 LOGIN
LOGIN
Ia ingin mengambil foto, tapi tangannya bergetar. Bukannya mencari bukti, Sarah malah berbalik cepat dan berjalan dengan langkah panjang menuju area parkir. Pikirannya gelap. Begitu masuk ke mobil, ia menyalakan mesin dan langsung menginjak pedal gas dalam-dalam. “Tidak bisa dibiarkan!” geramnya. Mobil melaju cepat menembus lalu lintas siang yang cukup panas. Dalam pikirannya, hanya ada satu tujuan, kantor Andreas. Ia ingin tahu sejauh mana kebutaan suaminya terhadap kedekatan gila itu. Gerbang bertuliskan Erlangga Group terbuka otomatis. Sarah keluar dengan langkah tergesa namun tetap menjaga penampilan. Dari luar, ia masih tampak seperti istri konglomerat yang anggun. Tapi begitu masuk ke ruangan Andreas, amarahnya tak lagi bisa disembunyikan. Andreas sedang berbicara dengan asisten pribadinya, Ergita, ketika pintu ruangan terbuka kasar. Sarah masuk tanpa mengetuk dan langsung melempar tas mahalnya ke atas meja, tepat di tumpukan berkas yang sedang dibahas. “Keluar kamu!”
Sementara itu, di rumah Kenzo, aroma daging panggang mulai memenuhi dapur. Aluna berdiri canggung di samping meja makan, menatap lelaki itu yang kini mengenakan kaos hitam dan celana bahan abu gelap. Lengan kekarnya tampak jelas setiap kali ia mengaduk saus di panci. “Om … ternyata beneran bisa masak sendiri,” ucap Aluna pelan, setengah kagum, setengah tak percaya. Kenzo menoleh sedikit, menatapnya dari balik bahu. “Kau pikir aku cuma bisa kerja dan menyetir mobil?” senyumnya muncul samar, lalu kembali fokus pada wajan. “Aku pikir Om tipe yang tinggal duduk, terus ada pelayan nyiapin semua,” sahut Aluna, berusaha terdengar santai. “Kalau semua dilakukan orang lain, apa gunanya punya tangan?” jawab Kenzo tenang. Ia menyalakan api kecil, lalu menuangkan saus cokelat ke piring daging yang sudah tertata rapi. Aluna memperhatikan setiap gerakannya. Entah kenapa, cara Kenzo memotong daging, mengaduk saus, bahkan menaruh garam di ujung jari saja terlihat seperti adegan dari film ya
Aluna masih membelalak, belum sempat menelan ludah ketika seorang asisten rumah tangga tiba-tiba muncul dari arah dapur sambil membawa nampan berisi gelas dan air. “Mau saya lanjutkan saja, Non?” tanyanya sopan, membuat Kenzo yang baru saja membuka kancing kemejanya sontak menoleh. Kenzo dengan cepat menutup kembali kemeja yang sudah terurai di bagian bawah, seolah tak terjadi apa-apa. “Tidak usah,” jawab Aluna santai. Tatapan Kenzo sempat melirik Aluna yang masih kaku di tempat, lalu senyum kecil muncul di bibirnya. “Aku ke atas dulu, ganti pakaian. Enjoy, Aluna.” Ia mengedipkan sebelah matanya ringan sebelum berbalik dan menaiki anak tangga dengan langkah santai. Aluna hanya bisa menatap punggungnya menjauh, detak jantungnya masih belum stabil. Pria itu seolah tahu cara menimbulkan gemuruh tanpa harus banyak bicara. Begitu Kenzo menghilang di tikungan tangga, Aluna menunduk, menatap lantai berubin putih mengilap di bawah kakinya. 'Andai aku bisa tinggal di sini, aku g
Begitu Sarah dan Kenzo berjalan ke depan rumah, Aluna bergegas jalan melewati dapur. Ia hampir menabrak Lastri yang sedang menata piring.“Ibu ngagetin aja,” sergah Aluna setengah kesal.Lastri menatapnya heran. “Non mau ke mana? Baru juga pulang.”“Aku keluar sebentar ya, Bu. Kalau Papa gak di rumah, sikap Tante Sarah makin nyebelin,” keluhnya.Lastri menghela napas berat. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk membuat Aluna merasa tenang tinggal di rumah itu. “Ibu tahu, Non. Tapi hati-hati, ya. Jangan pulang terlalu larut, takutnya … nanti Tuan keburu pulang.”“Aku cuma sebentar, kok.”“Pergi sama siapa memangnya, Non?” tanya Lastri kemudian, menghentikan langkah gadis itu lagi. Aluna tersenyum, lalu mendekat dan berbisik pelan di telinga Lastri, “Om tampan, Bu.”Wajah Lastri langsung berubah merah, sementara Aluna terkekeh kecil dan pergi begitu saja. Di halaman depan, Sarah masih berbicara dengan Kenzo, berusaha menarik perhatian dengan suaranya yang manja. Namun begitu mobil pria
Selama belajar seharian, pikiran Aluna tak pernah bisa lepas dari Kenzo. Setiap kali menatap papan tulis, bayangan wajah pria matang itu muncul begitu jelas di kepalanya, dari caranya menatap dingin, nada suaranya yang dalam, hingga sorot matanya yang seolah bisa menembus hati siapa pun. Ia bahkan sempat tersenyum sendiri di tengah kelas, membuat salah satu temannya heran dan memandang aneh. Tapi sekalipun pikirannya dipenuhi oleh pria itu, semua pelajaran tetap masuk dengan sempurna. Aluna memang cerdas, hanya saja pikirannya sering melayang ke arah yang tidak seharusnya.Begitu kelas berakhir, ia buru-buru merapikan buku, lalu berjalan cepat keluar dari kelas. Tasnya disampirkan asal di bahu, langkahnya tergesa menuju parkiran. Ia hanya ingin cepat sampai di rumah, berharap Kenzo masih di sana. Namun baru beberapa langkah melewati lorong sepi kampus, dua sosok berdiri menghadangnya. Jenna dengan gaya sok berkuasa, dan Masrya, pengikut setianya. Aluna mendengus malas. “Masih ada
Aluna masih menatap Kenzo tanpa bisa menahan gugup yang tiba-tiba menyerang. Tatapan mata pria matang itu terlalu dalam, terlalu menekan, membuat jantungnya berdetak cepat tanpa alasan yang bisa ia pahami.“Kenzo, sahabat Papa kamu,” ucap pria itu dengan nada tenang, sembari menyodorkan tangan.Aluna sempat ragu sesaat, tapi akhirnya membalas jabatan tangannya. “S–saya Aluna,” sahutnya cepat, sedikit terbata. Sentuhan tangan Kenzo hangat, besar, dan entah kenapa membuatnya susah menarik diri.Andreas memperhatikan interaksi itu dengan dahi berkerut tapi tetap tersenyum tipis. “Tak biasanya kamu gugup begini, Sayang. Ada apa?” tanyanya ringan, seolah ingin menggoda.Aluna langsung menarik tangannya cepat-cepat. “Tidak, Pah. Aku hanya … lelah saja,” ucapnya singkat sambil memaksakan senyum. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan wajah yang entah kenapa terasa panas.Andreas menatapnya agak lama sebelum kembali berkata, “Dari mana saja kamu semalam? Mama kamu laporan kalau tadi pagi kamu ba








