Esther membuka mata, untuk melihat sosok itu, dan seketika dia membulatkan mata.
Sementara Erland tampak terkejut melihat kehadiran lelaki yang kini berdiri tepat di hadapannya. “Kenapa kau bisa ada di sini?” Arion mengulas senyum tipis. Dia menghempaskan tangan Erland dengan kasar. “Kau lupa, ada bagianku di perusahaan ini. Tapi tenang saja, aku sedang tidak ingin mengungkitnya, aku hanya ingin menuruti keinginan kakek untuk berjalan-jalan di sekitar sini. Tapi aku justru melihat pemandangan seperti ini,” jawab Arion. Erland mendengkus kasar. “Ini bukan urusanmu!” “Memang, tapi urusan rumah tangga bukankah sebaiknya diselesaikan di rumah.” Arion lantas menatap Esther. “Kakak ipar, sebaiknya kau pulang saja,” tegurnya. Esther tampak kesal, sekaligus gugup secara bersamaan. Bagaimanapun, keberadaan pria ini membuatnya teringat dengan kejadian malam itu. “Kau tidak punya hak untuk mengusirku!” kata Esther. Arion malah tersenyum. “Dia memang benar, kau pulang saja. Kita bicarakan ini di rumah,” timpal Erland. Suaranya terdengar sedikit rendah. Hal tersebut membuat Esther sedikit melunak. Dia pun melupakan niat awalnya untuk mencari tahu tentang Tiara. Sebelum pergi, Esther menatap Tiara sejenak sebelum akhirnya melenggang meninggalkan tempat. Erland memandang adik tirinya dengan tatapan malas. Selama ini hubungan mereka memang kurang baik. Persaingan bisnis, perebutan kekuasaan, menjadi penyebab renggangnya hubungan mereka berdua. “Katakan, untuk apa tujuanmu datang kemari? Kau pasti kecewa karena tidak ada yang menyambutmu ‘kan?” Nada bicara Erland terdengar mengejek. Arion tersenyum tipis. “Siapa bilang, justru aku mendapatkan sambutan yang istimewa.” Arion lantas berjalan mendekati Erland lalu mendekatkan bibirnya di telinga Kakak tirinya. “Sambutan dari Kakak ipar,” bisik Arion dengan cukup keras. Erland seketika menoleh ke arah Tiara. Wanita itu menggeleng. “Bukan aku.” Arion pun kembali mengulas senyum. “Tentu saja bukan dia, karena aku tidak pernah menganggapnya Kakak ipar.” Setelah mengatakan itu, Arion pun memutuskan untuk meninggalkan Erland. Sebelum itu, dia menepuk pundak kakak tirinya itu satu kali. Keluar dari gedung Dawson Group, Esther kembali mengendarai mobilnya. Berbelanja akan membuatnya sedikit melupakan permasalahan hidupnya. Esther menjalankan mobilnya menuju ke pusat perbelanjaan. Di tengah-tengah perjalanan, mobil Esther tiba-tiba berhenti. “Tunggu, kenapa ini?” Esther merasa bingung. “Aduh, kenapa tiba-tiba mati sih?” Esther memeriksa layar mobil dan melihat bensin dalam keadaan kosong. Dia pun menghela napas panjang. “Kenapa aku ceroboh sekali,” gurutu Esther merutuki diri sendiri. Dia pun keluar, jarak antara pos pengisian bahan bakar masih jauh. Dan Esther tidak mungkin mendorong kendaraannya. Dia harus meminta bantuan. Esther hendak menghubungi seseorang saat tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti tepat di dekatnya. Kaca mobil diturunkan. “Sepertinya ada yang butuh bantuan!” sapa sang pengemudi. “Kau?” Esther membulatkan matanya. Arion keluar dari mobilnya, lalu mendekati Esther. Dia melirik ke arah mobil Esther sekilas dan dia bisa menebak apa yang terjadi. “Apa yang terjadi?” tanyanya basa-basi. Esther membuang muka. Lalu menjawab dengan ketus. “Bensinnya habis!” “Kalau begitu, ikutlah denganku. Ada yang ingin aku bicarakan,” ucap Arion. Lagi-lagi Esther membuang muka. Jujur saja, berhadapan dengan pria membuat Esther teringat akan malam itu. Esther memejamkan matanya sejenak. Dia menghela napas. “Memangnya kau ingin bicara apa?” tanya Esther penasaran. “Tidak mungkin kita membicarakannya di jalan seperti ini ‘kan?” Yang dikatakan Arion memang benar. Terpaksa, Esther menuruti keinginan Arion. “Lalu mobilku bagaimana?” “Serahkan saja padaku.” Arion lantas menelpon orang kepercayaannya. Esther mendengar percakapan Arion dengan orang kepercayaannya, dan dia sedikit lega. Detik selanjutnya, Arion menutup panggilan. Dia membukakan pintu mobil untuk Esther dan menyuruh wanita itu segera masuk. Dalam perjalanan, tidak ada percakapan penting. Hanya basa-basi dan perkenalan singkat. Esther baru mengenal Arion, jadi banyak hal yang perlu dia ketahui. Setibanya di tempat tujuan, Esther segera turun. Dia melihat area sekitar. Merasa asing dengan tempat ini, Esther pun bertanya, “Di mana ini?” Arion memandang Esther. Sebelah sudut bibir di tarik ke samping. Dengan senyum jahil, dia menjawab, “Yang jelas, bukan kantor pencatatan sipil.” Arion lantas berjalan, diikuti oleh Esther. Mereka masuk melalui pintu depan gedung. Begitu masuk, Esther disambut oleh seorang security. Di dinding yang berada di belakang meja resepsionis, terdapat logo nama perusahaan bertuliskan AE Corporation. “Selamat siang, Pak Arion,” sapa seorang Resepsionis. “Di mana Asistenku?” tanya Arion. “Beliau sudah menunggu Anda di ruangan,” jawab wanita cantik itu. Arion mengangguk lantas melanjutkan langkahnya menuju lift. Esther tidak bertanya, hanya diam dan mengekor di belakang Arion. Tidak ada kecurigaan apa pun terhadap pria itu. Sejauh ini, Arion bersikap sewajarnya saja. Meski awal pertemuan mereka sangat luar biasa. Tiba di depan sebuah ruangan, pintu dalam keadaan terbuka. Arion dan Esther masuk, disambut oleh seorang pria yang membuat Esther seketika membulatkan matanya. “Eric?” “Selamat datang, Nyonya?” Esther menatap bingung dua pria di hadapannya. “Jadi pekerjaan baru yang kau maksud adalah ini?” tanya Esther. “Ya, Nyonya,” jawab Eric sembari mengarahkan tangannya ke arah sofa supaya Esther mendudukinya. “Ngobrolnya nanti saja. Ada hal yang lebih penting yang harus aku bicarakan,” sela Arion lantas mendudukkan dirinya di salah satu single sofa. Eric bersiap, berdiri di dekat Arion. “Berikan berkasnya,” ucap Arion. Eric lantas memberikan map yang dia pegang kepada Esther. Wanita itu menerima dengan kening mengkerut. “Apa ini?” tanyanya penasaran. “Baca dan tanda tangani!” Esther menatap kesal ke arah Arion sekilas lantas membuka map. Sebuah tulisan dengan huruf besar tertera di sana. Surat Perjanjian.Esther membaca berkas di tangan. Poin pertama membuat Esther seketika membulatkan matanya. “Perjanjian macam apa ini?” protes Esther. Jelas sekali tertulis di sana, bahwa Esther harus datang ketika Arion memanggilnya. “Kau kira aku ini pelayanmu?” imbuhnya. Arion memiringkan kepalanya. Senyum tipis terbit di bibir tebalnya. “Kakak ipar, apa kau lupa apa yang aku miliki?” ucap Arion yang seketika membuat Esther mengatupkan bibirnya. Ingin sekali Esther memaki, tetapi dia sadar atas posisi. “Jadi kau ingin mengancamku?”Arion menggeleng pelan. “Tentu tidak, aku hanya ingin kau mempertimbangkannya, Kakak ipar. Coba baca poin selanjutnya,” kata Arion. Esther mendecak. Dia lantas menuruti keinginan Arion. Poin kedua membuatnya terdiam. Di mana Arion akan mengabulkan apa pun yang Esther inginkan. Dan Esther membutuhkan hal itu. Esther perlu menyelidiki tentang Tiara. Dia juga ingin membalas dendam kepada orang-orang yang telah menyakitinya. Dan Esther berpikir akan menggunakan kesempat
Esther membuka mata, untuk melihat sosok itu, dan seketika dia membulatkan mata. Sementara Erland tampak terkejut melihat kehadiran lelaki yang kini berdiri tepat di hadapannya. “Kenapa kau bisa ada di sini?” Arion mengulas senyum tipis. Dia menghempaskan tangan Erland dengan kasar. “Kau lupa, ada bagianku di perusahaan ini. Tapi tenang saja, aku sedang tidak ingin mengungkitnya, aku hanya ingin menuruti keinginan kakek untuk berjalan-jalan di sekitar sini. Tapi aku justru melihat pemandangan seperti ini,” jawab Arion. Erland mendengkus kasar. “Ini bukan urusanmu!” “Memang, tapi urusan rumah tangga bukankah sebaiknya diselesaikan di rumah.” Arion lantas menatap Esther. “Kakak ipar, sebaiknya kau pulang saja,” tegurnya. Esther tampak kesal, sekaligus gugup secara bersamaan. Bagaimanapun, keberadaan pria ini membuatnya teringat dengan kejadian malam itu. “Kau tidak punya hak untuk mengusirku!” kata Esther. Arion malah tersenyum. “Dia memang benar, kau pulang saja. Kita bicara
Esther terdiam untuk beberapa saat. Keterkejutan terlihat di wajahnya. Eric adalah orang kepercayaan Erland selama bertahun-tahun. Dan hari ini, Esther mendapati pria itu dipecat. Apa yang terjadi sebenarnya? “Eric,” panggil Esther. Dia harus mencari tahu lebih banyak lagi. “Ya, Nyonya,” jawab Eric di seberang. “Sejak kapan kamu dipecat?” tanya Esther penasaran. Suara di seberang kembali terdengar. “Sudah satu tahun yang lalu, Nyonya.” “Apa?” Esther jelas saja kaget. Sudah selama itu, tetapi tidak ada yang memberitahunya. “Eric, kenapa kau tidak bilang padaku!” Nada bicara Esther berubah protes. Hening sejenak. Sebelum akhirnya Eric menjawab, “Maaf, Nyonya. Semua atas permintaan Tuan. Tuan memperingatkan saya supaya saya tidak mengadu pada Nyonya.” Esther memejamkan matanya erat-erat. Entah apa tujuan Erland menyembunyikan hal ini. Namun, Esther yakin, semua yang terjadi ada sangkut pautnya dengan Tiara. “Apa kamu melakukan kesalahan?” “Hanya kesalahan kecil, Nyonya. Tapi en
Esther mengepalkan kedua tangannya. Perasaannya campur aduk. Sedih, kesal, marah, dan yang pasti muak. Apa yang baru saja dia dengar dari mulut suaminya, sungguh sangat menyakitkan. Tidak hanya membawa wanita lain dalam rumah tangganya, Erland bahkan membawanya hingga ke atas ranjang mereka. “Erland, di rumah ini banyak sekali kamar. Dia bisa tidur di kamar lain.” Corrina berdiri dari kursinya, dia menatap menantu pertamanya. “Tiara juga istri Erland, jadi dia berhak tidur di kamar Erland.” Setelah lama diam, akhirnya Corrina angkat bicara. “Kak Erland, kalau Kak Esther tidak suka aku tidur di kamar Kakak, biar aku tidur di kamar lain saja,” sela Tiara sendu. Erland menatap Tiara. Wanita itu tidak lagi menangis, namun kata-katanya membuat Erland tidak tega. “Itu adalah kamar kami, harusnya kau tahu diri!” seru Esther tidak terima. Bagaimanapun, Esther harus mempertahankan haknya. “Kau juga harus tahu diri. Kau tidak punya hak di rumah ini, Esther. Jadi Tiara bisa tidur
Jantung Esther serasa terhenti saat itu juga. Dia menahan napas yang terasa sesak, sebelum akhirnya melepasnya dengan kasar. “Apa yang kau katakan?” Arion tersenyum nakal. “Bukankah sudah jelas? Kakak ipar, aku tahu kau tidak tuli,” bisik Arion tepat di telinga Esther yang membuatnya merasa merinding. Kali ini Esther tidak tinggal diam. Dia mendorong Arion sedikit menjauh, lalu berdiri tegap, melipat kedua tangan di perut, seolah hendak memberi perlawanan. “Aku ini Kakak iparmu! Beraninya kau meminta hal semacam itu padaku!” sentak Esther. Lagi-lagi pria itu tertawa. Seperti orang yang baru saja menang lotre. Arion terlihat sangat senang. “Kakak ipar, permainanmu sangat memuaskan. Apa perlu aku memutar lagi videonya? Supaya kau tahu bagaimana liarnya dirimu tadi malam.” Arion mengeluarkan kembali ponselnya, lalu memainkannya di tangan. “Hentikan!” pekik Esther yang justru membuat Arion kembali tertawa. Berbanding terbalik dengan Esther yang merasa geram. Entah mengapa di
Esther menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur tanpa sempat melepas sepatu hak tingginya. Kepalanya yang serasa dipukul palu membuatnya terbang ke alam mimpi dengan sangat cepat. Sementara sosok yang sejak tadi memperhatikan Esther kini tersenyum miring. Arion Dawson baru saja tiba di negeri ini, tetapi dia justru dikejutkan dengan kedatangan wanita yang tak lain adalah kakak iparnya sendiri. “Sambutan yang sangat mengesankan, Kakak ipar,” gumamnya. Dengan senyum yang masih terpahat di bibir seksinya, dia beranjak dari sofa. Dia mengunci pintu terlebih dahulu sebelum akhirnya menuju ke atas ranjang. Dia berjongkok, melepas sepatu milik Esther lalu meletakkannya di lantai. Merasa sebuah sentuhan, Esther pun kembali tersadar. Dia membuka mata, dan melihat sosok pria yang mirip suaminya. Esther pun tersenyum. Tanpa pikir panjang, dia menarik kerah kemeja pria itu, dan membuatnya terjatuh di atas tubuhnya. “Temani aku malam ini,” bisiknya. Esther perlu melampiaskan segalanya, ter