Share

BAB 3 # Si Bajingan

Mata biru, rahang keras, bibir tebal dan kulit putih yang kecokelatan membuat penampilan pria di hadapan Arren begitu mempesona. Wajahnya sangat tampan. Tatapannya pun memancarkan gairah yang sukar dijelaskan.

“Sudah puas mengamati wajahku?” 

Satu hal. Suara itu. Suara yang sangat dibenci oleh Arren. Suara yang selalu menyakiti hati dan alat vitalnya selama beberapa waktu. “BAJINGAN!” 

Arren menggeram kemudian hampir menyundulkan kepala untuk mengusirnya, sayangnya … pria itu sangat lihai dalam menyiksanya lagi dan lagi. “Tenanglah, nanti infusmu copot!” Leon menahan dahi Arren yang hendak dihentakkan kepadanya. 

Hangat.

Telapak tangan pria itu begitu kontras dengan kondisi Arren yang dingin dan pucat.

“Lepaskan!”

Arren menggelengkan kepala, berusaha menjauhkan diri dari sentuhan pria tadi. Untuk sesaat, Arren baru menyadari bahwa ada banyak selang yang terhubung pada tubuhnya. Kamarnya pun tidak lagi suram. Semuanya tampak terawat dengan baik. Wajahnya … ketika Arren melihat ke cermin, semuanya tampak begitu berbeda.

‘Apakah orang ini merawatku?’ gumamnya dalam hati. Arren masih belum bisa percaya.

“Kau harus banyak beristirahat.”

Pria itu kemudian beranjak dari ranjang Arren dan pergi begitu saja. Perilakunya masih sama seperti ketika datang dan pergi dari kamar ini seenaknya. Hanya saja, ada satu hal yang berbeda: dia tak lagi memperkosanya.

“Hiks ….”

Mengingat hal itu, hati Arren kembali sakit. Ia sangat takut. Sebenarnya, apa yang terjadi? Mengapa seorang pria asing menculik dan memperkosanya? Lalu secara tiba-tiba … memberikan perawatan seperti ini?

“Ibu ….”

Hanya tangis pilu yang dapat menemani keterasingannya di tempat ini. Arren tidak tahu, harus kepada siapa ia menanyakan segala risau di hati.

***

Malam harinya, seorang dokter tiba-tiba datang untuk memeriksanya. Awalnya, Arren bersikap waspada, namun keramahan dokter dan perawat itu meruntuhkan penjagaannya.

“Syukurlah, Anda sudah membaik, Nona.”

“Ya ….”

Arren kikuk. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana.

“Tuan Leon pasti akan sangat senang. Beliau telah mengeluarkan biaya ribuan dollar untuk mendatangkan segala kebutuhan medis Anda. Sungguh beruntung bisa memiliki kekasih sepertinya,” ucap sang perawat sambil tersenyum menggoda.

“Kekasih? Cih!” Arren mendecih. Bukannya bersyukur, ia malah bingung. Apa yang bisa dilakukannya? Bahkan, keberadaannya di sini pun bukan atas kemauan sendiri. Beruntung? Yang benar saja!

“Ellen, kau terlalu banyak bicara,” Dokter itu memperingatkan si perawat agar diam. Ia lalu memeriksa keadaan Arren untuk kali terakhir. “Saya akan datang kembali untuk memastikan perawatan Anda berjalan sempurna. Untuk sementara, mohon jangan terlalu banyak bergerak.”

Arren mengangguk. Setidaknya, luka lebam yang dideritanya juga semakin membaik. Dulu, Arren sering dipukuli oleh Ayahnya ketika pria itu sedang mabuk. Meski sering menghindar namun, kekuatan Arren tidak sebanding dengan tenaga ayahnya yang sedang hilang kesadaran. Beruntung, insiden itu hanya sampai pada pemukulan, bukan pemerkosaan atau pembunuhan.

“Hhh ….”

Arren benar-benar bernasib sial. Seharusnya, ibunya tidak meninggal terlalu cepat. Atau, jika memang harus meninggal, seharusnya ia mengajaknya ikut serta. Untuk apa Arren berada dalam dunia yang kejam seperti ini? Tanpa seorang pun yang mempedulikan, tanpa bahu untuk bersandar.

Oh! Takdir kejam sungguh terjadi tanpa belas kasihan.

“Tersenyumlah, Nona. Anda akan segera sembuh,” ucap perawat itu kemudian pamit undur diri. Ia bahkan tidak tahu bahwa murungnya Arren bukan karena luka raga yang dideritanya, melainkan … luka jiwa yang sejak dulu mendera.

***

“Kau … sudah sehat?” 

Keesokan paginya, pria itu kembali datang. Leon, kata sang dokter. Itu lah namanya. 

“Apa yang kau inginkan?” 

Lelah bertengkar, Arren akhirnya tidak lagi menyerang Leon. Lagi pula, dokter melarangnya untuk banyak bergerak. Setidaknya, hari ini, ia ingin berbicara dengan si penculik itu dengan benar.

“Bebaskan aku! Aku akan menebus hutang ayahku!”

“Hm … menarik.”

Bukannya membebaskan Arren, atau setidaknya … memikirkan untuk menuruti kemauan gadis itu, Leon malah tersenyum senang. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik Arren dengan wajah berbinar. “Gadis yang lucu.”

Pria itu berjalan mendekat, kali ini … ia tidak memaksa Arren untuk melakukan apapun. Bahkan, kata-kata ‘budak’ tidak lagi terlontar dari mulutnya itu. “Kau sudah tahu siapa aku?” tanyanya seraya mendekat dan duduk di tepi ranjang.

Arren menghindar. Ia beringsut menjauh sehingga … setidaknya tidak bersentuhan dengan penculik laknat yang telah merenggut kehormatannya itu! “Apa peduliku? Kau hanyalah seorang bajingan.”

Leon terkekeh. Perkataan Arren memang benar. “Mendengar kata ‘bajingan’ dari bibir kecilmu itu sungguh menyenangkan. Ternyata, begini rasanya mendengar kutukan secara langsung.”

“Dasar gila!”

Pria itu kembali tertawa, namun detik kemudian, ia tampak memindai Arren dari ujung kaki hingga ujung kepala. Melihat rona wajah Arren yang kembali cerah dan luka di kaki yang berangsur membaik, Leon tampak lega.

“Baguslah. Kau sudah cukup sehat.”

Arren merasa diperlakukan seperti binatang ternak. “Apa maksudmu? Memangnya, kalau aku sudah sehat, kau mau apa?” cecarnya sambil menatap Leon tajam.

Penampilan Arren saat ini sungguh seperti kucing hutan yang mencoba melawan macan. Menggemaskan. “Tentu saja kau harus melayaniku kembali! Memangnya, untuk apa lagi?”

Sejak saat itu, Arren memutuskan untuk tidak lagi mengobrol dengan pria bajingan itu. Siapa tadi namanya? Leon. Leon si bajingan!

De Lilah

Ayo kirimkan Gem untuk mendukung karya ini naik peringkat! Follow juga agar terus update cerita terbaru dari Madam, xoxo.

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status