LOGINArion mengikis jarak.
Keduanya saling berpandangan, berkedip dengan pelan.“Sepertinya aku mendengar sesuatu!” kata Esther.“Ehem!” Deheman itu semakin keras. Memaksa kedua insan yang kini saling bercumbu itu untuk bangun.Esther dan Arion mendudukkan dirinya, menatap ke segala arah. Dan mereka menemukan sosok pria dengan setelan jas hitam berdiri tak jauh dari gazebo yang mereka tempati.“Kau!”Melihat keberadaan Eric, Esther segera membenahi rambutnya yang sedikit berantakan akibat ulah Arion.“Ehem…maaf mengganggu waktunya, Tuan. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan,” kata Eric. Pria itu tampak salah tingkah.Sedangkah Arion sama sekali tak terganggu dengan keberadaan pria itu. Ia memandang Eric datar, kemudian berkata dengan santai. “Tunggu di ruang kerja. 10 menit lagi aku menyusul.”“Baik, Tuan.” Setelah mengatakan itu, Eric segera berbalik dan membawa langkahnya menjauhi aArion tertawa melihat respon Esther. Wanita itu sungguh tak terduga, membuat Arion senyum-senyum sendiri dibuatnya. “Kakak ipar, kenapa kau terkejut begitu? Bukannya kita sudah sering tidur bersama?” kata Arion.“Hentikan omong kosongmu itu!” seru Esther kesal.Arion malah tertawa. Ia sangat suka sekali menggoda Esther. Esther yang sedang menyetir jadi tidak fokus karena ulah Arion. Walau hanya sebatas kata-kata, Esther merasa salah tingkah. Ia dapat merasakan wajahnya yang tiba-tiba panas.“Kau, bukannya ingin membantuku menyelidiki tentang Tiara, tapi kau terus mengajakku tidur, seperti tidak pernah puas saja,” sindir Esther. “Ah, soal itu. Kau tenang saja, Kakak ipar. Apa pun yang kau inginkan, akan kau dapatkan. Tapi kalau boleh jujur, aku sungguh tidak bisa jauh darimu, Kakak ipar.” Arion menggerakkan jemarinya, menelusup ke dalam rok span yang Esther kenakan. Esther seketika merasa merinding. Semakin merusak ko
Beberapa menit sebelumnya. Erland baru saja mendapatkan telepon dari salah satu rekan bisnisnya untuk menghadiri sebuah pertemuan penting. Ia menyuruh Tiara menyiapkan berkas penting yang diperlukan dalam pertemuan tersebut. Sepuluh menit kemudian, keduanya segera keluar. Mereka melalui jalur khusus pejabat perusahaan menuju tempat parkir di mana Erland memarkirkan mobilnya. Saat keluar, ia tanpa sengaja melihat mobil istri pertamanya masih terparkir di basement tak jauh dari mobilnya. Padahal Esther sudah keluar setengah jam yang lalu. “Esther?” Erland mengerutkan keningnya. Ia melihat kendaraan milik Esther sedikit bergoyang. Tiara yang juga melihat itu tampak heran. Ia menatap ke arah suaminya. “Itu bukannya mobil Kak Esther?” tanya Tiara. “Iya, kau benar,” jawab Erland. Dengan langkah ragu, ia mendekati mobil istri pertamanya. Tiara yang juga penasaran turut mengekor di belakang Erland. Entah apa yang terjadi dengan kendaraan kakak madunya itu sampai bergerak seperti itu.
“Arion…kau…” Pria yang disebut namanya seketika mengukir senyum tipis. Ia lantas melipat sapu tangan yang ia pegang lalu mengusap pipi Esther yang basah. “Mengapa beberapa wanita di dunia ini berpikir bahwa mereka terlihat cantik saat sedang menangis?” sindirnya. Esther meraih sapu tangan itu lalu mengusap pipinya. Ia ingin menyanggah ucapan Arion, tetapi ia tidak punya tenaga untuk melakukan itu. Arion menatap Esther, bibirnya tak berhenti menampakkan senyum. “Sudah, jangan menangis. Kau terlihat jelek saat menangis,” ejek Arion. Ucapan Arion tersebut segera dibalas lirikan tajam oleh Esther. “Aku tidak pernah bilang diriku ini cantik,” sanggahnya. Arion meraih dagu wanita itu, lalu mendekatkan wajahnya. “Aku lebih suka melihatmu marah,” ujarnya. Tangan Arion yang memegang dagu Esther seketika ditepis oleh wanita itu. “Kau kenapa bisa ada di sini?” tanya Esther mengalihkan topik pembicaraan. Arion berdi
Erland terkesiap mendengar penuturan Esther. Kalau boleh memilih, ia tidak ingin menceraikan keduanya. Jujur saja, ia sangat mencintai Esther, tetapi ia juga membutuhkan Tiara. Sementara Erland berpikir keras, Esther menatap pria itu dengan penuh kepuasan. “Apa yang kau pikirkan, Erland? Aku tidak meminta hartamu, aku hanya ingin kau memilih saja. Tapi sepertinya itu berat bagimu. Bukannya kau bilang tidak cinta dengan Tiara?” Erland menghela napas kasar. Ia merasa dilema besar. Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri. Akhirnya Erland meraih pena, dan membubuhkan tanpa tangan. Esther melihat pergerakan tangan Erland dengan lihai memberikan tanda tangannya. Dan ia pun tersenyum. Akhirnya pria itu menyetujui kesepakatan itu. Dengan begitu ia bisa mengendalikan pria itu. Di depan pintu, Tiara masih mencoba menguping pembicaraan antara Esther dan Erland. Tetapi nasib sial berpihak padanya, ia tidak mendengar apa pun. “Mereka bicara apa sih? Kenapa aku tidak bisa dengar?” gerutu T
“Sepertinya aku mengganggu waktu kalian?” Bibir wanita itu memang tersenyum, tetapi kata yang terlontar penuh nada sindiran. Esther menatap suami dan adik madunya secara bergantian. Dan itu membuat mereka salah tingkah. Tiara tampak membenahi rambutnya yang sedikit berantakan. Sementara Erland tampak seperti orang yang tertangkap basah. Menyadari tatapan istri pertamanya, Erland segera mencairkan suasana. “Sayang, kenapa tidak menghubungi dulu kalau ingin kemari?” tanya Erland mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Terakhir kali, Esther datang ke perusahaan adalah empat tahun lalu. Mendengar itu, Esther menyunggingkan senyumnya. “Kenapa? Apa kau takut aku mengganggu ‘permainan’ kalian?” Lagi-lagi kalimat sindiran dilontarkan oleh Esther. Erland mengulas senyum. Mencoba menyangkal. “Tentu tidak, Sayang.” Erland lantas berdiri dari kursinya, ia melangkah mendekati Esther. Kedua tangannya menyentuh pundak Esther. “Sayang, kau kemari pasti ada sesuatu?” Bukannya menjawab, Esther me
Tiara menyunggingkan senyumnya. Apa yang ia dengar seperti angin segar yang berhembus. Bila Esther bercerai dengan Erland, maka posisi Nyonya Dawson akan jatuh ke tangannya. Tiara sangat bahagia membayangkan saat itu datang. Ia tersenyum penuh kemenangan. Ia menajamkan pendengarannya, mencoba mengulik informasi dari percakapan yang ia dengar antara Esther dan Erland. “Apa kau bilang? Bercerai?” Erland menatap istri pertamanya tak percaya. Ia hanya ingin meminta haknya seperti biasa, tetapi wanita itu malah berbicara demikian. “Ya, tentu saja. Kau tak butuh istri sepertiku. Lagi pula sudah ada Tiara,” ucap Esther tenang, seolah tanpa beban. Erland mengusap wajahnya kasar. Pagi-pagi ia sudah dihadapkan dengan pertengkaran. Kalau ia sedang tidak menjaga hati Esther, sudah pasti Erland akan emosi. “Esther, hanya karena aku menikah diam-diam. Kau sampai seperti ini? Bukankah aku sudah minta maaf? Lagi pula Tiara h







