 Masuk
MasukSelama belajar seharian, pikiran Aluna tak pernah bisa lepas dari Kenzo. Setiap kali menatap papan tulis, bayangan wajah pria matang itu muncul begitu jelas di kepalanya, dari caranya menatap dingin, nada suaranya yang dalam, hingga sorot matanya yang seolah bisa menembus hati siapa pun.
Ia bahkan sempat tersenyum sendiri di tengah kelas, membuat salah satu temannya heran dan memandang aneh. Tapi sekalipun pikirannya dipenuhi oleh pria itu, semua pelajaran tetap masuk dengan sempurna. Aluna memang cerdas, hanya saja pikirannya sering melayang ke arah yang tidak seharusnya. Begitu kelas berakhir, ia buru-buru merapikan buku, lalu berjalan cepat keluar dari kelas. Tasnya disampirkan asal di bahu, langkahnya tergesa menuju parkiran. Ia hanya ingin cepat sampai di rumah, berharap Kenzo masih di sana. Namun baru beberapa langkah melewati lorong sepi kampus, dua sosok berdiri menghadangnya. Jenna dengan gaya sok berkuasa, dan Masrya, pengikut setianya. Aluna mendengus malas. “Masih ada muka kau menatapku tajam seperti itu?” gumam Jenna dengan tangan dilipat di depan dada. Masrya menimpali dengan nada sinis. “Gak merasa bersalah, ya? Setelah bikin Jenna masuk rumah sakit?” Aluna memutar bola matanya. “Siapa suruh ikut campur dan bawa-bawa nama mendiang Ibuku? Aku cuma balas sewajarnya. Masih untung kau dapat kesempatan hidup,” ujarnya santai, menatap mereka dengan dagu terangkat. Keduanya sontak terdiam, wajah memerah menahan amarah. Jenna melangkah maju. “Gak ada takut-takutnya ya kau ini! Kelakuanmu bisa saja kulaporkan.” “Laporin aja. Gak takut,” potong Aluna, senyum tipis di wajahnya begitu menantang. Jenna menegang. “Kalau saja orang tuamu bukan orang penting di kampus ini, kuhabisin juga kau, Aluna!” bentaknya sambil menunjuk wajah Aluna. Gadis itu justru tertawa kecil. “Gak usah bawa-bawa orang tuaku. Ini urusan kita. Kalau ada keberanian, sini maju.” Jenna nyaris menyerangnya, tapi Marsya langsung menarik tangannya. “Jenn, udah! Mukamu masih luka begitu, jangan nambah masalah.” Dengan dengusan kesal, Jenna akhirnya mundur. “Lihat saja nanti Aluna,” ancamnya, lalu pergi bersama Marsya. Aluna menghembuskan napas panjang. “Dasar orang stres,” gumamnya. Ia menatap langit-langit lorong sebentar, mencoba menenangkan diri. Hidupnya terasa berat, di kampus harus menghadapi orang macam Jenna, di rumah harus menahan emosi menghadapi ibu tiri yang licik. Sore itu, setelah dijemput pulang dan melewati jalanan padat, akhirnya ia sampai di rumah besar bergaya klasik miliknya yang sekarang terasa berbeda. Begitu melangkah ke halaman, langkahnya terhenti. Ia melihat mobil hitam mewah yang sudah sangat dikenalnya, milik Kenzo. Seketika semangatnya kembali. Ia merapikan rambut yang berantakan, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum masuk ke rumah. Suara tawa Sarah terdengar dari ruang tamu. Aluna melangkah perlahan dan melihat Kenzo duduk di sana, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung sampai siku. Ia terlihat tenang, matanya fokus ke arah Sarah yang tampak mengenakan gaun ketat berwarna merah. Hati Aluna langsung mencelos. Ia tahu betul gaya seperti itu bukan tanpa maksud. “Maaf aku tak menjemputmu,” ujar Kenzo begitu melihatnya, nada suaranya rendah namun hangat. “Tak apa, Om,” balas Aluna ceria, seolah tak terganggu. “Lagi ngapain di sini? Papa mana?” “Urusan bisnis,” jawab Kenzo santai. “Papa kamu memintaku untuk bantu Sarah mulai belajar bisnis kecil-kecilan.” Mendengar itu, Aluna langsung memicingkan mata. Pandangannya bergeser ke arah ibu tirinya, yang tersenyum manis tapi palsu. “Masuk kamar,” perintah Sarah tajam. “Mandi, lalu makan. Dan jangan minta Bi Lastri mengantar makanan ke kamar lagi!” “Lah, memang kerjaannya itu, kan?” balas Aluna enteng. “Bu Lastri di sini sudah lebih lama dari Tante.” Sorot mata Sarah langsung berubah tajam. Aluna bisa merasakan panas dari tatapan itu, tapi ia memilih mengangkat bahu dan berlalu pergi. Setelah Aluna menghilang di balik tangga, Sarah beranjak. “Sebentar, Ken. Aku mau bicara sebentar sama anak itu,” ucapnya manis, padahal nadanya penuh racun. Kenzo mengangguk tenang. “Silahkan.” Sarah berjalan cepat, hak sepatunya beradu di lantai marmer. Begitu sampai di tangga, ia langsung menarik rambut Aluna dari belakang. Tarikannya keras sampai gadis itu kehilangan keseimbangan. “Lepas, Tante!” Aluna berteriak, mencoba menepis tangan kasar itu. “Tante gak takut Papa tahu?!” Sarah mendesis. “Andreas gak akan percaya omonganmu, Gadis bodoh.” Kenzo di ruang tamu menegang mendengar teriakan itu. Ia beranjak pelan, lalu mengintip dari balik dinding. Matanya menyipit tajam melihat Sarah sedang menjambak rambut Aluna dengan kejam. “Kamu seharusnya bersyukur aku masih tahan tinggal serumah sama anak tak tahu diri kayak kamu,” bisik Sarah dengan nada rendah tapi penuh kebencian. “Tante bisa di usir tanpa membawa apapun kalau Papa tahu soal ini,” balas Aluna bergetar menahan sakit. “Ternyata perasaanku gak salah. Tante tak akan pernah bisa gantiin posisi Mama di rumah ini.” Sarah menyeringai. “Mikaila bodoh. Mau-maunya mati cuma buat lahirin anak kayak kamu.” Kata-kata itu bagai petir di dada Aluna. Air matanya langsung jatuh. Kenzo yang tak tahan lagi akhirnya berdehem keras, membuat Sarah terlonjak dan buru-buru melepaskan rambut Aluna. “Masih ngobrol sama Aluna?” tanya Kenzo datar tapi tajam. Sarah tersenyum kaku. “Sudah. Cuma ngingetin dia biar makan. Anak itu sering lupa makan.” Aluna diam saja, lalu naik ke kamarnya tanpa menoleh. Kenzo memperhatikan langkahnya, pelan, tapi berat. Ada sesuatu di sorot mata gadis itu yang menohok dadanya. Sarah berusaha mengalihkan suasana. “Ayo, Ken. Kita lanjut pembahasannya.” Kenzo hanya mengangguk, tapi pikirannya sudah tak lagi di sana. Setiap detik, wajah Aluna terus berkelebat di benaknya. Di kamar, Aluna duduk di tepi ranjang. Pandangannya jatuh pada foto ibunya yang terpajang di atas nakas. Senyum lembut di foto itu membuat dadanya sesak. Ia berlutut, air mata mulai mengalir deras. “Mereka benar, Mah. Andai aku gak pernah lahir, Mama gak akan pergi dari Papa,” bisiknya, lalu menangis makin keras. Di bawah, Kenzo membuka ponselnya diam-diam. Ia mengetik pesan di media sosial yang jarang dipakainya, mencari sosial media milik Aluna. “Temui aku di luar gerbang. Kita jalan sekarang.” Tulisnya singkat, berharap Aluna membuka pesan darinya. Beberapa menit kemudian, ponsel Aluna berbunyi. Ia sempat ragu, tapi begitu melihat nama akun yang asing, hatinya langsung berdebar. Ia membaca pesannya, dan tahu betul siapa pengirimnya. Wajahnya langsung berubah, matanya berkilat kecil seperti menemukan semangat baru. Ia menyeka air mata, berdiri cepat, lalu berganti pakaian seadanya. Sementara itu, Kenzo menatap jam tangannya. “Aku harus pergi sekarang, Sarah. Lanjut besok,” ucapnya datar. Sarah tampak kecewa. “Kok buru-buru, Ken. Aku belum sempat banyak belajar.” Kenzo hanya tersenyum tipis. “Ada urusan mendadak. Lain waktu aku bantu lagi.” Ketika ia berdiri, matanya menangkap sosok Aluna yang sedang menuruni tangga pelan-pelan. Ia menunduk, berusaha tak menarik perhatian Sarah. Kenzo langsung mengalihkan arah pembicaraan. “Sebelum itu, bisa antar aku ke depan?” Sarah tersenyum lebar, jelas tersanjung. “Tentu saja, Ken. Ayo!” Aluna sempat melirik ke arah mereka dari sudut tangga. Kenzo berpura-pura tak melihat, tapi matanya sempat bertemu dengan tatapan gadis itu sekilas, cukup untuk membuat dada keduanya bergetar.
Ia ingin mengambil foto, tapi tangannya bergetar. Bukannya mencari bukti, Sarah malah berbalik cepat dan berjalan dengan langkah panjang menuju area parkir. Pikirannya gelap. Begitu masuk ke mobil, ia menyalakan mesin dan langsung menginjak pedal gas dalam-dalam. “Tidak bisa dibiarkan!” geramnya. Mobil melaju cepat menembus lalu lintas siang yang cukup panas. Dalam pikirannya, hanya ada satu tujuan, kantor Andreas. Ia ingin tahu sejauh mana kebutaan suaminya terhadap kedekatan gila itu. Gerbang bertuliskan Erlangga Group terbuka otomatis. Sarah keluar dengan langkah tergesa namun tetap menjaga penampilan. Dari luar, ia masih tampak seperti istri konglomerat yang anggun. Tapi begitu masuk ke ruangan Andreas, amarahnya tak lagi bisa disembunyikan. Andreas sedang berbicara dengan asisten pribadinya, Ergita, ketika pintu ruangan terbuka kasar. Sarah masuk tanpa mengetuk dan langsung melempar tas mahalnya ke atas meja, tepat di tumpukan berkas yang sedang dibahas. “Keluar kamu!”
Sementara itu, di rumah Kenzo, aroma daging panggang mulai memenuhi dapur. Aluna berdiri canggung di samping meja makan, menatap lelaki itu yang kini mengenakan kaos hitam dan celana bahan abu gelap. Lengan kekarnya tampak jelas setiap kali ia mengaduk saus di panci. “Om … ternyata beneran bisa masak sendiri,” ucap Aluna pelan, setengah kagum, setengah tak percaya. Kenzo menoleh sedikit, menatapnya dari balik bahu. “Kau pikir aku cuma bisa kerja dan menyetir mobil?” senyumnya muncul samar, lalu kembali fokus pada wajan. “Aku pikir Om tipe yang tinggal duduk, terus ada pelayan nyiapin semua,” sahut Aluna, berusaha terdengar santai. “Kalau semua dilakukan orang lain, apa gunanya punya tangan?” jawab Kenzo tenang. Ia menyalakan api kecil, lalu menuangkan saus cokelat ke piring daging yang sudah tertata rapi. Aluna memperhatikan setiap gerakannya. Entah kenapa, cara Kenzo memotong daging, mengaduk saus, bahkan menaruh garam di ujung jari saja terlihat seperti adegan dari film ya
Aluna masih membelalak, belum sempat menelan ludah ketika seorang asisten rumah tangga tiba-tiba muncul dari arah dapur sambil membawa nampan berisi gelas dan air. “Mau saya lanjutkan saja, Non?” tanyanya sopan, membuat Kenzo yang baru saja membuka kancing kemejanya sontak menoleh. Kenzo dengan cepat menutup kembali kemeja yang sudah terurai di bagian bawah, seolah tak terjadi apa-apa. “Tidak usah,” jawab Aluna santai. Tatapan Kenzo sempat melirik Aluna yang masih kaku di tempat, lalu senyum kecil muncul di bibirnya. “Aku ke atas dulu, ganti pakaian. Enjoy, Aluna.” Ia mengedipkan sebelah matanya ringan sebelum berbalik dan menaiki anak tangga dengan langkah santai. Aluna hanya bisa menatap punggungnya menjauh, detak jantungnya masih belum stabil. Pria itu seolah tahu cara menimbulkan gemuruh tanpa harus banyak bicara. Begitu Kenzo menghilang di tikungan tangga, Aluna menunduk, menatap lantai berubin putih mengilap di bawah kakinya. 'Andai aku bisa tinggal di sini, aku g
Begitu Sarah dan Kenzo berjalan ke depan rumah, Aluna bergegas jalan melewati dapur. Ia hampir menabrak Lastri yang sedang menata piring.“Ibu ngagetin aja,” sergah Aluna setengah kesal.Lastri menatapnya heran. “Non mau ke mana? Baru juga pulang.”“Aku keluar sebentar ya, Bu. Kalau Papa gak di rumah, sikap Tante Sarah makin nyebelin,” keluhnya.Lastri menghela napas berat. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk membuat Aluna merasa tenang tinggal di rumah itu. “Ibu tahu, Non. Tapi hati-hati, ya. Jangan pulang terlalu larut, takutnya … nanti Tuan keburu pulang.”“Aku cuma sebentar, kok.”“Pergi sama siapa memangnya, Non?” tanya Lastri kemudian, menghentikan langkah gadis itu lagi. Aluna tersenyum, lalu mendekat dan berbisik pelan di telinga Lastri, “Om tampan, Bu.”Wajah Lastri langsung berubah merah, sementara Aluna terkekeh kecil dan pergi begitu saja. Di halaman depan, Sarah masih berbicara dengan Kenzo, berusaha menarik perhatian dengan suaranya yang manja. Namun begitu mobil pria
Selama belajar seharian, pikiran Aluna tak pernah bisa lepas dari Kenzo. Setiap kali menatap papan tulis, bayangan wajah pria matang itu muncul begitu jelas di kepalanya, dari caranya menatap dingin, nada suaranya yang dalam, hingga sorot matanya yang seolah bisa menembus hati siapa pun. Ia bahkan sempat tersenyum sendiri di tengah kelas, membuat salah satu temannya heran dan memandang aneh. Tapi sekalipun pikirannya dipenuhi oleh pria itu, semua pelajaran tetap masuk dengan sempurna. Aluna memang cerdas, hanya saja pikirannya sering melayang ke arah yang tidak seharusnya.Begitu kelas berakhir, ia buru-buru merapikan buku, lalu berjalan cepat keluar dari kelas. Tasnya disampirkan asal di bahu, langkahnya tergesa menuju parkiran. Ia hanya ingin cepat sampai di rumah, berharap Kenzo masih di sana. Namun baru beberapa langkah melewati lorong sepi kampus, dua sosok berdiri menghadangnya. Jenna dengan gaya sok berkuasa, dan Masrya, pengikut setianya. Aluna mendengus malas. “Masih ada
Aluna masih menatap Kenzo tanpa bisa menahan gugup yang tiba-tiba menyerang. Tatapan mata pria matang itu terlalu dalam, terlalu menekan, membuat jantungnya berdetak cepat tanpa alasan yang bisa ia pahami.“Kenzo, sahabat Papa kamu,” ucap pria itu dengan nada tenang, sembari menyodorkan tangan.Aluna sempat ragu sesaat, tapi akhirnya membalas jabatan tangannya. “S–saya Aluna,” sahutnya cepat, sedikit terbata. Sentuhan tangan Kenzo hangat, besar, dan entah kenapa membuatnya susah menarik diri.Andreas memperhatikan interaksi itu dengan dahi berkerut tapi tetap tersenyum tipis. “Tak biasanya kamu gugup begini, Sayang. Ada apa?” tanyanya ringan, seolah ingin menggoda.Aluna langsung menarik tangannya cepat-cepat. “Tidak, Pah. Aku hanya … lelah saja,” ucapnya singkat sambil memaksakan senyum. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan wajah yang entah kenapa terasa panas.Andreas menatapnya agak lama sebelum kembali berkata, “Dari mana saja kamu semalam? Mama kamu laporan kalau tadi pagi kamu ba








