Ayo kirimkan Gem untuk mendukung karya ini naik peringkat! Follow juga agar terus update cerita terbaru dari Madam, xoxo.
Arren yang pingsan, akhirnya sadar. Ia mencari Leon, namun, Poppy mengatakan bahwa tuannya itu sedang berada di ujung wilayah Canadak untuk membuat perhitungan dengan rivalnya, Napoli Toredo.Sudah menjadi rahasia umum bahwa perseteruan keduanya tidak ada habisnya, bahkan sejak ayah Leon meninggal. Benar kata pepatah, sahabat sejati bisa menjadi musuh mematikan ketika sudah tidak lagi sesuai visi.Bisnis kelab malam dan narkoba awalnya dijalankan oleh keluarga Connor dan Toredo secara akur dan saling mendukung. Namun, ketika ayah Leon jatuh sakit, pria itu mulai menguasai kerajaan bisnis sang ayah dan melenyapkannya. Baik ayahnya, maupun bisnis narkoba miliknya, sama-sama tidak meninggalkan jejak yang tersisa. Leon sangat membenci narkoba. Leon memiliki trauma masa kecil yang berhubungan dengan barang haram tersebut.Ketika ayah Leon sudah meninggal, ia akhirnya membumi-hanguskan akta perjanjian antara Connor dan Toredo, dan memutus akses kerjasama secara sepihak. Leon tidak pedul
Sudah seharian Leon pergi ke markas Napoli, Arren tidak melihatnya sama sekali sejak saat itu. Gadis itu tidak begitu mempedulikannya. Arren sangat membenci Leon. Bagaimana bisa pria itu begitu dingin dan kejam. Ia masih tidak dapat menerima fakta bahwa salah satu pengawalnya kritis dan sedang berjuang di kamar operasi akibat serangan Leon kemarin malam. Seharusnya, Leon tidak menyerang pengawal Arren yang juga merupakan orang dalamnya sendiri. Seharusnya, Leon fokus melakukan pencarian pada penembak jitu yang telah mengancam nyawanya. Bagaimana bisa pola pikir seseorang menjadi tidak praktis seperti itu? Arren benar-benar tidak mengerti. "Bagaimana keadaan orang itu?" tanya Arren pada salah seorang pengawal yang bertugas hari ini. "Ia sudah melewati masa kritis, Nona. Anda tidak perlu khawatir," sahutnya. Arren merasa cukup lega mendengarnya. Ia benar-benar harus keluar dari neraka dunia seperti ini. Arren sudah tidak tahan lagi untuk berurusan dengan kekejaman Leon lebih dal
Arren yang sedang telanjang tampak terkejut dengan kehadiran Leon. Bukankah, pria itu sudah mati? Atau belum? "Le--leon? Apa yang kau lakukan jam segini?" Arren menutup tubuh polosnya dengan kedua tangannya. Leon, secara otomatis, membanting pintu yang tadi dibukanya. Ia melangkah dengan gusar menuju ke arah gadis itu, wajahnya memerah, napasnya menderu. Arren sepertinya telah memancing insting binatang Leon sehingga tanpa sadar menjadikan dirinya mangsa secara sukarela. "Kau sedang menungguku?" bisik Leon dengan cengkeraman yang membuat bulu kuduk Arren meremang. "Ti--tidak. Aku baru saja selesai mandi," sahut Arren dengan kaki lemas, karena ia pun tak dapat menahan gejolak hasrat yang mulai merayapinya. "Hm… Benarkah?" Leon mulai berbisik lembut, kemudian melancarkan serangan di lehernya. Leon mengecupnya perlahan, kemudian bermain-main dengan inti dirinya yang tak tertutup sehelai kain-pun. Jemari Leon mulai menyusup, menyebabkan kenikmatan yang tak pernah Arren bayangkan seb
Arren terperanjat, ia tak menyangka bahwa Leon memiliki bakat memasak yang tersembunyi. Sebagai seorang wanita, Arren merasa kalah saing. "Kau bercanda, kan?" Arren tampak tak mempercayai perkataan Leon. "Apakah bercanda memang seperti itu?" Leon bertanya balik, karena tidak pernah melakukan candaan sepanjang hidupnya. "Entahlah," Arren malas menjawab pertanyaan Leon yang aneh. Hidup pria itu memang tidak tampak normal. Tidak heran jika ia tak pernah melakukan candaan sepanjang hidupnya. "Kalau mau suka, aku akan sering memasakkan steak untukmu," lanjutnya lagi, kemudian mengelap sudut bibirnya dengan sapu tangan karena telah menyelesaikan makanannya. "Y--ya??" Arren tak percaya dengan pendengarannya. "Kau tidak suka?" tanya Leon lagi. "Suka.. Suka..," Arren tak dapat menyembunyikan seleranya. Leon, pria itu benar-benar sesuai seleranya, dari segala hal, kecuali sikapnya di awal pertemuan dengannya. "Baiklah,"Makan pagi menjelang siang milik Arren berlalu dengan suasana yang
Leon sedikit terkejut dengan permintaan Arren untuk pergi berlibur. Namun, ia berusaha untuk menyembunyikan kekecewaannya. Leon merasa, menyembunyikan Arren di wilayahnya adalah keputusan yang tepat. Leon tak ingin ada orang lain yang mengetahui maupun mendambakan kecantikan Arren yang membuatnya tergila-gila.Leon mengambil napas dalam-dalam, mencoba untuk memahami keinginan Arren. Ia tak bisa membiarkan Arren merasa bosan maupun tersiksa dalam menjalin hubungan dengannya. Meski memang niat awalnya seperti itu. Entah mengapa, Leon menjadi kebingungan dengan kontradiksi emosi dan rasionalitasnya yang seakan berada pada garis yang berbeda."Baiklah, jika itu yang kau inginkan," ucap Leon dengan nada yang berat. Pria itu akhirnya mengalah, dan memilih untuk mengabulkan permintaan wanitanya.“Benarkah? Bisakah kita pergi ke ibu kota?” tanya Arren kemudian.Wajah Leon yang awalnya ramah, berubah marah. “Apa kau ingin melarikan diri dariku?” Kali ini, Leon bangkit dari tidurnya. Ia mem
Bugh!Sebuah bola basket hampir mengenai kepala Arren, beruntung, segera ditepis oleh Leon, meski akhirnya pria itu mengalami cedera ringan pada otot tangannya.Leon meringis menahan sakit, namun, ia tidak menampakkannya dengan jelas. Arren cukup menyadari ada yang tidak beres dengan gelagatnya.“Tuan, Nyonya, Maafkan kami. Nak, minta maaflah pada paman ini,” ucap seorang wanita yang tampaknya sebaya dengan Leon.“Maaf, Paman,” ucap seorang anak laki-laki yang tak sengaja melemparkan bola basket ke arah Arren dan Leon. Anak itu sebenarnya hanya ingin mencoba ayunan tangannya agar terampil, namun, ia melupakan lokasi ideal dan melemparnya sembarangan.“Mama sudah bilang kan? Bermainnya di lapangan, jangan di jalan!” dengus ibunya sambil melirik ke arah anaknya. "Iya, Ma," sahut sang anak laki-laki yang berusia sekitar delapan tahun itu dengan lesu. “Tidak masalah. Berhati-hatilah lain kali,” ucap Leon yang tak ingin memperpanjang urusan dengan kedua orang asing tersebut.Arren memand
"Syarat apa maksudmu?" tanya Leon yang sudah tak dapat menahan dirinya. Wajah dan dadanya telah berubah merah.Otot perutnya tak dapat menahan gejolak liar Arren yang kini berada tepat di bawahnya.Gadis itu, meski sekuat tenaga menolak, namun tetap tak dapat menepis godaan pria tampan seperti Leon. Ia tidak menyangkalnya sama sekali."Aku akan menutup matamu, agar kau semakin menikmati momen ini secara misterius," ucap Arren dengan wajah merona.Baru kali ini ia mengatakan hal nakal seperti itu. Rasanya, Arren sangat malu."Baiklah, jika itu maumu," Leon melepaskan cengkeramannya. Kali ini, ia duduk sesuai permintaan Arren.Gadis itu kemudian membuka tasnya, dan mengeluarkan sebuah kain berwarna hitam. Ia lalu merebahkan Leon ke ranjang, tempatnya tertidur tadi. Arren kini menuntun permainan. Arren lalu melilitkan kain hitam itu mengelilingi kepala Leon, hingga menutupi kedua matanya.“Kau suka bermain seperti ini, huh?” Leon menyeringai. Ia menantikan bimbingan Arren yang tampakn
Setelah mendapat aba-aba, Arren menukar topinya. Dengan hati-hati ia berjalan menunduk untuk mencapai pintu belakang teater. Saat cahaya panggung kembali normal, pengawal Arren tidak tampak mencurigai keberadaannya. Hal itu karena topi yang identik dengan sang majikan masih tampak menyembul dari balik kursi penonton. Para pengawal hanya diperbolehkan untuk masuk dan berada di pojok belakang teater, agar tidak mengganggu tamu lain yang sedang menikmati pertunjukkan. Hal itu dimanfaatkan oleh Arren untuk mengecoh mereka, dan pergi menyelinap tanpa terdeteksi.Setelah keluar dari teater, Arren memasuki lorong yang gelap dan sepi yang menghubungkan Opera House dengan gang kecil yang menuju ke jalan raya. Arren berlari untuk segera kabur dan berbaur dengan kerumunan, agar pengawal yang menyadari ketiadaannya, tak dapat melacaknya.Setelah beberapa saat, Arren akhirnya sampai di pusat keramaian. Ia mencoba untuk terus berjalan ke arah pasar malam, dan mencari petunjuk yang dapat mengara