'Anak kita', ihiy Adam sa aee dah ah >< Gemesh banget sihhh
Pertanyaan Adam membuat senyuman di bibir Evelyn menghilang, sedikit bingung kenapa pria di hadapannya itu mengungkit masalah tersebut. Namun, wanita tersebut merasa tidak ada hal yang perlu ditutupi. “Ya,” jawab Evelyn. “Agar skandal tidak tersebar ke media maupun didengar kalangan atas yang lain, dia menghapus semua bukti.” Wanita itu menggeser pandangan pada langit yang mulai gelap di luar jendela ruangan Adam. “Akan tetapi, rumor tetap tersebar dan reputasiku hancur. Ditambah dengan kehamilanku, Ayah pun mengusirku ke luar negeri.” Selama sesaat, Adam terdiam. Otaknya berputar, mencoba menempatkan diri di posisi Reyhan. Akan tetapi, dia tak elak merasa ada yang mengganjal dari sikap sang kepala Keluarga Aditama itu. “Apa ayahmu memang sekeji itu?” tanya Adam dengan kening berkerut. “Bagaimana bisa dengan begitu mudah dia membuang dan menggantikan dirimu dengan adikmu?” Semakin dipikirkan, Adam merasa bingung kenapa Reyhan tidak mencari tahu siapa yang telah menodai Evelyn, pewa
Di sebuah kafe di tengah kota, terlihat sekumpulan wanita muda sedang berbincang dengan seru. “Apa kamu sudah dengar?” tanya salah seorang wanita muda dengan wajah cerah. “Evelyn Aditama sudah kembali ke Nusantara.” Nada bicaranya terdengar bersemangat, membuat kawan-kawan lainnya bereaksi sama. “Nggak cuma itu, dia datang membawa calon suami luar biasa!” “Oh, iya! Aku sudah dengar!” sahut wanita dengan jepit rambut bunga di salah satu sisi kepalanya, terlihat manis. “Adam Dean dari Capitol, ‘kan?!” Wanita itu menghela napas, membayangkan sosok Adam yang begitu rupawan. “Aku dengar kehadirannya di pesta ulang tahun Rusli Diwangkara begitu menggemparkan.” Seorang wanita lain yang mengenakan lipstik merah terang terlihat memutar bola mata. “Bagaimana nggak menggemparkan? Bukan cuma dia datang dengan si mantan pewaris Aditama, tapi dia juga meminta Nissa dan Risa membungkuk di hadapan Evelyn.” Wajahnya menampakkan ekspresi tidak suka. “Aku penasaran sihir apa yang digunakan wanita jal*
“Itu fitnah, Dre!” balas Risa, masih tidak mengakui kebejatannya. “Masa kamu dengan begitu mudah percaya sama orang lain?! Dia itu cuma mau ngancurin pernikahan kita!” “Orang lain itu kakak kamu! Kakak kandung kamu yang juga mantan tunangan aku!” hardik Andre. Mengatakan hal tersebut, pria itu menyisir rambutnya dengan frustrasi. “Harusnya … aku nggak semudah itu percaya ketika papa kamu bilang Evelyn kabur ke luar negeri dengan pria lain. Harusnya aku—” “Harusnya apa?! Harusnya kamu kejar dia dan nikahin dia, gitu?!” potong Risa dengan tatapan nyalang. Dia tidak percaya bahwa pria yang telah menikahinya selama tujuh tahun lamanya itu tengah menyesali keputusan melepaskan Evelyn. “Selama ini kamu anggap aku ini apa, Dre?!” Diselimuti frustrasi dan dikuasai emosi menggebu, Andre pun membalas, “Kamu itu wanita yang dijodohin keluargaku untuk memperkuat posisi! Kamu sendiri sadar dengan hal itu ketika kamu merebut posisi kakakmu untuk menikah denganku!” Mengingat setiap kalimat yang d
“Andre tidak pulang semalaman?” Handi menampakkan ekspresi tidak suka mendengar kabar tersebut di pagi hari. “Kenapa?” tanyanya pada sang pelayan yang bertugas melayani makan pagi Keluarga Diwangkara itu. Sebelum pelayan tersebut menjawab, Nissa yang terduduk di seberang Handi pun menyahut, “Bertengkar besar dengan Risa.” Dia menggigit roti lapisnya, lalu menambahkan, “lagi.” Vera yang juga berada di ruang makan melirik ekspresi Handi yang memburuk. “Sepertinya, kita tidak bisa mempertahankan hubungan dengan Keluarga Aditama,” tutur wanita tersebut. “Bukan hanya tidak mampu melahirkan setelah menikah begitu lama, tapi dia juga membuat Andre terus-menerus tidak bahagia.” Sebuah dengusan terdengar dari wanita tersebut, mengejek Risa. “Ditambah kenyataan dia melakukan hal yang begitu keji kepada saudarinya sendiri, aku khawatir wanita itu akan membawa masalah lain di kemudian hari.” Walau merasa ucapan saudarinya masuk akal, tapi Handi mencoba bersikap tenang dan bertanya pada Nissa, “
“Tentu saja karena Evelyn bukan putri kandung dari Reyhan.” “Apa?!” Kala mendengar pernyataan dari kakaknya, Vera terkesiap dan tak kuasa menganga lebar. “Evelyn Aditama bukan putri kandung Reyhan?!” Wanita itu menatap Rusli yang tidak terlihat terkejut. “Dari mana Ayah dan Kakak tahu soal hal ini?!” Rusli memutar otaknya, mengingat masa-masa nama Aditama mendadak naik di Nusantara berpuluh-puluh tahun yang lalu. “Dua puluh delapan tahun yang lalu, kala penerus tunggal Keluarga Aditama di masa itu, Reyhan, berusia tiga puluh tahun, secara mendadak diumumkanlah kelahiran seorang bayi dalam keluarga itu.” Rusli menutup matanya, mencoba menggali memori yang telah terkubur dalam. “Anehnya, tidak ada yang pernah mendengar bahwa istri Reyhan tengah mengandung sebelumnya.” Vera mengerutkan kening. “Wanita mengandung untuk sembilan bulan, bagaimana mungkin tidak ada berita sama sekali?” Dia pun mencoba menghubungkan satu hal dengan hal lain dan berakhir membelalak. Rusli menganggukkan kep
“Evelyn … bukan anak kandung Reyhan Aditama?” Suara dalam itu bergema dalam ruang kantor lantai paling atas Eden Entertainment. Terdengar nada keraguan dari pria yang mengutarakan pertanyaan tersebut. “Kamu yakin, Julian?” “Rusli Diwangkara yang mengatakannya, dan sudah dikonfirmasi kembali kebenaran perihal kelahiran mendadak putri pertama Aditama.” Julian, yang sekarang berada di ruang kerja Adam, menganggukkan kepalanya. Wajah pria itu terlihat sendu selagi pancaran matanya menampakkan ketidakpercayaan. “Ini … terlalu kejam, Pak,” katanya seraya menatap ke arah Adam. Terlihat atasan Julian itu tengah berdiri di hadapan jendela besar ruangannya, terlihat gagah dan berwibawa. Namun, di balik kegagahan tersebut, ekspresi wajahnya yang terpantul dari kaca menunjukkan amarah mendalam. Dari sumber yang memiliki sejuta mata di berbagai negara, Julian mendapatkan info yang menguak asal-usul seorang Evelyn Aditama. Dinyatakan bahwa sumber itu mendapatkan info dari pelayan Keluarga Diwangk
Mendengar ucapan Liam, salah seorang wanita yang sedari tadi melontarkan kalimat pedas kala membicarakan Evelyn langsung mendelik. “Eh, bocah tengil! Sembarangan aja kalau ngomong! Kamu nggak diajarin sopan santun, ya?!” omel wanita berlipstik merah terang itu. Liam memiringkan kepalanya, masih tersenyum manis. “Sopan santun sih diajarin Tante, tapi kalau ngegosip belum,” balasnya. “Aku lihat Tante jago, kayaknya cocok buat ngajarin aku,” tutur bocah tersebut dengan cukup kencang, membuat sejumlah orang terkekeh. Dari reaksi orang-orang di sekeliling, kentara bahwa ada sejumlah orang yang sedari awal tidak nyaman dengan celotehan wanita tersebut. Terlepas dari isi pembicaraannya yang tidak bermakna dan menghina orang lain, tapi suara wanita itu begitu keras dan mengganggu. Melihat orang sekeliling menertawakan teman mereka, para wanita lain di meja itu pun merasa sangat malu. Mereka menyuruh wanita berlipstik merah tersebut untuk segera duduk dan mengabaikan bocah itu. “Udah, Feli.
“Jauhi putraku!” seru Adam seraya menarik Liam menjauh dari pria berpakaian olahraga itu. Tidak hanya pria asing itu, tapi Liam dan Evelyn juga sedikit terkejut dengan kedatangan Adam. Bukan hanya karena kedatangan pria itu yang tiba-tiba, tapi juga karena amarah yang terlukis jelas di wajah dan suara lantang yang dia lontarkan. “Adam?” panggil Evelyn dengan mata bulatnya sedikit membesar. Dia tidak menyangka akan melihat pria itu di sini. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya. Sekilas Adam lirikkan pandangan kepada Evelyn, menarik wanita itu mendekat ke arahnya. “Menjemputmu dan anak-anak,” jawabnya singkat sebelum mengalihkan tatapan kepada si pria asing, masih terlihat sangat waspada. Pria berpakaian olahraga itu melirik Evelyn, lalu kembali pada Adam. Dia melirik si kecil Liam, lalu kembali lagi pada Adam. Kemudian, menyadari kemiripan antara bocah kecil itu dengan Evelyn serta Adam, pria tersebut menutup mulutnya yang menampakkan sebuah senyuman. “Jadi, rumor perihal Adam Dean