna memerah. “Om ini … ngomongnya suka bikin deg-degan.”Kenzo tertawa pelan. “Ke sini.”Aluna langsung berpindah, duduk lebih dekat, hingga Kenzo bisa meraih tubuhnya dan menariknya ke dalam pelukannya. Pelukan itu hangat, menenangkan, dan membuat Aluna menutup mata beberapa detik.Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa tenang. Semua masalah dengan ayahnya, semua konflik yang membuatnya merasa sendirian, perlahan memudar. Bersama Kenzo, semuanya terasa ringan.Di saat yang sama, suasana kantor Andreas sudah lenggang. Lampu-lampu di lorong mulai menyala, memberikan cahaya kekuningan yang lembut. Andreas dan Ergita berjalan berdampingan menuju ruangan kerja pria itu.“Kit
Angin sore berembus lembut ketika Andreas dan Ergita masih berdiri di tepi taman kota itu. Andreas belum bergeser sejak tadi, pandangannya terpaku pada satu titik jauh di belakang, tempat di mana Aluna dan Kenzo duduk bersama. Dari kejauhan, ia sempat melihat putrinya tertawa—tawa yang sudah lama tidak ia dengar sejak hubungan mereka memburuk. Ergita ikut mengedarkan pandangannya, matanya yang tajam langsung menangkap sosok sahabatnya itu. Kenzo berjalan sambil menggenggam tangan Aluna, dan entah mengapa, pemandangan itu membuat dada Andreas terasa sesak. “Mau disamperin? Biar saya temani,” ujar Ergita pelan. Suaranya benar-benar hati-hati, karena ia tahu hubungan Andreas dan Aluna sedang rapuh. Andreas menghela napas panjang, napas lelah seorang ayah yang tak tahu cara memperbaiki keadaan. “Tak perlu,” jawabnya lirih. “Cukup melihat dia baik-baik saja … sudah cukup membuatku tenang.” Ergita hanya mengangguk. Ia paham betul perasaan itu. Aluna memang keras, bar-bar, dan sangat ma
Di tempat lain, suasa menjelang sore berbeda. Rumah megah itu sunyi ketika Sarah membuka pintu kamarnya dengan kasar. Tas-tas belanja mahal ia lempar sembarangan. Kotak-kotak kosmetik dan baju branded berserakan di lantai. Padahal biasanya sarangnya rapi seperti butik pribadi.Namun hari itu, pikirannya kacau.Ia bernapas berat, duduk di depan cermin rias yang berjajar lampu kecil. Matanya merah karena marah, bibirnya bergetar menahan sumpah serapah. “Andreas itu … menyebalkan!” gerutunya sambil menghantam meja rias. “Harus dengan apa lagi supaya Andreas cepat mati? Racun yang kuberi kemarin pun tak mempan. Susah sekali membuatnya lumpuh!”Ia berdiri, berjalan mondar-mandir seperti orang kalap. “Kenapa dia lebih dekat dengan perempuan lain? Apa kurang cantik aku? Kurang perhatian? Hah?!”Tangannya menyambar vas bunga kecil dari meja dan melemparkannya ke lantai hingga pecah. Tanpa ia sadari, di luar pintu kamar, seseorang menegakkan telinganya sedari tadi. Lastri. Asisten rumah tangg
Angin siang itu berembus lembut, membawa aroma dedaunan basah dan riak air yang sesekali berkerlip terkena cahaya matahari. Sekitar mereka, taman tampak hidup oleh suara burung kecil dan langkah-langkah orang berolahraga. Namun di bangku kayu tempat Aluna dan Kenzo duduk, suasana terasa berbeda, lebih sunyi, lebih tenang, seolah dunia menyisihkan ruang khusus hanya untuk keduanya. Tidak ada percakapan selama hampir lima menit. Aluna bersandar di bahu Kenzo, sementara pria itu hanya duduk mematung, menikmati kehadiran gadis yang selalu berhasil mengacaukan hatinya.Hening itu akhirnya pecah ketika Aluna menegakkan tubuh, menepuk paha Kenzo pelan. “Jalan ke sana yuk, Om!” ujarnya sambil berdiri. Suaranya ringan, matanya mengarah pada jalan kecil yang dipenuhi pepohonan rindang di sisi timur danau.Kenzo mengangguk tanpa banyak pikir. Semua yang Aluna minta selalu ia lakukan, bukan karena terpaksa, melainkan karena hatinya memang ingin. Gadis itu telah menjadi pusat perhatiannya dalam







